Getaran Keraguan
5, Bulan Awal, 1820
Tidak seperti biasanya, Andiane tidak menantikan akhir pekan yang satu ini. Tidak, semenjak Viktor berkehendak untuk menemuinya bersama Franco. Ini adalah perpaduan yang paling ingin dihindari Andiane setelah mengetahui apa yang terjadi di antara para saudara itu.
Andiane sangat, sangat yakin Viktor bakal murka.
Yah, dugaannya tidak salah.
Cuaca sore itu mendung betul, seolah-olah mendukung ketakutan Andiane akan pertemuan yang terjadi di sebuah bilik bar. Hari boleh saja masih sore, namun murid-murid yang sudah berusia legal mulai memenuhi lantai bar di bawah. Bilik-bilik tertutup di lantai dua belum penuh seutuhnya. Hanya beberapa yang rela merogoh kantong lebih dalam untuk privasi, sebab esensi dari sebuah bar para murid adalah keriuhan yang bebas.
Berkebalikan dengan canda tawa dan dentingan gelas bir jahe di luar sana, atau diskusi seru di bilik tengah, bilik paling pojok dan suram ini benar-benar senyap. Andiane dan Viktor telah mendekam sejak beberapa menit yang lalu, menanti kedatangan Franco yang seolah tak ada ujungnya. Sekitar lima menit yang terasa seperti berjam-jam karena dilalui dengan keheningan mencekam, Franco mendobrak masuk dengan dua gelas bir besar di tangan.
"Traktiranku!" serunya, yang disambut dengan tatapan kesal seisi bilik. Franco tak peduli. Ia menaruh satu gelas bir di tengah meja, barangkali pasangan palsu itu mau berbaikan dengan berbagi minum di gelas yang sama, sementara Franco segera meneguk sebagian gelasnya sendiri. Ia mengacuhkan Viktor yang memijat pelipis dan Andiane yang menghela napas panjang.
"Ayolah!" kata Franco lagi, "atau gelasnya kurang? Aku membeli hanya satu karena barangkali kalian mau berbagi—"
"Diamlah, Franco." Desis Viktor. Franco sontak mengunci mulutnya dan mengalihkan pandangan ke tempat paling jauh dari Viktor. Andiane mendengarnya menggumamkan sesuatu seperti: mengapa aku selalu disuruh diam?
Sekali lagi, suasana menghening. Namun, itu tidak bertahan lama, karena Franco benci keheningan. Dia mengetuk-ketukkan jari.
"Apakah kita sedang berlomba untuk menahan diri siapa yang paling lama tidak bersuara? Kukira Andy telah memenangkannya ...."
"Kenapa," kata Viktor, menyela celotehannya, "kalian bersama di aula saat itu?" Andiane sudah menduga pertanyaan itu akan terlontar. Ia sontak melirik Franco ketika Viktor melanjutkan lagi. "Kukira, dan sangat kuharap, kalian tidak membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan ... Unison."
Franco menahan napas. "Andy, kau membocorkannya?"
Andiane membeliak kaget. "Membocorkan? Perbaiki kata-katamu dan jangan membuatku terdengar seolah berkomplot denganmu, Franco! Kau sendiri yang menculikku saat itu dan menyuruhku untuk menjadi Unisonmu. Ini akibatnya."
"Kau melapor pada Viktor!"
"Tentu saja!"
Viktor makin pening dengan tingkah kedua orang di hadapannya. Dia memutuskan untuk menghadap Franco, yang membuat sang pria gila spontan bungkam. "Aku tahu kau sudah diambang batas, Frank, tetapi kuharap kau tidak menyeret Andy ke dalam masalahmu."
"Kau tahu?" Franco pura-pura terisak. "Kalau begitu kenapa kau tak membantuku? Apalagi kau sekarang kembali ke Institut dan masih bekerja pada mereka! Aku tak punya jalan lain. Aku akan didepak dari Institut oleh tuan-tuanmu itu, dan kiranya siapa lagi yang akan membantuku? Andy sangat baik, dia saja mau menerima pernikahan palsumu yang bodoh itu."
Andiane bengong karena sama sekali tak mampu merespons. Viktor, di sisi lain, sangat kesal.
"Bagaimana kau ...?"
Franco mengangkat bahu. "Aduh, aduh. Telingaku sakit."
"Pertama," kata Viktor, karena percuma saja bertanya pada Franco. "Kau tidak tahu soal apa-apa tentangku dan Andiane, dan sebaiknya kau tidak ikut campur dengan menggunakan situasimu sebagai alasan. Kedua, jika aku mendapati bahwa campur tanganmu karena alasan-alasan bodoh sebagaimana yang biasa kau lakukan, akan kupastikan kau didepak lebih cepat."
"Apa?" Andiane refleks bersuara, mengejutkan Viktor dengan pembelaannya. Pelototan Viktor membuatnya kembali memelankan suara. "Maksudku, kenapa kau harus seperti itu kepada saudaramu sendiri? Aku memang tidak tahu apa masalah kalian, dan Franco memang agak sinting, tapi kau tidak perlu bersikap sejauh itu, Viktor."
"Aku memang sinting," kata Franco, lagi-lagi mengeraskan isakan palsunya. "Tapi aku peduli padamu, Viktor."
"Oh, ya Tuhan. Keluarlah, Frank."
"Tapi, Viktor—"
Nada Franco luar biasa menjengkelkan, karena ia meniru cara Andiane berbicara, dan itu membuat Viktor makin tidak sabar. Ia menatap tajam ke arah Franco tanpa kata-kata hingga pria itu meringis. Ia merenggut gelas bir dan berkata akan ikut berpesta di bawah saja.
Setelah pintu bilik menutup, Andiane langsung menyambar sebelum Viktor mendahului. "Kenapa kau seperti itu?"
"Andy ...."
"Kutegaskan bahwa aku memang tidak tahu, dan aku hanya istri palsu-mu, tetapi aku tidak bisa diam saja kalau kau memperlakukannya demikian hanya karena dia sinting. Dia sedang dalam masalah, Viktor, dan kau bekerja pada Wyterseen!"
"Andy," kata Viktor, dan meski suaranya tidak keras, emosi yang meluap-luap di nadanya membuat Andiane terperangah. "Andy, dengarkan aku," kata Viktor, dengan suara lebih pelan. Dia menarik napas dalam-dalam, mengambil gelas bir yang masih utuh, lalu meneguknya dengan cepat. "Dengarkan aku, ya? Terima kasih atas perhatianmu kepada keluargaku, tetapi Frank ... kau belum tahu siapa dia. Entah apa yang telah kalian bicarakan, sehingga kau punya simpati kepadanya, tetapi cecunguk itu sudah sinting sejak muda. Dia berulang kali nyaris membunuhku, kalau kau perlu tahu, dan semuanya bukan ketidaksengajaan masa kecil. Tidak. Itu urusannya dengan para Wyterseen, dan aku tak akan menyelewengkan pekerjaanku untuk kebodohan Frank."
Andiane tak menyangka dengan kenyataan barusan. Ekspresinya menunjukkan jelas pendapatnya dan Viktor mengusap wajah. "Andy, aku hanya tidak mengerti; aku pernah berkata kepadamu untuk tidak meladeninya, tetapi mengapa kalian bisa ada bersama para profesor, menantang bahaya ketika Osbonard menarget mereka?"
"Itu bukan kemauanku," kata Andiane kalut. "Aku sedang mengambil makan siang ketika Franco tiba-tiba datang. Dia muncul begitu saja, persis sekali seperti saat menculikku dulu. Dan, tahu-tahu saja ada debuman itu! Franco langsung menarikku dan dalam sekejap kami berpindah ke lantai dua. Sungguh, aku tak melakukan apapun, dan jika ada yang tahu alasan mengapa kami harus berada di lantai dua, maka itu adalah Franco. Aku sudah memarahinya, kenapa tidak keluar saja kalau berniat mau mengamankan diri? Tapi dia tidak memedulikanku."
Seharusnya Viktor percaya, karena siapa lagi yang harus dipercaya? Andiane berbeda dengan Franco, dan Viktor pun tak perlu turun untuk menggertak Franco agar menceritakan alasannya. Pria sinting itu pasti mengatakan bahwa ia melakukan hal-hal tertentu karena menurutnya itu lebih seru. Pasti.
"Viktor, percayalah padaku." Andiane mengawasi Viktor dengan gelisah. Pria itu menandaskan sisa bir hingga kosong, menyisakan busa tipis yang meluncur sedih di dinding gelas.
"Ya," katanya, kendati ada nada keragu-raguan di sana. "Siapa lagi yang mesti kupercaya, Andy? Franco?"
Andiane menghela napas. "Daripada itu ...," katanya takut-takut, karena tak ada bir lagi untuk meredam emosi Viktor. "Osbo-siapa yang kau bicarakan tadi? Apakah dia nama orang yang merusak aula saat itu?"
"Osbonard, dan ... ya," kata Viktor. "Kau mungkin tidak mengenalnya, tetapi Osbonard terkenal di kalangan para dehmos. Dia dahulu adalah seorang Dewan Tinggi. Dia sangat idealis dan menentang Cortess. Dia selalu berusaha mengganggu para klan anggota Dinasti Cortess."
"Ah, Wyterseen adalah salah satunya."
"Ya."
"Dan kenapa kau mengenakan jubah Aliansi?"
"Apa?"
Andiane mengatupkan bibir. Dahinya berkerut-kerut, terlebih-lebih saat Viktor menatapnya dengan ekspresi campur aduk. "Kau mengenakan jubah yang sama seperti para Aliansi, Viktor. Kau pakai yang sama persis dengan milik Rod."
Viktor terperangah. Jemarinya nyaris meraih gelas bir yang sudah kosong itu, tetapi terhenti karena isinya yang sudah tandas. Ia hanya memandang gelas dengan ekspresi kaku.
"Viktor?" desak Andiane, makin gelisah ketika pria itu tak mengatakan apapun. Dia berpindah posisi di samping Viktor, menegaskan situasi saat ini. "Aku tidak tahu persis apa pekerjaanmu di Klan Wyterseen, dan aku sangat berharap kau tidak terlibat bahaya. Tetapi, saat aku melihat jubah-jubah yang dipakai para Aliansi, aku kemudian teringat Rod, dan ternyata kau juga mengenakannya kemarin!"
Andiane mulai gemetaran. Viktor menyadari dari suaranya, dan gadis itu menghela napas berat. "Katakan, Viktor, apa pekerjaanmu? Apa kau memang sebenarnya bekerja dengan Rod? Dulunya? Sebab kalian bertengkar sekarang?"
"Tidak, Andy. Tidak. Aku tidak sama dengan Rod." Kedua mata Viktor menguap. Rasa kesal berganti menjadi ketakutan ketika Andiane menatapnya dengan penuh curiga. Viktor tak berkata-kata lagi, membiarkan Andiane lemas dengan emosinya sendiri.
Pria itu mempertaruhkan posisinya, sehingga ketika ia mengulurkan tangan untuk mencoba memeluk Andiane dan gadis itu tidak menolak, ia merasa teramat lega. Viktor refleks menyandarkan dagu pada bahu Andiane.
"Tidak, Andy," ulangnya pelan. Andiane tak balas memeluk. "Bukan, kami berbeda. Sungguh. Kau lihat sendiri bahwa aku bekerja untuk Lady Wyterseen—Dekan Geneva. Dan, baiklah, aku akan memberitahumu; Rod memang sama-sama bekerja di bawah Wyterseen, tetapi kami berbeda. Sungguh. Aku tidak sama dengan Rod. Sekali lagi, kau tahu apa pekerjaanku." Dia menelan ludah. "Kau paham bedanya, Andy? Itu berbeda. Klan Wyterseen terkemuka. Mereka keluarga besar dengan begitu banyak pekerja. Ada sangat banyak jenis pekerjaan ... dan tidak sesempit yang barangkali kau bayangkan. Kau ingat, kau pernah hadir di pesta mereka, dan ada berapa banyak orang yang mengenakan jubah-jubah serupa? Mereka semua belum tentu memiliki pekerjaan yang sama, Andy."
"Lantas apa arti jubah itu?"
Viktor menelan ludah. "Identitas. Identitas jika kami bekerja untuk mereka."
"Bukan sekadar Aliansi?"
"Aliansi juga milik Klan Wyterseen, atau tepatnya, Dinasti Cortess." Andiane menghela napas mendengarnya. Viktor berkata lagi, "Percayalah padaku."
Waktu berjalan begitu lambat hingga Andiane mengangguk samar. Gadis itu akhirnya memeluk balik.
"Sebagaimana kau memercayaiku, Viktor, aku juga memercayaimu."
Viktor mempererat pelukan. Waswas, kendati ketenangan mulai meliputinya. Tenang, karena mereka bisa bertemu kembali dan bertukar kehangatan setelah dua akhir pekan yang dingin. Waswas, karena alasan yang kau tahu sendiri mengapa. Ironisnya, perasaan semacam ini tidak hanya dirasakan Viktor.
Andiane menepuk-nepuk punggung Viktor dengan lembut. Viktor masih belum tahu, dan semoga dia tidak curiga, bahwa tuduhan-tuduhan yang ia arahkan kepada Franco selama ini sesungguhnya telah mereka rencanakan.
Ingatan Andiane kembali memutar kejadian pada awal semester, ketika Franco menuntutnya untuk menjadi Unison, sementara Andiane masih ragu-ragu. Ia tak mau melepaskan kesempatan untuk mengenal Viktor lebih jauh dengan cara lain, dan untunglah Franco menyanggupi.
"Aku tidak peduli hubungan macam apa yang sebenarnya kalian jalankan," kata Franco saat itu, "tetapi kau harus mengenal Viktor dengan baik, Andy! Kau kira aku saja yang sinting? Memang kau yakin Viktor tidak kalah sinting; menikahimu sementara kau tak tahu dia bekerja sebagai apa, masih punya keluarga atau tidak, dan sebagainya?"
"Tetapi dia satu-satunya yang bisa kupercaya," kata Andiane, terkesiap dengan ucapan Franco. "Dia yang menyembuhkanku dan membawaku untuk mengenal dunia ini."
"Ya, tapi apa kau tak pernah penasaran dengan hidup orang yang menolongmu, eh?" kata Franco. "Kau ikut bersamanya sekarang, apa kau yakin hidupmu bakal benar-benar aman jika kau tak tahu dia siapa?"
Obrolan terakhir sebelum Franco meninggalkannya di padang sendirian itu membuatnya nampak seolah-olah sisi gilanya tak pernah ada. Mungkin itu pula yang membuat Andiane masih mau membelanya sampai saat ini, bahwa Franco tak benar-benar sinting, dan mungkin ada alasan lain yang kelak bisa dikuliknya mengapa Franco bisa menjadi demikian.
Pun, kendati Andiane berulang kali meragukan Viktor, kenyataannya ia tak bisa menolak pesona Viktor yang mengaburkan keraguannya ketika mereka bertemu lagi. Aroma tubuh Viktor, sentuhan hangatnya, dan kata-katanya yang mengusir kerinduan Andiane selalu berhasil menumpas semua kecurigaan Andiane untuk sementara waktu.
Seperti saat ini, ketika Andiane berharap ia tidak perlu merasa bersalah saat memeluk Viktor sembari menuntut kepercayaannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top