16 - Unfathomed yet, a pleasant meeting
Senin, 15 November
Tiga hari berlalu sejak Katagiri Aine menangis sesegukan di ranjang rehabilitasinya. Masih kuingat tarikan napasnya yang payah, terbalutkan oleh air mata dan kalimat yang meminta kepastian. Dia hanya ingin ayahnya, tetapi sayangnya, bukan ayahnya sosok yang memeluknya hari itu.
Aku belum menjenguknya setelah pulih dari bius. Belum sempat juga aku mengirimkan kue yang pernah kujanjikan. Jadwal latihan voli belakangan semakin menggila mendekati turnamen antar prefektur pada akhir tahun. Sebenarnya pelatih sudah mengamankan kursi untukku, tapi aku pun belum mengabarkannya ke tim. Akan sangat gawat jika Kajihara yang sekali lagi terpilih menjadi setter lagi tahun ini. Aku lebih memilih Ohnuma, karena Kajihara terlalu banyak menyimpan dendam tak terjelaskan padaku.
Tetapi entahlah, belakangan ini Ohnuma juga sulit diajak bekerja sama. Baik dia dan Kajihara sama saja; keduanya punya gadis tambatan hati yang membuat fokus latihan mereka menjadi buyar. Terkadang aku heran, apa mereka benar-benar ingin menjadi profesional atau tidak.
Sekolah diliburkan setelah skandal anak baru yang terbunuh terkuak ke media. Aku tidak mengikuti perkembangan ceritanya, tetapi beberapa dari Manabu Inkai terlibat dalam kasus ini. Sekolah kami seakan sedang diserang dari berbagai arah, padahal turnamen tinggal beberapa minggu lagi. Menggunakan atribut sekolah pada masa seperti ini sangat berbahaya, karena itulah aku jogging dengan jaket timnas hari ini. Bukan ide bagus juga tentunya, banyak yang menoleh penasaran.
Lari pagiku terhenti ketika sebuah getaran menghentikan sepihak musik yang kuputar. Aku mengira hanya Takumi-san yang menyuruhku pulang cepat sebab bibi akan berkunjung, tetapi penelpon sebenarnya membuatku lebih melebarkan mata.
Nyonya Katagiri
Aku tidak berpikir panjang dan segera menggulirkan tombol hijau, "Osawa di sini."
"Selamat pagi, Osawa-kun. Maaf sekali mengganggu pagimu." suara ibu gadis itu terdengar di ujung sana. Nadanya berbisik, seperti dia tidak ingin mengganggu jam pagi orang lain di tempat.
"Tidak apa," ucapku sambil duduk di kursi terdekat bersama orang-orang lain. "Ada yang bisa kubantu?"
Nyonya Katagiri terdiam. Aku yakin dia bukan tipe yang menelpon karena senggang, dia pasti punya urusan. "Anu, jadi Ain mau hospital discharge pagi ini. Tapi rumah sakit baru bisa memulangkan dengan tanda tangan orang yang mengatasnamakan kamarnya. Bisakah kau membantu sebentar?"
"Tentunya." aku tidak berpikir panjang atas tawaran itu, dan aku baru menyadari kejanggalannya sekarang. Meski begitu, aku melanjutkan.
"Aku akan tiba sebentar lagi."
...
Aku tiba beberapa menit dengan melanjutkan jalanku. Lokasi rumah sakit masih berada satu kompleks dengan perumahan, sehingga tidak akan memakan sampai setengah jam untuk sampai. Nyonya Katagiri sudah menunggu di lobi, dan segera membawaku untuk membantunya menyelesaikan urusan yang membawaku ke tempat ini.
"Kukira kamu masih tidur, mumpung libur begitu." Nyonya Katagiri mengecek kembali kertas yang baru ia isi, lalu menyerahkannya padaku dengan senyuman. "Naif berpikir kamu semalas Ain kami, Osawa-san."
Aku menerima kertas tersebut, kembali bertukar senyum dengan beliau. Beliau menggagap, nampaknya baru menyadari kalimatnya yang membingungkan.
"Itu pujian tentunya, Osawa-san." beliau tersenyum kecil, dan aku menandatangani kertasnya. Kami menyelesaikan kertas ini tidak lama, sehingga kurasa akan sangat tidak sopan jika tidak memperpanjang obrolan kami.
"How is she?" topik itu yang terlintas duluan, bodohnya. "Tunggu. Maksudku, bagaimana kabarnya?"
Tidak membantu.
"Better than yesterday, I suppose." Nyonya Katagiri menjawab cepat dengan kedua tangan terlipat di atas tangan. Aku nyaris melupakan kemungkinan besar bahwa suaminya kaukasian. "Dia masih harus menggunakan kursi roda, sebab pinggangnya yang nampaknya belum terbiasa. Kemungkinan Kamis dia sudah bisa kembali normal lagi, itu rencananya."
Kamis, huh? "Lusa? Kurasa Anda sedikit buru-buru soal pemulihannya ini. Maaf, tapi aku yakini dia seharusnya keluar rumah sakit akhir minggu ini minimalnya."
Tatapan Nyonya Katagiri mendadak meredup. Helaan pada dadanya tertahan, dan ia memakan waktu hanya untuk menunduk dan berpikir ulang untuk melanjutkan bicara. Nampaknya aku salah bicara, mood pembicaraan ini menjadi jatuh drastis.
Nyonya Katagiri sadar dari lamunannya dengan tarikan napas panjang. Dia agak kikuk dengan dirinya sendiri. Ketika sekali lagi tatapannya mengarah ke padaku, dia tersenyum canggung.
"Kau mau melihatnya?"
Tawaran tadi sama sekali tidak terlintas sedikitpun. Apakah aku perlu melihatnya? Aku tidak membawa apa-apa, aku tidak membawa kuenya. Aku yakin jika kami bertemu maka hal pertama yang sangat gadis itu harapkan adalah Count la Dupont yang kujanjikan. Tapi aku datang dengan tangan kosong, dia pasti akan merajuk seperti waktu itu.
"Atau ...." Nyonya Katagiri membuyarkan lamunanku. Bibirnya yang kecil membentuk senyuman, kedua matanya menatapku hati-hati. "Atau bisakah kau membantu kami membawa turun bawaan? Barang kami ternyata terlalu banyak."
"Tentunya." aku menjawab cepat yang satu itu. Terlalu cepat sampai aku menggigit bagian dalam bibirku, "Aku sedang tidak ada kegiatan juga."
Nyonya Katagiri mempertahankan senyumannya, kali ini dengan mata melebar penuh binar terima kasih. Beliau segera berdiri dan mengibaskan tangannya, menyuruhku untuk cepat-cepat mengekori. Entah kenapa dari tatapan dan caranya menyuruhku untuk cepat, sepertinya beliau salah menduga sesuatu. Pertemuan kali ini, bukan karena aku ingin menemui putrinya.
...
Mungkin, ada sedikit keinginan di hatiku untuk melihatnya. Terbukti dari langkahku yang entah kenapa segera menghampirinya yang terduduk diam di kursi rodanya. Beberapa barang bawaan tertumpuk di pangkuannya, membuatku tidak bisa melihat wajah itu. Berdalih akan membawakan barang-barang ini, aku menurunkan tas selimut dan sebuah ransel merah muda dari pangkuannya.
Gadis ini sensitif. Ketika pergerakanku rupanya juga menarik selimut yang tersampir di pundaknya, dia pun terbangun dengan kedipan lambat. Dia melihatku, dan aku sungguh menduga dia akan menagih kue ini.
"Osawa-san?" atau mungkin, dia lupa. Katagiri tersenyum kecil, "Jaketnya bagus. Orangnya enggak."
"Bagaimana bisa? Jaket ini sudah sepaket dengan siapapun yang mengenakannya," balasku, dan mendapat respon tawaan kecil darinya.
"Dulu aku sangat ingin jaket itu." dia bersandar sambil menarik kembali selimutnya. Nampak kembali bersiap untuk mendengkur kembali. "Ternyata banyak juga yang menjual versi palsunya, jadi tidak spesial lagi."
Mata Katagiri berkedip pelan. "Kenapa kau di sini sepagi ini? Melihatku?"
"Membantu ibumu dengan bawaan ini, sayangnya." gadis itu mencibir mendengarnya.
"Aku tahu, aku hanya sedang menggodamu saja."
Aku menatapnya, jelas sekali kebingungan. "You're bad at flirting, little lady."
"Seakan-akan kau bisa melakukannya lebih baik dariku!"
Aku menggeleng kaku, "Aku tidak bermain permainanmu."
"Aku juga tidak mengajakmu!"
Nyonya Besar Katagiri tiba, katanya baru memberi oleh-oleh makanan untuk para suster. Ketika pandangan kami bertemu, wanita itu berhenti secara dramatis di ambang pintu yang terbuka. Langkahnya lebar, dan aku sudah bersiap mendapat serangan apa pun dari wanita ini.
Serangan pagi ini: cubitan di kedua pipi
"Kain-kun! Bagaimana kabarmu? Hampir dua hari kita tidak jumpa, tapi rasanya seperti setahun!" Nyonya Besar terus-terusan mencubitku dengan puas. Dari sudut mataku bisa kulihat Nona Katagiri itu tersenyum menikmati penderitaan yang menderaku. Ah, biarlah.
"Ossan jadi kuli angkut kita pagi ini, Nek."
Aku melotot ke gadis itu—well, dia tidak sepenuhnya salah, tapi dia memanggilku Ossan dan kuli. Itu dua hal yang tidak bisa kuterima. Mimik wajah yang dia keluarkan setelah membuatku mengalah.
"Ara! Benarkah? Ah, kau pria muda dengan otot lengan yang baik, Kain-kun!" dia menyodorkan tas baju, tas gendong, beserta tas binatu selimut padaku. "Semoga tas dan Ain ini tidak akan membuatmu lelah!"
Aku berkedip, karena tidak kuasa menunjukkan ekspresi kikuk ini pada Nyonya Besar, aku pun berbalik pada Katagiri. Tas-tas ini? Dan aku juga harus mendorongmu?
Gadis itu mengangguk, anggukan penuh antusiasme itu membuatku meringis.
"Selimutnya aku pangku aja! Sisanya dibawa ya, Ossan!"
"Tidak bisakah kau ..." aku sempat berpikir, tapi biarlah. "Tidak bisakah kau bergerak sendiri? Dengan kursi roda itu?"
"Oh, jangan gitu Ossan. Berat badanku tidak sampai lima puluh, aku tentu tidak akan membuat orang sepertimu kelelahan, kan?"
Berat badannya ... tidak sampai lima puluh? Entahlah, gadis ini memang lebih pendek dariku tapi dia masih terhitung tinggi untuk ukuran gadis lain. Berat badan sekecil itu tidak ideal! Bahkan, seharusnya itu kurang gizi.
Sekarang aku tahu kenapa rusuknya dapat patah semudah itu.
"Alright then," mengalah, aku pun mengenakan ransel merah mudanya. Ransel, merah mudanya. "It'll be bumpy road, I mind you."
"Kasar banget dih. Treat me like the fragile princess I am."
Aku mengerutkan dahi. Entah apa yang kupikirkan, aku memutar kursi rodanya dengan sangat cepat dan nyaris membuatnya terbanting. Aku ingin memberinya sedikit pelajaran karena tidak bisa berhenti bercanda, tapi justru, dia tertawa lebar-lebar.
Dia menikmati gerakan mendadak yang hampir membanting tubuhnya lagi. Tawaannya puas dan bahagia. Tawa yang membuatku sadar, kenapa Ohnuma sangat tergila-gila padanya.
Apa yang aku pikirkan?
"Kau menikmatinya?!"
"Iya?" gadis itu berkedip polos, "Aku sudah yakin kau akan menangkap kursiku lagi. Tunggu, kau berniat membantingku?"
Tuhan.
Aku membalikkan kursinya menuju pintu ketika kedua Nyonya Katagiri mulai mengeluarkan barang. Karena dia yang meminta, maka kuletakkan tas selimut di pangkuannya, membiarkan dia di terduduk di koridor sendiri, sementara aku membantu Nyonya Katagiri mengeluarkan barang.
1385 words
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top