Lika-liku Tahun Baru
22, Bulan Akhir, tahun 1819
Institut dimulai tepat dalam dua minggu. Alexandra mengumumkannya sepulang dari kampus sembari membawa sebendel gulungan perkamen. Murid-murid baru maupun senior sudah mulai berdatangan untuk menyesaki asrama dan jajaran penginapan di kota.
"Apa aku bakal tinggal di asrama?" tanya Andiane, yang disambut anggukan kedua pendengarnya.
"Tentu saja. Murid-murid wajib tinggal di sana, kecuali kalau kau sudah berkeluarga dan membawa anakmu kemari," kata Alexandra. "Atau, kalau pasanganmu adalah seorang profesor maka kau bisa ikut tinggal bersamanya di rumah dinas .... Ada apa dengan kalian? Mau tinggal bersama? Bukannya status kalian palsu?"
Viktor dan Andiane telah bertukar pandang sejak Alexandra berceloteh, dan sindiran sang profesor membuat keduanya tersentak. Viktor hanya mendesah keras sementara Andiane menyendok makan siang dengan canggung.
Status mereka boleh saja palsu, tetapi kejadian seminggu yang lalu masih jelas membekas di bibir mereka. Keduanya pun sama-sama sadar bahwa tindakan saat itu membuat perjanjian mereka semakin rumit. Maksudnya, tentu saja itu bagus! Namun, Viktor merasakan kegelisahan. Dia memang pernah menduga hal seperti mungkin saja terjadi, tetapi ia tak benar-benar memaksudkannya. Sekarang, ia sibuk selama seminggu terakhir membuat rencana-rencana baru untuk mengendalikan Energi Andiane, dan berusaha menyingkirkan bayangan akan ekspresi gadis itu saat diciumnya.
Gadis itu lugu betul. Viktor merasa ingin terus ... menyentuhnya.
"Maksudku ... ya, pernikahan kalian legal dan legal pula untuk membuat anak, tapi itu bukan ... cara yang bagus agar bisa tetap tinggal di sini."
"Profesor!"
Alexandra terkekeh. Ia terhibur melihat Andiane yang gugup hingga tidak sanggup menikmati makan siang dengan baik, terlebih-lebih Viktor duduk di hadapannya. Pria itu bisa merespon sang profesor dengan santai, karena dia sendiri sudah dewasa, tetapi tidak dengan Andiane yang masih berusaha untuk adaptasi.
Alexandra kemudian mengambil posisi di kursi yang tersisa. Sembari bersandar, ia bertanya. "Kau siap untuk menempati ruangan yang sama dengan dehmos-dehmos lain, Andy? Untuk saat ini, situasi membuatmu belum bisa ditempatkan bersama dehmos Murni."
"Tapi Count menyukainya," kata Viktor. "Aku khawatir dia akan ditempatkan bersama para dehmos Murni."
"Apa bedanya?"
Alexandra bertatapan dengan Viktor. "Aku tidak sepantasnya mengatakan ini karena kami berdua akan kembali menjadi staf di Institut ... tetapi, oh, Andy, kami mencemaskan gelombang Energimu. Dan, sesuai rencana yang sudah kami bentuk seminggu ini, sebaiknya kau menahan diri untuk tidak mengeluarkan kekuatanmu."
"Apa hubungannya dengan para dehmos Murni?"
Alexandra mengembuskan napas. "Lupakan soal itu, dan mari berharap kau tidak benar-benar ditempatkan bersama mereka. Persoalan Count yang menyukaimu, aku yakin ada banyak yang juga menarik perhatiannya. Dia tak akan memprioritaskan seseorang saja. Sebab ... oh, Institut ini adalah tempat para dehmos di seluruh dunia berkumpul, kau tahu? Ada beragam Setengah Monster dengan masalah-masalah yang lebih kompleks."
Andiane merasa lebih tenang. Oh, bukankah Alexandra adalah sosok yang baik? Kalau dipikir kembali, Alexandra memang seusia dengan kakek Andiane! Dia pun tidak segan membahas hal vulgar dan mudah sekali membuat ketegangan Andiane mereda. Gadis itu mengawasi sang profesor bergegas, lalu menyuruh Viktor untuk membawakan gulungan perkamennya ke lantai atas.
Viktor muncul lagi tak lama kemudian sambil membawa dua tumpuk piring kosong. Ia mengomel tentang kebiasaan jorok Alexandra, yang disambut senyum geli Andiane, dan gadis itu mengambil alih piring-piringnya.
"Omong-omong, aku akan pergi nanti malam."
"Kenapa aku tidak heran?"
Viktor mendengus mendengar balasan sarkas Andiane. "Aku akan menemui tuanku sekali lagi sebelum kembali ke Institut. Ada banyak hal yang perlu kuselesaikan, dan sepertinya dia juga memintaku untuk mengawasi Mikhael."
"Oh, tuan muda cecunguk itu."
Viktor tersedak. "Mengapa kata-katamu jadi kasar begini, Andy? Alexandra pasti mengajarkanmu terlalu banyak hal!"
Andiane merespons dengan seringai lebar. "Bukankah begitu? Aku tidak bisa membayangkan akan berteman dengannya di Institut kelak. Aku betul-betul berharap ada banyak gadis cantik untuk mengalihkan perhatiannya! Aku bukan siapa-siapa, selayaknya tidak menjadi teman Tuan Muda Mike."
"Count ingin kau menjadi Unisonnya."
"Unison apalah itu." Andiane menghela napas. "Dengan situasiku yang seperti ini, rasanya tidak mungkin. Lagi pula bukankah Unison tak bisa asal ikat sumpah? Ada banyak hal yang mesti dipertimbangkan; kecocokan kepribadian, kecocokan Energi, kecocokan ... banyak sekali hal. Aku tidak merasa ada satu pun hal yang cocok antara diriku dan tuan muda itu, kecuali kita sama-sama dehmos!"
Viktor tak menjawab. Andiane mengira pria itu sedang berpikir untuk mencari cara ... apa pun itu. Bagaimana pun juga mereka tak mungkin mengecewakan sang Count, tetapi apa yang harus mereka lakukan?
Andiane tersentak saat merasakan terpaan napas hangat di sampingnya. Gadis itu menoleh tepat ketika Viktor menyandarkan satu tangannya pada konter. Dada Andiane berdegup kencang. Kenapa posisinya seperti akan ...
"Kau tidak perlu cemas," kata Viktor, suaranya lembut dan memanjakan telinga Andiane. "Aku akan mengurusnya dan mencoba mencari cara selama pergi. Kau tetap jalankan kehidupanmu sebagaimana biasanya, ya? Sebisa mungkin tahanlah dirimu agar tidak menggunakan Energi di depan umum, dan aturlah emosimu."
"Ya ...," jawab gadis itu pelan. "Dan, sampai kapan kau akan pergi?"
"Aku akan kembali saat tahun ajaran baru telah dimulai."
"Oh!"
Viktor tersenyum. "Sampai saat itu, Andy, manfaatkanlah waktu sebaik mungkin bersama Alexandra. Dia akan kepayahan karena mengajar banyak kelas, dan mungkin lebih sibuk daripada kita. Pondok ini juga bakal kosong, tapi bukan berarti kau tak bisa kembali kemari setiap akhir pekan."
"Pada akhirnya aku akan sendiri, ya?"
Andiane merasa sekujur tubuhnya menggelenyar saat Viktor menarik helai-helai rambut dan menyimpannya di balik telinga. Pria itu menarik dagu Andiane agar mereka bertatapan. Andiane sadar betul pipinya memanas.
"Kau pasti bisa, Andy. Aku percaya padamu."
Andiane tersenyum. Viktor mengelus bibirnya dengan jemarinya yang kasar, lantas mendaratkan kecupan di pipi. Andiane menikmati setiap sentuhan Viktor, berharap waktu mau berhenti berputar, dan mereguk aromanya tanpa cela untuk disimpan dalam kotak memori.
+ + +
13, Bulan Dingin, tahun 1820
Langit telah lama meredup ketika Niklaus Cleventine menyusuri sebuah lorong kelam di sudut Covac. Tak ada tanda-tanda kehidupan di jalan selain tikus-tikus kecil yang berlalu-lalang di bawah bayang-bayang lampu. Ia terus berjalan melewati kedai-kedai yang gelap, pot-pot bunga panjang berukir dengan tanah bercecer, dan bunga-bunga lili dan anyelir yang berpadu liar dengan tanaman rambat di balkon-balkon tetangga.
Ia berbelok ke celah di antara dua bangunan yang nyaris tak terlihat. Letaknya diimpit oleh sebuah toko parfum dan toko roti yang hanya buka di siang hari. Ada sebuah pintu di salah satu sisi bangunan, dan Niklaus segera menyadari cat pelapis baru berwarna merah. Ia mendengus kesal. Oh, itu sangat mencolok dan bakal menarik perhatian.
Saat ia membuka pintu, kegelapan menyambut secara natural.
Namun, sedetik kemudian, muncul bola-bola api dari langit-langit ruang, yang ditembakkan ke seluruh lampu-lampu minyak di sekeliling ruangan. Dalam sekejap, ruangan itu terang benderang, menampakkan perabotannya yang tergeser pada posisi-posisi yang sama sekali berbeda dari terakhir kali Niklaus meninggalkan rumah ini, setengah tahun lalu.
Satu-satunya yang tak berubah adalah keberadaan adiknya yang tergantung terbalik di pusat langit-langit.
Sang adik menyeringai lebar. "'Alooo, Kakak!"
"Aku harap suatu saat nanti kau tergantung karena memang mati, Frank."
"Jahat sekali." Franco Cleventine mendesis. Ia berayun-ayun ringan sambil menjentikkan jari. Bola-bola api tercipta dan melayang-layang di sekelilingnya. "Kau akan kesepian kalau aku mati."
"Seandainya hanya aku seorang yang hidup di muka bumi ini, kemudian ada kau, rasanya bumi itu sama sesaknya dengan kehidupanku sekarang."
"Kalau begitu aku pelengkap hidupmu. Ah, Manisnya!"
Franco tertawa lantang, terlebih-lebih pada kenyataan bahwa Niklaus tidak mencoba untuk menjadi yang terakhir untuk berkata-kata. Sang dewan menggantung jas dan topi pada kapstok di tepi pintu, lalu menghampiri sofa ketika Franco menjentikkan jari sekali lagi. Api muncul memercik di antara tumpukan kayu bakar yang teronggok di perapian. Kehangatan dengan cepat meluber di ruangan, meranggas dinginnya musim salju yang membekukan jendela-jendela. Niklaus meraih teko di meja, mengendus isinya, dan menyesal perbuatan refleks ini. Franco terkekeh. Matanya mengekori sosok Niklaus yang kini menjerang air.
"Kapan waktumu kembali ke Institut?"
"Coba kulihat," ujar Franco, tetapi alih-alih melompat turun, ia justru melipat tangan dan memejamkan mata. Tubuhnya berayun-ayun dengan lebih heboh. "Ah! Institut sudah dimulai minggu lalu."
Niklaus menuang air ke cangkir tanpa ekspresi. Franco terkekeh lagi, berharap sang abang akan memarahinya seperti biasa, tetapi Niklaus tak menunjukkan tanda-tanda demikian. Ia sibuk membuat kopi. Franco cemberut.
"Kembalilah ke Institut."
"Tidak," tukas si adik. "Beri aku alasan kenapa mesti kembali ke sana. Aku bisa belajar di mana pun yang aku mau tanpa perlu terkungkung di lembah ...."
"Bagaimana kalau mengawasi seorang bocah baru?" tanya Niklaus. "Andiane Weston."
"Andi ... siapa? Laki-laki atau perempuan? Andi ... Anne sesuatu?" Franco mengangguk-angguk. "Pasti perempuan, ya, begitu. Aku tidak mau kembali ke Institut kalau itu adalah nama laki-laki. Namun, Andi-Anne! Ya, pasti seorang gadis. Bukankah begitu?" ceracaunya pada diri sendiri. Ia memutuskan seperti itu sembari menyisirkan jari ke rambut pucatnya.
"Andiane Weston adalah istri Viktor Olliviare."
"Istri!" Franco melolong. "Oh, ternyata sudah menikah! Tapi, tunggu. Istrinya siapa, kau bilang? Viktor?"
Niklaus tak menjawab selain menyesap kopi lambat-lambat. Lagi pula, Franco akhirnya melompat ke sofa di seberang Niklaus dan berjongkok di sana. "Sungguhan, Viktor Olliviare?" Kedua matanya membulat dalam kekaguman. "Sepupu kita yang masih tersisa?"
Niklaus menatap adiknya, masih tanpa gejolak ekspresi. "Nona Andiane adalah keturunan dehmos Murni. Awasi dia dan kuharap kau cukup cerdas untuk bertingkah sesuai dengan pemikiranku."
"Apa yang spesial darinya kalau seorang Dewan Tinggi semacammu berkata begitu?" Franco mengernyit, dan lagi-lagi pertanyaan itu cenderung ia tujukan pada dirinya sendiri. Niklaus toh tak repot-repot merespons. "Dia dehmos Murni, lalu apa?"
"Kau akan tahu sendiri."
"Oh, aku tahu, aku tahu." Franco menyeringai. "Kenapa kau mau aku mengawasinya? Pasti kau mencoba berdamai lagi dengan Viktor dan gagal! Boleh! Aku akan kembali ke Institut besok."
Niklaus memutar bola mata. "Dan aku ingin kau mulai mempertimbangkan pencarian Unisonmu sebelum kau didepak keluar, Frank."
"Kalau begitu Andi-Anne!" ujarnya, dan ketika Niklaus akan membalas, ia langsung mengangkat tangan. Ia tersenyum lebar. Ia selalu menyukai saat-saat dimana ia bisa menyela meski Niklaus tidak terpengaruh sama sekali dengan itu. Hanya kesenangan semata bagi sang adik, dan ia pun berkata, "Aku akan menjadikan si Weston sebagai Unisonku. Viktor pasti mau tidak mau akan berdamai denganmu. Bukankah aku adik yang baik?"
"Sesukamu saja," tukas Niklaus. "Kalau dia sudi."
"Oh, dia sudi."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top