Hari-hari yang ... Luar Biasa!


Andiane keluar dari ruang sang Count dengan banyak janji. Andiane, kendati telah ditandai Rod, akan menempati kamar khusus yang disediakan sang Count di menara terpisah untuk para tamu. Menara itulah yang dekat dengan bangsal para Aliansi, dan memang sepantasnya bagi Andiane! Gadis itu tak menolak, terlebih-lebih ketika sang Count menjanjikan hal lebih besar; pelatihan pengendalian dan penguasaan Energi yang benar-benar baik, langsung dari guru para dehmos murni yang selama ini juga melatih Mikhael. Rod akan mendampinginya, karena dari dialah Energi asap hitam itu diturunkan.

Andiane pun lega setelah memastikan kalau Alexandra tidak dimasukkan ke dalam daftar bersalah bagi sang Count. Alexandra adalah profesor yang cukup berjasa di Institut, dan ia mungkin akan menerima sekedar teguran karena telah membantu Viktor. Sang Count menganggap Alexandra tidak ikut campur masalah sejak awal, dan hanya menjadi orang yang dimintai tolong sesaat.

Andiane menghela napas. Pelatihnya bukan Alexandra dan Viktor lagi, ya?

Rod telah menanti di depan pintu, dan tepat saat itu ia sedang berdiskusi dengan beberapa anggota Aliansi. Andiane merasa tegang melihat para pria itu, sebab salah satunya adalah Jasper Price! Beruntungnya, Jasper tak menunjukkan reaksi apapun, seolah tak pernah mengenal Andiane. Apakah dia sudah tahu apa yang terjadi?

Namun, belum sempat Andiane bereaksi, para pria itu menundukkan sedikit kepala mereka untuk memberi hormat. Andiane terheran-heran. Apakah ini karena statusnya yang merupakan dehmos murni? Atau, karena ia satu-satunya gadis Aliansi?

Rod mengacuhkannya. "Kulanjutkan. Barangkali dia ada di rumahnya ... Viktor tak punya banyak tempat untuk dikunjungi selain rumah orang tuanya."

Andiane melotot. Dia refleks menyahut, sadar betul bahwa sesungguhnya pembicaraan itu tidak melibatkannya. "Tidak," katanya cepat, dan hatinya berdentam-dentam saat Rod dan para Aliansi menatapnya dengan tajam. "Viktor tidak ada di rumahnya."

"Dan apa yang meyakinkan aku bahwa kau tidak berusaha untuk membohongiku bahkan setelah apa yang dia lakukan kepadamu, Andiane?"

Jantung Andiane melonjak-lonjak ketakutan. Gadis itu pun memutar bola matanya jengah. "Dan apa yang membuatmu yakin aku berusaha melindunginya? Rumahnya kau hancurkan, dan dia sangat jarang pulang ke sana. Aku lebih tahu daripadamu soal ini."

Rod tidak membantah, dan itu menegaskan dugaan Andiane bahwa mereka berdua nampaknya tidak lagi berhubungan sejak peristiwa perusakan rumah Viktor saat itu. Rod pun bersuara kembali, "Kalau begitu sisir Kepulauan Grestol. Di sanalah ia biasa menghilang kalau tidak memiliki pekerjaan...," katanya, dan saat para anak buahnya beranjak, Rod melirik Andiane dengan tatapan yang mudah sekali dipahami gadis itu. Ia mengejeknya! Andiane tidak tahu apa-apa soal Kepulauan Grestol, dan itu membuatnya panik. Ada apa dengan kepulauan itu? Bagaimana jika seandainya Viktor memang ada di sana ... tetapi, ah, Viktor seharusnya dalam perjalanan menuju ke rumah Andiane!

"Kepulauan Grestol?" Andiane mengalah. Ia harus tahu ada apa di sana.

Rod dengan rendah hati mengklaim kemenangan atas hal remeh ini. "Di sanalah dia menghilang segera setelah lulus dari Institut. Dia masih sering ke sana, dan itulah alasan dia jarang pulang ke rumah orang tuanya."

Andiane merasa malu. Kenapa ia tak tahu soal ini? Gadis itu mencoba menghibur diri. Yah, Viktor dan Rod telah berkawan lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Kendati hubungan mereka memburuk, tidak menutup kemungkinan Rod tahu lebih banyak daripada Andiane tentang kebiasaan masa lalu Viktor.

"Kau akan mendapat guru baru, Andiane, dan pelatihanmu harus dimulai secepatnya. Sampai saat itu, aku tak bisa memasukkanmu ke dalam Aliansi. Dan, selama itu, kau belum bisa mempelajari apa yang sebenarnya terjadi pada kakekmu. Jika kau juga ingin menendang bokong Viktor, maka berlatihlah segiat mungkin."

"Aku heran," Andiane mencemooh. "Mulanya kau seperti orang jahat bagiku, tetapi mengapa kau sekarang bagaikan seorang paman yang sudah lama tidak muncul dan menakut-nakuti ayahku?"

"Oh, Andiane, seandainya kau tahu kalau ibumu dulu sering membuatkan kami kue kering, kau akan tahu jika aku sama sekali tidak berniat buruk."

"Tetapi Papa dan Mamma gemetaran karenamu!"

"Sungguh?" tanya Rod kembali. "Ibumu takkan menyuguhkan sup kepadaku jika ia takut padaku."

Andiane termangu. Apakah itu pantas diperhitungkan? Dia pun kembali bertanya-tanya. "Lantas?"

"Ibumu takut kepada Energi, dan ayahmu trauma dengannya. Kenyataan bahwa mereka sedang ditipu, dan putri bungsu mereka dalam bahaya, maka wajarlah reaksi ketakutan yang mereka berikan padaku! Lagi pula aku sudah memberikan obat-obatan pada mereka, dan itu adalah obat-obatan yang baik. Tak ada alasan bagiku untuk menjahati mereka yang pernah berbuat baik padaku di semasa muda. Aku tahu cara balas budi yang tepat."

Andiane tidak bisa mengelak. Kenyataan ketika dunia tidak lagi nampak hitam-putih di matanya membuat Andiane betul-betul gemetaran.

Malam itu, ketika Andiane akhirnya tiba di kamarnya, ia langsung merosot terduduk di lantai. Kamarnya sungguh megah, dengan ruang tersendiri untuk menyambut tamu dan ruang untuk membersihkan diri. Pencahayaannya temaram lagi melenakan, dan mengundang siapapun untuk segera terlelap dalam mimpi yang sangat indah di kasur empuk. Apalagi air hangat telah disiapkan, dan kereta makan diposisikan di ruang duduk.

Namun, hari itu adalah hari yang paling berat bagi Andiane. Semula, sebelum semua ini terjadi, ia berencana akan membantu Mamma di dapur, menemani Papa melewati waktu menjelang makan siang dengan kisah-kisah serunya di Institut, dan menjumpai sore bersama kedua orang tuanya dengan menyampaikan keinginan Viktor untuk melamarnya.

Semula seperti itu, hingga Andiane menemui kedua orang tuanya ketakutan di rumah bersama Rod, mendengar fitnah-atau-kenyataan tentang Viktor, memanggil Niklaus dari Covac yang dua ratus kilometer jauhnya, dan berakhir di kediaman Wyterseen sebagai calon anggota Aliansi.

Ketika Andiane mengingat itu semua, berikut ciuman dan janji yang dibisikkan Viktor ketika mereka akan berpisah di stasiun kemarin, hatinya terasa seperti diinjak-injak, diremukkan, dan digilas dengan duri-duri tajam yang menyakitkan. Jantungnya serasa meledak saat Andiane akhirnya meraung, menangis tanpa henti hingga matanya membengkak. Ia sama sekali mengabaikan asap hitam yang menyulur deras, melingkupi ruangan itu dalam kegelapan sepekat kekecewaannya sekarang.


+ + +


Franco tidak pergi dulu.

Toh, Andiane tidak menyuruhnya untuk tidak menunggu Viktor.

Hehe.

Awalnya, setelah Andiane dan Rod lenyap dari pandangan, Franco menghampiri orang tua Andiane. Ia tahu mereka butuh seseorang untuk mendengarkan, dan meski Franco sesungguhnya tak pernah masuk ke dalam daftar orang yang dijadikan tempat mengadu, ia tak punya pilihan lain. Ia hanya perlu mengangguk-angguk dan menggumamkan "Sabar, Tuan" atau "Anda pasti kuat, Nyonya", hingga kedua pasangan tua itu kelelahan dan memutuskan untuk mengurung diri di kamar. Barulah pada saat itu Franco memasang lapisan-lapisan terakhir perlindungan yang dibutuhkan, dan sejujurnya, ia juga capek.

Franco sudah lama tak berkeringat seperti ini! Andiane harus membayarnya dengan harga yang pantas. Gadis itu tak boleh lagi mengulur keinginan Franco untuk menjadikannya sebagai Unison. Ia pun harus melayani setiap keinginan Franco, seperti mentraktir cokelat panas yang super enak dan mahal di kedai seberang kantor Niklaus itu.

Sebagai penyempurnaan kekuatan lapisannya, Franco memutuskan untuk tidak tidur di kamar tamu yang disediakan. Ia akan ... nah, tidur di atap tetangga saja! Sudah lama sekali Franco tidak menikmati rembulan yang indah dengan suhu udara yang pas; tidak terlalu panas maupun dingin. Setelah meletakkan surat Niklaus di tempat seharusnya rumah Andiane berada, Franco pun melompat ke sebuah rumah yang tak terlalu jauh, sehingga ia masih bisa mengawasi apa yang terjadi pada rumah malang itu.

Malam akan berlalu cukup lambat, dan Franco gemas. Ia ingin sekali waktu berlalu sekejap mata sehingga Viktor datang lebih cepat, dan ia bisa menyaksikan sepupunya yang sok itu akhirnya terpuruk.



Franco terbangun dengan bayang-bayang gelap. Ia mengerjap-ngerjap. Apakah masih malam? Oh, tidak, Franco mampu melihat sinar matahari samar-samar menyinari sekeliling bayang-bayang itu ... lantas, mendung? Kenapa ia tidak mendengar suara petir? Ketika pandangan Franco mulai jelas, kemudian menyadari bahwa bayang-bayang itu tak lain adalah Viktor yang mengawasinya dengan marah, Franco melonjak kaget. Dia nyaris merosot dari atap!

"Hei!" umpatnya. "Apa yang kau lakukan!"

Viktor tak menjawab selain menatap jengkel. Ia menanti Franco mengumpulkan kesadaran, barulah tangannya mengangkat surat Niklaus. "Mana Andy?" pertanyaannya singkat, tetapi Franco bisa menangkap gelegar amarah yang berusaha ditahan, seolah-olah Franco adalah penyebab semua ini. "Mana orang tuanya?"

"Kau bisa baca tidak, sih?" Franco mendesah kesal. "Aku tidak ikut campur! Aku ke sini cuma memastikan suratnya sampai, dan ...."

Franco berjengit saat bilah es menjulur cepat di samping lehernya. Franco menganga, bibirnya lantas membentuk seringai saat bilah es itu mulai berasap.

"Jangan main-main—"

"Kalau kau mengira aku main-main, kau keterlaluan." Franco menyela, dan merasa sangat bangga ketika mampu memotong ucapan Viktor yang emosi betul. Ia menyeringai lebar, tak mampu menahannya lagi karena seharian tidak boleh tertawa-tawa di situasi yang buruk.

Viktor memejamkan mata. "Rod," bisiknya. "Rod. Pasti. Wyterseen."

"Kau sudah baca suratnya, belum?" Franco tiba-tiba panik melihat ekspresi Viktor. "Kau tidak boleh ke sana, bodoh."

"Dan mengapa aku harus menuruti kalian?" Viktor mengacungkan surat Niklaus. "Kalian mengira aku cukup terpuruk dan hancur untuk melakukan semua ini?"

"Ya, goblok!" kata Franco, dan sendirinya terkejut karena tak pernah seemosi ini saat berbicara kepada orang lain. Viktor sendiri terperanjat mendengarnya. "Kalau kau memang—oh, ini menggelikan." Ia berdeham. "Kalau kau memang masih sayang nyawamu dan Andy, lakukan itu! Kalau kau mau bersikap bodoh dan tetap mempertahankan rencanamu selama ini, terserah! Aku tidak jamin Andiane akan memaafkanmu, bahkan jika dia mau melakukannya! Oh, Demi Tuhan di langit, dengarkan Niklaus sekali saja!"

Alih-alih menjawab, Viktor hanya melangkah mundur. Sesuai ketakutan Franco, dia melebur menjadi asap hitam yang segera hilang diterpa udara. Franco menganga, tak percaya, lantas meringis kesal.

"Oh, Niklaus Keparat," gumamnya sembari menggertakkan gigi. "Memang tak ada yang lebih cocok menjadi Dewan Tinggi selain kau."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top