Tamu Misterius


"Mari." Andiane tersentak dengan suara sang tuan yang berat, mengingatkannya akan kedalaman danau di halaman belakang rumah. Sang tuan mengisyaratkan Andiane agar bersama-sama menyusul Pappa yang sudah duluan beranjak. "Nona Andiane."

Andiane mengangguk ragu. Ia menghampiri sang tamu dan seketika terpikat dengan tinggi si bangsawan yang nyaris mencapai langit-langit kusen. Ujung kepala Andiane saja baru menyentuh bahunya. Beriringan dengan sang tamu menuju pekarangan belakang membuat Andiane juga semakin berdebar-debar. Pertama, karena dia jarang mendapat tamu semenjak berita tentang penyakit anehnya diumumkan, yang membuat orang-orang selain para bibi penggosip seketika menjaga jarak karena takut tertular. Kedua, karena dia tidak menamatkan tahun terakhir sekolahnya, dan itu berarti ia sudah lama sekali tidak berjumpa dengan kawan-kawannya yang berkumpul di asrama, dan nampaknya mereka mulai melupakan Andiane. Dan, ketiga, kehadiran setiap tamu laki-laki yang belum ia ketahui statusnya mudah membuat Andiane gugup, kendati keinginan untuk menikahnya sudah lama dilenyapkan.

Benar. Percuma saja Andiane mengharapkan pernikahan bahkan dengan laki-laki yang paling tergila-gila padanya. Semua tabib yang Andiane kunjungi sepakat menyimpulkan bahwa kematian siap menjemput kalau gadis itu mengalami ledakan emosi satu kali lagi. Perasaan menggebu-gebu yang menggenjot jantung juga bisa membunuhnya.

Perasaan sesak di dalam rumah seketika terhempas saat udara beraroma khas menjelang hujan tercium. Angin berembus lembut, cukup untuk membuat potongan rambut pendek Andiane yang tidak ikut tersanggul bergoyang mengelus pipinya yang pucat. Gadis itu merapatkan selendang Momma yang melingkupi kepalanya, sekadar menghalau angin agar tidak merasuk melalui lebih banyak lubang di kepalanya. Andiane mengikuti sang tamu meninggalkan Pappa di teras, menginjakkan kaki di tanah berumput tinggi, dan mengarah ke dek tempat sebuah perahu tertambat. Andiane kadang-kadang suka mendayung hingga ke tengah danau, menjemur dirinya di bawah sinar matahari lemah sembari membayangkan alternatif kehidupannya sebagai pengajar anak-anak bangsawan di Covac. Imajinasinya selalu menyenangkan. Bocah-bocah yang sok tahu, seolah-olah sang pahlawan yang melawan sang penjajah itu sendiri, tetapi mereka akan menangis seperti bayi tak berdaya saat seorang kakak menyembunyikan boneka-boneka kesayangannya di kolong tidur yang sangat kotor. Andiane suka membayangkannya. Menyenangkan sekali mengawasi bocah-bocah itu meracau hingga kepalanya pusing.

"Siang yang cukup hangat, nona Weston." Pria itu membuka obrolan, dan Andiane yakin betul sang tamu merasa lebih dari sekadar hangat. Lilitan syal yang menyembunyikan ujung hidungnya membuat Andiane ikutan gerah. "Viktor Olliviare," tambah sang tamu sembari menyentuh ujung topinya, "dan dengan sangat rendah hati aku memohon izinmu agar tidak melepaskan topi ini. Cuaca ... kurang bersahabat dengan kondisi tubuhku, dan aku harus menempuh perjalanan panjang menuju Covac setelah ini."

Suaranya dalam, berat, dan selama sesaat, Andiane merasa baru saja diiming-imingi untuk menenggelamkan diri ke dalam sumur gelap, dengan air luar biasa jernih dan berkilauan. Andiane menelan ludah. Ia membungkuk dengan hormat. "Saya tidak ingin menyulitkan, Tuan Olliviare. Dan ... dan semoga engkau berkenan dengan kehadiran saya."

"Baik sekali," puji Viktor. Di bawah bayang-bayang topinya, Andiane melihat sang tamu mengerling sejenak ke arah Pappa, yang setia mengawasi dari teras rumah. "Kuharap kau juga tidak keberatan untuk bercakap-cakap denganku sementara Tuan Weston menanti di sana—ada hal-hal yang, aku yakin, lebih nyaman untuk kusampaikan berdua denganmu saja."

Oh, tolonglah, jangan berkata seperti itu. Andiane bahkan tidak tahu apakah Viktor sudah beristri, atau kemungkinan perbedaan usia mereka yang cukup jauh karena ia pernah menjadi asisten kakek, tetapi pilihan kata-kata semacam itu dari seorang pria misterius membuatnya gugup. Andiane refleks menahan napas untuk menenangkan detak jantungnya.

"Tentu."

Viktor nampaknya tersenyum, atau begitulah yang diduga Andiane, karena bahu sang pria melemas dan ada kelegaan terpancar di kedua matanya yang pucat. Pria itu memandang ke arah danau. "Tempat yang indah," ujarnya berbasa-basi. "Sudah lama sekali aku ingin datang kemari. Profesor Seans selalu membangga-banggakan danau yang jernih dengan permukaan berkilau, dan meski semula aku meragukannya, aku berani bersaksi sekarang bahwa danau ini adalah yang terbaik yang pernah kulihat."

Viktor menarik sedikit saja syalnya untuk memberikan kebebasan cupang hidungnya mereguk dalam-dalam udara tanpa polusi ini. "Dan," ujarnya lambat-lambat, "udara yang bahkan tidak tercemar bau kotoran kuda maupun asap pembakaran! Aku merasa sangat sehat di sini."

"Begitulah," kata Andiane, lantas menyadari responnya yang terlalu pendek. "Rumah ini adalah warisan turun-temurun keluarga kami, termasuk kakek yang pernah tinggal di sini."

"Apakah Profesor benar-benar suka memancing di penghujung usianya, Non?"

Andiane tersenyum kalut. Jemarinya saling mengait. "Sesungguhnya saya tidak terlalu mengenal mendiang kakek," akunya malu. "Beliau tiada saat usiaku baru tujuh tahun. Dan ... karena engkau adalah asisten beliau semasa di Institut ... saya yakin engkau lebih mengenal kakek, termasuk segala hobinya yang tiada akhir."

Respon Viktor tidak kalah mengejutkan bagi Andiane. "Sayang, seandainya aku tahu jika Profesor bersembunyi di sini pada sisa umurnya, aku sudah pasti akan terus menemaninya alih-alih baru berkunjung sekarang."

Andiane menunduk malu. Ia bahkan tidak tahu harus merespon apa. Bagaimana bisa sebuah basa-basi berujung menjadi obrolan yang memeras rasa canggungnya? Andiane tidak bisa merasa gugup lebih lama daripada saat ini. Dadanya mulai berdenyut-denyut lagi dan ia harus mencegah luapan rasa malu akibat kecanggungan ini.

"Apa kiranya yang ingin kausampaikan, Tuan? Sejujurnya, saya ... saya merasa tegang." Andiane terpaksa menyentuh dada sebagai penegasan. Semoga Pappa sudah memperingatkan Tuan Olliviare akan kelemahannya. "Mungkin ada baiknya engkau segera mengatakannya."

"Ah, benar. Maafkan aku." Viktor berdeham. "Maafkan atas ketidaksopananku," ulangnya, "tetapi aku sudah mendengar akan alasan-alasan dibalik pelelangan barang-barang antik Profesor Seans, yang dahulu begitu ia cintai semasa hidupnya."

Andiane tersenyum mafhum. "Penyakit saya."

"Yang, aku yakin, sesungguhnya bukan sebuah penyakit."

Andiane menatap sang tamu dengan heran. Ia tidak terkejut. Memang ada seorang tabib yang pernah memvonisnya terkena kutukan monster alih-alih penyakit, tetapi Andiane dan keluarganya memilih untuk mengabaikan itu. Mereka tak pernah berhubungan dengan monster, apalagi mengusiknya. Tak ada alasan bagi Andiane untuk menjadi sasaran kutukan mereka.

Apakah Tuan Olliviare sama saja dengan tabib itu?

"Apakah engkau mengira ini adalah kutukan monster, Tuan?" tanya Andiane berhati-hati, lantas menjelaskan dengan singkat penyebab dugaan itu. Viktor mendengarkan dengan saksama sebelum mengakhiri usulan Andiane dengan gelengan lembut.

"Bukan," suaranya terdengar riang, barangkali hampir menertawakan ucapan Andiane. "Meski bagi sebagian orang itu disebut kutukan, tetapi apa yang mengganggu tubuhmu sedemikian hebat selama bertahun-tahun bukanlah keduanya."

"Biar kujelaskan sesuatu, Non," kata Viktor lagi. Ia nampak sebagai satu-satunya ahli di sebuah bidang keilmuan yang populer. "Aku adalah seorang dehmos—setengah monster. Aku mampu melihat hal-hal yang tidak tampak pada mata manusia biasa, dan aku tahu mana yang baik dan buruk bagi kondisi mereka. Kau, sayangnya, dan beribu maaf karena mengatakan hal ini, bahwasanya jatuh pada opsi yang kedua. Ada gejolak besar di dalam dada yang selalu membuatmu merasa sakit .... Koreksi jika aku salah."

Andiane terpana. "Ya," mulutnya menjawab begitu saja. Dehmos! Pantas saja. Tapi ini bukan hal yang aneh pula. Mayoritas bangsawan Cortess adalah manusia setengah monster. Mereka cukup rakus untuk mengambil Energi para monster untuk ditanam di tubuh mereka, membuat para bangsawan Cortess menjadi berkali-kali lipat lebih mendominasi di Demania Raya. Pantas pula kalau sang tamu memiliki mata paling pucat yang pernah Andiane lihat. Andiane mendadak mencurigai bahwa alasan sang tamu mengenakan syal tebal dan topi tinggi di cuaca seperti ini adalah karena kondisi tubuh yang ... tidak normal.

Wah. Apa kiranya yang disembunyikan oleh sang pria? Segala imajinasi vulgar yang tak sepantasnya memenuhi benak gadis di awal dua puluhan tahunnya menyerbu. Andiane harus berulang kali mencubit tangannya sendiri agar tidak berpikir terlalu jauh.

Viktor lantas merespon, dengan penuh kelembutan yang membuat Andiane nyaris lupa bahwa pria ini kemungkinan telah beristri: "Seandainya engkau tidak keberatan, maukah kau menjelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi? Jangan khawatir, aku pernah menjadi asisten seorang profesor yang hebat. Aku dapat menjaminmu atas ilmu yang kumiliki itu. Anggap saja ... ini adalah bentuk penyesalanku karena tidak bisa mengabdi kepada Profesor Seans di penghujung usianya, sekaligus memastikan bahwa keturunannya tetap berjaya di kehidupan yang layak."

Andiane merasa malu. Bangsawan ini baik. Dia memerhatikan sebuah keluarga yang sudah mulai merambati dunia kemiskinan dan berharap bisa mengangkat mereka kembali. Andiane tidak mungkin menolaknya, tetapi ia juga tidak bisa menerima bantuan asing begitu saja. Andiane seketika menoleh ke arah Pappa, yang ternyata sedang mengobrol dengan Thomasen akan sesuatu. Pappa tidak memerhatikan Andiane dan sang tamu.

Andiane menelan ludah. Tak ada pilihan, bukan? Maka ia pun menyentuh dadanya, berlanjut menceritakan semua rasa sakit yang menimpanya sejak dua tahun terakhir. Rasa sesak dan perih berdentam-dentam di organ terlemah saat ini, terus menyiksa Andiane ketika tidur, duduk, atau bahkan sekadar bernapas. Tabib Sina, tabib terbaik yang mampu dijangkau oleh keluarganya, mengatakan tak ada virus, bakteri, maupun sesuatu lain yang terdeteksi di balik dada Andiane. Tubuhnya bersih! Namun, entah mengapa, penyakit itu tetap menyiksanya acap kali merasakan gejolak emosi yang sedikit berlebihan. Viktor mendengarkan dengan seksama, hanya kedua mata biru pucatnya yang bersaksi dengan nyata.

"Apakah rasanya seperti ada sesuatu yang menahanmu untuk bernapas?" tanya sang tamu setelah Andiane selesai berkisah. "Apakah terasa seperti ada yang mengganjal di sana?"

Andiane terdiam. Jemarinya tanpa sadar menekan dadanya lebih dalam untuk mencoba merasakan itu. Ya. Ya. Ia merasakannya. Memang rasanya sulit untuk bernapas, seperti ada yang mengganjal. Ia lupa mengatakan itu kepada sang tamu, karena memang nyeri luar biasa di dadanya telah menumpulkan ketajaman panca inderanya.

Andiane mengangguk. "Ada yang mengganjal," ujarnya mempertegas. "Tapi para tabib tidak menemukan apa pun di sana. Tidak ada yang bisa diambil dari dada saya. Tidak ada tumor."

"Memang bukan. Aku sudah mengatakan sebelumnya bahwa ini bukan penyakit." Keringanan nada sang pria membuat Andiane kembali heran. Apakah dehmos sehebat itu? Seumur hidupnya Andiane jarang bertemu dengan para setengah monster, dan memang sebaiknya tidak. Mayoritas dari mereka selalu dirumorkan jahat, semena-mena, selaiknya para bangsawan di Covac yang memperebutkan kursi dewan-dewan untuk menguasai negeri.

"Lantas, Tuan?"

"Kau akan tahu." Viktor mendekat, membuat Andiane seketika menahan napas dan hendak mengambil langkah mundur. Namun kegugupannya menahan kaki-kakinya untuk beranjak. Pandangannya tertambat pada kedua mata biru pucat Tuan Olliviare yang menyihir. "Asal engkau mengizinkanku untuk melepas belenggu di dadamu itu."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top