3 - Tragedi Rupanya Tidak Begitu Buruk?
19:17 pm
Indera penciumanku seketika aktif begitu menangkap bau minyak angin menyengat milik Nenek. Aku membuka kedua mataku cepat, reflek menjauhkan wajah tetapi justru diserang oleh rasa nyeri yang mengekang. Ketika fokusku kembali, bisa kulihat Nenek, Ibu, Akana, Kaoru sampai Shirai-senpai yang mengitari ranjang tempatku berbaring.
Percakapan selanjutnya hanya diisi oleh mereka yang panik dan bersyukur aku akhirnya bisa bangun. Aku tidak menyimak, hanya diam dalam kehampaan akan keadaanku sekarang. Apa yang aku lakukan? Apa yang terjadi padaku? Kenapa pinggang yang selalu mampu berlekuk sebebasnya ini justru terkurung sebuah sangkar tegak lurus tanpa celah?
Sesaat, aku melihat Ibu yang menatapku cemas. Dari semua orang yang ada mungkin hanya Ibu yang menangkap diriku yang melamun. Ketika mengangkat wajah itu, pandanganku dan Kaoru bertemu. Seketika, semuanya kejadian sore tadi kembali ke benakku.
"Ah, payah .…" cahaya ini menyilaukan. Aku cukup sensitif terhadap perubahan, sehingga kesilauan ini yang membuatku sadar bahwa tempat ini bukanlah bangsal biasa tempatku dirawat, "Ini bukan Chinari Sogo?"
Ibu menggeleng. Dia berjalan mendekat dan mengusap wajahku, "Bagaimana perasaanmu sekarang?"
Kosong. Butuh waktu memproses segalanya, dan aku benci aku yang tidak responsif. Aku sepenuhnya sadar sedang melamun, tapi tubuh ini enggan untuk bereaksi.
Ibu sepertinya sadar aku sama sekali tidak responsif sehingga dia menyuruh baik Kaoru dan Kak Shirai untuk pulang. Yah, aku harap Nenek juga pulang saja karena banyak sekali yang ingin kutanyakan soal keadaan ini. Pada Ibu saja, tidak Nenek. Nenek cepat sekali terbawa suasana dan termakan emosi, apalagi dalam keadaan seperti ini.
Ada alasan mengapa dia akan emosi, dan bukan keadaanku lah penyebabnya.
Tapi fakta bahwa karirku sebagai atlet bisa terancam setiap kali cedera terjadi.
20.05 pm
Keadaan kamar sudah sepi. Nenek dan Akana pulang dan kembali besok untuk membawa baju. Kaoru dan Kak Shirai juga sudah pulang, tapi tak sempat ku berterimakasih karena sudah mau datang. Aku harap mereka memahami kalau jika aku mengobrol maka besar kemungkinan mereka akan buka suara soal kejadian tadi. Tidak, aku tidak setrauma itu. Beberapa menit setelah sepenuhnya sadar, bukan diriku sendiri yang kupikirkan dalam keadaan begini. Tapi Ibu dan Nenek yang akan bereaksi macam-macam.
Seorang dokter dan seorang suster datang setelah Ibu menekan bel. Mereka menjelaskan detil dari keseluruhan umum yang terjadi padaku, termasuk benturan tulang belakang dan retakan rusuk yang memakan cukup waktu untuk pulih. Semuanya terdengar baik, dan aku juga menerima kenyataan tersebut dengan oke. Segalanya menjadi tidak oke ketika dokter menunjukkan hasil rontgen yang sudah di tangan Ibu sejak awal.
"Yang satu ini," Ia menunjukkan sebuah cerminan serpihan mengerikan yang mungkin akan membuatku tidak bisa makan malam dengan tenang hari ini.
Sebuah serpihan tulang rusuk…
Yang menyasar ke dalam rongga dada dan,
"Hampir nyaris sekali menusuk paru-paru,"
Seketika perutku terasa mual, kerongkonganku kering dan kedua mata terasa panas. Ini jenis fraktur yang lebih sederhana dari patah tulang leherku beberapa tahun yang lalu, tetapi yang satu itu—fragmen tulang itu.
"Itu…, masih di sana?"
Dokter, suster maupun Ibu tidak ada yang menjawab dan memang! Aku tidak butuh jawaban karena jelas sekali. Serpihan tulang itu masih ada di sana, belum diangkat dan mengarah langsung menuju paru-paruku. Ini lebih buruk dari patah tulang yang pernah ku alami sebelum-sebelumnya. Maksudku—
Aku melepaskan tawaan pendek, lantas perlahan menyandarkan kepala kembali ke bantal.
"Aku ditabrak Shinkansen kah?"
Dokter dan suster sepertinya menganggap ucapanku sebagai candaan karena senyuman kecil itu. Tapi aku tidak. Maksudku, bagaimana bisa? Satu orang dengan bola voli, menghancurkan tulang manusia yang tersusun oleh sehebat-hebatnya kuasa Tuhan? Ditambah, bola voli bukanlah senjata. Sekarang aku paham mengapa Shirai-senpai menghindari gebukan bolanya yang pertama. Pukulannya kelewat kencang dan kuat, atau memang tulangku yang terlalu lemah?
Tapi tidak mungkin. Meski berbeda level keambisan, aku pun juga seorang atlet tingkat nasional sepertinya.
Dokter dan suster pergi setelah selesai dengan penjelasannya. Begitu Ibu kembali dari mengucapkan terima kasih pada keduanya, dia menatapku cemas. Wajahnya menuntut penjelasan, aku menduga tidak ada yang menjelaskannya secara gamblang. Ibu yang malang, terlihat khawatir dan cemas sementara aku justru sudah kembali bersandar, membuat diriku senyaman mungkin, mengambil ponsel dan berucap—
"Akhirnya, setelah delapan tahun tidak cedera akupun bisa istirahat selama lima bulan penuh."
Hendak membuka YouTube, tanganku tertahan pada lockscreen. Sebuah notifikasi masuk dari nomor asing,
Nomor asing?
Siapa—
Baiklah, aku merasa aneh, sedikit kesal tapi tak bisa lepas dari pesan tersebut. Berulang kali kubaca dari awal, mulai dari sapaan hingga bagian yang membuatku jengkel malam-malam begini. Pesan tersebut sedikitnya bisa membuat kedua mataku kembali aktif, tetapi tidak lama karena aku putuskan untuk mengabaikan.
***
Osawa Kain
Halo, ini Osawa dari voli
Saya yang bertanggung jawab sepenuhnya atas insiden sore ini. Untuk itu, saya meminta maaf sedalam-dalamnya. Seluruh biaya perawatan kamu sudah saya urus, jangan pikirkan mengenai biayanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top