Kepulangan yang Tenang
7, Bulan Tanam, 1820
Kurang dari satu minggu, segala hal berubah.
Dahulu, Alexandra dan Viktor berusaha keras untuk menahan pergolakan Energi Andiane. Entah karena mereka tak mampu menanganinya, atau memang sebaiknya begitu. Kenyataan bahwa sekarang Andiane justru tidak boleh meminum ramuan apa pun, dan harus membiarkan gejolaknya mengalir deras, membuat gadis itu ketakutan.
Sejujurnya? Dia tidak pernah berpikir harus melakukan ini.
Andiane mengangkat kedua tangan, yang sebenarnya tak perlu, karena tanpa gerakan-gerakan isyarat, Energinya telah bergerak sendiri. Di hadapannya, empat pria besar tengah melayang di udara. Wajah mereka sebagian pucat, sebagian merah, karena Andiane harus mempertahankan posisi mereka melayang dengan terbalik di atas danau kecil milik sang Count. Konon ada vehemos yang berenang di dalamnya, dan meski tidak memiliki Energi, vehemos itu memakan daging.
"Pertahankan, Andiane," kata Rod diiringi sorak para Aliansi yang bersyukur mereka tidak kalah taruhan. Siapa yang mau mempertaruhkan martabat mereka dijadikan uji coba seorang gadis? Kendati dia adalah seorang dehmos Murni, tetap saja, Andiane Weston hanyalah gadis berusia 23 tahun. Sebagian anggota Aliansi bahkan sudah berusia setua ayahnya!
"Sampai kapan, Rod?"
"Sampai kau tahan," kata Rod, dan sepintas kemudian sebuah kilat menerjang ke arah Andiane. Gadis itu refleks memutar balik kilat yang diluncurkan seorang Aliansi, menghantam sebuah batu dengan keras, dan merasa jantungnya berdentam-dentam karena masih mampu mempertahankan empat Aliansi di atas kolam.
"Lagi!"
Kenyataan bahwa Andiane tidak bersusah payah saat mengelak serangan, bahkan menyerang balik para Aliansi itu membuatnya ketakutan. Kenapa ini mudah baginya? Kenapa ia tidak merasa lelah? Satu-satunya yang menjadi penghalang Andiane adalah kengeriannya.
"Kau akan berhadapan dengan orang-orang di luar sana, Andiane!" kata Rod, semakin bersemangat seiring dengan bertambahnya jumlah serangan. Andiane memekik saat bola api hitam nyaris saja menghantamnya, tetapi Energi Andiane dengan sigap memadamkannya tepat di depan mata sang gadis. "Siapa tahu kau justru bisa menggantikan posisi wakil kapten!"
Andiane terkesiap ketika para Aliansi tertawa. Itu adalah posisi Viktor! Dan, menyadari bahwa keempat pria di atas kolam itu mampu tertawa mengejek sementara wajah mereka telah merah padam, Andiane membiarkan mereka tercebur kolam. Tak terbayangkan wajah ngeri mereka saat air kolam bergejolak, membuat siapa pun yang tertawa menjadi panik. Namun, Rod menghentikan para Aliansi lain ketika keempat pria itu tiba-tiba terangkat, tepat saat vehemos yang ditakutkan memunculkan moncongnya, dan Andiane mengempaskannya ke lapangan rumput dengan keras.
Suasana senyap. Ketika para Aliansi itu menatap Andiane dengan tegang, Rod justru menyeringai kecil. Gadis itu menghampirinya dengan langkah lebar.
"Sudah menjelang petang, aku mau pulang ke rumah. Count sudah berjanji aku boleh pulang setiap akhir pekan."
"Silakan," kata Rod dengan kalem. "Kembalilah sebelum jam sarapan pada awal pekan atau Count akan menahanmu."
Alih-alih mendengarkan, tubuhnya melebur ke udara. Para pria Aliansi tersadar akan situasi sang dehmos Murni yang masih belia. Mereka berjanji dalam hati tidak akan merusak suasana hatinya, menjaga Andiane sebagaimana adik kecil atau anak perempuan yang gampang mengambek. Mereka tak mau martabat mereka sebagai pria dipermainkan oleh gadis semacamnya.
Rod sendiri memandang ke arah dimana Andiane lenyap. Baru tiga hari. Baru tiga hari Tuan Kastor melatihnya dan Andiane mampu melakukan semua ini; hal-hal yang belum dikuasainya selama berbulan-bulan. Rod bertanya-tanya tanpa henti di dalam hati akan kemauan Viktor sesungguhnya, membiarkan Energi sebesar milik Andiane terkungkung selama itu dan hanya ditahan dengan sebuah ramuan.
Ah, omong-omong, cecunguk itu belum ditemukan juga.
Sementara itu, Andiane muncul tepat di depan pintu rumahnya.
Gadis itu terhuyung-huyung dan bersandar pada dinding rumah. Kenapa dia sok sekali dengan ber-Etad menggunakan Energi aslinya? Kendati Tuan Kastor telah mengajarinya, Andiane belum cukup terbiasa. Ia berpegangan pada kenop, memutarnya dengan harapan Papa dan Mamma baik-baik saja. Ketika pintu berkeriut terbuka dan terlihat sosok Mamma yang bertandang di dapur bersama pelayan wanita mereka, Andiane menghela napas lega.
"Oh, Mamma."
"Andy!" Mamma memekik tak percaya. "Kau sudah pulang, Nak! Astaga, Papa! Papaa!"
Andiane tersenyum saat Papa tergopoh-gopoh menghampiri dapur dengan kesal, tetapi emosinya lenyap saat melihat putri bungsunya di ambang pintu. Papa berhamburan untuk memeluknya. Sepintas kemudian terdengar langkah kaki berderap dari arah tangga, dan ternyata kakak-kakaknya pun berkunjung!
Andiane sudah lama tak merasa sebahagia ini—jika mengabaikan momen-momen bersama Viktor—dan wajahnya pun memerah. Terlampau senang ketika merasakan kehangatan pelukan keluarganya kembali.
Sungguh! Mari kita ingat-ingat kapan terakhir kali Andiane berbahagia bersama keluarga sendiri? Enam bulan yang lalu, ketika penyakit Andiane dinyatakan sembuh! Tentu saja itu sudah lama, dan terlalu lama bagi Papa dan Mamma yang semakin sepuh.
Hari itu Andiane memutuskan untuk mengabaikan apa pun yang berkaitan dengan dunia barunya. Ini akhir pekan hari pertama, sepantasnya Andiane menikmati hari 'libur' serupa para pria pekerja. Satu-satunya obrolan tentang dunia baru Andiane hanyalah pujian Papa dan Mamma tentang lapisan yang diciptakan Franco. Tak ada gangguan sama sekali. Andiane menerima berita itu dengan baik, lantas menyibukkan diri dengan bermain bersama keponakan-keponakannya yang masih kecil.
Papa dan Mamma memutuskan untuk tidak menceritakan tentang kedatangan Viktor di halaman rumah mereka yang diawasi keduanya dalam diam. Viktor tak bisa melihat rumah mereka, lantas segera menghilang setelah membaca surat yang ditinggalkan sang Dewan Tinggi. Tidak. Mereka tidak cerita soal itu. Putri bungsu mereka masih rapuh karena sakit hati.
Sayangnya, ketika Andiane merasa senang, waktu berlalu dengan cepat. Gadis itu terkejut mendapati langit menggelap saat pelayan mereka menghidangkan makan malam. Andiane telah mendongengi para keponakan, bertukar cerita dengan kakak-kakaknya, menyampaikan rasa cinta dan kasih sayang kepada kedua orang tua, dan belum memiliki waktu untuk dirinya sendiri saat waktu menunjukkan pukul delapan. Makan malam bersama yang seharusnya menyenangkan menjadi sedikit menegangkan bagi Andiane. Waktu berlalu begitu cepat jika ia kelewat senang, sebagaimana kecupan-kecupan Viktor yang terasa bagai mimpi-mimpi tengah malam.
Andiane terbangun keesokan pagi dengan perasaan kalut. Ah, ini Hari Minggu, yang berarti ia mesti kembali ke kediaman Wyterseen besok! Andiane merosot dari kasur dengan malas. Sewaktu membuka pintu, ia mendapati pelayan laki-laki Hendery serta kakaknya Thomasen sedang mengeluarkan sesuatu dari loteng. Andiane mengawasi, setengah mengantuk, hingga Thomasen menyapanya.
"Apa yang kalian lakukan?"
"Papa menghendaki sebagian barang untuk dibersihkan seperti biasa," kata Thomasen sembari meletakkan dua tumpuk kotak kayu di depan kamar Andiane. Gadis itu mengenalnya sebagai koleksi buku sekolah kakak-kakaknya yang belum kunjung dibuang karena Andiane dari dulu mengotot ingin mempelajarinya, yang setelah enam tahun didiamkan, juga tidak kunjung disentuh. "Dan jangan bolak-balik keluar masuk kamar dahulu, atau kau bakal mengganggu."
"Ya, ya," gumam Andiane. "Apa saja yang ingin Papa buang?"
"Buku-buku lawas. Perkakas usang, barangkali, dan beberapa furnitur lapuk yang mungkin bisa diloakkan ... benar, Hendery?"
Pelayan mereka menyetujui, dan tanpa banyak bicara, ia bergegas kembali ke loteng. Andiane masih tak beranjak dari ambang pintu dan mengawasi kedua pria itu bekerja keras. Lalu, setelah melewati banyak waktu berpikir, Andiane bertanya lagi, "Tom, karena kau membereskan buku-buku, barangkali kau melihat sesuatu milik Kakek yang masih tersisa?"
"Buku?"
"Ya," kata Andiane. "Beliau melakukan banyak proyek penelitian, dan kukira Papa tidak mungkin menyingkirkan buku-buku catatan proyek atau semacamnya begitu saja ... Papa menghargai betul ilmu Kakek."
"Yah, akan kucarikan! Tetapi sebaiknya kau segera turun, Mamma membutuhkan tangan tambahan."
Andiane mencemooh, dan menghaturkan terima kasihnya dengan menepuk bokong sang abang. Sebelum Thomasen balas menjegalnya, Andiane buru-buru kembali ke kamar untuk membasuh wajah, kemudian turun menuju dapur.
Hari menjelang sore ketika para abang dan Hendery muncul dari loteng. Peluh membasahi wajah mereka yang kusam, dan tak ada yang lebih baik bagi ayah-ayah muda selain mendapati punggungnya dipijat bergantian oleh anak-anak yang menggemaskan. Sesuai harapan Andiane, Thomasen berhasil menemukan dua tumpuk buku tebal yang diikat. Sampulnya yang bergesekan dengan tali telah rusak, tetapi setidaknya isinya masih utuh. Tak ingin mengurangi waktunya bersama keluarga, Andiane memutuskan untuk membuka ikatan itu menjelang waktu tidur.
Sayangnya, Andiane sedikit menyesali keputusannya itu.
Ketika Andiane kembali ke kamar menjelang pukul sepuluh, ia agak capek. Papa dan Mamma menghendakinya untuk terus berada bersama keluarga. Meski itu juga diinginkan oleh sang putri bungsu, Andiane tak mengira akan selelah ini. Ia terduduk di lantai kayu kamarnya, merebahkan diri sejenak di atas karpet yang telah dicuci Hendery. Ia memandang langit-langit kamarnya yang juga telah disapu, atau dinding cokelat yang pernah dicoret-coret para keponakan. Tanaman-tanaman kecil yang telah diambil alih Papa untuk dirawat kini menghilang dari kamarnya. Selama sesaat Andiane termenung, lantas menyelami kenangan akan kamar hijau dan tanaman-tanaman besar yang memenuhi pojok-pojok ruangan dengan harmonis.
Andiane menangis tanpa sadar, dan tanpa suara. Gadis itu memejamkan mata sejenak. Oh, ya Tuhan, seandainya dia masih berpenyakit, nyeri di dadanya sekarang pasti sudah membunuhnya.
Andiane bangkit. Ia menyeret satu tumpukan mendekat dan membuka ikatannya, lantas menyadari bahwa buku-buku tebal itu berisi tulisan-tulisan amat kecil yang cukup berantakan! Andiane tercengang, dan di sinilah letak penyesalannya, karena semua buku tebal ini tak mungkin dibaca habis dalam sebentar saja.
Andiane mengusap sisa air mata di pipi, lalu menguatkan tekad untuk mempercepat pencarian. Semula pencarian itu agak membingungkan, tetapi Andiane menyukai ini. Ia suka belajar hal baru, dan mengetahui bahwa mendiang kakek mempelajari tentang Energi udara khusus di buku ini, kemudian membahas hal-hal lebih rumit di buku lain, serta banyak topik lain yang membuka wawasan baru, membuat Andiane bersemangat.
Oh, dia tidak butuh tidur!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top