4th letter: rival

April, 13th 202


JONATHAN Cliff, aku baru saja membaca pesan lama kita dari SMA.

Aku tidak biasanya mengaku hal seperti ini pada lelaki (kamu yang pertama, by the way), jadi kurasa kamu bisa merasa tersanjung—atau geli, tergantung sudut pandang apa kamu memandangnya. Sumpah, rasanya cringe dan aneh membaca gaya ketikkanku yang alay dulu. Bisa-bisanya aku mengirim voice note padamu! ARGH, diriku di masa depan menyesali itu.

Tapi tanpa VN-ku, mungkin kita tidak akan mengobrol hari itu. 

By the way, aku menulis surat ini setelah menerima telepon dari Keira. Niatnya, hanya sekadar ngobrol sembari catch up kabar satu sama lain, tapi kami malah membicarakanmu. Kembali, Keira mengungkit semua kronologi acara perpisahan kecil-kecilan di bandara beberapa tahun silam--hari terakhir ia bertemu tatap muka denganmu. Katanya, kamu terlihat ... berbeda.

Bukan dalam arti baik, maksudnya. Justru sebaliknya, Kei bilang hari itu, kamu terlihat lebih kurus, kantung matamu hitam dan tebal, wajahmu sedikit pucat. Kamu juga anehnya tidak seberisik dulu. Gerak-gerikmu malah terlihat lelah dan lemas, seperti orang sakit tipes. Aku bertanya-tanya, apa kamu benar-benar sakit tipes, Nath?

Pandanganmu kosong, kamu lebih sering melamun. Anehnya, walau tidak banyak ngomong, kamu tetap menyempatkan diri menanyakanku. Kalau tidak salah ingat, kira-kira seperti ini percakapannya:

Kei: "Ya elah, Jon. Kusut banget tuh muka, kayak belum tidur seabad. Sibuk pindahan, ya?"

Kamu tidak membalas candaannya seperti yang biasa kamu lakukan. Alih-alih, kamu malah bertanya, "Sora juga datang?"

Kei: "Sora? Enggak, dia udah ada janji katanya."

Lalu, kamu tak lagi membalas. Kei tak tahu kenapa kamu menanyakan itu, atau reaksimu setelah menanyakan itu. Katanya, ekspresimu jadi sulit dibaca dan untuk sisa hari itu kamu bungkam seribu bahasa.

Ini jadi mengingatkanku, Nathan, akan interaksi frenemy kita di kelas 10--saat-saat paling canggung dan berjarak dalam sejarah pertemanan kita. Oh, atau lebih tepatnya, hanya aku yang menganggapmu sebagai frenemy dulu. Dalam setiap kesempatan, sebisa mungkin aku menghindari interaksi denganmu. Saat kamu bicara, aku diam. Saat kamu diam, aku bicara. Saat kamu berjalan ke kanan, aku ke kiri. Saat kamu diam di kelas, aku pergi ke kantin. Apapun kulakukan untuk meminimalisir obrolan denganmu.

Tapi apalah daya, hanya ada lima belas siswa dalam kelas kita. Tentu ada banyak situasi dimana aku 'terjebak' dan mau tak mau harus berkomunikasi denganmu. Saat itu pun, aku mencoba untuk berbicara sesingkat-singkatnya dengan raut wajah sejutek-juteknya.

Seperti saat seminar kamu bertanya, "Sebentar lagi jadwal matpel apa, ya?"

Aku hanya mengendikkan bahu pura-pura tak dengar, lalu segera pergi.

Saat kerja kelompok Kimia dan kamu mengusulkan ide, "Kayaknya, nomor 3 harus pakai rumus mol sama dengan massa per MR, deh."

Aku berdecak, menyalak galak, "Yang diketahui cuman volume, ya nggak mungkin pakai rumus mol biasa."

Atau, saat kamu berusaha membuat candaan tentang sesuatu (aku lupa tentang apa) saat kelas Bahasa Indonesia dan satu kelas terbahak, tapi aku malah diam pura-pura tak mendengar. Langsung Kei berbisik padaku, "Kamu marah sama Jonathan?" Tapi aku hanya menggeleng samar. Kei pun mengerti, tidak mendesak lebih jauh.

Sekarang, aku akan menjelaskan semuanya.

Perihal mengapa dulu, aku bersikap seolah-olah membencimu.

Tapi pertama-tama, kamu harus tahu:

Nathan, aku tidak, tidak pernah benci padamu.

Hanya, saat itu, ada beberapa kesalahpahaman yang memang tidak sempat kuluruskan, bahkan sampai kita lulus dan berpisah.

Jadi anggap saja surat ini sebagai surat permintaan maaf, penjelasan, klarifikasi, atau apapun kamu mau menyebutnya. Aku akan menjelaskan semuanya dari sudut pandangku, termasuk alasanku mendiamkanmu.

Masih ingat akan kegiatan LDKS? Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa yang diadakan oleh sekolah dan kakak-kakak OSIS saat kita kelas 10. Kenanganku soal LDKS sudah buruk sejak SMP, jadi aku berdoa mati-matian agar masa LDKS SMA bisa lebih baik.

Aku payah dalam mengingat lokasi, intinya di luar kota sedikit menjorok pada perdesaan. Mungkin di daerah Terawas? Atau Pacet? Ah, sudahlah. LDKS kali ini cukup unik, kita dibagi-bagi menjadi beberapa kelompok dan tidur di tenda yang hanya dilapisi kain dan matras tipis (tentunya perempuan dengan perempuan, laki-laki dengan laki-laki).

Malam pertama, ketakutanku benar-benar terjadi. Aku tidak bisa tidur, dihantui mimpi buruk dan mabuk homesick. Biar kuberi tahu, selama SMA aku benar-benar payah dalam hal 'tidur di tempat asing'. Semua teman setendaku sudah tertidur pulas, sisa aku yang masih meraba-raba bantal di tengah gelapnya malam.

Malam itu, aku mendadak punya keinginan untuk pergi diam-diam dan mencari udara segar. Kalau kakak OSIS tahu, aku pasti akan dimarahi habis-habisan, mungkin juga dihukum dan dipermalukan di depan satu angkatan.

Namun aku tak peduli. Itu kedengaran jauh lebih baik ketimbang harus menghabiskan malam mendengar suara jangkrik di atas matras keras.

Aku melewati rute belakang untuk menghindari kakak pengawas—melewati jalan setapak yang cukup panjang, memutari pendopo untuk sampai di ayunan batu. Tapi belum ada dua menit, gerakanku langsung terhenti.

Ternyata bukan aku sendiri yang kabur dari tenda malam itu.

Aku melihatmu, Nathan, di pendopo, duduk berdampingan dengan Selin anak IPS. Aku tidak berniat menguping percakapan kalian, tapi tentu saja keheningan malam dan jarak yang tidak seberapa membuat suara kalian mau tak mau tertangkap telingaku.

Suara Selin yang pertama kudengar, "Aku suka kamu."

Aku ternganga.

Hening beberapa detik.

Terdengar lagi, "Aku suka kamu." Kulihat Selin menundukkan wajah, jemarinya saling tertaut di atas paha malu-malu. "Sejak SMP, sejak kelas 7."

Kukira selanjutnya aku akan melihat ekspresi bahagia dan tersipu darimu, tapi di sisi lain Nathan, kamu malah memalingkan wajah canggung.

Kamu memang tersipu.

Tapi anehnya ... tidak tampak senang.

Malah seperti, bingung. Linglung. Tak tahu harus bereaksi apa.

Sekitar lima detik penuh hening yang canggung di sana, aku bagai orang aneh yang menguntit pasangan muda. Saat aku hendak berbalik pergi, saat itulah aku mendengar suaramu, "Maaf."

Apa?

Kamu berdeham, mengulangi lebih tegas, "Terima kasih, tapi ... maaf, aku nggak bisa membalas perasaanmu."

Tanda tanyaku terwakilkan oleh suara Selin, "H-hah?"

"Aku suka orang lain. Maaf."

"Cewek angkatan kita?"

Kamu mengabaikan pertanyaannya. "Ini sudah malam, aku capek, mau balik ke tenda. Kamu juga cepat tidur. Kalau ketahuan Ko Frank, bisa-bisa kita kena hukum."

Tapi agaknya, Selin terlalu berani dan keras kepala untuk berkata, "Aku masih nggak ngerti." Suaranya terdengar putus asa, dan itu membuat keningku berkerut dalam. Aku tahu rasanya tidak benar untuk mendengar konversasi kalian, tapi kakiku seolah dipaku di tempat saat kembali mendengar suara Selin, "Kamu duluan yang dulu deketin aku. Chat setiap hari, ngajak nonton, vidcall tiap malam. Terus sekarang, tiba-tiba aja kamu pergi dengan alasan kamu suka orang lain?"

Nathan dekat sama Selin.

Hal itu langsung terpatri dalam otakku.

Sejak kapan?

Sebelum aku bisa mendengar balasanmu, aku melihat sorot cahaya senter ke arah pohon-pohon di dekatku. Tanpa berlama-lama, aku langsung melangkah kembali ke tenda. Aku kena cegat oleh beberapa kakak OSIS di depan tenda, tapi kubilang aku habis dari toilet untuk buang air besar. Lalu, mereka membiarkanku pergi.

Namun, kenangan hari it uterus menghantui otakku sampai esok pagi.

Sampai LDKS selesai.

Bahkan sampai melewati enam bulan atau satu semester di kelas 10.

Karena esok paginya di pendopo, Selin mengambil tempat duduk di sampingku dan berbisik, "Kamu dengar semua, 'kan?"

Aku berpura-pura memasang tampang cool, fokus pada kerupuk urang saat menjawab, "Hah?"

"Kemarin. Aku lihat kamu," kata Selin, "berdiri sendirian di depan pendopo. Setidaknya kalau mau nguping, pilih tempat yang lebih tertutup sedikit."

Aku diam saja, mengaduk nasi kuningku dengan perasaan campur aduk.

"Aku suka Nathan," Selin melanjutkan.

Gerakan mengunyahku refleks terhenti.

"Tapi, dia bilang ada cewek lain." Ia mendengkus sinis. "Lucu, ya. Padahal dulu, dia yang ngedekatin aku. Kamu ingat? Kelas 7, sejak aku dan Nathan duduk sebangku."

Jelas aku ingat.

"Lalu, waktu debat PKN."

Aku juga ingat itu. Saat kamu mencalonkan Selin sebagai ketua kelompok, lalu satu kelas ribut dengan "ciye-ciye" dan siulan.

Tapi, aku kira itu hanya sebatas kebetulan. Aku tidak tahu Selin benar-benar akan menaruh rasa pada lelaki seperti Nathan.

"Sejak itu, aku mulai suka sama Nathan. Kita mulai dekat, sampai tiba-tiba kelas 8, dia mulai menghindar. Sikapnya jadi aneh, jarang balas chat, diajak ngomong pun ogah-ogahan."

Aku mengunyah nasi kuningku dalam diam.

"Emang resek, sekarang malah bilang ada cewek lain. Tahu gitu, kenapa dulu deketin? Plin-plan dan nggak tegas. Kalau kamu terus-terusan dekat sama dia, kamu makan hati sendiri."

Aku mulai merasa kesal, Sebenarnya, kemana arah pembicaraan ini? "Aku nggak suka Nathan, tuh?"

"Yakin?" Selin tersenyum sinis. "Perasaan mana ada yang tahu? Udah bareng-bareng gitu, kamu kira aku dan anak-anak nggak tahu? Waktu kelas 9, kamu dateng ke pelepasan bareng Nathan, 'kan? Udah kayak date aja."

Aku yang terlampau dikuasai emosi lantas berkata, "Terus, kamu iri? Kamu iri karena nggak bisa dekat lagi sama dia? Karena ditolak? Karena canggung sejak confess semalam? Bukan salahku dia nolak kamu. Dan kutegaskan sekali lagi, aku dan Nathan hanya teman. Jadi nggak usah bikin mikir aneh-aneh kayak gitu."

Selin terkejut oleh bentakanku, tatapannya menyiratkan luka. "Oke." Ia menatapku nyalang. "Kalau kamu beneran nggak ada rasa sama dia, tunjukkan. Mana ada teman antara cowok-cewek yang selamanya jadi teman."

Akhir konversasi yang buruk. Sejak pagi itu, suasana hatiku turun drastis. Aku tidak cerita pada anak-anak lain (meski Kei sekalipun), karena setelahnya mulai muncul rumor kalau kamu mengajak Selin nonton berdua. Itu jadi membuatku bingung. Aku masih berusia 15 tahun saat itu, tidak terlalu pusing soal menyukai seseorang atau berkencan atau memiliki pacar.

Tapi entah apa yang menggangguku, hari itu aku merasa kesal.

Setelah pulang LDKS, aku memandangmu sebagai cowok yang hobi memainkan perasaan perempuan. Apa namanya? Pemberi harapan palsu? Selin bukan satu-satunya. Saat dulu kelas 8, kamu juga pernah dekat dengan Teresia, tapi juga akhirnya berhenti begitu saja setelah tiga bulan PDKT tanpa kejelasan. Saat dulu meminjam ponselmu, aku juga melihat ada banyak DM dari banyak perempuan.

Aku kesal.

Karena kukira, hanya aku satu-satunya sahabat perempuanmu: satu-satunya yang bisa mengertimu.

Tapi ternyata, tidak seperti itu dari sisimu.

Jadi mungkin, kalau aku menghilang, kamu pun tak akan peduli. Kalau hubungan kita renggang, ini bisa menjadi bukti pada Selin kalau memang aku dan kamu tak lebih dari seorang teman.

Teman yang kemudian saling melupa.

Jadi perlahan, aku menghindarimu. Tidak lagi berbicara, tidak mengirim pesan, perlahan-lahan terbiasa. Itulah kenapa hubungan kita sangat canggung di kelas 10.

Namun memasuki kelas 11, aku tak kuat. Aku mulai mengambil kesimpulan, tak peduli berapa banyak teman perempuan yang kamu dekati, aku akan tetap menjadi temanmu. Bukan sahabat, bukan teman dekat, hanya sebagai teman.

Tanpa peduli kamu menganggapku apa.

Kekanakan sekali, ya?

Mungkinkah itu cemburu, Nathan?

Tidak, agaknya tidak.

Karena aku yakin, saat itu aku tidak menyukaimu.

Setidaknya, belum.



—yang dari dulu sampai sekarang,

masih kesulitan mengenali perasaannya sendiri,

Sora. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top