Rahasia Kesukaan Franco


25, Bulan Fajar, tahun 1820

Sesuai dugaan Andiane, Franco Cleventine memang terkenal di seluruh pelosok Institut. Tidak hanya di Institut, Andaine bahkan pernah mendengar seorang penjual roti di desa mengingatkan ibunya bahwa 'si gila Clevy' telah kembali. Andiane mengira sang ibu akan resah, kenyataannya, mereka justru tertawa.

Selama dua bulan selanjutnya, Franco tak pernah muncul lagi di hadapan Andiane. Gadis itu menjadi gelisah. Ia pernah mencoba mencari Franco secara diam-diam, tetapi sangat sedikit murid yang mencapai tahun ketujuh di sana. Franco seolah tak pernah terendus, sehingga harapan Andiane untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang keluarga Viktor pupus.

Viktor sendiri mengatakan bahwa saudara terdekatnya hanya kakak beradik Cleventine, dan mereka nyatanya tidak dekat sama sekali. Viktor tidak tahu kapan Franco berulang tahun, atau berapa usianya kira-kira. Viktor pernah menyinggung soal kakak Franco, sekali, dan nampak sama jengahnya untuk membicarakannya. Andiane tidak bisa mengulik lagi.

Selama dua bulan ini pula, Viktor datang dan pergi. Kabar baiknya, mereka masih sempat bercumbu di sela-sela waktu, walau selebihnya, Viktor adalah staf Institut yang sama sekali tidak mengenal Andiane. Itu lebih baik. Kabar buruknya, Viktor disibukkan dengan berbagai macam ulah Mikhael. Itu berarti, sesungguhnya Andiane dan Viktor sering bertemu, tetapi mereka tak bisa berinteraksi sama sekali!

Biarlah. Kehidupan Andiane yang baru memang sedikit dramatis. Sang gadis toh menikmatinya.

Maka, pada bulan ketiganya di Institut, Andiane menjadi lebih santai. Ia sudah menguasai dasar pengendalian Energi meski tidak mahir betul. Terkadang ia refleks panik ketika kenangan buruk menyergapnya, yang terjadi kala Andiane harus mengeluarkan Energi dalam jumlah besar. Pun, pengaruh emosi dan kondisi tubuh juga memiliki peran besar! Andiane menganggap Energi serupa alat gerak tubuh yang perlu terus dilatih, dan Alexandra sangat bersabar membimbingnya. Oh, Andiane juga tidak lupa menyebutkan nama sang profesor di setiap suratnya kepada Papa dan Mamma. Mereka juga pernah mengirim hadiah kepada Alexandra, sayang, Institut tidak mudah dijangkau sehingga Viktorlah yang berkunjung ke sana. Entah bagaimana ia bisa mengantar hadiah itu hanya dalam sehari .... Namun, apa pun cara yang ditempuh Viktor, Andiane merasa hangat dengan semua interaksi itu.

Ah, omong-omong soal kemampuan Viktor untuk mengantarkan hadiah ... Andiane mulai curiga akan sesuatu.

Ya, seperti peran semacam apa yang sebenarnya Viktor mainkan di klan Wyterseen. Semula Andiane melihatnya sebagai asisten khusus Dekan Geneva, tetapi sepertinya bukan itu. Viktor ditempatkan di Institut karena sang Count memintanya, maka itu bukanlah pekerjaan Viktor yang asli. Hal terjauh yang bisa Andiane dapatkan dari penjelasan Viktor hanyalah 'semacam mata-mata', yang sebenarnya juga tidak boleh diketahui banyak orang. Alexandra pun tak peduli dengan pekerjaan yang digeluti Viktor. Katanya, selama Viktor tidak pernah membahayakan mereka, maka pekerjaannya aman.

Jawaban macam apa itu? Jadi Viktor bukan penjaga, pekerja bayaran, asisten, atau semacamnya? Lantas apa?

Oh, Papa! Seandainya kau tahu anakmu bercinta dengan suami palsunya, yang juga tidak diketahui pekerjaannya secara pasti ....

"Ah-duh-duh ... murungnya!"

Andiane tersentak. Ia menoleh kepada wajah tak asing yang bersandar pada konter di sampingnya. Andiane cepat-cepat menyerahkan amplop setelah membubuhkan alamat, lantas menggeleng pelan saat Franco tersenyum lebar. Bagaimana bisa ia tidak menyadari pria gila itu masuk ke kantor pos? Para murid yang sedang mengantre telah menyadari keberadaan Franco, dan berusaha keras mengacuhkannya. Karena Andiane tak ingin terseret masalah baru, maka ia buru-buru pergi.

"Hei, Andy!"

Andiane bergidik. "Kenapa kau tahu-tahu sok dekat begini?"

"Apa maksudmu? Sumpah Pengikat kita saja belum putus! Dan, hei, kapan kita bisa menjadi Unison?" kata Franco, yang dengan bijaknya memelankan suara. Ia menyejajarkan langkah Andiane. Namun, gemas dengan langkah sang gadis yang dianggap terlalu pelan, ia mulai melompat-lompat kecil. Ia mengekori Andiane, mengitarinya, atau berjalan mundur di depan sang gadis. "Kau mau ke mana? Tak ada teman? Ayo kutemani, sebab aku kangen padamu!"

"Aku mau menemui teman-temanku untuk makan siang, tolong pergilah." Andiane tak menyangka harus mengusir seseorang dengan cara seperti ini, terlebih-lebih ia adalah sepupu Viktor. Kendati Viktor tak menyukainya, tetap saja Andiane harus menjaga sikap. "Maksudku, temui aku lain kali."

"Kalau begitu setelah kau bertemu dengan temanmu! Atau sekarang saja, sebab jam makan siang masih agak lama!"

Andiane menghela napas. "Aku tidak bisa. Kami akan ... oh, aku takkan memberitahumu."

"Tapi aku kangen Andy!" Franco melolong, membuat orang-orang yang berjalan di sekitar menoleh. Andiane menutup wajah malu. Ia tak punya pilihan selain membawa Franco ke tempat lain yang jarang pengunjung. Duh, di mana kiranya? Oh, taman! Taman itu membosankan, jadi tak banyak yang mengunjungi.

"Kau mau ajak aku ke taman? Tempat yang jarang orang?" Andiane membeliak mendengar tebakan sang pria, membuat Franco terkikik geli. "Sudah kuduga, tetapi jangan di sana! Aku kemari karena ingin bertemu denganmu, Andy, dan kakakku juga."

Langkah Andiane terhenti. "Kakakmu?"

"Ya, kakakku," kata Franco, dan tahu-tahu mencengkeram tangan Andiane. "Bersiaplah. Jangan ambruk lagi!" peringatan itu cukup untuk membuat Andiane waswas, dan benar saja, api muncul dengan cepat dan melahap mereka. Udara tiba-tiba terasa mampet. Andiane panik, dan untunglah itu tidak bertahan lama. Sejenak kemudian udara melepaskannya, menjatuhkannya, dan saat Andiane mendapatkan kesadarannya lagi, kakinya terhuyung-huyung menginjak tanah. Andiane nyaris oleng.

"Sudah kubilang, jangan ambruk!" Franco dengan sigap menariknya. Andiane segera melepaskan tangannya saat keseimbangannya tercapai, karena ia harus mengenal lingkungan baru tempat Franco menculiknya lagi.

Andiane tak berpijak pada tanah, melainkan lantai kayu. Sebuah ruangan melingkupi mereka dengan suasana yang janggal. Hangat, meski cuacanya dingin. Sesak, padahal perabotannya sangat minim. Di antara furnitur-furnitur lawas yang berusia hampir seratus tahun, satu-satunya yang paling muda di sana adalah seorang pria yang tengah memasukkan kayu bakar ke perapian.

Pria itu seolah tahu apa yang terjadi di belakang punggungnya, karena sama sekali tak nampak terkejut dengan kehadiran Andiane dan Franco. Ia justru tetap menyodok-nyodok kayu bakar saat Franco melemparkan api ke perapian.

"Tunggu sebentar, ya?" pria jangkung itu beranjak. Andiane sadar ia sedang diajak bicara, karena tak mungkin Franco akan disapa sedemikian lembut. Andiane mengangguk kaku.

"Duduklah!" kata Franco dengan riang. Dia memilih untuk bersandar pada perapian. "Nik akan membuatkan teh paling enak di dunia!"

"Nik?"

"Niklaus Cleventine, Nona Weston. Senang bertemu denganmu." Nada Niklaus menyiratkan bahwa ia sudah sangat hapal, dan mafhum, atas tingkah adiknya. Tentu saja! Franco adalah adik kandung. Mereka mirip, kendati sangat berbeda. Niklaus elegan, rapi, dan tertata dalam setelan yang dijahit dengan penuh kehati-hatian. Lengan bajunya ditekuk dengan sedemikian halus hingga tak meninggalkan lekukan berlebih. Janggutnya tipis, dan selain kerapian penampilannya yang ditata sedemikian rupa, satu-satunya yang tak terawat adalah kantung matanya yang besar.

"Oh, kau saudara Viktor." Andiane tak butuh basa-basi lagi. Toh Niklaus mengangguk. Ia menuangkan teh pada cangkir-cangkir di nampan.

"Bagaimana kabarnya?"

Andiane berusaha memahami situasi. "Dia baik, dan sehat-sehat saja. Apa kalian ... jarang bertemu?"

"Kuasumsikan dia tak pernah bercerita tentang kami karena kau tak tahu namaku." Niklaus menghampiri dengan senyum manis yang mampu membuat Andiane jatuh hati, seandainya ia tak terus-terusan memikirkan Viktor. "Dimana itu adalah hal yang wajar, dan aku tak akan sungkan-sungkan mengakuinya. Kau memiliki hubungan dengan Viktor, yang aku tak peduli akan kebenarannya, karena yang jelas—kau punya hubungan dengannya."

Andiane balas tersenyum dengan canggung. Ia tak tahu harus merespon apa. "Aku ... aku senang bertemu denganmu juga, Niklaus."

"Tuan Niklaus, dia seorang Dewan Tinggi, lho." Franco terkikik geli.

Andiane menatap Niklaus dengan takjub, sekaligus ngeri. Ia menutup mulut dan nyaris meminta maaf, yang segera direspons Niklaus dengan memutar bola mata. "Aku bukan siapa-siapa di sini. Aku hanya ingin berbicara denganmu sebentar, sebagai ... yah, kerabat terdekat Viktor."

"Kau seorang Dewan Tinggi," Andiane mengabaikannya. "Astaga, aku berbicara dengan seorang Dewan Tinggi!"

Franco bertepuk tangan. Dia bangga sekali dengan status abangnya. Normalnya, Niklaus akan jengah, tetapi sang abang hanya terdiam menyesap teh. Dia memang sudah lelah dengan semua ini ... tetapi, ah, bukankah ini jauh lebih baik daripada Dewan-dewan Tinggi busuk yang tak kunjung beranjak dari kursinya?

"Oh, santailah! Dewan Tinggi tidak tinggal di rumah semacam ini." Niklaus menyunggingkan senyum. "Dan tidak membuat teh dengan tangannya sendiri. Nona Weston, kukira kau dibawa Franco kemari di tengah kesibukanmu. Mari kita segera membicarakannya, dan menipiskan kemungkinan Viktor mengetahui pertemuan kita."

"Astaga, aku suka ini." Franco berusaha keras tidak memekik. "Rahasia! Pertemuan di belakang! Rahasia!"

"Diamlah, Frank. Kau selalu membuat Nona Weston kesulitan." Senyum Niklaus lenyap, digantikan dengan kekesalan yang sudah lama tertanam di wajahnya. Nah! Ini dia yang Andiane nanti-nantikan. "Aku yakin dia pasti merepotkanmu sejak minggu pertamamu di Institut ya? Unison ... Unison. Dia ngotot sekali ingin menjadikanmu sebagai Unisonnya."

"Kita bahkan belum memutus sumpah!"

Niklaus menatap Andiane heran. "Kau yakin, Nona Weston? Meski dia adikku, aku tak akan memanis-maniskan ucapanku, atau memohon untuknya. Dia sudah dewasa, begitu pula denganku, dan urusannya adalah urusannya."

"Entahlah, Niklaus. Dan, cukup panggil aku Andy saja! Lagi pula pilihanku hanya dua, dan aku tak bisa condong kepada salah satu. Satu-satunya alasan aku mempertahankan sumpah ini karena masalah Energiku."

Niklaus tak sanggup berkata-kata. Ekspresinya seolah ia baru saja kalah taruhan dari orang paling dungu dan tak berguna di dunia. Ia berkutat mencoba untuk tidak ambil pusing. Franco terkekeh terus di belakangnya.

"Aku takkan bertanggung jawab atas ... atas apa pun yang kemungkinan menimpamu karenanya."

"Tidak apa-apa. Aku paham." Andiane mendengus. Ia melirik Franco yang mengedipkan mata. "Kau pasti sangat sibuk, Niklaus. Aku tak mau merepotkanmu atas keputusan-keputusan yang kubuat sendiri."

"Baiklah." Niklaus tak repot-repot menyembunyikan kelegaannya. "Jadi, mari kita acuhkan bocah di belakang ini untuk sementara waktu. Aku ingin menyampaikan sesuatu padamu, karena aku yakin hubunganmu dengan Viktor cukup dekat. Aku tidak ingin membebanimu, sebab kita pun baru bertemu, dan aku tak punya hak atas itu, tetapi aku mengkhawatirkan Viktor dan kaulah yang paling berhak tahu atas ini."

Andiane refleks menegakkan punggung. Tegang. Reaksinya membuat Niklaus menyeringai geli. "Tenang," katanya. "Aku hanya ingin tahu apa yang Viktor lakukan selama ini. Itu saja. Karena, kau tahu, dia sepupuku dan pekerjaan tidak jelasnya itu membuat posisiku sebagai Dewan Tinggi sedikit terancam." Melihat ekspresi Andiane yang ragu-ragu, Niklaus menambahkan lagi. "Kalau kau mengira aku hanya memikirkan diriku, sepantasnya saja sebab Viktor kerap meremehkan situasi."

Andiane menelengkan kepala. "Aku bahkan tak mengerti dia bekerja sebagai apa, selain menjadi asisten Dekan Geneva di Institut. Kalau kau membicarakan Viktor yang meremehkan situasi ... aku sungguh tidak tahu akan hal itu."

Sementara Franco melolong, Niklaus menghela napas kecil. "Aku tak ingin mencampuri hubungan kalian, jadi urusi itu bersamanya. Tapi, aku mesti berbuat sesuatu untuk kepentingan ini. Aku akan terbuka padamu akan satu hal, Andy, meski ini pertemuan pertama kita, tetapi mempertahankan posisi di Dewan Tinggi itu tidak mudah. Hanya karena aku seorang Cortess bukan berarti aku akan aman di sana ... tidak. Tidak. Apalagi hanya kami yang tersisa di keluarga; aku dan adikku ini."

"Viktor?" Andiane bergumam. "Ah, tapi dia ...."

"Ada apa? Kalau melihat ekspresimu, kukira Viktor sudah pernah menyatakan bahwa ia tak ingin melibatkan diri dengan Cortess." Tebakan Niklaus disambut anggukan pembenaran. "Aneh sekali. Dia lebih senang diperbudak Wyterseen, ya? Padahal aku sudah berulang kali menawarkan posisi yang lebih bagus."

Andiane merasa terganggu dengan komentar itu. "Apakah terjadi sesuatu antara dia dan Cortess? Maksudku, dan luruskan aku jika pemahamanku sebagai rakyat biasa ini salah, bukankah memosisikan diri secara imbang pada klan-klan besar itu baik?"

"Idealnya demikian, tetapi tidak di tanah Demania Raya yang pelik ini." Niklaus mendesah. "Wyterseen menguasai, itulah kenapa Viktor menempatkan dirinya di sana. Ia berpikir dengan mengambil posisi yang aman maka derajatnya tidak akan disenggol ... dia tidak cukup perhitungan, kukira. Dia terburu-buru, dan meski bertanggung jawab atas pilihannya, Viktor harusnya mau mendengarkan aku."

Andiane tergelitik. Dia menatap Niklaus dalam-dalam, lalu berbisik. "Apakah hanya kalian yang tersisa dari keluarga satu sama lain?"

"Bisa dibilang begitu," kata Niklaus, senang dengan pemahaman Andiane. "Karena itulah aku mengkhawatirkannya."

"Oh! Seandainya aku bisa membantumu," kata Andiane. Dia merasakan ini adalah kesempatan yang besar untuk mengenal Viktor. Terlebih, seorang sepupu yang merupakan anggota Dewan Tinggi!

"Tentu saja kau bisa." Mata Niklaus melebar. "Jika kau bersungguh-sungguh akan keinginanmu, kukira aku bisa membantumu akan hal lain, Andy."

"Membantuku dalam hal apa?"

"Apa saja." Niklaus tersenyum, menyihir Andiane dalam pesonanya yang selama ini tersembunyi. "Aku Dewan Tinggi di Demania Raya. Aku berhak melakukan apa pun yang kumau."

Andiane merasakan jantungnya berdebar. Oh! Dia tak menyangka akan terlibat dalam sebuah situasi yang menariknya lebih dalam lagi ke dunia Viktor. Ia memang mengharapkannya, walau ini membuatnya takut sekaligus bersemangat. Ketika tangannya berjabat dengan Niklaus, disertai deru kegembiraan Franco, Andiane tahu tak ada kesempatan untuk mundur lagi.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top