12 - Dia yang Menjatuhkan dengan Dalih Kuasa


Pandanganku masih kabur ketika kelopak mataku setengah terbuka. Nenek dan Kaa-san tidur di kedua sisi tubuhku, sementara Akana tertidur meringkuk di dekat kaki. Jam berapa ini? Apa ini sudah larut? Cahaya balkon di luar masih belum redup, seharusnya ini tidak semalam itu.

Hal yang kusadari setelah mengumpulkan nyawa adalah bebat di tubuhku bertambah. Pantas saja kepalaku terasa begitu berat. Tidak kusangka benturan tadi sebegitu kuatnya ....

Sialan Morin itu.

"Ain? Berlian kecilku, kamu tidak apa?!"

Seruan Nenek lantas membangunkan Kaa-san dan Akana yang terlelap. Ketiganya buru-buru memeluk tubuhku seakan aku baru saja selamat dari ekspedisi ke planet lain.

Napasku terlalu berat, begitu pula kepalaku. Aku mengangkat tanganku meminta mereka memberiku ruang.

"Putra Morinobu sialan itu! Kenapa dia bisa datang?! Kalian masih berhubungan?!"

Aku menatap Nenek kosong, agak kecewa. "Jika putus kontak selama hampir dua musim disebut berhubungan, maka ya."

"Oin." Kaa-san memeluk leherku, tetapi tidak lama. Dibanding Nenek, Kaa-san punya penguasaan emosi yang jauh lebih baik. Dia menatapku, seakan memastikan apakah aku masih mengingat mereka setelah benturan itu. Sesaat kemudian, dia tersenyum. "Kaa-san memasak bubur. Biar kupanaskan sebentar, kamu makan baru tidur lagi boleh. Oh tunggu, aku harus menghubungi Osawa itu."

Telingaku mendadak naik, kukoreksi, seakan naik.

"Oh, biar aku yang melakukannya! Kau masak saja, Kayo."

Aku tidak mengerti urusan apa yang membawa mereka untuk menghubungi Paman ... tapi tunggu, apa ini Osawa Kain yang mereka bicarakan? Ataukah ada Osawa yang lain?

Apapun itu, Nenek sekarang sudah menempelkan ponselnya pada telinga. Beberapa saat senyumannya begitu cerah. Seingatku dia tidak tersenyum secerah itu ketika aku sadar barusan. Ada apa ini?

"Ya, Ain sudah bangun. Terima kasih banyak atas bantuanmu! Iya, iya. Sepertinya dia sudah bisa mengobrol dengan normal .... Eh, kau ingin bicara dengannya?"

Kenapa dengan tatapan Nenek itu ....

"Tentu saja, tunggu sebentar."

Nenek menyerahkan ponselnya, yang langsung kutatap sebegitu horornya. Terakhir yang kuingat, dia melakukannya untuk membuatku bicara dengan bibinya bibinya. Dan sama seperti yang sebelumnya, aku tidak akan pernah bisa mengelak.

Aku menyandarkan kepalaku kembali, dan menerima ponsel itu. Beberapa saat membiarkannya menempel di telinga, akhirnya kuputuskan untuk bicara.

"Halo?"

"Ah, Katagiri. Sudah lebih baik, I presume?"

"Hebat sekali. Paman tidak hanya peduli, tapi juga mengenal namaku sekarang?"

"Aku membaca papan di ranjang rawatmu."

"Begitu?"

Terjadi keheningan berarti. Nafasnya terdengar tenang, terlalu tenang sampai rasanya ingin memejamkan pada sebentar dan ti—

"Omong-omong, siapa dia? Dan sebutan apa yang dia berikan padaku barusan?"

"Aku rasa Paman cukup mendengar. Dia Morinobu, siswa Tengan Izumi."

"Apa maksudnya dengan sebutan tadi?"

"Spotter," jawabku cepat, "Jadi yah, di gimnastik setiap rutinitas memiliki kesempatan untuk mencederai atletnya. Dan ... spotter berperan untuk mengurangi kemungkinan cedera lebih buruk dengan semacam 'menangkap' begitu. Aku harap penjelasanku mudah dimengerti."

Sepertinya tidak, padahal aku berharap banyak dari otaknya yang cemerlang itu. Paman Osawa hanya diam, terlalu hening bahkan kali ini suara nafasnya tidak terdengar. Bicara soal itu, apa dia menahan nafasnya? Apa dia secara tidak sengaja mematikan panggilan ini ....

"Katagiri, kau dari kubu atlet?"

Ah, oh–ternyata dia baru tahu? "Iya? Aku di gimnastik."

"Tuhan." Dia terdengar kecewa. Sangat kecewa, "Are you good?"

"Enggak juga. Aku sangat mengantuk dan sekarang sedang menunggu bubur-"

"Bukan, maksudku. Apa kau ... inti di tim mu?"

Aku menjeda, akhirnya masa ketika dia menanyakan ini muncul juga. Bagiku yang seorang non ambis, mungkin fakta ini sangat biasa saja. Namun, untuk Osawa Kain ....

"Oh." dia terdengar terpukul, jika aku tidak salah mengartikan. "Does it means that ... I've just ... broked a National Treasure?"

Responnya sama sekali tidak kuduga, apalagi sebutan yang norak itu. "Oh, itu alasannya kau peduli soal hari ini!"

"Kau tahu," Paman Osawa menghela napas, "Aku tidak sedingin itu. Seorang gadis kecil jatuh dan tidak bergerak, orang macam mana yang tidak akan peduli?"

"Kau. Jika saja tidak tahu kalau aku itu atlet." aku mendengus dan sebagai balasannya, entah kenapa aku mendengar suara kekehan. "Kau baru saja tertawa, Paman! Kau sungguhan tidak peduli!"

"Dari kemarin kamu minta saya sedikit lebih peduli, sekarang kaget karena sudah mendapatkannya? Kamu itu ...," kenapa ini, kenapa dia mendadak menggunakan saya-kamu seperti dosen?

Apa-apaan itu? Sepertinya dia salah tangkap soal peduli yang kubicarakan waktu itu, "Apa lagi? Ada lagi yang ingin Paman bicarakan? Aku mau makan."

"Berhenti memanggilku Paman."

"Salahmu seperti om-om."

"Kita hanya berbeda satu tahun?"

"Penampilanmu."

Paman Osawa terdengar mendesah lelah, "Terserah. Matikan saja."

"Oke."

Aku putuskan untuk mematikan panggilan, padahal Kaa-san belum selesai dengan makanannya. Tidak ada inti dari pembicaraan barusan, hanya kenyataan bahwa Paman Osawa baru tahu aku adalah tim inti gimnastik sekolahan. Kepalaku masih terasa berat, sial. Terjadi lagi ....

"Ain! Seharusnya kamu mengucapkan salam!"

Aku melotot pada Nenek sekali lagi, "Apa? Pada Paman Osawa?"

"Ya!"

Sial. Ada apa dengan Nenek? Jika saja dia tahu Paman Osawa lah yang menyebabkanku begini, tidak mungkin sekali reaksinya akan sepositif ini. Dia selalu begitu, sampai-sampai aku kesulitan mendapat teman semasa sekolah dasar yang sama-sama menyukai seni ballet. Hal yang sama terjadi juga pada Morin, Nenek benci sekali dia. Khususnya, alasan itu dapat ku benarkan. Sisanya? Dia hanya overprotektif.

Aku hendak melempar ponsel Nenek ke arah ujung kasurku ketika mendadak ponselnya kembali bergetar. Reflek, aku menoleh pada layarnya dan seketika, emosiku kembali naik karena dua hal!

Pertama:

"Si Manis, Osawa-kun. Apa-apaan ini, Nek?!"

Nenek sempat-sempatnya tersenyum seperti gadis muda. Lihat saja sampai kubongkar identitasnya yang asli, dia mungkin akan segera mengganti nama ini! Jangankan! Dia bahkan akan menghapus dan memblokirnya.

Sebelum aku mengembalikan ponselnya aku putuskan untuk menghilangkan hal kedua yang membuat emosiku naik. Setelah selesai kulempar ponsel itu ke ujung kasur, dan memutuskan meringkuk sampai makanan siap.

...

Hal kedua yang membuat emosiku naik:

Pesan Singkat

Si Manis Osawa-kun

"Titipkan ucapan selamat malamku untuknya. Dia mungkin akan tidur nyenyak jika diberi kompres di area tengkuknya. Jika diperbolehkan, setelah sparring besok saya ingin berkunjung kembali. Saya tunggu ijinnya, terima kasih. Selamat malam."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top