18. An Honest Atempt
Selasa, 16 November
"Kenapa pulang?"
Ini pertama kalinya Katagiri Aine mengirimiku pesan duluan, dan harus kukatakan, ini merupakan waktu yang teramat salah untuk melakukannya. Pukul sembilan aku sudah berada di gelanggang, berlatih dengan Singa-san berhubung sisa perwakilan Aichi lainnya masih jadwal sekolah. Tragedi yang baru terkuak kemarin membuat kami akan libur untuk beberapa hari. Tetapi mungkin, besok Manabu Inkai akan kembali melanjutkan kelas dengan imbauan yang beragam dari pihak pengajar.
Semoga besok. Aku ingin berlatih dengan timku.
"Kain-san! Sudah siap?" aku menoleh. Gadis Asahi itu memanggilku apa barusan?
"Osawa," koreksiku, entah sudah seberapa kali aku mengoreksinya, gadis ini sungguh keras kepala.
"Iya, iya. Kau sudah selesai?"
Aku tidak menghiraukannya dan kembali pada ponselku. Pesannya sudah kubuka, kurasa aku harus menjawabnya.
"Akan latihan. Will be very late to rep."
Tidak ada waktu untuk menunggu balasan, sehingga aku segera memasukkan ponsel ke dalam tas. Sekurangnya hingga tengah hari ini aku mesti melatih spike ku dengan pelatih yang benar-benar mengerti soal apa yang salah denganku.
Prefektur Aichi punya beberapa penyerang berpengalaman. Dari semua posisi yang tersedia, Singa-san seringkali menempatkanku di sisi luar. Tidak ada yang perlu menjelaskannya lebih rinci, aku paham sekali dengan keadaan tersebut. Jika aku berada di posisi Nagata sebagai spiker utama, maka akan kemungkinan besar akulah yang mesti menerima serve pertama dari lawan. Itu berarti, tidak ada kesempatan bagiku untuk mencetak skor selanjutnya.
Maka dari itu, seharusnya aku bersyukur. Mereka memberiku tempat hanya untuk mencetak skor, tidak lebih. Jika ayunanku saja selemah ini, bagaimana bisa aku memberikan kepastian skor untuk tim?
"Asahi, kau harus berhati-hati dengan monster ini." cekikikan Singa-san membuyarkan lamunanku. Baiklah, monster. Sepertinya aku harus mulai terbiasa dengan sebutan itu. "Spikenya pernah menembus 43 mph. Simpan tubuhmu jika tidak ingin hancur terkena bolanya."
"Kurasa bukan itu yang seharusnya nona ini khawatirkan." aku mengambil dan menepuk salah satu bola dari keranjang. "tetapi apakah dia bisa memberiku set yang cukup bagus untuk spike."
"Itulah inti dari latihan ini!"
Aku mungkin penyerang kesayangannya, tapi bisa jadi sebenarnya Singa-san sudah sangat lelah dengan nalarku. Butuh tiga puluh detik penuh bagiku untuk mencernanya, bahkan tidak cukup.
"Hitter yang baik bisa menyerang apa pun bola yang dilambungkan setternya."
"Cara kerjanya tidak seperti itu ...," aku menghela. Singa-san balas menyentak.
"Tunjukkan kalau keberadaanmu lebih menguntungkan dari Teru! Baru bisa kupikirkan akan memasukkanmu ke wakil prefektur lagi atau tidak."
Singa-san hanya mengerjaiku, harusnya aku tahu.
Aku mengangguk pada gadis Asahi itu, dan dia melambungkan bolanya dengan mudah. Bola mudah, kedua tungkaiku cukup untuk melompat dari sisi ini. Presisiku selalu tepat, lompatanku sempurna, dan tubuhku dalam keadaan prima. Namun ketika telah melayang dan mendapat titik sempurna untuk menyasarkan bola, mendadak aku melihat sebuah sosok.
Bola tersebut lolos, kubiarkan kedua tungkaiku mendarat tanpa menyabet bola. Sosok tersebut menghilang tepat ketika aku mendarat. Hantu kah?
"Kau baik-baik saja, Kain-san?"
Mungkin, hanya perasaanku saja. "Lagi."
Aku memberi aba-aba menyuruh gadis itu menunggu sejenak selagi aku mengambil posisi. Posisi kali ini cukup untuk ancang-ancang melompat, bisa dibilang ini posisi terbaik untuk menerima bola. Aku menggestur pada gadis itu untuk memulai, dan dia kembali melambungkan bola.
Posisiku sempurna, lompatanku kuat, sasaran bola sudah berada pada posisi yang tepat. Aku tinggal mengayunkan lenganku ketika kali ini, sebuah teriakan parau tertangkap gendang telingaku. Dengan detik momentum yang tersisa, kuayunkan kuat-kuat tanganku--membuat bola itu menukik tajam di dekat net--dan terpantul tinggi hingga ke langit-langit.
Demi Tuhan, apa aku sudah gila?!
"Kain-san."
"Lagi."
Kuabaikan segalanya sejenak dan menyuruh Asahi melambungkannya kembali. Sekali lagi kucoba dengan posisi yang lain, mencoba dengan sedikit berlari dan bahkan mengganti tangan utama. Bayangan itu terus muncul tepat ketika tanganku telah terangkat, diselingi entah tawa dan ringisan yang seakan berteriak tepat di kedua gendang telingaku.
Aku sudah muak, kubiarkan bola itu menukik keras ke luar garis.
"Ada apa denganmu, Kain?!"
Teriakan Singa-san menyadarkanku untuk benar-benar berhenti. Sudah kuduga dia juga menyadarinya. Alasan apa yang bisa kukatakan?
"Aku ... juga tidak paham."
"Bagaimana bisa kau paham? Kau menutup matamu, dan saat membukanya kau malah meleset jauh."
Tidak dapat dipungkiri kalau aku juga menyadari hal tersebut. Tanganku ragu jika terus menerjang ke arah bayangan tersebut, sehingga aku memukul bola dalam keadaan buta arah. Tidak berakhir baik, bola tersebut tersesat. Bola yang kupukul tidak terarah, dan ketika aku memaksakan diri untuk membuka mata, aku justru membuatnya menukik tidak pada targetnya.
Hantu Gelanggang tampaknya menyukaiku.
"Istirahat sebentar, Kain."
Aku menghela panjang, bukan karena kelelahan. Atsushi benar soal Hantu Gelanggang yang sering ia ceritakan tiap pulang latihan. Kukira itu hanya imbauan untuk pulang secepatnya karena Atsushi yang memegang kunci, tetapi tampaknya dia tidak hanya membual. Mungkin, Hantu Gelanggang benar-benar ada.
Hanya saja, bukankah ini terlalu pagi untuk hantu bergentayangan? Bukankah mereka nokturnal?
◃♞▹
"Nampaknya suatu insiden membuat berita bunuh diriku menjadi tenggelam?"
Aku menahan napas tanpa sadar, membuatku nyaris tersedak air isotonik sendiri. Baru saja aku merampungkan urusanku di gelanggang, dan pesan masuk Katagiri Aine membuatku punya urusan lebih baru lagi. Sebenarnya aku tahu akan berurusan lebih lama dengannya setelah insiden waktu itu, tetapi tidak kusangka dia memperpanjangnya. Lalu, kenapa dia membawa pembicaraan ini?
"Seseorang meninggal." aku membalas pesannya setelah duduk berselonjor di kursi panjang kolam belakang rumah. Bukan tempat yang sebegitu nyamannya—aku mudah masuk angin—untuk bersantai, tetapi aku terjebak menjaga adik sepupuku Ruka di sini.
"Ya, dan seseorang lain patah tulang rusuk." jawabnya lagi. Tuhan, apa dia sungguh akan mempertahankan aura tidak menyenangkan ini?
"Siapa peduli? Nyawa lain melayang, wajar jika itu yang jadi pusat perhatian."
Sejenak aku menurunkan ponsel untuk melihat keadaan Ruka. Gadis kecil itu masih asyik bersantai berjemur di atas ban renangnya. Tingkahnya sengak, dia jelas mendapatkan itu dari bibi. Kacamata bunga mataharinya menggemaskan, sih.
Beberapa saat, aku menyadari gadis itu tidak langsung membalas. Dia masih online, dia juga sudah membacanya. Apa yang menahannya?
Kalimatku?
"Iya, kau benar. Siapa yang peduli soalku?" balasan itu membuatku geli.
"Agak lucu bagaimana kau ingin jadi pusat perhatian, huh."
"I hate texting you."
Aku mengerjab. Apa, apa dia baru salah menyimpulkan pesanku?
"Shall I call you then?" aku tidak tahu kenapa aku perlu. Kesimpulan yang dia ambil salah, kurasa aku hanya perlu meluruskannya dengan kata-kata langsung. Masalah selanjutnya, kenapa aku peduli dengannya yang mengambil kesimpulan yang salah?
"Kenapa."
Katagiri Ai—bukan titik yang seharusnya menyertai kata tanya.
"Ya sudah tidak usah."
Baru saja aku hendak menutup ponsel, mendadak benda itu kembali bergetar.
"Aku tidak bilang tidak mau."
Ada sedikit lonjakan, entah negatif atau sebaliknya. Baik Kain, jangan langsung menelponnya. Tahan sesaat, jangan terkesan menginginkannya.
Persetan.
"Apa."
Nadanya ketus, seakan aku sudah mencoba menghubunginya selama dua jam penuh dan dia menolaknya dengan alasan kesibukan. Katagiri Aine ini, mengangkat pada bunyi pertama. Tidak seharusnya nadanya seperti itu.
"Mau bilang apa?"
Bagus sekali, sekarang dia membiarkanku mencari materi sendiri. "Sepertinya kau salah menyimpulkan nada pesanku."
Katagiri Aine menghela, "Salah di bagian apa? Ossan."
"Soal—lupakan."
Kami sama-sama diam. Ini jauh berbeda seperti panggilan pertama kami sebelum dia operasi. Suasana hatinya sedang tidak baik, bisa kukatakan. Yah, untuk catatanmu nona Katagiri Aine. Bukan tugasku untuk memperbaiki harimu, aku juga punya hari yang buruk. Aku bahkan tidak tahu kenapa belum mematikan sambungan yang sangat canggung ini.
"—marin." dia bicara. "Kemarin kenapa pulang?"
Jadi dia memilih perbincangan ini. Seharusnya dia tahu. Aku sudah merasa tidak nyaman berada di sekitar rumahmu.
Aku tentu tidak bisa bicara begitu.
"Bibiku datang, aku tidak enak membiarkannya menunggu."
Gadis itu mendumel panjang, seakan memang itu caranya merespon. "Seseorang mengangkat tubuhku kemarin. Kukira itu Ossan, jadi kupukul kuat-kuat rahangnya. Ternyata, itu Kao."
Ouch. "Dia tiba saat kita sampai juga. Kau baik-baik saja?"
Aku mendengar dia menggagap, "Tentu. Aku jatuh sih, karena Kao juga kaget."
Penjelasan itu membuatku reflek meringis. Baik karena membayangkan sebetapa kuat pukulan pada rahangnya, atau karena dia yang terjatuh. Lagi pula, rahang. Itu titik yang mengerikan untuk dipukul.
"Besok aku sudah sekolah lagi."
"Semuanya juga," ucapku. Sebentar, "Kau sudah cukup sehat untuk kembali?"
"Pelatihku menyuruh untuk segera bergerak." dia meringis, "Sepertinya aku akan menggunakan kursi roda untuk beberapa minggu."
"Sangat disayangkan," ujarku, yang entah kenapa membuatnya menyembur. "Semoga ada yang mendorong kursi rodamu besok."
"Ossan tidak tahu ya, kalau aku populer?"
"Tidak. Untuk apa?" tunggu, ini ketus. "Maksudku, kenapa? Apa yang membuatmu populer?"
"Aku juga tidak tahu. Tahu-tahu banyak yang menyapaku."
Tentu saja dia populer. Prediksiku, karena dia punya darah campuran dengan hasil yang menawan. Rambutnya tipis dan perawakannya kecil seperti ibunya, tetapi aku yakin rambut ikal terurai, mata lebar dengan hidung kecil yang tajam itu ia dapat dari ayahnya. Ayahnya yang besar kemungkinan orang kaukasia itu. Tidak mengherankan jika Ohnuma tergila-gila padanya.
"Pikiranmu meluber, Ossan."
Aku nyaris tersedak lidahku sendiri. Lantas kutegakkan punggung dan bicara hati-hati, "Seberapa banyak?"
"Kao."
Oh, Tuhan syukurlah.
"Menurutmu Kao menyukaiku?"
Ada jeda beberapa saat tatkala aku mendengarnya. Katagiri Aine bisa jadi sangat buta untuk tidak menyadarinya, "Tatapannya berbeda, kau seharusnya tahu."
Suara grasak-grusuk dari kepalanya yang menggeleng. "Dia menyebutku tolol."
"Kurasa itu hanya caranya." tunggu, "Kenapa dia menyebutmu tolol?"
"Karena membiarkan kau mengambilkan kursi rodaku."
Masih tentang yang kemarin, nampaknya.
Katagiri Aine melanjutkan, "Katanya, kemungkinan besar kau bisa mendorong kursiku dan membuatku tertabrak gerbang."
Ah, ya. Area parkir mobil kemarin memang agak menanjak. Jika kursi rodanya dilepas dengan ketinggian seperti itu, mungkin wajahnya akan membiru karena menabrak gerbang. "Menurutmu aku akan begitu?"
Dia bisa jadi mengangguk sambil tertawa sekarang. Hanya saja helaan kali ini tidak terdengar seperti tawa. "Kau mendorongku saat di lobi kan?"
"Karena kau yang mau."
"Dan kau juga menangkap kursiku lagi!"
Aku tercenung sesaat. Saat menunggu mobil kemarin, gadis itu menjadi sangat bosan dan tidak berhenti merengek untuk digerakkan kursinya. Dengan jengkel aku memang mendorongnya, tetapi tidak sadar ternyata kekuatan kakiku sekuat itu. Kursinya bergulir cukup jauh, hingga kesadaran menembakku dan aku segera bangkit menariknya sebelum ia menabrak kaca rumah sakit.
Dia tertawa, meski begitu.
"Tidak seharusnya kau percaya denganku."
"Memang tidak." gadis itu menjawab singkat. "Aku baru percaya setelah kau mengirimi kue itu!"
Ah, "Oh. Jadi ini inti dari pembicaraan ini?"
Gadis itu tertawa geli, "Iya dong! Janji adalah janji. Aku melewati operasiku dengan lancar, dan kue itu sebagian penyebabnya."
Aku ikut terkekeh, "Apa yang kau suka?"
"Apa pun! Aku suka semuanya yang manis!"
"Baiklah. Akan kukirimi besok."
"Di sekolah? You've got some nerve, huh?"
"Why shouldn't I? Are you taken somehow? Apa aku harus izin atau semacamnya?"
"You could take me if you want."
Aku meringis, "Tidak tertarik. Sebentar, apa kau baru menggodaku?"
"Sama denganmu, aku juga tidak tertarik. Si anak kelas satu bernama Hongawa Mayu itu boleh lah."
Aku mengerjab, "Honma? Kau menyukai tipe pemalas yang seperti itu?"
"Kukira obrolan ini baru akan diakhiri?"
"Tidak, tidak. Aku tidak suka anak itu, aku ingin tahu kenapa banyak yang menyukainya."
"Yah," Katagiri Aine terdengar seperti menimang-nimang. Suara sendok yang bersenggolan dengan cangkir mengisi sementara kekosongan antara kami, "Dia tinggi dan tampan. Dia juga jago hampir semua olahraga, padahal anak pindahan. Tapi dia kebanyakan tidak mengerti dan bisa secara natural! Sifat polos yang banyak tidak tahunya itu yang menggemaskan! Aku ingin mengurusi laki-laki yang seperti itu."
"Seleramu aneh."
Gadis itu tertawa, "Apa kita sudah cukup dekat sampai menceritakan satu sama lain tipe orang yang kita suka?" Tidak, tentu saja ti-- "Bagaimana denganmu, Ossan? Gadis seperti apa yang kau sukai? Ah, tidak mesti gadis sih--"
Urat di ujung kepalaku terasa berkedut, "Apa maksud ucapanmu barusan, hm?"
"Hehe, bukan apa-apa Ossan." aku bisa membayangkan senyuman pipi ke pipi yang membuat matanya seketika menjadi sipit itu. "Sudah ya, Ossan. Aku mau terapi jalan."
Terapi jalan, huh. Apa tidak apa jika aku mengucapkan hati-hati—
"Take care. Sampai jumpa besok di sekolah, Ossan!"
Dia bicara duluan, "Kau juga." tunggu sangat sebentar. "Kita akan bertemu di sekolah?"
"Kue."
"Ah iya, kue."
1800 words
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top