Sesuatu yang Disengaja
Hari ini Andiane linglung. Ia tak bisa menjalankan hari dengan baik selain karena terngiang-ngiang akan sesuatu.
Kemarin ... Viktor menciumnya, bukan?
Andiane semakin kepikiran saat mereka akan mencapai pondok Alexandra lagi. Langit hampir memerah, dan Andiane merasa capek betul. Semalam, setelah pesta berakhir, Andiane memaksa Viktor agar mereka segera pulang. Ia mencemaskan sikap Mikhael yang nampaknya ingin berdansa lagi dengan Andiane, dan karena tidak diladeni olehnya, Mikhael menginginkannya untuk menginap di kastel para gadis di kediaman Wyterseen. Viktor dengan cepat memberikan kode kepada Andiane, dan gadis itu menyesal bahwa telah berjanji pada tuan rumahnya untuk bergegas pulang.
Mungkin, lain kali kita bisa mengobrol lagi di Institut, Tuan Mike! Astaga, Andiane bahkan tidak ingin memanggilnya demikian, namun demi menyenangkan hati sang tuan muda yang emosional, Andiane pun menurut. Lagi pula itu tak mengubah apa pun.
Dan, sekarang, ketika Andiane dan Viktor berhasil mencapai pondok Alexandra kurang dari satu hari, mereka kelelahan. Andiane pun terngiang dengan kejadian itu. Terlebih-lebih, mereka melewatkan banyak pembicaraan yang lebih intim di kapal. Tentang masa lalu; gadis-gadis dan lelaki yang pernah disukai, mengapa mereka tak berakhir baik, dan kenyataan bahwa segalanya hanyalah momen-momen melepas rasa penasaran saja. Andiane dan Viktor lantas menyadari satu hal, yang kendati tidak diucapkan, namun mereka yakini bersama dalam hati. Pernikahan palsu ini ... mungkin bisa menjadi sebuah opsi perlindungan ketika mereka perlu beristirahat dari hingar-bingar kekacauan dunia. Benar. Bukankah kau juga menyadarinya?
Andiane tengah memandang lekat-lekat punggung Viktor. Sekarang punggung besar itu terlihat lebih mendebarkan di matanya. Bahu Viktor yang lebar dan aroma tubuhnya ... oh! Astaga, Andiane, berhentilah!
"Selamat datang," kata Alexandra saat keduanya menghampiri teras. Kuali kosong yang biasa teronggok di samping rumah kini berisi cairan pekat, dan sukses mengalihkan perhatian Andiane. "Kalian lelah? Aku sudah menjerang air untuk kalian, tetapi segeralah kembali kemari. Andiane, aku membuatkanmu sesuatu."
"Tentu saja, Profesor." Ia menatap pria itu sebelum bergegas, "Kau mau minum sesuatu, Viktor?"
"Teh lavender, mungkin."
"Dengan madu seperti biasanya?" tanya Andy sekali lagi yang disambut dengan anggukan. Gadis itu pun menghilang ke dalam ruangan, meninggalkan Viktor sendirian dengan sang profesor yang meliriknya.
"Pasangan palsu ini rupanya sudah saling hapal kebiasaan masing-masing? Apa dia baru saja memanggilmu dengan nama?"
Viktor memutar bola mata. "Lagi pula seharusnya kami tinggal bersama."
"Itu alasanmu saja karena terlalu lama membujang, kan?"
"Sudahlah. Apa yang sedang kau buat?" Viktor kuali Alexandra dan mengendus-endus aroma yang familiar baginya. "Aku sepertinya tahu, tapi ... kenapa?"
"Aku hanya ingin memastikan saja," kata Alexandra. "Aku mencurigai ada sesuatu yang menghalangi Energi Andiane untuk keluar. Mungkin akibat Rod ... Apa pun itu, aku harus mengeluarkan penghalangnya."
Viktor mengatupkan bibir. Mengapa ia merasa tidak yakin?
"Kau keberatan, Viktor?"
"Tidak. Lakukan saja. Aku juga berharap Energinya kembali seperti sedia kala. Itu akan lebih mudah bagiku untuk mengawasi dan meniti perkembangannya. Bagaimanapun juga, Energi yang diwariskannya dari Profesor Weston akan membuat Andiane lebih cepat menguasai kemampuan yang dimiliki kakeknya."
"Ya, dan aku sangat berharap kekuatan Sean yang sudah cukup destruktif itu tidak bercampur dengan keburukan Rod." Saat mata Alexandra bertatapan dengan Viktor, wanita itu mendengus. "Kaukira aku pikun? Aku lebih berpengalaman daripadamu soal ini, kau tahu? Kau boleh saja bagian dari Aliansi, tetapi aku telah menghadapi ribuan dehmos beragam yang memiliki belasan ribu masalah di Institut."
"Ya, ya, aku mengandalkanmu."
"Aliansi? Aliansi apa?"
Baik Alexandra maupun Viktor sama-sama melonjak kaget, kendati keduanya sangat baik untuk menguasai kondisi. Viktor menerima tehnya dan tersenyum. "Trims, Manis."
"Sama-sama." Andiane balas tersenyum dengan ceria. "Apa yang kalian bicarakan dengan keras tadi?"
"Pertanyaan bagus, Andy, aku sedang mengingatkan Viktor kalau di usiaku yang terlampau tua untuk para manusia ini, aku masih bisa membuat ramuan dengan akurat! Kemarilah, kau letakkan dulu tehmu dan minum ini sekarang ... mari kita lihat, apakah aku bisa melakukan sesuatu pada apa pun yang menghalang kekuatanmu untuk keluar?"
Andiane sontak merasa tegang, sehingga Viktor mendorong punggungnya dengan lembut. "Tidak apa-apa. Mari kita berharap pengaruh Rod bisa lepas darimu," bisiknya sebagai dukungan. Andiane mengangguk ragu, menyerahkan cangkir tehnya pada Viktor, lalu menghampiri kuali Alexandra dengan waswas.
Alexandra menyendok ramuan biru jernih itu dengan centong kayu besar dan meminta Andiane untuk meneguknya. Andiane berusaha meyakinkan diri jika cairan mengepul itu tidak akan membakar lidahnya, lantas mendekatkan bibir ke ujung centong dengan berhati-hati.
Ramuan itu wangi, dan tidak terlalu panas untuk membakar lidahnya. Andiane menghirupnya, sempat lupa jika ramuan ini bisa saja akan membuatnya kesakitan karena—ah, bukankah melepaskan sesuatu dari tubuh biasanya sakit?
Setelah Andiane meneguknya, tak ada apa pun yang terasa di dalam tubuh. Ia menatap Alexandra bingung. "Profesor," katanya, "aku tidak merasa—oh!"
Reaksinya berubah ketika mendapati sekujur tubuhnya seketika bercahaya. Bukan, tepatnya, ada garis biru cerah yang mengalir di balik kulit tubuhnya, serupa pembuluh darah yang menyebar ke segala arah!
Viktor menyaksikan dengan bibir terkatup. Apakah cahaya itu akan kembali meredup menjadi garis-garis hitam seperti sedia kala? Tanpa sadar Viktor menggenggam cangkir-cangkir di tangannya terlalu erat. Ketegangannya terjawab ketika Andiane tiba-tiba menjerit.
Semula, tubuh gadis itu terasa ringan sekali. Andiane berpikir sesuatu mengangkatnya ke udara, dan kenyataannya, seberkas asap hitam menyembur dari balik roknya. Alexandra berseru, mengangkat tangannya, namun Andiane tersentak dan seluruh barang di sekitar—tumpukan kayu bakar, ikatan-ikatan jerami, kuali-kuali kecil, botol-botol kaca, kotak-kotak kayu, dan cairan di dalam kuali—terhempas ke udara dan menyebabkan ledakan keras.
Asap hitam berhamburan di udara. Alexandra sempat terperangah, tetapi ia cukup cepat untuk menghalau cairan ramuan berbalik menghujani mereka. Akan berbahaya jika menimpa yang lain, sehingga cairan itu menyatu dalam kungkungan kasat mata dan kembali ke dalam kuali. Ia mengibaskan tangan lagi untuk memburai asap hitam, dan mendapati Viktor telah menyangga Andiane yang terjatuh dari ketinggian sekian kaki. Cangkir-cangkir Alexandra terpecah belah di tanah.
"Andiane!"
Alexandra berderap menghampiri, dan betapa terkejutnya ia mendapati asap hitam menyelubungi wajah Andiane, serupa topeng-topeng para anggota Aliansi. Viktor sendiri telah menekan jarinya pada leher Andiane, merapal doa-doa khusus, membuat gumulan asap hitam itu berpilin dan kembali merasuk ke dalam lubang-lubang di wajah Andiane—hidungnya, kedua telinga, dan mulutnya yang megap-megap. Saat asap hitam itu lenyap seutuhnya, Andiane terkesiap dan tangisannya pecah.
Sore yang syahdu itu berbalik muram, dan tak lama kemudian, salju mengguyur lembah Elentaire yang sendu.
Satu jam kemudian, Andiane sudah cukup tenang. Alexandra dengan berbaik hati menyuruh Andiane untuk mampir ke balkon di lantai dua, tempat terbaik untuk mendinginkan situasi apa pun. Alexandra benar. Balkon itu menghadap ke arah perbukitan kecil di lembah. Sepanjang mata memandang, hanya terlihat juntaian ranting pohon mapel tepat di depan balkon, pohon-pohon tinggi berselimut salju di baliknya, dan sesemakan yang serupa barisan kura-kura raksasa. Tanaman lumen senantiasa memendarkan cahaya dari balik sesemakan, membuatnya tampak bagai kunang-kunang yang mengerubungi tempurung kura-kura. Pemandangan salju yang mengguyur membuat Andiane merasa kosong, dan itu lebih menenangkan.
Andiane membungkus tubuhnya dengan selimut. Teh lavender yang dibuatkan ulang oleh Viktor sedikit berpengaruh pada ketenangannya, tetapi keberadaan pria itu di sampingnya yang membuat Andiane merasa kacau. Apakah dia merasa tenang? Seharusnya begitu, tetapi ada kegelisahan yang tak terbendung akibat bayangan-bayangan mengerikan yang kembali memenuhi pandangan saat kejadian tadi sore.
Mimpi buruk itu sempat menerjangnya. Dia yang membunuh Viktor. Bukan Rod. Itu dia.
Mengapa itu bisa terjadi?
Andiane tidak menolak saat Viktor menyusupkan tangan di balik selimut, dan kini jemari mereka saling mengait. Andiane tidak gugup seperti sebelumnya. Entah mengapa terasa begitu natural seolah-olah mereka kekasih yang sejak lama tidak bertemu. Kenyataannya, status formalitas itu bagai perapian yang menghangatkan, melawan badai kesuraman akhir tahun ini.
"Aku pernah berjanji padamu," gumam Viktor, menyentakkan lamunan Andiane. "Aku pernah berjanji untuk membangkitkan Energimu, menjadikanmu dehmos yang hebat, sehingga kau bisa menaikkan derajat keluarga Weston sekali lagi. Namun sesuatu terjadi justru karena aku, dan sampai sekarang aku belum bisa memenuhi janji itu."
Andiane menatap Viktor nanar, tetapi pria itu kesulitan menatapnya kembali. Dia merasa malu dan gagal. Matanya terus tertambat pada daun-daun mapel terakhir yang tersangkut di ranting.
"Apakah Energiku menjadi seburuk itu, Viktor?"
Viktor hampir menjawab ketika terdengar ketukan pintu. Alexandra muncul sembari bergumam, "Aku tak percaya harus mengetuk pintu di balkonku sendiri ... tapi, oh, aku ingin menyampaikan sesuatu." Alexandra menghampiri dengan ekspresi penuh perhitungan. Sepertinya ia juga melalui satu jam terakhir dengan berpikir keras. "Andy, ini soal Energimu. Aku tahu ini mengejutkan bagi kita, terlebih-lebih bagimu yang baru saja menyelami dunia ini, tetapi kuminta kau untuk tidak takut."
"Bagaimana mungkin aku tidak takut?" Andiane nyaris menangis lagi. Genggamannya pada tangan Viktor mengerat.
"Tenang, tenang," kata Alexandra, sama khawatirnya akan kondisi emosinya. Dia sudah tenang, Demi Tuhan! Alexandra pun buru-buru menambahkan. "Maksudku, aku sudah mengajar ribuan dehmos dengan belasan ribu masalah mereka, dan aku mengenal beberapa yang sepertimu. Mereka, yang terperangkap pada stigma masyarakat, bahwa kekuatanmu itu 'jahat'. Tidak, Andy, tidak seperti itu."
Alexandra bersandar pada pagar balkon, merasa lebih rileks saat kedua muda-mudi di hadapannya mendengarkan dengan penuh perhatian. "Viktor mungkin tahu beberapa orang yang demikian, karena akan selalu ada orang seperti itu di Institut kapan saja. Itu bukan salah mereka, Nak. Bukan! Energi yang tertanam pada tubuh, terkadang bukan atas kehendak mereka, benar? Namun Energi-energi ini selalu membutuhkan rumah—kebetulan kau adalah satu di antara yang lain. Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana kau akan memanfaatkan itu untuk hal-hal yang sepantasnya, sesuai dengan hati nuranimu."
Viktor yakin sekedar ucapan terima kasih tidak akan cukup untuk Alexandra Byre. Sungguh. Viktor sama sekali tidak terbayang untuk mengucapkan itu selain ikut memikirkan bahwa Andiane ternyata ditandai Rod untuk menjadi bagian dari Aliansi kelak.
Jika itu terjadi, rencana Viktor bisa gagal. Untuk apa dia repot-repot menikahi seorang gadis amatiran kalau bukan karena ini?
"Lalu apa yang mesti kulakukan?" tanya Andiane frustasi. "Papa dan Mamma tak membolehkan kalau mereka tahu apa yang kumiliki sekarang."
"Mungkin tidak dulu untuk kedua orang tuamu, Andy, tetapi kau akan masuk Institut sebentar lagi. Akan ada lebih banyak cara untuk melatihmu dengan tepat... dan untuk saat ini aku sedang berusaha untuk terus mencari cara agar kau bisa mengenal Energimu. Jika kau bisa menguasainya dengan baik di Institut, semua kekhawatiranmu bisa diselesaikan satu persatu... kau paham? Sekarang, Andy, tenanglah. Kau tidak perlu khawatir," ujar Alexandra, dan menambahkan kata-kata menyemangati yang membuat Andiane akhirnya tersenyum. Gadis itu berterima kasih banyak padanya. Merasa tak memiliki utang penjelasan lagi, Alexandra pun mengklaim dirinya akan menyibukkan diri di ruang kerja, yang itu berarti ia tak ingin diganggu kecuali atas permintaannya. Andiane kembali ditinggal bersama Viktor yang sedari tadi mengunci mulut.
Andiane menarik tangan dari genggaman pria itu. Sekarang ia baru menyadari betapa memalukannya ini. "Apa yang kau pikirkan? Apa kau mendengar yang dikatakan profesor tadi?"
"Ya," jawab Viktor setengah hati. Ia masih menyusun rencana cadangan di benaknya, yang mulai percuma, karena Andiane menghela napas panjang dan itu mengacaukan konsentrasi. Viktor mengernyit. "Bagaimana perasaanmu?"
"Membaik. Aku harap kau juga. Ekspresimu muram betul ... kau sepertinya lebih kepikiran daripadaku. Apa yang kau pikirkan? Janjimu padaku? Kukira perjanjian itu tidak memiliki tenggat waktu, eh? Kau tak perlu merasa gagal setiap kali sesuatu terjadi padaku."
Viktor terperangah. Ia menatap Andiane dengan alis terangkat, sadar bahwa gadis itu menyunggingkan senyum tipis di wajahnya yang sayu. Ada apa dengan gadis ini? Dia baru saja mengalami perubahan situasi secara drastis, namun kata-kata penyemangat Alexandra cukup untuk membuatnya mampu menghibur Viktor, yang jelas-jelas seharusnya melakukan hal itu kepada Andiane.
"Oh, Andy." Viktor menghela napas. "Kau sangat baik."
"Apa?"
"Aku agak bersalah telah membawamu pergi dari orang tuamu. Aku sadar mengapa mereka begitu berat melepasmu; kau benar-benar gadis yang baik. Mana mungkin mereka merelakan anaknya yang baik kepada pria tidak jelas sepertiku?"
"Tidak, orang tuaku justru senang karena kau yang membawaku. Lagi pula apanya yang tidak jelas tentangmu?" Andiane tertawa kecil. Apa pun akan dianggap menghibur, untuk saat ini. "Memang apa yang kau sembunyikan dariku, eh?"
"Rasa malu karena aku tidak pantas untukmu."
"Apa maksudmu?" Andiane tertawa makin keras. Viktor mau tidak mau tersenyum karenanya, meski sebenarnya itu yang dia maksudkan. "Kau ini ternyata bisa bercanda juga, ya, Viktor?"
"Apa maksudmu?"
Andiane menggigit bibir, ekspresinya seperti bocah kecil yang baru saja tertangkap basah mengucapkan kata-kata vulgar. "Jasper bilang kau jarang bercanda."
"Dia bilang apa saja tentangku?"
"Kau senior yang menakjubkan."
"Ah, dia pasti ...."
"Dia banyak memujimu, Viktor. Kalau kau tidak percaya padaku, atau padanya, aku tidak akan diam saja hingga sekarang karena kau tahu-tahu menciumku kemarin."
"Oh, ya?" Viktor menyeringai. "Bukannya aku tidak percaya, hanya saja jika kau mengenal Jasper dengan baik, maka sikapku akan cukup masuk akal bagimu."
"Benar." Andiane menyeruput teh lavender yang telah mendingin, tetapi cukup hangat untuk menghalau dinginnya cuaca untuk mencapai relung dadanya.
"Apa kau kesal?"
"Karena?"
"Karena aku tiba-tiba menciummu kemarin."
"Kalau begitu mengapa kau menciumku?"
"Aku sempat lupa kalau status pernikahan kita hanya formalitas." Andiane mendengus geli mendengar pernyataan Viktor. Ia ingin sekali menghindari tatapan sang pria yang mengintimidasinya, tetapi Andiane mencoba untuk membalas sapaan kedua mata biru pucat itu. Ah, lihatlah betapa sempurnanya Viktor di saat seperti ini ... di bawah keremangan cahaya lilin yang menari-nari di atas mereka, Viktor bersandar pada tangannya dan menatap Andiane dengan saksama, seolah mencoba menguliti sesuatu ... tidak, menelanjanginya untuk mencari sesuatu. Ditatap seperti ini membuat Andiane melupakan ketakutan yang selalu menghantuinya.
Andiane berdeham. "Baiklah, karena lupa adalah suatu bentuk ketidaksengajaan, maka aku tidak kesal, kalau kau mengira aku kesal."
"Kalau aku sengaja, apa kau bakal kesal juga?"
Andiane mengernyit. Kalau ciuman kemarin dianggap tidak sengaja, maka bagaimana ciuman yang disengaja? Andiane tak mau menjadi gadis bodoh, tetapi jujur saja ia memikirkannya, dan ini membuat pipinya memerah tanpa disadari sama sekali.
Namun Viktor mengetahuinya. Sementara Andiane menyelami topik lain yang tentu lebih mendebarkan, Viktor menyelipkan tangannya di belakang punggung Andiane. "Kau tahu, Andy," bisiknya, dan secara natural jarak mereka memendek. "Kau tak perlu memikirkannya sejauh itu."
Andiane tersentak. ia jelas-jelas telah tenggelam pada lamunan yang sebaiknya tak diceritakan kepadamu. Itu sudah ranah paling rahasia Andiane, dan tak ada yang boleh mengetahui rahasia-paling-rahasia seorang gadis. Ia pun menyadari aroma tubuh Viktor yang menggelayut, dan jantungnya berdebar tak karuan.
Andiane menelan ludah. Matanya jelalatan mengawasi tangan Viktor maupun pria itu sendiri.
"Apa? Kau bilang apa tadi?"
Viktor tersenyum, semata-mata karena kegugupan Andiane yang sudah tak tertolong. "Kubilang," bisiknya, "aku bisa membantumu tahu tanpa menerka-nerka."
Ketika jemari Viktor merengkuh bahunya, Andiane tahu tak ada yang lebih masuk akal daripada memejamkan matanya, mengizinkan bibir mereka bertaut sekali lagi setelah seharian saling melirik.
Jika ciuman pertama mereka terasa begitu cepat sampai-sampai Andiane tak bisa memahaminya, sekarang ciuman kedua benar-benar memenuhi waktunya saat ini. Andiane meletakkan cangkir yang kosong di pangkuannya di sela-sela ciuman. Bibir Viktor telah mengaburkan kesadarannya. Ciumannya lembut dan hangat, seolah dinginnya salju tak pernah menghampiri balkon itu. Viktor menarik Andiane mendekat, lantas gadis itu memeluk lehernya.
"Vik—oh!" Andiane refleks melenguh saat Viktor mencumbu rahangnya. Gadis itu merasa seluruh wajahnya memerah. Ia tidak bisa berkutik saat Viktor mendaratkan kecupan di lehernya, menyentaknya karena terpaan napas yang panas, dan Andiane cepat-cepat menariknya kembali untuk berpagut bibir. Ia belum siap sejauh itu, tetapi bibirnya benar-benar menginginkan sentuhan Viktor sekali lagi di sana. Padahal baru kali ini ia mencecap bibir seseorang, tetapi cara Viktor melumat dan menggigir bibir Andiane dengan lembut membuatnya terbuai, lupa sesaat akan kengerian yang merayapinya beberapa saat lalu.
Oh, Tuhan. Apakah dia benar-benar patah hati saat itu? Apakah patah hatinya percuma saja, karena ternyata pria yang membuatnya patah hati ini sudah menciumnya dua kali?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top