Serangan Dadakan
"Tuan!"
Andiane berderap ke arah Viktor. Ia sempat menoleh, dan jantungnya nyaris melonjak mendapati sosok besar berjubah hitam melangkah masuk. Kepalanya terselubung asap hitam! Tak pernah sekali pun Andiane menemui sosok seperti itu, dan ia tak bisa bereaksi selain mengangkat tangan, meminta sosok itu untuk berhenti, tapi percuma saja. Ketika Andiane tiba di samping Viktor, lelaki itu sudah mengguyur sekujur tubuhnya dengan jentikan jari. Kemeja dan jasnya terbakar di bagian dada dan kulitnya kemerahan, seolah-olah darah siap merembes dari pori-pori.
"Keluar!" Viktor mengibaskan tangan dan Andiane merasakan sentakan angin yang sangat kuat menerjang ke arah sosok misterius. Rambut Andiane berkelebat menutupi wajah. Di sela-sela rambutnya ia menyaksikan sosok itu dengan cepat menangkis serangan Viktor. Pigura-pigura di koridor remuk berjatuhan.
Viktor berang. Ia bangkit sembari melemparkan gelombang-gelombang air dengan gencar, yang segera dihalau ke segala arah hingga vas-vas pun terpecah belah dan membasahi sekujur lorong. Viktor mendesis seraya menarik Andiane ke balik punggungnya.
"Oh, Viktor." Jantung Andiane serasa copot mendengar suara yang amat keras menggema di benaknya. Suara itu berat dan penuh dendam. Dari mana suara itu berasal?
"Viktor, kenapa kau membuang suratku?"
Andiane terkesiap. Apakah suara sosok mengerikan itu?
Tanpa sadar Andiane meremas balik tangan Viktor yang menggenggamnya dengan erat. Tubuhnya gemetaran. Jantungnya berdetak kencang, sementara Viktor dan sosok itu mulai melemparkan Energi masing-masing. Gelombang air. Tombak es. Asap hitam. Beliung kecil. Dalam sekejap, koridor rumah luluh lantak dan Viktor meraung kesal. Ia menghujani es-es tajam kepada sang sosok, yang segera dihalau dengan gelombang asap, sehingga tombak-tombak es itu menancap pada pekarangan luar. Namun Viktor cukup cepat untuk memburai asap itu. Sebelum sang musuh membalas, Viktor mendorongnya kuat dengan hempasan angin yang menerbangkan semua serpihan kaca.
Tangan Viktor melepas genggaman Andiane saat berlari mengejar. Andiane nyaris menyeriakkan namanya, tetapi suaranya tercekat. Ia terpaku menyaksikan Viktor menghilang dari pandangan.
Andiane menelan ludah. Ya Tuhan, tangisnya dalam hati, apa yang terjadi? Satu sisi pikiran Andiane menyuruhnya untuk tetap tinggal, tetapi satu sisi lainnya membentak Andiane untuk menyusul. Viktor sendirian, dan dia juga punya Energi! Astaga, apa yang bisa ia lakukan?
"Jawab aku, Viktor!"
Ah, masa bodoh!
Andiane menghambur ke pekarangan depan. Pintu utama masih tergantung pada satu engselnya, berkeriut nyaring. Langit-langit teras mulai mengeropos oleh terpaan gelombang air. Andiane berlari melewati teras, tetapi langkahnya terhenti setelah menyaksikan apa yang terjadi.
"Aku telah lama menantikan balasan darimu, Viktor. Satu dua kata jauh lebih baik daripada mendapati suratmu tercabik-cabik di perapian."
Berada dalam ketinggian beberapa kaki, satu tangan sosok berjubah itu mengangkat Viktor dengan mencekik lehernya. Asap pekat menyelubungi mereka, berkobar dalam lingkaran hitam di sekeliling mereka, melarang siapapun untuk menembus teritori maut itu.
Andiane memekik. "Tuan!"
sang musuh menoleh ke arah Andiane. Andiane terkesiap ketika mata mereka bertatapan—atau tampaknya begitu—karena wajahnya benar-benar diselimuti asap hitam pekat tanpa cela. Andiane merasakan ketegangan menguasai dirinya. Tak ada kata-kata yang bisa keluar selain merasakan tubuhnya gemetaran ketakutan. Kemudian, tahu-tahu saja, sosok itu berdiri tepat di hadapannya. Jemarinya yang dingin dan panjang mencengkeram wajah Andiane.
Gadis itu gelagapan. Detak jantungnya berhenti sesaat, kemudian terpacu dengan cepat dan dadanya berdentam-dentam nyeri. Andiane menjerit kesakitan ketika oksigen di sekitarnya menghilang, atau bahkan mengimpit dadanya, seakan benda setajam es-es Viktor berusaha meremukkan sekujur tulang belulangnya.
Ketika tangan sosok itu mencengkeramnya makin erat, pandangan Andiane menggelap. Matanya membeliak. Kabut kelam merembes keluar dari kedua bola matanya, merambat melalui pipi dan terisap ke dalam mulutnya yang menganga. Suara Andiane tercekat tatkala bayangan-bayangan mengerikan mulai memenuhi benaknya.
Bayangan-bayangan akan lima tahun yang lalu.
Sekolahnya. Kawan-kawannya.
Sementara itu Viktor masih berkutat melepaskan diri. Ia meronta, tetapi sesuatu menahannya. Sebelum ia mampu bereaksi kembali, sulur-sulur asap hitam pekat muncul dari balik tanah dan mengikat dirinya. Viktor berteriak kesal.
"Andy!" suaranya tercekat. Yang dipanggil pun sama-sama tak bisa bersuara selain merasakan dada dan otaknya terbakar hebat. Mata Andiane membeliak dan memerah. Air merembes dari mata dan hidungnya.
Potongan-potongan kenangan itu berganti di dalam benak Andiane. Kini ia melihat asap hitam memenuhi seluruh pandangannya, kemudian mengabur dan menunjukkan keberadaan dirinya di suatu tempat. Semacam sebuah labirin, dengan dinding-dinding semak berhiaskan duri-duri mencuat tajam. Ada Viktor di sana, di depan matanya. Viktor tersenyum, tetapi ia tidak. Ia justru melempar Viktor dengan sekelebat angin dan pria itu mati.
Andiane menjerit.
Tubuh gadis itu terangkat dari tanah. Siapa sosok ini sebenarnya? Kenapa ia sangat kuat? Andiane tak pernah menyaksikan ini sebelumnya. Sosok itu menguasainya dan Viktor. Ia mengangkat mereka tinggi-tinggi, mencekik kesadaran keduanya.
Oh Tuhan, ini lebih buruk dari sebulan yang lalu!
Andiane meronta. Ia menjejakkan kaki di udara, membuang-buang tenaganya dengan percuma. Melalui sela-sela asap hitam yang memenuhi pandangannya, ia menyaksikan tangan lain sang musuh membanting Viktor ke tanah dengan keras.
Hentikan!
Andiane memejamkan mata. Ia ingin menjerit saat merasakan dadanya makin bergejolak. Ada sesuatu. Ada sesuatu yang ingin memaksa keluar dan dimuntahkan seperti sebulan yang lalu. Sesuatu yang menggelegak, bercampur, dan memaksa menjebol seluruh lapisan tubuhnya.
Dan, Andiane melakukannya.
Semula Andiane menjerit. Ia mencengkeram tangan si sosok dengan seluruh tenaga yang ia miliki ke arah sosok itu. Tubuhnya tersentak ke belakang saat merasakan sesuatu terbebas dari ujung-ujung jemarinya, melempar sosok berjubah itu berpuluh-puluh kaki dari tanah. Sang musuh terempas ke pohon oak dengan suara debuman amat keras, bersamaan dengan Andiane yang ikut terjerembab ke tanah.
Sosok itu meraung. Ia beranjak dengan susah payah dan siap melemparkan kobaran asap hitam ke arah Andiane, ketika Viktor melompat ke hadapannya dan menghunjamkan batang es tajam yang sangat besar kepadanya.
"Pergi!"
Sang sosok melolong, kemudian tubuhnya melebur menjadi asap hitam pekat yang memburai di udara.
Andiane terhenyak. Matanya tak berkedip sekali pun menyaksikan kejadian di hadapannya, tetapi setelah sosok itu menghilang, ia merasakan matanya kembali menggelap. Kepalanya berdenyut-denyut, sekujur tubuhnya gemetaran, dan rasanya ia ingin muntah ....
Kepala Andiane terjatuh ke tanah, tepat saat Viktor buru-buru menahan bahunya.
+ + +
Andiane berada di kamar.
Ia tahu itu. Hal pertama yang ia rasakan setelah tersadar adalah kelembutan beludru di bawah kulit. Mata Andiane terbuka pelan, terasa berat, lantas mulai terbiasa dengan suasana kamar yang redup. Lilin-lilin menyala dalam keremangan yang disengaja. Andiane bergumam lirih ketika berusaha bangun. Gerakannya terhenti saat tangan Viktor yang hangat menyentuhnya.
"Sebaiknya kau tetap berbaring." Nada cemas sarat mewarnai ucapan Viktor. Andiane menatapnya lemas dan pasrah saat Viktor menumpuk bantal, kemudian mendorongnya dengan lembut untuk berbaring kembali. "Apa kau baik-baik saja?" tanyanya lagi seraya menyodorkan secangkir minuman hangat.
Andiane tak segera menjawab. Ia memerhatikan sejenak situasi sang tuan sendiri. Ia telah berganti pakaian dan tak terlihat bekas luka apapun di wajah maupun lengannya yang terekspos. Andiane menggeleng saat menerima cangkir itu. "Saya pusing," bisiknya. "Namun saya yang seharusnya bertanya seperti itu."
"Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan." Viktor menghela napas. Andiane menatapnya sangsi dan memberikan isyarat dengan melirik ke dadanya yang tadi terkena kobaran api. Viktor menggeleng. "Aku tidak terluka sama sekali. Energiku cukup kuat untuk menyembuhkan tubuhku. Dan, daripada mencemaskanku, keadaanmulah yang paling parah, Andy. Apa yang ia lakukan padamu?"
Andiane membuka mulut, kendati tak ada kata-kata keluar. Ia teringat kembali bagaimana cengkeraman sosok itu bisa membuatnya menangis asap hitam yang tertelan mentah-mentah. Dalam sekejap, ingatan terburuk menyergap benak gadis itu dan ia nyaris meneteskan air mata.
Andy meringkuk. "Saya tidak tahu," gumamnya lirih. "Penuh asap hitam. Ia membuat saya menangis asap. Saya menelannya dan hal-hal buruk memenuhi benak saya."
Mulanya Viktor terlihat bingung untuk bereaksi, cenderung kehilangan kata-kata, walau ia tidak bisa menghindari tatapan menuntut penjelasan dari Andiane. "Apakah ia musuh Anda, Tuan?"
Viktor membutuhkan waktu yang agak lama untuk menjawab. Dia sendiri nampak meragukan jawaban apapun yang akan diberikan pada Andiane. Pada akhirnya, Viktor mendesah. "Sepertinya sekarang jawabannya sudah jelas."
"Tuan?"
Pria itu beranjak. Ia mengecek jam sakunya, memandang Andiane sekali lagi dengan lekat-lekat, lantas berkata, "Aku sendiri tidak mengerti. Aku bingung. Aku harus pergi, tapi aku tidak mau meninggalkanmu sendirian. Aku juga tidak bisa mengambil risiko mengajakmu. Bagaimana jika terjadi sesuatu? Belum genap dua hari kita pindah kemari dan ternyata kau telah mengalami bahaya! Bagaimana dengan janji yang kuberikan kepada Tuan dan Nyonya Weston?"
Andiane tak bisa merespons. Bagaimana? Kejadian tadi sore benar-benar di luar dugaan. Tentu saja, siapa yang akan menduga? Viktor pun dicelakai, jadi itu bukan salahnya. Sementara itu Viktor mondar-mandir di kamar Andiane. Ia berpikir keras. Andiane dapat mendengar gumamannya sesekali: tapi itu tidak aman ... bagaimana jika ... seharusnya cukup aku ... lalu bagaimana dengannya?
"Namun, jika terjadi sesuatu, setidaknya ada seseorang untuk mengambil alih bahaya itu daripadamu. Jika aku meninggalkanmu sendirian ... aku ... ah, tidak, tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu."
"Tuan?"
Viktor berhenti melangkah dan menatapnya penuh keyakinan. "Kita harus pergi."
Gadis itu tersentak. "Ke mana?"
"Ini terlalu cepat dari yang kurencanakan, tapi aku harus membawamu ke institut," ujarnya. "Aku punya beberapa rekan dekat dan aku yakin ada seseorang yang bisa menyediakan tempat untuk kita sementara rumah ini diperbaiki. Aku tidak mau kau ataupun rumah ini dalam bahaya lagi. Tidak. Lebih baik aku yang mati daripada mengorbankan salah satu."
Andiane berjengit. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia tak tahu mana yang pantas untuk diucapkan. Viktor sendiri tidak memberikannya kesempatan untuk bersuara. Ia menyuruh Andiane tetap beristirahat dan menghabiskan minumannya, kemudian meninggalkan kamar.
Viktor tak kembali lagi hingga Dustan muncul membawakan makan malam untuk Andiane. Wajahnya pucat pasi dan ia berulang kali menyatakan penyesalannya karena tak ada di rumah saat penyerangan berlangsung. Sekali lagi, siapa yang akan menduga itu bakal terjadi?
"Apakah ini pernah terjadi sebelumnya?" tanya Andiane takut-takut.
Dustan menggeleng. "Tuan Viktor saja jarang pulang ke rumah. Ia tak pernah membawa teman kemari, kecuali saudara-saudara jauhnya dahulu, yang hanya datang sesekali dalam lima tahun. Rumah ini selalu sepi, Nyonya."
Andiane bersandar lemas. Kenapa ia mendadak merasa gelisah luar biasa?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top