Sumpah Pengikat


14, Bulan Dingin, tahun 1820

Elentaire Institut—atau Eleins—memang keren, megah, luar biasa, menakjubkan, dan segala hal yang bisa kauucapkan sebagai pujian terhadap bangunannya yang menjulang dan menantang ketinggian lembah. Pilar-pilarnya lebih kokoh daripada batang-batang pohon beech, liukan ornamennya lebih rumit daripada ribuan ranting dan geliat akar pohon banyan. Bola-bola api dalam warna menenangkan melayang-layang di atas mangkuk-mangkuk besi, menerangi setiap lekuk tanaman rambat. Tanaman itulah yang meneteskan air ke seluruh penjuru kolam kecil sepanjang lorong-lorong Institut.

Namun, kekaguman Franco Cleventine terbatas sampai di situ saja. Ketika ia bertemu dengan seorang murid Eleins, maka—ugh! Dia harus cepat-cepat melewatinya. Ditambah lagi, murid-murid yang berbondong-bondong—oh, dia mau muntah! Siapa pun tolong Franco!

Dia terlanjur muntah. Para murid yang berlalu-lalang di dekatnya berjengit, mengumpatinya, dan bergegas menjauh. Tak ada yang mau terlihat bersama pria aneh yang terlampau kurus dan berkumis tipis. Sudah berapa lama ia bertahan di Institut? Mengapa dia dibiarkan berada di Institut?

"Cleventine!"

Franco terkesiap. Ia berputar dan mendapati seorang petugas kebersihan menghampiri dengan tongkat panjang di tangan. Franco menyeringai. Dia tidak mengenalnya, tetapi mengapa semua orang seolah-olah mengenalnya?

Dia memang seorang bintang!

"Cleventine, lama tidak terlihat, sekali muncul selalu membuat masalah," gerutu petugas kebersihan itu. Dia mengangkat jemarinya, memunculkan pusaran angin yang membentuk cairan muntah itu ke sebuah bola padat, lantas memasukkannya dengan dorongan angin ke sebuah kantong. Ia sama sekali tak perlu menyentuhnya.

Franco mengawasi dengan senyum sok bersalah. "Apa kau tahu dimana Andi-Anne Weston berada?"

"Kalau aku tahu seluruh nama murid di Institut mahabesar ini, aku tidak akan membersihkan muntahan keparatmu."

"Ah, tentu, tentu." Franco mendesah. Dia tidak menyangka pencariannya bakal sulit ... tetapi bukan berarti ia takkan mengantisipasinya! Gadis yang dinikahi Viktor Olliviare, seorang sepupu Dewan Tinggi, bukanlah hal yang menakjubkan di tempat para makhluk bermasalah ini berkumpul ... dan Franco siap.

Siap untuk bertanya pada siapa pun yang bertatapan dengannya. Ha!

"Apa kau Andi-Anne?" tanyanya pada seorang gadis yang melintas. Gadis itu terkejut, menggeleng, dan buru-buru pergi. Franco melompat ke ujung lorong dan menghampiri sebuah kelompok, nampaknya murid-murid baru. "Ada yang bermarga Weston, eh?" dan ketika ia menerima penolakan, ia tak menyerah. "Apa salah satu dari kalian Weston?" terlontar pada hampir setiap grup yang ia temui, hingga Franco merasa frustasi setelah belasan menit bertanya di sana-sini.

Ia pun memutuskan untuk berteriak ke segala lorong yang dilewatinya. "Andi-Anne Weston, aku Unisonmu! Hei, Weston, hei!"

"Astaga, Cleventine."

Franco sedang bergelantungan pada lampu gantung di sebuah lorong ketika melihat sebuah rombongan berhenti di ujung tangga. Franco berbalik, mengernyit, lantas menatap seorang pemuda paling mencolok di rombongan itu. Ah ... siapa dia ... oh!

"Marcus Wyterseen!"

"Tuan Muda Mikhael Wyterseen, Franco Cleventine." Gadis berambut pirang di samping Mikhael memutar bola mata. Mikhael dan para gadis di belakangnya terkikik geli, kecuali beberapa, yang mungkin bergabung dalam rombongan itu secara terpaksa sebagaimana Mikhael biasa membentuk kelompok barunya.

Franco tak menggubris. Ia menunjuk satu-persatu gadis di kelompok itu. "Ada Weston? Andi-Anne Weston? Aku Unisonmu," katanya, dan pandangannya langsung tertambat pada seorang gadis yang melotot kepadanya. Gadis itu tidak ikut tertawa, justru terhenyak dengan perilaku Franco—yang itu berarti, dia adalah murid baru yang belum dengar tentang si bintang—dan Franco sontak melompat ke arahnya. Para gadis menjerit dan berhamburan, sementara Mikhael mengumpatinya.

"Kau Andi-Anne Weston?" Franco bertanya pada gadis itu. Wah, dia lumayan pendek! Tingginya hanya mencapai pundak Franco, yang hampir sama tingginya dengan Viktor. Rambut kecokelatannya digulung rapi, dan bola matanya yang besar senantiasa nampak menghakimi. Cocok sekali disandingkan dengan Viktor yang sering kali menghakiminya, tetapi jarak tinggi mereka terlalu timpang. Oh, menggemaskan!

Gadis itu mengerjap. "Andiane, bukan Andi-Anne. Kalau kau mencari Andi-Anne, maka bukan ..." Franco tak mendengar sisanya karena sibuk terkagum-kagum. Suara Andiane seringan usianya! Astaga, gadis ini lucu dan harus segera menjadi Unison Franco. Tak ada sanggahan.

"Apa kau kenal Viktor?" tanya Franco lagi sambil berbisik, nyaris menyinggung soal pernikahannya, tetapi Franco masih cukup waras untuk tidak menambah keributan. Dia harus menahan diri! Bukankah dia sudah berjanji untuk menjalankan pikiran Niklaus? Franco harus menurut pada sang abang. Harus, harus.

Reaksi sang gadis menegaskan rasa penasaran Franco, dan saat pria itu menyeringai lebar ke arahnya, mereka disentakkan dengan tudingan Mikhael.

"Tidak, Cleventine! Dia calon Unisonku, dan kau tidak bisa mengambilnya hanya karena kau gila dan bisa berbuat sesukamu!"

Franco melotot dan mendesis keras, yang membuat Mikhael bersama para gadis mundur jijik. Andiane sendiri nyaris mengambil langkah menjauh, tetapi Franco menyambar ujung lengan seragamnya dan mengangkat tinggi-tinggi tangan Andiane.

"Masih calon, sungguh hina dina! Kalau begitu aku menyumpahinya sekarang! Aku, Franco Cleventine, akan mengerahkan Energiku untuk disandingkan bersama Andi—Andiane Weston! Sekarang!"

Kemudian, sebelum Mikhael mampu menghentikan Sumpah Pengikat itu, api berkobar cepat dan melahap keduanya hingga lenyap dari pandangan, meninggalkan suhu panas yang dengan cepat teredam oleh dinginnya musim salju.

Mikhael, maupun gadis-gadis pengikutnya, dan begitu pula para murid yang sedang berada di lorong itu, terhenyak menyaksikan kejadian barusan.

Ya, sewajarnya tidak ada yang tidak terpukau dengan aksi sang bintang Franco Cleventine. Karena itulah semua mengenalnya, meski ia tidak mengenal satu pun, dan itu sangat dibutuhkannya untuk menjadi sang bintang.

Mikhael Wyterseen siapa? Dia tidak butuh gadis-gadis untuk mengikutinya. Dia tak butuh seorang ayah yang menjalankan Institut kaum Setengah Monster terbaik di dunia. Dia hanya butuh panggung, skenario yang tepat, dan—zap!—Franco akan menjadi terkenal kembali saat dia muncul lagi di Institut. Setelah ini.

Kobaran api itu muncul sekali lagi, menjatuhkan Andiane dan Franco, yang sigap berdiri. Franco melotot melihat Andiane yang terguling di tanah. Dengan panik, Franco membantunya menegakkan tubuh. Andiane terhuyung-huyung, menyadari daun-daun kering dan salju kotor yang menempel pada rok seragamnya, lantas menepuk-nepuknya dengan kesal.

"Kau tidak pernah zap, begitu?" Franco tak memercayai pertanyaannya sendiri. Ia mengawasi gadis itu memandang sekeliling dengan heran. Mereka berada di luar institut, tentu saja, tetapi di mana? Sekarang sudah malam. Pencahayaan sangat minim di malam musim dingin, kecuali bola-bola cahaya yang mengapung rendah di atas kepala. Satu-satunya yang Andiane tahu adalah tak ada hutan di depan pandangan. Sungai dan perbukitan nampak sangat jauh.

"Ini di mana?" Andiane bertanya dengan cemas. "Aku tidak pernah kemari."

"Ahhh, sisi lain lembah?" Franco sendiri nyaris lupa dengan tempat ini. Ia hanya membayangkannya sekilas saat membawa Andiane kemari. Tingkah gadis itu membuatnya terhibur. Bagaimana jika Franco kembali ke Institut tanpa gadis itu, butuh berapa lama Andiane bisa menemukan jalan kembali?

Andiane melotot kepadanya, atau gadis itu memang selalu terlihat demikian karena matanya yang besar. Franco menjilat bibir.

"Duh! Aku sudah terlanjur bersumpah, segera kerahkan Energimu kepadaku."

"Apa?"

"Jangan bilang kau juga tidak tahu cara mengikat Unison!"

"Saya bahkan baru satu minggu masuk ke Institut!" Andiane terlihat sama frustasinya. Franco berjongkok di depannya, menatap Andiane dengan mulut menganga tak percaya. Gadis itu pun tiba-tiba mengikuti tingkah Franco. Ia berjongkok.

"Apa yang kaulakukan tadi? Aku ingin muntah."

"Jangan curhat kepadaku."

"Kau siapa? Kenapa tahu-tahu membawaku ke sini ... dan, ah! Kau menyinggung nama Viktor. Kau mengenalnya?"

"Ya, dia sepupuku."

Andiane menatap Franco dengan takjub, sekaligus heran. Ini membuat rasa kesal Franco menguap sedikit. "Viktor punya saudara? Mengapa aku tidak tahu?"

"Kau yang aneh; bagaimana bisa kau menikahi seseorang tanpa tahu keluarganya?"

"Aku tahu kalau kedua orang tuanya meninggal."

"Semua juga tahu." Franco memutar bola mata. Tak menggubris ekspresi Andiane yang tersinggung, Franco pun membaringkan tubuh di atas salju. Dia mengerang keras-keras merasakan sengatan dingin menembus seragam, nyaris saja refleks mencairkannya, lantas tersadar bahwa ia tak membawa pakaian ganti jika mantelnya gosong. Franco mendesah lagi.

"Siapa namamu tadi? Oh, Franco Cleventine," gumam Andiane. Dia termenung sejenak, lalu memutuskan untuk duduk dengan nyaman di salju. "Kau ingin mengikatku menjadi Unisonmu, benar? Bagaimana caranya? Ajarkan aku supaya aku bisa segera kembali ke Institut."

Franco terkejut. Gadis ini serius? "Kau mau jadi Unisonku?"

Andiane terdiam. Ia nampak ragu-ragu sejenak. "Unison tidak bisa sembarangan dibentuk, bukan? Kita belum tentu cocok, begitu pula denganku dan Tuan Muda Wyterseen, tetapi aku tak mau malu di depannya. Jadi tolong ajarkan aku caranya. Kita mencoba bersama."

Franco kembali duduk, memosisikan dirinya menghadap Andiane sembari menyeringai geli. "Kau tak perlu merasa malu padanya kalau cocok jadi Unisonku. Kemari! Kau harus merapalkan Sumpah Pengikat, karena itu berarti kau sedang 'mengunci' dirimu denganku! Sumpah Pengikat ini kuat sekali, meski tak sekuat Sumpah Unison, tapi banyak sekali yang bisa kita lakukan bersama. Telepati, misalnya."

"Ya, ya. Lalu?"

"Dasar gadis tidak sabaran." Franco mencibir. "Kalau begitu, ucapkan Sumpah Pengikat yang sama sepertiku tadi. Aku, Franco Cleventine, akan mengerahkan Energiku untuk disandingkan bersama Andiane Weston. Ucapkan itu sambil konsentrasi penuh, entah bagaimana! Pokoknya kalau kau merasakan gejolak di dalam dirimu, maka sumpahmu dianggap sah sampai kita membatalkannya nanti."

Andiane tak langsung memejamkan mata. Mendengar penjelasan Franco sontak membuatnya takut. Bayangan akan gejolak Energi yang terlampau besar dan harus ditahan ... Andiane menelan ludah. Namun, pria muda di seberangnya ini melotot balik, tidak sabar dengan setiap detik yang terbuang.

Tidak apa-apa. Ini tanah lapang.

Maka Andiane memejamkan mata. "Aku, Andiane Weston, akan mengerahkan Energiku untuk disandingkan bersama Franco Cleventine."

Energinya langsung bereaksi. Andiane merasakan gejolak di dalam tubuhnya serupa lava yang menggelegak menuju mulut gunung, siap dimuntahkan. Dia berusaha keras menahan pergumulan itu agar tidak membeludak, dan selama ini terjadi, Franco mendapati asap hitam menyelubungi mereka dengan pusaran yang mengerikan. Franco melongo tanpa kata-kata hingga pusaran itu memudar. Saat Andiane membuka mata dengan takut-takut, pusaran itu telah lenyap.

Franco mengerjap.

"Oh, sialan," umpatnya. "Apa aku keliru?"

Andiane terhenyak. Ekspresinya nampak seperti akan menangis. Orang segila Franco saja berkomentar semacam itu terhadap Energinya! Andiane menghela napas pasrah dan bertanya, "Apakah ... apakah Energiku seburuk itu? Tolong, tolong jangan katakan kepada siapa pun. Aku takut—"

"Andiane Weston!" Franco mendadak meraih tangannya. Jabatannya terlalu erat untuk mampu Andiane lepaskan. "Tentu bakal buruk kalau kau menunjukkannya pada si Wyterseen itu! Untung kau belum melakukannya, bukan? Sebab bisa saja aib ini bakal ia sebarkan! Wyterseen itu selalu begitu, dia hanya mau yang benar-benar murni dan wah, dan beruntunglah kau karena aku membawamu lebih dulu!"

Andiane tidak siap digempur dengan rentetan ucapan Franco. Gadis itu hanya mengangguk-angguk, memahami bahwa dia seharusnya beruntung karena mengikat sumpah dengan Franco yang gila.

"Ooh, sudahlah, jangan menangis. Lihat aku. Lihat," kata Franco. Dia beranjak dan mundur beberapa langkah, lalu mengangkat kedua tangannya. Andiane mengangkat alis, baru saja akan menduga-duga apa yang dilakukannya, ketika tiba-tiba muncul kobaran api raksasa dari balik Franco. Kobaran api itu membentuk sosok yang bermulut besar, dengan geligi api yang tajam dan panas, dan melaju pesat menuju Andiane. Gadis itu menjerit, nyaris saja membiarkan Energinya terlepas, tetapi kobaran api itu dengan cepat terpecah ke segala arah dan mencairkan salju di sekeliling mereka. Andiane memekik kaget ketika api menyebar dengan cepat seolah akan membakar padang rumput itu! Lalu, terdengar suara jentikan kecil yang memadamkan seluruh api secepat kilat, menyisakan rumput-rumput gosong yang terguyur salju cair.

"Kita sama, Andi-Anne!" Franco tertawa jumawa. "Dan kalau kau tidak mau menerimaku, maka tak akan ada lagi yang menerimaku! Aku bakal dikeluarkan dari Institut."

Andiane menatap Franco dengan gelisah. "Kau nyaris membunuhku! Pantas saja tak ada yang mau."

"Itu tidak membunuhmu!" Franco balas berseru. "Buktinya kau baik-baik saja! Ayo, ikat Energimu denganku, Andiane, dan mari daftarkan diri sebagai Unison. Kita akan menjadi Unison dahsyat meski hanya dengan dua orang. Energi kita sama-sama besar dan destruktif. Kau juga akan menjadi murid baru yang pertama kali dapat Unison! Bukankah itu keren? Kau akan menjadi bintang kedua di Eleins selain aku. Ayo!"

Andiane tak memercayai ini. Ia terbengong-bengong di tempat, menyaksikan Franco berlarian ke segala arah sambil berteriak girang.

Viktor, apakah dia sebaiknya menjadikan pria gila ini sebagai Unisonnya saja? Bagaimana pun juga ucapan Franco memengaruhinya. Dia berkomentar tentang kemungkinan reaksi Mikhael kalau mengetahui Energi yang disimpannya. Andiane memang tidak mengenal Franco, tapi Franco dan Mikhael saling mengenal! Katakan, meski pria ini gila, entah kenapa Andiane merasa Franco jujur. Kalaupun ternyata Franco hanya menipunya, sumpah itu bisa dibatalkan.

Andiane hanya takut pada reaksi Mikhael dan kemungkinan aibnya untuk menyebar. Bukankah Andiane harus merahasiakan kekuatannya sendiri?

Ya Tuhan, apakah ini jawaban atas kegelisahannya selama ini untuk menyembunyikan rahasia kekuatannya? Mengunci Energi dengan murid paling tidak waras di Institut?

"Tidak, Franco, tidak dahulu," Andiane menggumamkan ucapannya, tetapi nampaknya itu mencapai telinga Franco yang berjarak belasan meter darinya. Pria itu dengan cepat berpindah ke depannya dan meninggalkan jejak asap bekas api yang membuat Andiane terperanjat.

"Apa? Kau tidak bisa menolak seorang Cleventine!"

"Aku tidak bilang aku menolakmu." Andiane mendesis. "Tetapi aku harus merahasiakan kekuatanku. Aku... aku tidak ingin menjadi pusat perhatian. Aku sebenarnya tak ingin mengatakan ini, tetapi karena kau adalah sepupu Viktor, maka kuasumsikan ... kau ...."

Andiane tak menyelesaikan kalimat. Dia bingung betul. Kepalanya terasa mau pecah akibat masalah-masalah yang kian menumpuk. Andiane mengusap wajahnya, ingin sekali menangis, tetapi Franco menggoyangkan pundaknya dengan panik.

"Jangan menangis! Jangan—ah, apa sih masalahmu sebenarnya?"

Andiane mencoba menimbang-nimbang, walau percuma saja. Franco sudah tahu Energinya, dan entah apa yang akan dilakukan orang gila ini kalau Andiane menolak. Sesungguhnya, gadis itu pun tak ingin menolaknya. Dia adalah sepupu Viktor!

Andiane menceritakan dengan singkat masalah utamanya, dan Franco—secara mengejutkan—mendengarkan dengan saksama. Cara dia mengangguk, berpikir, dan mencoba mencerna ucapan Andiane membuat gadis itu mengira Franco selama ini hanya berpura-pura gila. Dia waras.

"Kenapa kau pusing?" tanya Franco pada akhirnya. "Energi itu memilihmu tanpa persetujuanmu, kenapa tidak dinikmati saja?"

Andiane tidak heran mendengar komentar itu, tetapi ada sentilan kecil di hatinya. Dia pernah mendengar hal sejenis dari Alexandra.

Yah, apakah ini sebuah pertanda?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top