Gundah Gulana


Andiane lelah luar biasa, baik fisik maupun batin. Satu-satunya tumpuan harapan Andiane adalah rencana jangka panjangnya yang kini dirasa tepat, sebab Sumpah Pengikat dan perjanjiannya dengan Niklaus adalah harapan terbesar saat ini. Niklaus datang ke rumahnya saat itu juga setelah dipanggil Franco, dan Papa makin bertanya-tanya dengan kehidupan Andiane saat ini karena mengenal seorang Dewan Tinggi. Kendati demikian, Andiane melihat ada kelegaan di wajah Mamma, dan itu cukup. Dewan Tinggi, meskipun banyak tingkah dengan undang-undang ngawur yang sering mereka keluarkan, nyatanya memiliki kekuatan yang besar di saat seperti ini.

Andiane hanya meminta satu pertolongan Niklaus; agar kedua orang tuanya tersembunyi dan tidak didatangi oleh dehmos macam mana pun lagi. Niklaus menyanggupinya dan—mengejutkan bagi Andiane—Franco sendiri yang memasang lapisan pelindung pada rumah itu.

"Siapa pun yang punya Energi tidak akan bisa lihat!" kata Franco. "Akan seperti rumah yang terbengkalai biasanya. Kecuali kau, atau tetangga-tetangga yang mengenal mereka dengan baik, atau saudara-saudaramu! Intinya, untuk sementara ini, ayah dan ibumu tidak bisa pergi ke mana-mana dengan bebas tanpa perlindunganku atau Nik."

Andiane tercenung. "Bagaimana bisa kau memberi perlindungan, Frank?"

Franco hanya terkekeh geli. Niklaus, sebagai gantinya, menepuk pundak Franco dengan bangga. Baru kali ini Andiane melihat sang Dewan Tinggi senang dengan adiknya yang gila.

"Dia mantan pasukan Lakar."

"Lakar!" Andiane dan William Weston sama-sama terkejut. Siapa yang tidak tahu Lakar? Armada terbesar dan terkuat di dunia itu merupakan organisasi khusus yang mencakup—tentunya—seluruh dunia. Seorang Lakar tinggi mampu memenjarakan seorang Jenderal sekalipun. Mereka memiliki kekuasaan yang sangat besar, bahkan memiliki pengadilan sendiri, dan ... Franco? Adalah? Mantan anggota?

Andiane mendadak merasa sungkan dan takut sekaligus. Ia nyaris menjadi Unison seorang Lakar!

"Bersyukurlah aku masih ingat cara melakukan ini!" tukas Franco sembari tertawa. "Tetapi aku bukan Lakar lagi, sehingga ini tidak akan bertahan lama. Kira-kira tiga bulan atau semacamnya. Kalau kau mau, aku akan memanggil rekan yang masih kukenal di Lakar!"

Andiane menelan ludah. "Tak apa-apa," katanya. "Aku akan mencari cara lain selama itu. Kurasa tidak perlu melibatkan lebih banyak orang lagi."

"Memang sebaiknya begitu, Andy," kata Niklaus, lantas menatap Papa dengan senyumnya yang menenangkan. "Kuharap ini cukup untuk membuatmu dan Nyonya Weston tenang, Tuan! Anda akan baik-baik saja, silakan beristirahatlah dahulu bersama nyonya, karena saya harus berdiskusi banyak dengan Andiane sebelum Rod datang lagi."

Papa menurut dengan ragu-ragu. Setidaknya beliau tidak terlihat selemas tadi saat Rod meninggalkan rumah. Segera setelah Papa menghilang ke dalam kamar untuk menyusul Mamma, Andiane membawa Cleventine bersaudara ke ruang duduk. Niklaus kemudian menguatkan Energinya, mempertebal lapisan pengabur sehingga Rod takkan mampu mencium keberadaannya di rumah ini.

Kecuali, jika Rod memang kuat betul, maka itu beda cerita.

"Kau hanya perlu memastikan Rod tak datang kemari lagi," kata Niklaus. "Karena Rod akan menjemputmu, maka Franco akan siaga di sini sampai dia pergi. Frank akan memasang lapisan-lapisan terakhir."

"Sungguh, terima kasih banyak." Andiane tak bisa menahan tangisnya. "Aku benar-benar merasa kacau."

Niklaus dan Franco saling bertukar tatap sementara Andiane membenamkan wajah pada kedua tangan. Apa yang sebaiknya mereka lakukan? Franco memang gila, dan suka bersenang-senang, tetapi menghibur gadis menangis bukan keahliannya. Dia melotot pada Niklaus, dan sang abang dengan sukarela melontarkan kalimat-kalimat memuji keteguhan Andiane. Tangisan gadis itu perlahan mereda.

"Masih ada satu masalah lagi," kata Andiane. "Viktor akan kemari besok ... dia ingin melamarku."

Franco melirik Niklaus lagi dan nyaris saja menyeringai lebar, tetapi Niklaus mengacuhkannya. Ia mencondongkan tubuh. "Kalau kau mau, aku akan menuliskan surat untuknya. Dengan begini, dia tak akan punya pilihan lagi. Seandainya kau merasa aku sedikit keterlaluan karena masih membahas ini di saat begini, yah, ini memang saatnya! Bagaimanapun juga kau akhirnya tahu sisi Viktor dari Rod, yang bahkan kami tidak terlalu tahu tentangnya."

Andiane termangu sejenak. Hatinya sakit, sungguh sakit. Bayangan akan ciuman perpisahannya dengan Viktor di stasiun kemarin membuat Andiane merasa semakin sesak. Dia hanya tidak menduga kecupan perpisahan itu kemungkinan akan menjadi yang ... terakhir.

Astaga, Andiane bahkan sudah menyerahkan diri seutuhnya kepada Viktor!

Namun, Andiane, lihat apa yang Viktor telah perbuat kepadamu!

Andiane sesenggukan, kali ini dengan alasan yang berbeda, meski cepat-cepat menahannya. Ini bukan sesuatu yang sepantasnya disaksikan dua pria asing. Andiane menarik napas dalam-dalam.

"Aku ... aku telah meminta tolong kepadamu, Niklaus," katanya terbata-bata. "Dan sekarang, dengan ... dengan situasiku yang saat ini, aku tidak tahu bagaimana sebaiknya aku harus memenuhi sisa janjiku padamu."

"Tidak masalah," kata Niklaus. Ia menyunggingkan senyum yang menenangkan, meski Franco yakin sang abang berusaha menyusun berbagai rencana di dalam benaknya. "Ini memang mengejutkan, tetapi bukan masalah besar bagiku, Andiane. Mungkin lebih baik bagimu untuk mengikuti Rod dan berada di bawah perlindungan Wyterseen—sementara ini. Biarkan situasi aman, daripada kau kembali kepada Viktor dan segalanya menjadi semakin rumit! Lagi pula Rod ada benarnya; kau harus tahu sisi lain kematian kakekmu dari mereka. Kau akan lebih mudah memahami apa yang terjadi, dan aku sangat percaya padamu, Andiane, bahwa kau mampu menyikapi sesuatu dengan bijak."

"Aku tidak tahu harus percaya pada siapa!"

"Aku tidak memintamu untuk percaya pada Rod, atau pada Wyterseen, atau mempertahankan kepercayaanmu kepada saudaraku Viktor," kata Niklaus lembut. Andiane menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Kau pun boleh tidak memercayaiku. Kau hanya perlu mendengarkan kata hatimu, dan apa yang sekiranya terbaik untuk orang tuamu."

Andiane mendesah. "Aku tidak bermaksud menyinggungmu, Niklaus, sementara kau dan Franco berbaik hati mau menolongku! Sayangnya, sungguh, aku sedang bingung, dan tolong maklumi aku. Ketika aku tenang, aku akan kembali kepada kalian dengan rasa terima kasih yang lebih pantas. Dan ... seandainya jika ada yang bisa kuperbuat untukmu di Wyterseen atau Aliansi, aku akan melakukannya untukmu, Niklaus. Kiranya itu yang bisa kulakukan sebagai awal dari rasa terima kasihku."

"Kau tak perlu memaksakan diri," kata Niklaus berbaik hati. "Aku tidak ingin melibatkanmu terlalu jauh dengan masalahku sementara kau sendiri memiliki banyak yang harus diselesaikan. Tidak, Andiane! Pelajarilah situasi barumu kelak, dan barangkali kau butuh seseorang untuk mendengarkan, maka kami siap. Franco, meski aneh begini, dia akan menjadi pendengar yang baik—kadang-kadang."

Andiane menatap Franco yang menyunggingkan seringai canggung. Gadis itu justru tersenyum. "Aku tidak berpikir Franco sesinting yang dikatakan orang. Dia sesungguhnya baik."

Franco mengerjap, lantas menatap Niklaus dengan malu-malu. "Aku sangat tersanjung. Ada yang bilang begitu padaku selain kau! Kubilang apa; Andiane memang baik sekali!"

"Bersyukurlah." Niklaus memutar bola mata. "Kalau begitu aku akan pergi, Andiane. Barangkali ada yang bisa kulakukan, katakan saja pada Franco! Tetapi karena posisiku sebagai Dewan Tinggi, yang itu berarti aku juga bekerja bersama rekan-rekan dari Wyterseen, aku takut tak bisa berbuat banyak untukmu."

"Tidak mengapa ...."

"Dan, satu lagi peringatanku," kata Niklaus. "Jangan dengarkan apa yang ada di depan matamu."

Franco nyaris saja menyahut dengan mengatakan bahwa Niklaus sedang berada di hadapan Andiane, tetapi ia sendiri tahu ada makna lain di sana. Maka Franco memastikannya dengan menatap Andiane, yang nampaknya juga paham dengan ucapan Niklaus. Setelah Andiane menyanggupinya, dan mendapat banyak-banyak ucapan terima kasih tak terkira dari pasangan Weston, sang Dewan Tinggi memohon izin untuk kembali ke tempat kerjanya.

Andiane kemudian berbalik, menatap Franco dengan tatapan nanar. "Oh, Franco," isaknya. "Katakan, apakah sebaiknya aku dahulu tetap mati dengan Energi yang terpendam saja, dan mengabaikan Viktor sejak pertama kali?"



Franco sempat melepas lapisan Energi di waktu Rod datang, sehingga pria itu datang tanpa kecurigaan apa pun. Ia mampir menjelang makan malam dengan jubah Aliansi yang dibenci Andiane. Sama sekali tak terpintas di benaknya bahwa pria yang membangkitkan kenangan-kenangan buruk dan menodai kemurnian Energinya dulu akan menjadi orang yang diikutinya saat ini.

Oh, Tuhan, betapa kita tak akan pernah tahu akan apa yang terjadi!

Mamma memaksa Andiane untuk makan malam terlebih dahulu, dan meski Rod sesungguhnya tidak sabar dengan mengatakan bahwa Count Wyterseen telah menantinya, Mamma masih bersikukuh. Cara beliau menggenggam tangan Andiane sepanjang gadis itu menyantap makan malam membuat hati Andiane hancur berkeping-keping. Mamma tak ingin melepasnya! Atau, oh, rasanya mereka takkan bertemu lagi dalam waktu lama! Sungguh, Andiane tak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Mamma dan Papa, menanti anak gadisnya yang ikut dengan orang asing selama hampir setengah tahun, lantas menjumpai mereka tak sampai satu hari karena kekacauan yang ditimbulkan oleh dunia asing yang baru dimasukinya.

Andiane tidak sanggup menangis. Tidak boleh. Dia harus menunjukkan kepada Papa bahwa dia adalah gadis yang sudah dewasa dan tahu dengan keputusannya. Andiane telah menjanjikan banyak hal, termasuk kepastian dan kekuatan yang benar. Andiane bertekad takkan semudah itu memercayai siapa-siapa lagi. Andiane juga berjanji akan sering-sering mengunjungi Papa dan Mamma, karena itu pula yang diizinkan oleh Rod.

Andiane tak menemui Franco lagi malam itu, dan memang sebaiknya demikian. Franco menghilang sebelum Rod datang, entah kemana, tetapi pria itu berkata akan mampir kembali setelah Rod dan dirinya pergi. Papa tak memiliki tumpuan harapan selain Franco, dan pria sinting itu dengan sangat waras menahan diri untuk tidak bertingkah seperti biasanya.

Setelah sesi makan malam yang terasa sangat singkat dan menyiksa bagi Andiane, Rod pun membawanya. Betapa terkejutnya Andiane ketika Rod menempelkan telunjuknya pada leher Andiane, kemudian Energi gadis itu sontak menggelegak hebat. Belum sempat Andiane mencerna apa yang sedang terjadi, asap hitam menyelubungi tubuhnya dengan cepat. Udara memadat, dan Andiane hapal betul dengan sensasi memuakkan ini! Sepintas kemudian, Andiane melebur pada udara bebas, kakinya memijak pada bebatuan, dan kedua matanya menyaksikan Asap Hitam bergumul dan membentuk sisa jemari tangannya.

Andiane melongo. "Apa yang—"

"Etad," respon Rod, suaranya setenang seorang guru yang baru saja mengajarkan muridnya apa itu kereta. "Ketika kau melebur dan muncul lagi di suatu tempat, itu disebut Etad."

"Aku tahu." Desis Andiane. "Itu diajarkan di Institut, tetapi bagaimana bisa? Tidak semua dehmos mampu, dan kita baru diajarkan pada akhir tahun kedua!"

"Kau Aliansi, Andiane. Kau bisa," tukas Rod. "Ayo. Waktu kita tidak banyak! Count menantimu, dan ia tidak suka menanti."

"Satu pertanyaan, Rod," kata Andiane saat mengekori pria itu. "Kau tadi pagi menyinggung Viktor sebagai anggotamu. Anggota apa?"

"Aliansi, apa lagi?" jawab Rod, dan Andiane merasakan sesuatu runtuh di dalam benaknya.

"Tetapi dia adalah staf Dekan Geneva!"

"Ya, tentu saja, sebagai pengawalnya, bukan? Sewajarnya, sebab dia salah satu wakil kaptenku," kata Rod, mengirimkan sentakan keras sekali lagi pada Andiane. "Siapa lagi yang mengawal seorang dekan kalau bukan dari Aliansi?"

Ketika Andiane tak kunjung merespon pertanyaannya, Rod mendengus. "Jika hal semacam itu saja tidak Viktor beritahukan kepadamu, aku sama sekali tak habis pikir ke mana dia akan membawamu, Andiane."

Andiane, tanpa berkomentar lagi, mengekori Rod untuk keluar dari gang sempit yang dibatasi dinding-dinding bebatuan tinggi menjulang. Oh! Andiane tidak tahu akan keberadaan lorong ini dahulu saat berkunjung ke kediaman Wyterseen, tetapi ia tak terlalu bersemangat karenanya. Hatinya terasa sakit sekali.

Saat Andiane menapak pada ujung lorong, hamparan kebun penuh bunga menyambutnya. Satu orang yang terlintas di benak Andiane seketika menyaksikan ribuan jenis bunga dalam berbagai warna: Mamma! Beliau akan sangat menyukai ini. Sesemakan dipangkas begitu rapi dan indah, memagari jalan setapak yang tiga kali sehari disapu. Pohon-pohon menjulang dalam tinggi yang harmonis; tidak terlalu rendah maupun tinggi, dan tak ada satupun ranting maupun daun yang mencuat nakal. Bola-bola api berpijar indah di tiang-tiang kokoh yang penuh ukiran rumit, menyinari sepanjang jalan hingga malam tak lagi mengerikan.

Kemudian, setelah melewati perjalanan yang menjadi awal dari tontonan yang indah lagi melenakan, berdirilah istana kecil Wyterseen di puncak bukit rendah yang menanjak. Andiane pernah melihat rumah itu, sekali dahulu saat menghadiri undangan makan sang Count sekaligus pestanya. Rumah itu berkilau di matanya bagaikan berlian di mahkota ratu.

Andiane ingin sekali menikmati pemandangan ini, sayangnya sakit hati menghalangi kenikmatan itu. Padahal, semakin dekat ia melangkah, semakin banyak hal-hal kecil yang nampak di matanya, yang tak terlalu Andiane perhatikan saat dulu datang kemari karena kelewat gugup. Tiang-tiang marmer yang beraksen emas, untaian daun yang menjulur sedemikian rupa sehingga istana itu tidak nampak terlalu ramai, dan segala hal yang membuat para gadis berbinar akan keindahannya. Akan tetapi momen itu tidak bertahan lama ketika Andiane melihat sejumlah Aliansi yang berjaga di sekitar istana. Mereka mengenakan jubah yang serupa dengan Rod, meski Rod memiliki aksen yang lebih mewah, dan mereka mengingatkan Andiane pada Aliansi yang melawan Osbonard di Aula Ardale.

Andiane menelan ludah.

Sang Count telah menanti di salah satu ruang duduk miliknya. Ekspresinya bercampur aduk, antara gembira dengan kehadiran Andiane, sekaligus kesal dan malu dengan apa yang menimpa gadis itu. Ia menyambut Andiane dengan ramah, walau Andiane tahu persis jika sang Count berusaha keras untuk tidak mengumpati situasinya yang telah ditandai Rod.

"Sungguh, Nona Andiane, jika aku bisa melakukan sesuatu untukmu, aku akan melakukannya untukmu! Oh, sungguh emas yang malang!" seru sang Count. Dia mengingatkan Andiane akan putranya Mikhael. Persis, hanya saja lebih tua dan, barangkali, bisa berpikir dahulu sebelum berkomentar. "Aku telah mendengar segala-galanya dari Rod, walau aku tahu, tidak ada yang lebih bijak daripada mendengarkan kesaksianmu sendiri, Nona Andiane. Dan, jangan khawatir, engkau jelas berada di bawah perlindunganku, baik sebagai pengelola sekolahmu, maupun sebagai sesama!"

Andiane memilih diam, sebab yakin bahwa kehadiran Rod di sana hanya mengintimidasinya. Andiane refleks melirik kapten Aliansi itu dan untunglah gerak-geriknya dipahami oleh sang Count.

"Keluarlah, Rod, dan kembalilah ketika aku memanggilmu. Namun, sebelum itu, jawablah aku; di mana Viktor Olliviare yang cunguk itu?"

Andiane merasakan hatinya mencelos.

Respons Rod sama sekali tidak memuaskan hati Andiane. "Keberadaan Olliviare adalah urusan saya, Tuanku, dan tidak sepantasnya engkau khawatir ketika kabar masih simpang siur. Ketika semua menjadi jelas, saya akan menyampaikannya kepada Anda sebenar-benarnya."

"Jangan buang-buang waktumu, Rod!"

Rod membungkuk hormat, lantas memohon diri untuk keluar. Apa yang akan dilakukannya? Menyuruh anak-anak buahnya untuk mencari Viktor? Andiane hampir saja membiarkan dirinya larut dalam kegalauan, tetapi sekarang jelas bukan waktu yang tepat. Dia berada di kediaman Wyterseen, bukan rumahnya.

"Mari, Nona Andiane," kata sang Count menyentaknya. "Duduklah, dan biarkan kejujuran mengalir dari kata-katamu. Kebijakanku akan tergantung pada kejujuranmu, dan aku sangat mengharapkannya, sebab—ketahuilah—sebagai seorang dehmos Murni, selaiknya kau mendapat kehidupan yang sebaik-baiknya ... dan tidak diperlakukan semacam yang telah kaudapatkan sebelumnya! Sungguh, jika aku mengetahuinya lebih awal, aku tidak akan membiarkan ini terjadi."

Andiane makin kalang kabut. "Biarlah apa yang telah lewat, lewat, Tuanku." Andiane merasakan darahnya mengalir deras. Untunglah sang Count menyetujuinya. "Saya ... saya akan menceritakannya."

Lalu, sembari berusaha sekeras mungkin untuk tidak bersikap subjektif, Andiane menceritakan runtutan kejadiannya bagai penulis koran. Tentu saja, Cleventine berada di luar pembahasan.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top