8th letter: we called this as love

October 6th 2020

NATHAN, tolong.

Aku rasa aku sedang dimabuk cinta.

Sekarang pukul 11 malam, mataku sudah mengantuk menuntut minta tidur, tapi jantungku tak berhenti berdegup kencang dan bibirku masih tak dapat menahan senyum bila mengingat peristiwa hari ini. Aku butuh sesuatu untuk melampiaskan emosiku, jadi Nathan, anggaplah ini sebagai tempat ceritaku.

'Kencan' hari ini berjalan dengan baik, bahkan jauh melampaui ekspetasi. Aku ingin langsung ke bagian manisnya, tapi nanti kamu pasti bingung (entah mengapa aku peduli, toh kamu tidak akan membaca ini). Biar kuberi tahu satu hal, Alex hari ini berubah menjadi pria paling manis dan romantis yang pernah kukenal.

Sesuai perjanjian kami kemarin, ia menjemputku pukul 3 tepat, sempat juga basa-basi dan pamit sama Mama. Di luar dugaanku, ia membawa Honda Jazz-nya (tumben-tumben karena ia paling malas menyetir mobil), katanya supaya sesekali aku bisa pakai rok. Oke, poin plus karena sudah membuatku senang. Aku memang selalu suka pakai rok, tapi harus menahan diri karena kami sering jalan pakai motor. Entah ada angin apa hari ini dia ingin membuatku merasa spesial.

Alex, seperti biasa, mengenakan kemeja fanel kotak-kotak biru dongker dengan celana jeans putih. Rambutnya dipoles sedemikian rupa hingga menampilkan kening. Sekilas melihatnya, perutku langsung mulas. Rasanya seperti jutaan kupu-kupu mengepakkan sayap di sana.

Awalnya, kami mencari gaun di SOGO. Tapi, model di sana terlalu mewah dan mencolok. Menurut Alex semua sama-sama bagus, sampai aku bilang, "Kalau pakai begini, nanti bisa-bisa aku yang dikira pengantin wanita."

Ia tertawa setuju.

Kami kemudian memutuskan naik satu lantai ke toko-toko butik. Ada satu dress cantik selutut bewarna merah. Aku menyukai modelnya, tapi urung mencoba saat melihat harganya. Dua juta. Bayangkan, Nathan, dua juta untuk sebuah kain yang dimodif.

Aku hendak berjalan keluar toko, tapi Alex menahan tanganku.

"Kenapa nggak jadi coba? Kelihatannya modelnya bagus di badan kamu."

"Nggak ah, jangan ambil yang itu," aku berjalan mendekat, berbisik, "terlalu pricey."

"Coba aja dulu, aku mau lihat." Tanpa pikir panjang, Alex langsung mengambil dress itu dan menyerahkannya padaku. Ia berpaling pada asisten toko, "Mbak, yang ini bisa di-try on, 'kan?"

"Silakan, Kak. Sebelah sini."

Walau setengah hati, aku tetap mencobanya. Sesuai dugaanku, dress itu terasa sangat nyaman dan ringan saat dikenakan. Kainnya lembut, tidak bikin gatal, renda-rendanya juga jatuh sesuai di atas lutut, memberi kesan feminin sekaligus elegan yang tidak kutemukan pada dress-dress lain. Dan persis kata Alex tadi, ukurannya sangat pas di tubuhku. Menampilkan bahu dan lekukan tulang selangkaku dengan sempurna. Aku melangkah keluar dari ruang ganti, sedikit tersipu saat Alex memandangiku lekat-lekat. "Gimana?"

Ia tampak terperangah untuk beberapa detik, lalu mengalihkan pandang pada lantai. "..."

"Hah? Kenapa?" Aku langsung mengernyit. Kukira ini bagus, tapi Alex sepertinya punya pendapat lain. "Aneh, ya? Terlalu over? Aku ganti aja, ya."

"Jangan!" Ia gegalapan. Di luar dugaanku, Alex kemudian berjalan mendekat, menyisakan 2 senti di wajahku. Aku menahan napas, ia sangat dekat. Terlalu dekat. Wangi parfumnya menggerayai hidungku. Ia menatap mataku dengan serius. Senyumnya perlahan naik. "Bagus. Cantik―dress ini cantik. Kamu cantik."

Detik setelah mengucapkan itu, ia langsung mundur dan mengalihkan pandang. Samar-samar kulihat pipinya merah padam. Alex beralih pada salah seorang pekerja di sana, berdeham singkat sebelum berkata, "Saya mau baju itu, ukuran itu."

Sementara ia pergi mengurus pembayaran, aku masih berdiri dengan jantung berdebar gila-gilaan. Pipiku terasa panas. Jarang-jarang Alex memujiku begini. Sudah kubilang sebelumnya, ia tipe pria yang kaku dan jarang melempar pujian.

Tapi hari ini, ia sangat―sangat berbeda. Alex mendadak berubah menjadi begitu manis dan gentle, romantis dan perhatian. Saat kami memutuskan untuk makan di restoran sushi pun, tanpa disuruh Alex berinisiatif untuk membuatkan racikan bumbu kesukaanku: soyu dan taburan bubuk cabai, lalu menyodorkannya padaku.

Ini bahasa cintanya: melalui aksi dan tindakan.

Saat aku meminum bubble tea dan tersedak, ia menepuk-nepuk punggungku pelan lalu mengelusnya. Diiringi dengan omelan ala bapak-bapak, "Kalau minum pelan-pelan, jangan langsung ditelan. Apalagi boba, bahaya kalau keselek gini."―persis seperti omelan Papaku, tapi anehnya aku malah tersipu.

Biasanya ia super cuek, agak mencurigakan ia bersikap semanis dan sebaik ini sekarang.

Dan ya, aku suka.

Apa aku jatuh cinta, Nathan? Entahlah. Aku tak ingat seperti apa rasanya jatuh cinta. Sudah lama, lama sekali, sejak terakhir aku masuk dalam jebakan kupu-kupu cinta. Bertahun-tahun terakhir aku dihajar oleh kerja, pekerjaan, kesibukan, kerja lagi, lalu belajar dan kerja. Aku sampai lupa seperti apa rasanya ketika lambung seolah diserbu ribuan bahkan puluhan ribu sayap kupu-kupu. Aku sampai lupa bagaimana lambungku selalu melilit tiap mencium aroma parfum pria yang kusukai. Aku sampai lupa bagaimana rasa senang yang meletup-letup dalam dada ketika melihat presensi pemuda yang kucinta.

Tapi kurasa hari ini, aku menemukan jawabannya ketika aku bersama Alex.

Aku harap kamu juga seperti ini Nathan, dengan wanita yang kamu temui dan kamu sukai sekarang―siapapun dia, aku harap kamu juga sebahagia aku ketika bertemu dengannya.

Yang paling membuatku berbunga-bunga dan rasanya ingin selalu tersenyum bak orang gila adalah momen-momen ketika hendak pulang. Detik-detik terakhir yang mendebarkan. Kami memasuki mobil. Tak seperti biasanya, Alex memintaku untuk tidak langsung masuk ketika mobilnya sudah berhenti di depan rumah.

"Maaf ya, selama ini belum bisa jadi cowok yang kamu mau."

"Hah? Tiba-tiba banget?"

Menghiraukan ucapanku, ia melanjutkan, "Aku nggak romantis, nggak jago gombal, nggak sweet kayak Reyhan, kadang juga slow respon kalau balas chat."

"Kamu kenapa, sih? Salah makan apa gimana?" gurauku, yang saat itu merasa gugup. Ditatap Alex dengan serius adalah salah satu kelemahanku, rupanya. "Tumben-tumben mellow begini. Habis diruqiyah Justin?"

Tapi ia sama sekali tidak termakan candaanku. Tangannya bergerak meraih tanganku. "Aku nggak tahu sudah berapa lama aku nunda ini. Tapi, aku sayang sama kamu, Ra. Aku memang bukan tipikal lelaki yang mudah ungkapin perasaan, tapi semoga ini bisa memberitahu kamu semuanya."

Lalu tanpa aba-aba, terjadi begitu cepat, waktu mendadak berhenti ketika tiba-tiba Alex memajukan tubuh. Wangi parfumnya menyapu hidungku. Kemudian, itu terjadi. Bibirnya menyentuh bibirku. Satu kecupan singkat. Lembut. Hangat. Canggung. Panas. Berapi-api dalam hatiku. Hitungan detik yang terus terngiang bagai putaran scene dalam sebuah movie yang sengaja diulang-ulang.

Alex mencuri first kiss-ku.

Alex. Pria itu. "Bocah ingusan" itu mencuri ciuman pertamaku.

"Be mine, please?"

Aku menatapnya. Dalam dua bola mata itu, tidak ada keraguan. Tidak ada getar rasa malu seperti yang biasa tampak saat ia mengatakan hal-hal romantis. Ini sama sekali bukan Alex―ini tidak terasa seperti Alex.

Tapi aku hanya terpaku, menunduk, dan mengangguk. Suara apapun tak keluar dari tenggorokanku.

Alex maju, membukakan seat belt-ku dengan lembut. "Besok ke wedding sepupumu pakai gaun itu, ya. Aku jamin, kamu akan jadi pusat perhatian di sana, bahkan lebih cantik dari pengantinnya sendiri."

Ia terkekeh oleh candaannya sendiri, tapi aku hanya bisa mengulas senyum kaku. Jantungku berdebar gila-gilaan, Mama bertanya banyak hal terkait Alex dan kencan, tetapi aku tidak kuasa menjawab dan langsung berlari histeris ke kamar.

Mama penasaran setengah mati, tapi serius, untuk saat ini semua masih terasa tidak nyata untukku. Kencan itu. Kecupan itu. Lalu, tembakan itu.

Aku dan Alex resmi jadian.

Nathan, kamu menjadi orang pertama yang kuceritakan ini. Tapi ya, aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada seorang pria bernama Alexander Kristoff, pada senyumannya, tatapannya, sikapnya, suaranya―semua candu bagiku. Aku rasa aku akan kesulitan tidur setelah ini. Aku akan menghabiskan waktu untuk membaca ulang semua pesanku dengan Alex dari awal.

Dan apabila tadi di awal surat, aku sempat bingung dengan pertanyaan: apa aku sedang jatuh cinta? Apa ini benar-benar cinta?

Sekarang aku akan menjawabnya dengan yakin dan tegas: Ya, aku jatuh cinta.

Ya, ini benar-benar cinta.



―dari temanmu yang sedang kenyang oleh asmara,

Sora. []

imagine wonu stared at you and say, "be mine, please?"

akakskksak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top