6 - Kunjungan Pertama yang Ehh

Sunday, November 7th. 11:20 am

Suster yang membawakan makan untuk siang ini sudah tiba, membuatku terkesiap akan harum yang dikeluarkan.

Santapan siang ini sebenarnya biasa saja, tetapi karena aku melewatkan sarapan rasanya makanan ini menjadi seratus kali lebih enak. Oke, ku aku itu berlebihan sampai Kaoru yang menontonku tidak percaya aku bisa makan sampai secepat itu. Mungkin hari ini memang beruntungnya enak, atau mungkin suster tua kemarin menyampaikan masalah makananku. Apapun itu syukurlah! Tidak ada bubuk cabai yang perlu ditambahkan untuk siang ini.

Di kamar sekarang hanya ada aku, Kaoru, Nenek, dan Akana yang sedang mewarnai buku barunya di lantai. Anak itu berjarak 9 tahun usianya denganku, memiliki mata biru dan perangai yang terkadang membuat Nenek kesal melihatnya. Ketimbang denganku, dia punya jiwa yang lebih bebas; Nenek tidak pernah memaksanya untuk ikut kelas dansa. Tapi bagai buah yang tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya (kecuali pohon tersebut berada di dekat aliran sungai), Akana mendaftarkan diri di kelas dansa. Dia berkata dia menyukai tarianku dan berharap bisa mengajakku untuk kencan kelulusannya. Aku tahu, aku memang seindah itu. Bahkan Adikku menyukaiku.

Bercanda. Sungguh, jangan masukkan ke hati.

Hanya saja, aku bersyukur diberikan adik laki-laki yang polos dan amat pengertian.

"Akana kalau mau kue yang tadi ambil saja," ucapku setelah selesai menyantap makan siang. Bicara soal kue, Bibi Onuma, Ibu Kaoru lah yang memberikannya. Namun karena ia memberi terlalu cepat dari jadwal dan aku memang belum makan nasi, sejadinya Nenek mencegahku.

Setidaknya itu yang dikatakan Nenek pada Bibi Onuma. Kenyataannya, ia hanya tidak ingin aku memakan macam-macam di bawah pengawasannya.

"Enggak!" Akana bangkit dari lantai setelah ia rasa tatapan Nenek membuatnya tidak nyaman. "Nanti sama Ain-nee-chan aja! Pas Nenek gak ada!"

"Kurang ajar." Nenek yang sedang mengipas diri lantas menutup kipas tangannya, "Nanti kubuang saja kue—"

Amarah Nenek terputus, ia menyadari Kaoru masih ada di tempat. Nenek berdehem mengusir gugup, "Maksudku, nanti Nenek amankan ke rumah saja kalau begitu!"

Nenek adalah pribadi yang keras dan ambisius. Tapi syukurlah dia bukan tipe ambisius yang ingin cucunya kuliah kedokteran karena jika ia memaksa sebenarnya bisa saja, tapi ancaman di masa depan tentunya karena orang sebodoh macamku jadi dokter?

Sebagai gantinya ia ingin aku menjadi prodigy kebanggaannya. Dia sudah menyuruhku ikut kelas dansa sejak umur 4 tahun. Apa yang awalnya dimulai dari kesenangan berubah menjadi kewajiban, kewajiban berubah menjadi harga diri. Setidaknya untuk mereka, karena aku sudah benar-benar siap untuk melangkah.

Tapi selain menari, apa lagi yang Aine Katagiri bisa lakukan untuk masa depannya? Ini waktu yang tepat untuk berdoa semoga sultan perminyakan punya anak lajang yang dengan senang hati menarikku ke dinastinya.

Pikiran narasiku diinterupsi oleh getaran dari ponsel Kaoru yang ia letakkan begitu saja di dekat kakiku. Sedari awal ia sudah sibuk dengan benda tersebut, sesekali merengut hingga akhirnya ia putuskan untuk mengabaikannya. Wajahnya ia tempelengkan ke arah televisi, entah menonton atau tidak.

"Ponselmu terus bergetar tuh," ucapku sambil menyenggolnya dengan kaki. Kaoru menoleh, mengambil ponselnya dan memindahkannya ke meja sisi ranjang.

Yang kini membuat getaran tersebut menjadi berisik!

"Kau sibuk?"

Dia menoleh pada ponselnya, hendak memindahkannya ke tempat yang tidak dapat kulihat hingga suara ringtone ponselnya menghentikannya. Seseorang menghubunginya, dan setelah pertimbangan yang cukup lama, ia pun menggulirkan pilihan merah.

"Aku selalu mengerahkan diriku sepenuhnya tapi di saat begini mereka tidak membiarkanku lolos? Bahkan sekali saja?"

Apa yang dia bicarakan? "Siapa?"

"Kau tahu lah—"

Tidak lama, sekarang giliran ponselku yang berdering. Pasti Ibu sih, yang kulihat meninggalkan dompetnya di atas galon air. Ponsel selalu kuletakkan di perut sehingga aku dapat segera mengecek siapa—

Bukan Ibu.

Melainkan Osawa-senpai ....

Entah karena panik atau sebagainya, aku segera menggulirkan pilihan hijau dan mau tidak mau menempelkannya ke telinga.

"Ha-halo?"

"Onuma di sana?"

Berkedip dua kali, aku tidak percaya orang ini menelponku hanya untuk menanyakan Kaoru! Setelah kuingat sepertinya panggilan masuk dan segala spam yang Kaoru abaikan berasal dari orang ini. Tidak berhasil, dia pun menghubungiku.

Hmm, peran apa yang harus kumainkan hari ini? Sahabat baik atau—

"Siapa itu?" Kao—

Cepat-cepat ku kibaskan tanganku, menyuruh Kaoru diam tetapi nampaknya kalimat dua kata itu cukup meyakinkan kapten voli ini.

"Nampaknya begitu, huh?"

Dia mematikan panggilannya begitu saja. Sepertinya Osawa ini bukan hanya temperamen dan self-centered, tetapi juga tantruman! Pertanyaan Kaoru tidak kujawab, makan siang pun tak dilanjutkan. Ingin sekali ku berbincang lebih lama lagi, tetapi suster dengan obat tidur telah tiba. Aku harus mengabaikan Kaoru untuk terlelap.

12.05 am

Aku terbangun begitu mendengar suara pintu yang terbuka. Untuk lebih membuatku sakit kepala, aku tidak mengenalinya. Hanya laki-laki tinggi, rambutnya agak berantakan—bukan bermaksud membuatnya keren atau semacamnya, tetapi sungguhan berantakan—dan berjaket abu-abu, berjalan menerjang menuju arahku. Kaoru bangkit duluan menghalangi tubuhku darinya.

"Siapa, Kao ...?
"Oh, kau tidak mengenaliku?"

Orang itu berjalan ke arah lain, menyibakkan sisi dengan tirai untuk melihat keadaanku yang setengah sadar. Pada jarak seperti ini barulah aku menyadari—

"Osawa?"

Dia monster yang menyebabkan aku begini,

Osawa Kain, tidak kuduga ternyata setinggi itu, menatapku penuh kekosongan. Entah apa yang ia pikirkan di dalam otak itu karena 10 detik penuh ia hanya diam, melihat keadaanku. Ini pertama kalinya ia mengunjungi ku, apa ia baru sadar keadaanku separah i—

"Rambutmu sangat kacau."

TERNYATA ITU ALASANNYA?!

Aku tergagap tidak terima. Hendak menegakkan tubuh tapi nyeri menyerang setiap inci tubuhku, sehingga, satu-satunya yang dapat kulakukan hanya menunjuknya.

"Ngaca sendiri Paman!!"

Dia menatapku lagi. Kali ini, kebingungan. "Paman?"

"Mau apa di sini?" Tanyaku, masih menunjuknya. Osawa-senpai berhenti melihatku dan kembali menatap ke Kaoru.

"Mengklaim setter ku."

Kaoru terdengar berdecak, dan dari sudut pandang ku bisa kulihat dia mulai mengacak kesal rambutnya. "Senpai, aku sudah izin ke pelatih," ucapnya, terdengar agak frustasi. "Hari ini juga latihannya inti. Selama Terumi-san belum sekarat maka aku tidak akan pernah dimainkan oleh pelatih."

"Setidaknya kau harus datang untuk latihan," ujar Paman Osawa. Aku akan memanggilnya demikian karena dia tinggi dan mengerikan seperti om om. "Aku tidak suka bicara di sini.

Apa—apa? Perintah katanya? Siapa dia yang bisa menyuruh satu pihak padahal Kaoru sudah jelas bilang dia izin? Kalau kapten voli Manabu Inkai yang jaya itu ternyata bertingkah seperti ini, maka malu lah nama almamater ini. Selain kemampuan, untuk bertahan hidup sebagai atlet kau juga perlu santun!

"Paman hanya akan datang kemari lalu mengklaim temanku, lalu pergi saja begitu?"

Osawa Kain melipat kedua tangannya di depan dada, kali ini menatapku yang bahkan masih kesulitan membuka mata.

Dia diam. Hingga akhirnya ia sedikit memiringkan kepalanya, membuat jatuh rambut hitamnya yang sangat berantakan, "Memangnya saya harus apa lagi?"

"Well, maksudku, sedikit bertanya kabar, mungkin? Berbincang basa-basi, mungkin? Maksudku, kau lupa? Kau lupa aku begini karena ulahmu?"

Dia berkedip, "Saya tidak mengerti, apa kamu baru menuntut perhatian dari saya?"

Huh?!

Dia mendekatkan wajahnya dengan sedikit mencondongkan punggungnya yang tegap. Bayangan yang tercipta memberi kesan intimidasi sekaligus,

mengerikan...

"Saya tanya waktu itu, kamu butuh sesuatu gak? Kamu bilang enggak. Sekarang kamu minta saya nanya kabar. Kamu minta saya basa-basi, bagaimana maksudnya?"

Kepalaku sakit karena memaksakan diri membuka mata, tapi kali ini cukup membuatku terbangun. Iya, aku memang bicara seperti itu, tetapi kenapa dia menghitung basa-basi dan kabar sebagai suatu kebutuhan? Maksudku, yang satu itu sudah mendasar, tidak perlu diajukan seharusnya sudah ia lakukan. Ditambah, caranya mengatakan kalimat barusan dengan wajah datar membuat suasana lebih menyebalkan lagi, untukku. Tidak tahu dengannya karena jika dilihat, ia memang tipe yang tidak mengerti perasaan manusia.

Namun sungguh, kalimat yang tadi—

Anehnya berdengung di telingaku, "Keluar."

"I sense such tension."

Osawa menegakkan kembali punggungnya, membuatku mendelik akibat cahaya yang tiba-tiba menginvasi kembali wajahku, "Etitut kurang ajar, untuk seseorang yang sudah dibayarkan full perawatan rumah sakitnya."

Tubuhku lemah dan lemas, tetapi rasa ingin membalasnya semakin tumbuh. Mempertahankan keanggunan yang selalu Nenek ajarkan, aku pun memaksakan diri untuk duduk tegak sehingga dia bisa melihat wajahku, mataku. Selanjutnya, aku pun tersenyum,

"Mengira seorang Katagiri akan merasa berterimakasih karena biaya yang telah dibayar termasuk penghinaan, Paman," ujarku lantang meyakinkan. Dia hanya diam, tertegun, "justru, aku bisa keluar dari kamar ini kapan saja! Bahkan sekarang juga bisa."

"Kenapa tidak kamu lakukan?" Tanyanya. Aku mengangkat kedua pundak sebagai respon.

"Yah, maksudku, setidaknya kau butuh suatu bayaran tutup mulut supaya aku tidak membeberkannya ke publik, kan?"

"Kau tidak akan berani." Osawa kembali menatap Kaoru, kali ini lebih mendalam. "Latihan. Kamu tidak akan mengerti apa yang akan terjadi jika tidak latihan,"

Lalu ia pergi, begitu saja, bagai penjahat super di serial superhero. Sama seperti penjahat-penjahat tersebut, kepergiannya memberi kami—tim hero—menjadi mempertanyakan pendirian. Mungkin itu kekuatannya sebagai penjahat super, karena baik Kaoru dan aku saling bertatapan sekarang.

Kaoru menatapku, seakan meminta izin untuk pergi dan aku, tentunya mengangguk. Keduanya menghilang sehingga aku perlu menahan kantukku untuk menunggu baik Ibu maupun Nenek tiba.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top