1st letter: promise
January 15th 2020
PADA akhirnya, kita lost contact juga.
Janji yang dibuat dengan spontan dan naif di tengah acara prom night itu berakhir menjadi sebatas kebohongan. Atau, kenang-kenangan konyol masa mudaーtergantung dari sisi mana kamu melihatnya. Memalukan, memang. Tapi jangan tuding aku yang tidak-tidak. Sudah jelas Jonathan-lah yang mengingkarinya pertama.
Benar. Kamu, Jonathan. Kamulah yang pertama kali mengingkari janji kita dulu.
Ingat saat kita berjanji untuk tetap berhubungan? Untuk saling berjuang dan menyaksikan keberhasilan satu sama lain saat kelak berhasil meraih mimpi?
Well, beberapa bulan setelah masuk kuliah, kamu mengganti nomor ponselmu.
Dan, kamu tak memberitahuku.
Kamu bahkan tak repot-repot mencariku.
Cara aku mengetahuinya? Mudah sekali. Selalu ada alasan mengapa perempuan disebut ahli stalkerーitulah mengapa jangan pernah bohong atau main-main dengan seorang wanita. Percayalah, wahai kaum adam, kalian pasti ketahuan.
Aku ingat hari itu aku sedang nongkrong di kantin kampus, istirahat melepas penat sehabis kelas pagi. Saat sedang scroll medsos, aku melihat IG Story Eunike (salah satu teman masa SMA kita, kalau kamu lupa). Baru kusadari anak IPS melakukan reuni singkat di salah satu mal--entah Grand City atau Ciputra World, mungkin kamu yang lebih tahu. Aku baru berniat men-swipe story itu saat melihatmu: duduk diimpit oleh dua lelaki dari kelas IPS. Tidak mengejutkan, toh dari dulu kamu memang dekat dan berteman akrab dengan cowok-cowok kelas sebelah.
Tapi yang membuatku bingung adalah, kenyataan bahwa Eunike menandai satu akun asing di atas wajahmu. Itu bukan akun IG-mu yang utama, sebab aku hafal username akun IG-mu: @Jonathan06. Sementara yang Eunike tulis di story-nya adalah @lifeforfun_06. Sama-sama angka 6, aku langsung punya firasat janggal. Ini pasti akun baru Jonathan.
Sebab kamu pernah berkata, kamu suka angka 6.
Dengan cepat langsung aku mencari akun itu. Bagus. Private, 0 post dengan 20 followers (salah satunya Eunike) dan 20 following. Tidak terlampir profile picture. Orang bodoh pun tahu itu akun baru yang seumur jagung.
Aku hendak menekan tombol "ikuti" kala terpikir, mungkinkah Jonathan membuat akun baru karena tidak ingin pengikutnya yang lama mengikutinya di sini?
Pengikutnya yang lama tidak termasuk Eunike tentu saja, karena jelas ia mengikutimu. Mungkin, juga bukan anak IPS (karena dari foto jelas terlihat hubungan kalian masih akrab). Mungkin, kamu mengkhususkan akun ini untuk teman-teman dekatmu.
Mungkin bukan aku.
Namun, dugaan hanyalah dugaan. Asumsi biarlah tetap menjadi asumsi. Aku tidak mau termakan oleh pikiran negatifku, jadi aku memutuskan untuk membiarkan masalah itu berlalu. Mungkin, kamu punya alasan sendiri, dan aku mau menjadi sahabat yang baik dengan menghargai pilihanmu. Lagipula, kita sudah berjanji, bukan? Aku yakin kamu bukan tipe pemuda yang hanya suka mengatakan sesuatu karena terbawa suasana, dan aku pun ingin percaya padamu sebagaimana kamu telah percaya padaku.
Haha, lihatlah Nathan. Aku terlalu naif, bukan?
Tak lama setelah insiden akun IG baru, aku mengirim-mu beberapa meme lucu lewat WA:
Sora
Hari ini kuis muluuu, aku capek tapi lihat ini jadi senyum lagi:
*insert a picture*
Hope it makes your day, too
Centang satu. Padahal kamu adalah salah satu orang paling fast response yang pernah kukenal. Well, tidak apa-apa. Barangkali kamu sibuk.
Namun berjam-jam kutunggu, tanda centang satu itu tak kunjung berubah.
Hari-hari pesan itu lapuk dimakan waktu. Berminggu-minggu sudah hilang dimakan kesibukan. Aku sampai lupa pernah mengirimmu pesan itu.
Lalu satu minggu setelahnya, aku bertelepon dengan Kei. Kami janji untuk bertemu di Pakuwon Mall, untuk hang out sekaligus melepas stres setelah UTS pertama di kuliah.
Kami baru memesan Chatime saat tiba-tiba Kei menyeletuk, "Besok aku ke bandara. Kamu ikut?"
Aku mengerutkan kening. Dengan masih mengunyah bubble, aku bertanya, "Bandara? Ngapain?"
"Lah, Jonathan berangkat besok, 'kan?" Melihat raut bingungku Kei membulatkan mata. "Kamu beneran nggak tahu, Ra? Jonathan mau pindah ke Jakarta, flight-nya besok jam 9 pagi. Anak-anak pada rencana ngumpul di sana untuk perpisahan singkat."
Hatiku gemeretak. Rasanya seperti ada sesuatu menyengat di dasar sana. Namun, aku tidak mau terlihat lemah di depan Kei. Jadi aku berusaha terlihat sedatar mungkin saat bertanya, "Siapa aja yang bakal datang?"
"Anak IPS pasti, sih. Kalo IPA, ada aku, Reina, mungkin Yehezkiel. Render sama Joy masih belum pasti, masih UTS soalnya."
"Oh."
"Jadi gimana? Kamu ikut?"
Aku tak tahu. Aku ingin ikut, ingin melihatmu untuk terakhir kali (mungkin benar-benar terakhir karena pasti kamu tidak akan bisa menghadiri reuni lagi), sekaligus memarahimu untuk (lagi-lagi) kejutan yang entah untuk berapa kali sekarang. Pindah ke Jakarta? Mendadak? Tanpa kabar?
Kamu tahu, Nathan, kamu selalu membuat kejutan tak menyenangkan di waktu yang salah.
Tapi kalau dipikir-pikir, kamu tidak memberitahuku. Pesan yang kukirim di WA-mu bahkan masih tetap pada tanda centang satu. Seolah, kamu tak lagi ingin berhubungan denganku. Jadi kenapa aku harus memaksa datang kalau kamu menghindar?
Tenggorokanku tersekat, aku meminum bubble tea-ku beberapa teguk. "Jonathan bilang di grup?"
"Hah? Jonathan ngasih tahu hal begituan ke grup? Ya, nggak mungkinlah! Tahu sendiri anaknya gimana. Private banget, irit ngobrol di WA. Kemarin aja baru ganti nomor nggak bilang-bilang, sok penting, sih."
Ganti nomor.
Jelas pesanku tak pernah sampai padamu.
Kamu sudah ganti nomor, dan kamu bahkan tidak mau repot-repot memberitahuku.
"Kemarin aku dikasih tahu Eunike, sih. Dia ngajak anak-anak angkatan untuk ikutan say good bye and good luck gitu."
Jadi Kei mendengar kabar ini dari Eunike. Bukan dari kamu sendiri, Nathan.
"Ehm, kamu tahu kenapa dia pindah?"
Kei menyeruput tehnya. "Kalau nggak salah, dia mau ikut ortunya. Yah biasalah, urusan keluarga. Jonathan paling private soal ini."
Betul. Kamu pemuda yang ramah, lembut, dan mudah berteman tapi di saat yang bersamaan juga tertutup dan penuh rahasia. Misterius. Aneh. Irit komunikasi.
"Nanya mulu, ah. Keputusan finalya gimana, nih? Ikut nggak? Kalau ikut bareng aku aja sekalian aku jemput."
Aku menggigit bibir. "Besok aku udah ada janji ... titip salam aja ya, buat dia."
Sesampainya di rumah, aku tidak melakukan apapun. Suasana hatiku buruk. Aku belanja banyak novel baru di mal, tapi mendadak kehilangan selera untuk membaca. Aku hanya duduk di kasur, membaca ulang seluruh percakapan kita dari kelas 10. Beda sepertimu Nathanーyang tampaknya mudah sekali untuk mengganti nomor dan mecampakkan seluruh kenangan chat kita di WAーbagiku setiap konversasi adalah bagian dari memori. Aku tidak mau menghapusnya begitu saja, aku yakin akan menyesal bila tak bisa membaca ulang percakapan kita lagi.
Konyol, memang. Tapi setidaknya, aku menghargai kenanganku.
Apakah kamu benar-benar akan pindah ke Jakarta, Nathan? Apa benar hanya sekadar "urusan keluarga"? Kenapa kamu tidak memberitahuku? Apa kamu tidak menganggapku penting, sebagaimana aku menganggapmu penting?
Aku bisa saja meminta kontak barumu pada Kei atau memborbardir akun Instagram keduamu dengan puluhan DM dan pertanyaan. Tapi lagi-lagi, aku bertahan kokoh pada prinsip dan gengsi: Kalau kamu saja tidak mau dihubungi, untuk apa aku terus mengganggumu?
Entahlah, Nathan. Barangkali, aku saja yang salah mengartikan sikapmu saat prom night malam itu. Memalukan bagaimana kita langsung mengingkari janji dalam jangka waktu kurang dari satu tahun. Kini, dalam sekejap mata, tak terasa lima tahun telah berlalu. Banyak hal yang berubah sejak terakhir kita bertemu, bahkan sejak terakhir aku mendengar kabar tentangmu. Aku sudah bukan lagi mahasiswa, aku sudah bukan lagi 'Sora bocah manja', aku sudah mulai meniti karier sesuai mimpiku dulu.
Kamu lihat? Ada banyak cerita dalam hidupku yang kamu lewatkan.
Maka dari itu, Jonathan, dengan ini aku memutuskan untuk menulis surat untukmu.
Tidak, bukan karena aku rindu padamu (jangan GR dulu), melainkan karena aku masih ingin tetap menepati janjiku. Meskipun sedikit terlambat, dan meski surat ini tak akan pernah sampai di tanganmu karena aku sama sekali tidak berniat untuk mengirimnya, aku ingin punya bukti di tanganku bahwa setelah perpisahan SMA pun, aku tetap berkomunikasi denganmu--tak peduli berapa tahun berlalu.
Aku benci kenangan, Jonathan. Itu mengingatkanku akan luka dan kebahagiaan yang sudah lapuk, kebahagiaan yang tak lagi bisa kurengkuh. Namun untuk surat ini, aku rela menelusuri seluk-beluk labirin kenangan lama tentangmu.
Lagi-lagi, bukan karena aku merindukanmu.
Aku hanya benci harus mengingkari perkataanku sendiri.
ーsekarang atau selamanya,
masih temanmu,
Sora. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top