Serangan yang Memutar Balik
Franco kali ini bertanggung jawab. Tentu saja! Gara-gara posisi rumahnya yang tidak diketahui Andiane, maka dia sukarela mengembalikan gadis itu ke tempat mereka menghilang. Andiane mulai terbiasa dengan perpindahan sekejap seperti ini, kendati mual tetap menguasai dadanya. Ia tidak lagi terhuyung-huyung separah saat pertama kali diajak Franco pergi. Pria itu berakhir melambaikan tangan kepadanya dengan janji-janji untuk bertemu lagi dan hari-hari yang akan semakin menyenangkan, membuat Andiane yakin Franco sebenarnya masih berada di Institut dan belum didepak.
Andiane melalui pertengahan semesternya dengan baik selepas itu; berkumpul dengan teman-teman sekamar, berusaha keras mengikuti semua pelajaran dengan tekun karena keawamannya sebagai dehmos, dan—yang terpenting—mampu menahan gejolak Energinya untuk tidak keluar secara berlebihan. Pikirannya pun menjadi tenang, ketika pada suatu kesempatan Kepala Institut memberikan ceramah serta peringatan yang membuka hatinya.
"Tidak ada orang yang terlahir jahat di muka bumi ini. Tidak ada orang yang terpilih untuk membawa Energi 'gelap'. Semua Energi berpotensi untuk menjadi buruk ketika niat kalian sudah seperti demikian. Maka, itu semua kembali pada diri kalian sendiri."
Andiane merasa lega betul dengan ucapan itu. Alexandra juga sering mengulang perkataan tersebut saat latihan, dan menambah pada tingkat destruktif kekuatan Andiane, yang menurutnya sangat tinggi. Andiane hanya perlu mengontrol emosi dan gejolak. Ia mengibaratkan Energinya serupa bendungan; celah gerbang yang dibuka haruslah kecil sekali, atau jika kebablasan, maka bendungan akan jebol. Andiane mampu membayangkan hal seperti ini karena ingat betul sensasi saat menghempaskan Rod dahulu; ia hanya mengangkat tangan dan merasa emosinya berlimpah. Itu cukup untuk melempar seorang pria bertubuh besar yang sedang menyiksa dua orang.
Omong-omong, ucapan Kepala Institut sering terngiang-ngiang di benak Andiane. Ia penasaran akan alumni-alumni Institut yang sekiranya ... kau tahu, memilih jalan yang salah. Kekuatan macam apa yang mereka bawa?
Dan, Andiane mendapat kesempatan untuk memelajarinya secara langsung pada awal musim semi yang dingin.
+ + +
3, Bulan Awal, tahun 1820
Seperti kebiasaan setiap murid di Institut, mereka sarapan pagi pada pukul delapan. Mereka bebas sarapan di mana saja—di kantin-kantin asrama, atau di Aula Ardale yang biasa dipenuhi oleh murid-murid kelas pagi. Andiane dan kawan-kawannya sepakat sarapan di Aula Ardale meski kelas mereka baru dimulai menjelang pukul sebelas. Semua tak lain karena Aliss dan gebetan barunya, atau Agnes dan tunangannya, yang tentu saja, tak bisa bertemu secara leluasa di asrama.
Andiane juga sedikit mengantisipasi. Kadang-kadang, para profesor ikut sarapan di Aula Ardale. Meski rasanya mustahil, Andiane berharap Dekan Geneva juga mengunjungi tempat itu, karena Viktor selalu ada bersamanya. Walau Andiane sering bertemu Viktor di akhir pekan, rasanya bakal berbeda kalau menemuinya di Institut, bukan?
Kau tahulah bagaimana rasanya saling curi pandang dengan orang yang hubungannya dirahasiakan denganmu!
Aula Ardale luas, dan suasananya selalu menyenangkan. Bola-bola cahaya menggantung secara bebas di atas meja-meja makan bundar yang memenuhi aula. Para profesor biasa menempati lantai dua, sementara para murid dibebaskan pada lantai pertama. Meja-meja bufet berbaris di sepanjang dinding. Menu-menu dari berbagai belahan dunia memenuhi.
Sementara kawan-kawannya menyebar dalam urusan masing-masing dan berjanji untuk berkumpul di sebuah meja di bawah tangga, Andiane menyendiri. Ia ingin mencoba sarapan khas para penduduk selatan hari ini, dan meja bufetnya terletak sangat jauh! Oh, tetapi Andiane tidak mempermasalahkan. Makanan di aula memang enak.
Ketika Andiane memenuhi sepertiga piring dengan nasi beraroma lavender, ia ingat komentar Viktor di suatu waktu: "Makanlah yang banyak Andy, kata ibumu kau kurus karena penyakit, eh?" dan itu membuat Andiane makin rindu dengannya! Sudah dua kali akhir pekan mereka tidak bertemu ... dan, omong-omong, Andiane tak melihatnya. Padahal ada Dekan Geneva di lantai dua bersama para profesor lain.
"Oh, wajah itu! Wajah yang merindukan seseorang."
Andiane tidak lagi melonjak kaget sekarang. Ia refleks membanting sendok di piringnya, sementara Franco tertawa pelan.
Andiane melotot penuh isyarat, apalagi murid-murid yang berada di sekitar bufet secara otomatis menghindar.
"Apa?" Andiane mendesis. "Pergilah."
"Kenapa kau sekarang berani mengusirku? Kau teman terbaikku, Andy!" Franco nyaris berseru. Ia mengerucutkan bibir. "Atau kau bersikap seperti ini karena memang merindukan seseorang?" ekspresi muramnya dengan cepat berubah menjadi seringai lebar yang menjengkelkan. Andiane tak percaya baru saja meladeninya, maka dia cepat-cepat bergeser untuk mengambil potongan ayam berlapis madu.
"Aku tahu siapa ...."
"Diamlah, Franco."
"Vi ...."
"Franco!"
"Vi—" kata Franco lagi, lebih keras, tetapi suaranya terhalang oleh suara dobrakan, dan—mengejutkan semua orang yang ada di aula itu—pintu aula terbanting keras hingga memadamkan bola-bola cahaya di dalam ruangan. Kobaran api menyeruak cepat dari lorong di luar aula, menimbulkan gagap gempita, dan para murid sontak berlarian ke arah tangga.
Andiane membeku saking kagetnya, tetapi Franco menyambarnya secepat kilat. Udara memadat di sekelilingnya, sebuah sensasi yang tidak asing lagi, dan sedetik kemudian Andiane telah berpijak di lantai dua bersama para profesor. Franco mencengkeramnya erat, tidak membiarkan Andiane terhuyung-huyung.
"Di sini lebih aman dan—oh, oh," bisik Franco, ada kegembiraan yang tertahan di nadanya. "Lihat siapa yang datang."
Andiane nyaris mengumpati Franco, berkata bahwa lebih aman jika mereka meninggalkan aula saja, tetapi angin berembus kencang di lantai dua dan mengalihkan perhatiannya. Asap hitam muncul dari bawah lantai atau dinding, saling menjalin dan memadat menjadi sosok-sosok berjubah. Para Aliansi! Andiane terkesiap melihat jubah-jubah mereka yang mengingatkannya pada Rod. Para anggota Aliansi menyebar dengan cepat, mengerahkan Energi mereka ke satu titik di lantai dasar aula.
Kenapa mereka bisa ada di sini?
Andiane pendek, sehingga agak kesusahan saat mengintip dari balik bahu para profesor yang mengawasi dengan siaga, bersiap-siap kalau-kalau serangan para Aliansi tidak efektif. Jeritan para murid yang tidak siap menggunakan Energi, bercampur dengan amarah para profesor, menegaskan bahwa siapa pun yang menghancurkan waktu sarapan di aula adalah orang yang tak diinginkan. Andiane hanya mampu melihat sekilas sosok itu di antara asap, mengelak dan melempar balik Energi yang dilontarkan para Aliansi. Raungan petir, pusaran angin, dan daun-daun tajam dihempas ke segala arah oleh sosok itu.
Terdengar suara keretak keras, diikuti jeritan para murid sekali lagi, ketika lantai di bawah kaki si penyerang amblas. Kobaran api dengan cepat mengangkat sosok pria berkepala botak itu. Matanya yang menyala-nyala menatap murka ke arah para profesor. Andiane meringkuk ketakutan.
Pria itu menunjuk ke arah mereka. Suaranya meraung.
"Kau akan membayarnya, Wyterseen!"
Andiane sedikit terpukau dengan kenyataan bahwa para profesor tidak kaget, justru menggumamkan kata-kata umpatan. Andiane mencari sosok Dekan Geneva. Hei, sang dekan sudah lenyap! Andiane tak tahu sejak kapan dia menghilang, sementara si Botak Jahat terus berperang dengan para Aliansi. Tawanya menggelegar, menakut-nakuti para murid yang terhimpit di bawah lantai dua dengan kengerian.
"Aku bilang, mana Wyterseen?" seru si Botak Jahat lagi, kali ini meluncurkan apinya ke arah para profesor. Namun, belum sempat api itu mencapai mereka, asap hitam dengan cepat menyeruak di depan Andiane, membentuk sosok yang langsung membekukan api-api itu.
Andiane terkesiap.
Viktor.
Semua terjadi begitu cepat. Si Botak Jahat itu menjadi marah. Ia lebih banyak melemparkan api sembari meneriakkan nama Wyterseen, yang dibekukan oleh Viktor dengan lebih tangkas. Api-api beku itu melayang-layang di udara, lantas para Aliansi meleburnya menjadi hujan serbuk. Para profesor merunduk, dan Franco menarik Andiane untuk ikut. Andiane sendiri menyaksikan pemandangan di depannya dengan ketakutan.
Viktor, melawan si Botak Jahat itu, di garis depan!
Situasi mulai terkendali ketika para Aliansi mengangkat tangan mereka secara serempak, dan muncul gelombang asap hitam dari lubang lantai yang menganga besar. Asap hitam itu menyedot si Botak dengan kuat. Ia meraung murka, lalu menghalaunya dengan api yang berkobar besar. Api itu seolah-olah meledak di seluruh penjuru ruangan, menghantarkan gelombang panas yang mengejutkan, kemudian menghilang dalam sekejap.
Asap hitam itu masih terus menyedot. Murid-murid berteriak heboh saat seseorang nyaris tertarik. Para Aliansi dengan cepat menurunkan tangan mereka, menutup lubang dengan kecepatan luar biasa yang tak bisa dibayangkan. Sesaat kemudian, hanya kesenyapan yang menguasai ruangan luluh lantak itu, sebelum para murid dan profesor berhamburan keluar dengan ketakutan. Para Aliansi menyebar.
Andiane gemetaran. Cengkeraman Franco di pundaknya membuat Andiane tak bisa bangkit. Meski begitu, ia sempat meraih jubah yang membungkus tubuh Viktor, sekadar untuk memastikan bahwa itu memang benar adalah dirinya.
Viktor menoleh, dan—sesuai dengan dugaan Andiane—ekspresinya sama-sama kagetnya dengan sang gadis. Ia menatap Andiane dan Franco bergantian. Keterkejutannya dengan mudah berubah menjadi amarah yang menari-nari di matanya, persis ketika ia membentak Andiane beberapa bulan lalu di pondok.
Andiane menelan ludah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top