4 - Bercanda, Terlupakan dan Mengeluh
Friday, November 5th. 7:21 am
Aku benci makanan di sini.
Ini bukan kali pertamanya aku dirawat karena cedera, tetapi aku takkan pernah terbiasa dengan makanan rumah sakit. Terutama, rumah sakit yang bukan Chinari Sogo. Chinari Sogo tidak pernah menyajikan nasi untuk sarapan. Jam tujuh adalah jadwal minum teh setelah itu sarapan satu jam setelahnya! Itupun bukan nasi! Tetapi roti asin dengan bubur yang ditaburi sosis kering!
Satu-satunya menu yang sama hanyalah segelas susu putih hangat di sini.
"Makan pisang dan minum susu saja dulu pagi ini ya, Ain. Nanti siangan sedikit Ibu belikan bubuk cabai,"
"Boleh buat mie saja, Bu? Buat kuah sedikit." Aku mencoba menawar dan syukurlah, Ibu menyetujui. Dari tatapan Ibu bisa kunilai dia juga tidak menyukai pemandangan nampan makananku yang bisa kukatakan-menjijikan.
Aku tidak ingin menyebutkan isi nampan ini karena khawatir menyerang kalangan yang makan telur mentah sebagai sarapan. Oh, aku baru mengatakannya ya? Mohon maaf. Ini zaman modern tolong masak makananmu terlepas rasa atau khasiatnya yang khas!
Sedikit makanan masuk, yang selanjutnya dimasukkan adalah obat.
Obat diberikan hanya ketika pasien meminta pada jam tertentu, sehingga Ibu menekan tombol pemanggil. Seorang dokter dan suster datang dengan obat. Suster sibuk mengurusi obat yang diinjeksikan ke infusku, sementara dokter sibuk bicara dengan Ibu di luar ruangan.
Karena mumpung Ibu di luar dan hanya ada suster di sini, mungkin ini yang saat tepat untuk komplain makanan.
"Hei," panggilku pada suster tersebut. Wanita tua itu terkejut, kedua matanya mengerjab tidak percaya padaku. "Makanan kalian menjijikan. Bisa diganti? Jadi yang matang saja."
"Begitukah caramu bicara dengan orang tua, Nona Muda?" Dia tidak menggubris permintaan ku dan justru, segera merapihkan peralatannya. "Menu di sini memang begini, Nona Muda! Sudah disusun berdasarkan kebutuhan tubuhmu. Jika tidak suka silahkan melangkah,"
Suster itu beranjak begitu saja-tunggu, "Justru kau yang melangkah!!"
BRAAAK
Hebat. Ohhh hebat sekali hebat! Dia membanting pintu geser atau memang pintu itu sudah terlalu licin? Intinya, bahkan dokter dan Ibu di luar sampai menoleh penasaran. Aku tidak peduli, lantas kembali menyenderkan punggung dan menonton acara tv yang agak statis.
Ada apa dengan suster tadi? Bukannya Kak Osawa bilang tinggal bilang mau ganti menu? Sekarang, apa dia bilang semua pasien makan makanan yang sama? Apa semua orang sungguh menyukai telur tidak matang?!
Sebelum amarah dalam pikiranku memuncak, Ibu sudah melangkah masuk. Aku masih dalam proses meredakan amarahku, tapi aku tidak suka melihat wajah Ibu yang kalut begitu.
"Kenapa, Bu?"
Ibu lantas duduk di kursi kasur, "Ini, kata dokter... serpihan dalam rongga dadamu itu harus segera diangkat sebelum rusuknya tumbuh,"
Jadi ....
"Senin besok, operasi. Ya?"
Butuh sepersekian detik untukku mencerna perkataan wujud tawaran barusan. Iya, aku tahu pasti serpihan tulang itu harus diangkat dan aku tahu juga satu-satunya jalan hanya dengan operasi. Tapi—
"Kok ...?"
Aku takut,
"Kok operasi sih ..., kan aku baik-baik saja ...."
"Resikonya menusuk organ dalam, Ain. Ini tidak menusuk karena kamu sedang tidak banyak bergerak."
Enggak, enggak! Aku tidak mau!! Ke mana kesadaranku pergi! Ke mana jiwaku berada? Apa aku akan tertidur tapi bangun? Bukankah itu berarti aku ada di kegelapan? Di seluruh kegelapan tapi tidak ada jalan keluarnya? Bagaimana jika aku tidak berhasil mencari jalan keluar? Bagaimana jika obat biusnya tidak bekerja maksimal?
Bagaimana jika aku tidak bangun?
Aku menatap Ibu, berharap ada sedikit keajaiban yang keluar dari mulut itu. Batalkan, tolong, batalkan ...!
"Bu ...."
Ibu menghela nafas. Bagus, dia mengalah!
"Nanti Ibu bicarakan lagi. Ibu mau beli sarapan dulu, Ain mau nitip sesuatu?"
"Cheesecake Glico!"
Ibu memiringkan senyumannya dan segera beranjak dari kamar.
***
10.05 am
Semakin siang nampaknya teman kelasku mulai menyadari ketidakhadiranku.
Untuk menghindari kenyataan bahwa Senin ini aku mesti menghadapi operasi, akupun menyibukkan diri bermain ponsel. Pesan dukungan entah tulus atau ada maunya mulai masuk. Mereka bilang akan datang (tidak tahu kapan) dan menyuruhku untuk mempersiapkan karpet merah, minuman sirup dan cemilan padahal aku lah yang dibesuk di sini. Di antara semuanya, Kaoru lah yang paling, entahlah, khawatir.
Kaoru Onuma
'Jangan rame banget guys kasian'
'Jam segitu Ain ga tidur?'
'Sekali besuk cuma bisa 7 orang.'
Dia selalu begitu. Entah orang lain nyaman atau tidak tapi dia selalu seperti itu. Karena sudah ketahuan membuka grup, aku pun membalas, sekiranya
Aine Katagiri
'ga usah dateng kalo ga
bawa amplop isi duit.'
Aku meninggalkan grup kelas dan seketika baru menyadari; aku meninggalkan pesan Osawa-senpai pada read. Lagipula, balasan apa yang bisa kuketik setelah ucapan yang 'sebegitu mengancamnya'? Orang ini juga menggunakan 'saya' seperti mengobrol dengan dosen.
Aku putuskan untuk membalasnya dengan mengenalkan diri:
Aine Katagiri
'Halo Osawa-senpai aku
Katagiri Aine.'
Lalu ucapan terima kasih...
'Terima kasih atas pertanggung
jawabannya,
Tunggu, pake emot-
'Terima kasih atas pertanggung
jawabannya :))
Lalu jelaskan isi hati soal penyampaian masalah,
'Terima kasih atas pertanggung
jawabannya :)) tetapi bukan hospital
charges yang keluarga kami
pusingkan'
Adalah tentu, statusku sebagai atlet ritmik untuk acara bulan depan. Tapi aku tidak senang mengumbarnya apa lagi dengan orang asing,
Sehingga tidak aku lanjutkan.
Dan tak lama tanda titik pertanda ia sedang mengetik pun nampak...
Kain Osawa
'Then?'
Dia menggunakan bahasa inggris lagi? Um, oke, jika itu maumu tuan.
Katagiri Aine
'Studiku tentunya. Dengan keadaan begini
jangankan sekolah, bahkan berdiri
pun sulit.'
Oh aku mengeluh pada orang asing. Sangat tidak anggun. Jika Nenek tahu bisa-bisa-
Kain Osawa
'Then just sit.'
Apa.
'Minta perawat persiapkan
kursi roda. Just said it it is Osawa'
Penyelesaian masalahnya sangat simpel tapi anehnya begitu menyebalkan? Seakan-
Kain Osawa
'Are you just complaining?'
DIA MENGAJAK RIBUT??
Sepenuhnya aku sadar sedang mengeluh tetapi disebutkan dan dipastikan begitu oleh seseorang tentunya sangat menjengkelkan! Lebih dari itu, harus ditekankan lagi, dia orang asing yang membuat keadaanku begini.
Aine Katagiri
'Are you asking for a fight? :))'
TERKIRIM.
Kain Osawa
'?'
'I have no such ill intention'
Dia mengetik cukup cepat ini membuat jantungku berdebar.
Kain Osawa
'Saya hanya bertanya apakah
kamu mengeluh?'
'Jika begitu kesimpulan yang
kamu tangkap maka lupakan
pertanyaan saya.'
Oh baguslah sepertinya dia sadar emosi bertambah di diri yang rusak ini. Oke, dia mengetik lagi
Kain Osawa
Do you need anything from me?'
Mengirim emotikon adalah pilihan baik, tapi setelah kupikir tidak seharusnya aku melakukannya. Maksudku, sedikitnya dia bertanggung jawab dengan biaya rumah sakit meski dengan fasilitas seadanya-hal sederhana yang mencakup uang sangat aku apresiasi meski bukan itu concern keluargaku.
Aine Katagiri
'Nah, I think its fine.'
Oh ya-
'Kaoru bakal sering datang untuk menengok
tiap sore. Jadi mohon pengertiannya ya,
jangan terlalu strict sama dia.'
Membuat alasan untuk teman, bukankah aku orang yang baik?
Kain Osawa
'That's cannot be done unfortunately,'
Oh well-
'Sparing minggu depan dan saya
cuma mau di-set sama Onuma.'
Tunggu sebentar, set? Maksudnya dipasangkan atau apa?
Oh tunggu, sepertinya aku mengerti. Aku pernah mendengar yang satu ini dari Oribe-san. Yah gitu deh. Ketika cowokmu adalah bagian dari tim atlet dan merupakan anggota ofisial dari timnya, apalagi yang bisa kalian lakukan selain mengumbarnya?
Aine Katagiri
'Hah?'
'Tapi bukannya ofisial setter
Manakai kak Kajihara?'
Dia tidak langsung menjawab ....
Baiklah, aku kira sampai di sini percakapan pagi ini, mungkin aku harus kembali ke grup kelas—
Kain Osawa
'Pertanyaan terakhir. Kamu butuh
bantuan saya?'
Jawaban terakhir, sebelum aku ke kamar mandi lagi.
Aine Katagiri
'Tidak. Sepertinya?'
Dan sebagai penutup (kukira), dia menjawab dengan singkat
Kain Osawa
'Very well.'
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top