Hari Terhebat
Note : it's gonna be a bit spicy down there.
1, Bulan Tanam, 1820
Awal liburan musim panas tiba.
Andiane menata piring-piring yang berceceran di dapur saat terdengar suara gedebukan dari arah tangga. Tak lama kemudian Alexandra muncul, lengkap dengan mantel dan topi serta tas besar di tangannya. Andiane mengangkat alis.
"Apa kau akan pergi, Profesor?"
"Ya, selama liburan semester!" tukas Alexandra, mengundang rasa penasaran Andiane. "Dan aku harus bangun pagi! Demi Tuhan di langit, seandainya bukan si Tua Herbington yang mengajak, aku pasti akan menolak." Andiane menyeringai geli mendengar omelan Alexandra di pagi hari. Ia sudah terbiasa dengan ini. Selama beberapa menit Alexandra terus menceracau hingga lelah sendiri. Wanita itu lantas mengambil dua botol ramuan dari lemari penyimpanan dan menunjuk Andiane. "Bangunkan Viktor dan suruh untuk membersihkan rumahku. Bantulah dia sebelum kau kembali besok. Benar, kau kembali esok hari, bukan?"
"Ya, Profesor."
"Segera bangunkan, atau rumahku tidak akan bersih total!"
"Baik, Profesor. Tenang saja," jawab Andiane kalem. Alexandra nampak sangsi, karena begitulah ia, walau pada akhirnya sang profesor bergegas pergi. Sekali lagi, ia mengingatkan untuk menyimpan barang di tempat 'seperti biasa' dan mengunci seluruh pintu dengan dua kali putaran. Dia sudah membahas itu sejak seminggu terakhir.
Setelah Alexandra menghilang, Andiane masih menyibukkan diri di dapur. Ia tak mengira harus membangunkan Viktor. Ini membuatnya gugup. Dia tak pernah memasuki pondok pria itu selain saat kosong ... dan, hei, bukankah Andiane tak perlu masuk untuk membangunkannya? Pipi Andiane memanas. Apa yang dibayangkannya?
Andiane bergegas menghampiri pondok Viktor dan menggedornya. "Viktor!" serunya. "Ayo, bangun," tambahnya lagi, yakin bahwa Viktor tak akan bangun semudah itu. Selama bermenit-menit ia menggedor tanpa jawaban dan Andiane tidak menyerah. Ia berputar menuju jendela yang bersisian dengan tempat tidur Viktor. Ia melotot menyadari Viktor menutup wajahnya dengan bantal. Selimut bahkan membungkus tubuhnya dengan nyaman. Di cuaca musim panas yang masih terbilang dingin, memang susah untuk bangun pagi.
"Ya Tuhan, pantas saja." Andiane memutuskan untuk masuk ke pondok Viktor. Biarlah, toh tak ada yang tahu. Andiane hanya perlu menepuk-nepuknya, setidaknya sampai Viktor bangun, lalu bergegas pergi.
"Viktor, bangun." Andiane berjingkat masuk. Oh! Kamar ini begitu hangat. Embusan angin pagi yang menusuk-nusuk menyusup, membuat Viktor sontak mengerang. Andiane terkejut. Ia cepat-cepat menutup pintu. "Viktor, bangunlah," katanya lagi sembari menaruh cangkir air. "Viktor ...."
Pria itu tak bereaksi selain mengganti posisi tidur, membuat Andiane jengkel. Oh, ayolah. Pondok Alexandra sedang berantakan habis-habisan. Andiane menyambar bantal hingga pria itu tersentak.
"Apa?" suaranya serak betul, dan Andiane tak menduga akan mendengar suara Viktor sebegitu serak, membuatnya merasa aneh. Andiane berdeham.
"Alex sudah pergi. Dia memintamu untuk bangun sekarang karena pondok sangat berantakan. Kita harus bersih-bersih." Sesuai dugaan, Viktor merespons dengan kesal. Dia kembali memejamkan mata. Andiane berdecak. "Ayolah. Bergegas bangun. Aku harus membersihkan kamar dulu, jadi segeralah bangkit."
Viktor pun menyerah. Ia duduk, dan—oh, Tuhan! Dia tidak pakai atasan! Andiane cepat-cepat mengalihkan pandangan, mengacuhkan Viktor yang meminum air.
"Kenapa?" tanya Viktor, tahu betul alasan Andiane membuang muka. Gadis itu menggerutu dan memutuskan untuk pergi, tetapi Viktor dengan cepat meraih tangannya.
"Viktor!"
Andiane terjatuh di kasur, tetapi Viktor dengan cepat menahannya. Gadis itu kelabakan saat mendapati tangan Viktor memeluk pinggangnya. Pria itu membenamkan wajah di pundak Andiane. Ia makin kalang kabut karena merasakan punggung tangannya bersentuhan dengan bulu halus di dada Viktor. Dia belum pernah melihat Viktor bertelanjang dada seperti ini!
"Viktor, jangan begini."
"Katakan, Andy," bisik Viktor di bahunya, mengantarkan napas hangat yang membuat Andiane bergidik. Kekesalannya langsung terhempas sebagian. "Siapa yang berdansa denganmu semalam?"
Andiane mengerjap. "Um, Mike?"
"Siapa yang satu lagi? Dia berdansa dua kali denganmu," kata Viktor muram. "Dia mencium tanganmu."
"Oh." Alih-alih menjawab, Andiane merasa geli. "Itu teman sekelasku. Kami tidak sering bertemu, tetapi lumayanlah ... kenapa? Apakah kau cemburu?" Andiane mengelus tangan Viktor. Oh, lihatlah urat-urat yang menonjol ini ... Andiane merasa semakin aneh. Tunggu, bukankah dia seharusnya sedang kesal?
Viktor hanya bergumam tidak jelas. Andiane mengerucutkan bibir. "Apa?" desaknya. Apakah Viktor tidak cemburu? Ayolah. Andiane mulai merasa kecewa. Dia hampir senang karena selama satu semester ini dirinya harus menahan perasaan. Teman-temannya mulai mengetahui keberadaan Viktor dan mengaguminya!
"Oh, Andy." Viktor mendesah. "Aku berharap kalau perasaanmu kepadaku memang sungguh-sungguh, karena aku berpikir untuk bertemu dengan orang tuamu saat kau pulang nanti, andaikan engkau setuju. Aku ingin melamarmu dengan benar."
Andiane terperangah. Kekesalannya terlupakan begitu saja. Luar biasa. "Kau ... kau sungguh-sungguh?"
Viktor menatapnya sebal. "Lantas apakah selama ini kau masih menganggap bahwa kita hanya main-main saja? Usiaku sudah cukup tua bagi manusia, kalau kau ingat."
"Aku hanya berhati-hati. Aku memang memiliki perasaan padamu, tapi kaulah yang pertama kali menggagas hubungan palsu semacam ini."
"Tapi perasaanku tidak, Andy, dan seandainya kau mengizinkanku, aku akan mengubah itu untuk kita."
Andiane menelan ludah. "Kau sungguh-sungguh?" ulangnya.
Viktor mengecup dahinya. "Lebih dari apa pun," bisiknya. "Karena aku ingin melindungimu seutuhnya."
Andiane tersenyum. Ia merasakan kehangatan menyeruak di dalam hati, yang kemudian menjalar hingga ke bibir, ketika Viktor merengkuh Andiane untuk menciumnya. Oh, ciuman pagi yang hangat. Tangan Viktor tidak lagi memeluk pinggang Andiane; bergerilya ke sepanjang punggung dan menarik Andiane untuk duduk dengan benar di pangkuannya.
Andiane berdeham malu, tetapi perhatiannya dengan cepat dialihkan oleh kecupan Viktor yang mendarat di leher. Andiane tersentak. Ia mendesah saat Viktor menggigit lehernya dengan lembut. Kecupannya tak berhenti sampai di situ. Viktor kembali melumat bibirnya.
Situasi itu berubah panas dengan cepat. Andiane tak bisa menahan lenguhan saat tangan Viktor mengusap pundaknya, menyelipkan jemarinya ke balik kerah pakaian Andiane. Gadis itu nyaris menghentikannya, tetapi Viktor mengunci bibirnya dengan sempurna.
Saat Viktor mulai meraba lebih jauh, Andiane menggelenyar.
"Vik—ohh ... sebentar, sebentar." Andiane mendorongnya dan mengambil napas dalam-dalam.
"Kenapa?" tanya Viktor, suaranya dalam dan melenakan. Jemarinya mengelus pipi Andiane yang semerah kepiting rebus. "Terlalu cepat?"
Andiane tak bisa menjawab. Ia hanya menggigit bibir, memandang lekat-lekat kedua mata Viktor yang selalu membuatnya tersihir, lantas menghela napas.
Viktor tersenyum. Kegugupan Andiane selalu menjadi penghalang pria itu untuk bertindak lebih jauh, dan kali ini ia tidak akan membiarkannya terjadi lagi. Seraya menyelipkan anak rambut Andiane ke belakang telinga, ia berbisik. "Aku mencintaimu, Andy."
Andiane membuka mulut kendati tak ada yang diucapkan. Ia tak menduga akan mendengar itu dengan tiba-tiba. Matanya berkaca-kaca.
"Aku ... aku mencintaimu juga, Viktor."
Viktor menunduk untuk mengecupnya sekali lagi. Ciumannya tidak menuntut seperti tadi. Lembut, dan menenangkan. Andiane membalasnya dengan penuh kasih sayang. Selama sesaat mereka tenggelam dalam perasaan itu, hingga akhirnya tangan Andiane dengan sendirinya turun menyusuri dada Viktor. Itu cukup untuk membuat sang pria paham bahwa tak ada lagi yang perlu ditunggu.
Viktor tidak tinggal diam. Kecupannya beralih menuju pipi Andiane, rahang, dan lehernya. Desahan gadis itu kembali terdengar. Merdu, dan memanjakan telinga Viktor yang haus akan suaranya, cukup untuk mengantarkan Viktor mencapai sisi lain yang belum disentuhnya.
Ketika sinar matahari menyorot ke arah wajahnya dan membangunkan Andiane, gadis itu tersentak. Ia terbangun, sedikit kaget saat menyadari ada tangan Viktor yang merangkulnya, lantas sadar dengan apa yang terjadi pagi tadi.
Andiane gugup. Dia sedang tidur di kasur Viktor, dan pria itu memeluknya. Ia mampu merasakan kulit punggungnya bersentuhan dengan dada Viktor. Andiane lebih panik lagi saat menyadari pakaiannya tertanggal sebagian, dan bagian tubuh mana jemari Viktor tengah berlabuh. Dia cepat-cepat turun, menepuk Viktor dengan keras, lalu berkata, "Kita harus bersih-bersih!"
Viktor mengerang. "Oh, ayolah, Sayang ...."
"Tidak, tidak. Dan jangan panggil aku begitu." Andiane gugup betul. Dia kewalahan membetulkan pakaiannya lagi, dan menolak mentah-mentah untuk menikmati tubuh Viktor dengan kedua matanya. Pria itu mengawasinya dengan geli.
"Kau pulang jam berapa besok?"
"Jadwal keretanya jam sebelas. Aku harus segera menemui orang tuaku," kata Andiane, bersyukur karena Viktor mengalihkan topik. Dia membuka pintu pondok. "Aku rindu sekali, dan mereka juga tidak kunjung membalas suratku! Padahal aku sudah mengirimnya sejak dua bulan yang lalu. mereka biasanya membalas dengan cepat, tetapi entahlah, aku tak tahu apa yang terjadi. Aku jadi khawatir."
"Semoga mereka baik-baik saja."
"Terima kasih." Andiane tersenyum. "Sekarang, bangunlah! Demi Tuhan, kalau pekerjaan ini tidak selesai sampai besok, ini semua salahmu."
Viktor mendengus. Dengan berat hati ia turun dari kasur hangatnya yang telah merekam aroma tubuh Andiane di sana. Oh, dia akan tidur lebih nyenyak nanti malam. Yang terpenting, Viktor harus berpijak kembali pada bumi sekarang. Ia meraih kemeja yang cukup tebal, lantas menyusul Andiane ke pondok utama. Ia terpana mengetahui bahwa siang telah lama turun. Pantas saja ia mendengar Andiane menggerutu dan mendesah kesal sejak masuk ke pondok, tetapi Viktor tidak menyesal. Dia justru terhibur dengan tingkah sang istri yang buru-buru membersihkan dapur sembari mempersiapkan makan siang.
Seperti yang diduganya, lantai dua Alexandra serupa kapal yang baru saja terhempas ombak dan menumpahkan semua harta karunnya di pesisir pantai. Viktor tak bisa berkomentar, apalagi Andiane, ketika berhadapan dengan ruang kerja Alexandra. Katanya, wanita itu telah menyingkirkan barang-barang berharganya, sehingga mereka hanya perlu membersihkan sisanya, tetapi pasangan itu sama sekali tak menyangka dengan seberapa besar sisa yang dimaksud.
"Apa pun yang terjadi, Andy," kata Viktor, mencegah kemungkinan Andiane akan mengomel lagi, "kau masih bisa pulang tepat waktu esok pagi."
Andiane menghela napas geli. "Terserah," katanya. "Selama kita tidak berhenti untuk mengobrol yang tidak perlu."
Kenyataannya, tanpa obrolan yang tidak perlu, semua aktivitas membersihkan seluruh pondok itu baru selesai menjelang makan malam. Andiane belum memasak sama sekali, dan tubuhnya sudah pegal, sehingga Viktor mengajaknya untuk menggunakan sisa tenaga menuju desa. Mereka makan malam di sebuah kedai.
"Sudah sangat lama sejak terakhir kita makan di kedai. Apa kau ingat?" tanya Andiane suatu waktu, di sela-sela keriuhan kedai karena disesaki para murid yang merayakan awal hari libur.
Viktor harus mencondongkan tubuh untuk mendengarkan. Ia mengangguk. "Kau suka makan di kedai?"
Andiane menjawab dengan agak malu. "Ya, tapi aku lebih suka kalau"—ia meringis—"kau menyantap makan malam buatanku."
Viktor tersenyum. "Kalau aku boleh jujur, Andy, aku begitu terbiasa dengan masakanmu sekarang." Ia mengisyaratkan Andiane untuk lebih mendekat. "Dan bukankah sepantasnya begitu, sebab aku akan menyantap masakanmu sepanjang usiaku?"
Ketika Andiane menatapnya dengan wajah merah padam, Viktor tahu dirinya telah mendapatkan tiket emas untuk bermalam di luar pondoknya yang kecil. Bukan berarti ini tujuannya—tidak, sungguh, ini macam sekali dayung maka banyak pulau terlampaui sekaligus.
Gara-gara ucapan Viktor, Andiane melewati sisa makan malamnya dengan begitu senang. Pegal-pegal di tubuhnya terabaikan begitu saja, sehingga mereka bisa pulang berjalan kaki dengan lebih santai dan merangkul lengan.
Apa yang terjadi selebihnya tak ingin Andiane ceritakan padamu karena ia begitu malu, tapi satu yang jelas; malam ini sisi lain ranjangnya tidak lagi dingin, dan ia tak pernah melewatkan malam sehebat waktu itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top