Dunia Lain Olliviare
11, Bulan Api, tahun 1819
Viktor menanggalkan topi kala meninggalkan kapal. Ia mengenakan sebuah jubah yang panjangnya mencapai mata kaki. Asap hitam muncul dari balik tudung, saling menjalin dan menutup seluruh wajahnya macam topeng. Kain beludru cokelat gelap bergesekan dengan sepatu setiap ia melangkah. Hampir sebagian wajahnya tertutupi oleh bayang-bayang tudung, dan itu cukup, karena ia tidak suka dikenali dengan mengenakan jubah ini.
Semula, tidak ada yang mengenalnya ketika Viktor melangkah masuk ke kapal. Namun kini, ketika ia berbaur dengan orang-orang di geladak, secara otomatis mereka menyingkir.
Ketakutan menguasai penduduk awam.
Mata-mata yang cukup berani akan menatapnya, kendati alis berkedut dan keringat merembes di punggung mereka. Wanita-wanita lebih suka menundukkan pandangan, atau melindungi tatapan penuh penasaran dari anak-anak, dan merengkuh mereka lebih erat di balik lindungan kedua tangan.
Tidak ada yang mau berurusan dengan para anggota Aliansi.
Untungnya, Viktor tidak perlu berbaur terlalu lama. Saat kapal akhirnya benar-benar tertambat, dan orang-orang bergegas meninggalkan kapal sesegera mungkin, ia menghilang dalam pusaran asap yang kemudian melebur dengan cepat.
Sedetik kemudian, suasana lembap dan ramai khas pelabuhan berganti menjadi suasana dingin dan kaku di balik dinding batu tinggi yang memisahkannya dari dunia luar. Viktor menanggalkan tudung bersamaan dengan meleburnya topeng asap, berbalik, dan tersentak saat mendapati sosok berjubah lain di belakangnya. Ekspresinya cerah, begitu berkebalikan dengan muram yang tersemat di wajah Viktor.
"A-ha, heei, senior tersayang!" Jasper Price menyeringai lebar. "Apa kabar, bung? Bagaimana malam pertamamu?"
Viktor memutar bola mata. Tanpa membalas tangan Jasper yang teracung, ia melewatinya. "Aku sedang tidak ingin bercanda."
"Ah, ayolah. Lemaskan otot-otot itu. Aku tahu wajahmu memang muram sejak bayi, tapi—ayolah. Bukankah kau akan menemui Count?" Jasper Price menyejajari langkah Viktor. Mereka menyusuri lorong berdinding batu hingga mencapai gerbang kecil yang membatasi pekarangan luas sebuah kastel. Angin musim gugur berembus dengan cukup kencang. Pria-pria berjubah lain—hanya dengan warna jubah kelabu dan topeng-topeng kelinci yang tak pernah lepas—setia menjaga di sisi-sisi pintu. Mereka membungkuk hormat ketika kedua pria itu melangkah ke dalam.
Sang Count sedang duduk di salah satu ruang bacanya, di sisi perapian yang tak pernah padam dan anggur yang terus diisi penuh. Ia telah memerhatikan pintu semenjak Viktor dan Jasper mengumumkan kehadiran.
"Viktor Olliviare, lama tak jumpa." Sang Count tersenyum, isyarat umum untuk menghendaki kabar yang menyenangkan baginya. Tentu ini berlaku bagi semua orang, bukan? Tetapi sang Count tidak akan menoleransi, sebagaimana Rottensire yang keras, dan sang Count hidup dengan sangat berpegang teguh pada kebanggaan menjijikkan itu. "Aku harap kau membawa kabar baik, eh?"
"Kabar baik, Tuanku yang Terhormat." Viktor membungkuk. "Saya menemukan seorang dehmos Paduan. Saat ini ia sedang berproses mengenali jati dirinya."
Jasper mengerling tanpa suara.
Sang Count tidak terlihat terkesima. "Siapa pendahulunya?"
"Mendiang Profesor Weston, guru besar Elentaire Institut, pengajar Levitasi dan Pengendalian Energi Dalam. Terakhir dalam keluarganya."
"Ahh!" Sang Count, pria tinggi berbadan besar dan tegap, dengan rambut perak yang diikat menyentuh bahu, menyeringai lebar. Ia menegakkan punggungnya. "Sean Weston—cecunguk yang banyak tertawa itu. Dia adalah kawan yang baik, seringkali membuatku terhibur dan kesal karena leluconnya, tetapi dia akan selalu kukenang!" kata Count. "Jadi, cucunya, eh?"
Viktor mengangguk. Sang Count pun beranjak dari sofa, ketertarikan murni mencerahkan rona mukanya. "Bagus, bagus. Keturunan para profesor di Eleins selalu baik! Katakan, Viktor, apakah kau sudah mempersiapkannya untuk memasuki institut? Siapa namanya?"
"Saya memastikan dia akan siap untuk menghadiri tahun ajaran baru mendatang, Tuan. Namanya ... Andiane Weston," jawaban Viktor disambut dengan jentikan jari menyetujui. Sang Count memberikan isyarat pada seorang pelayan
"Ingat itu," perintah sang Count. "Jika Viktor yang mendidiknya, aku yakin gadis Weston ini bakal naik kasta dengan cepat! Mikhael bisa menjadi senior yang baik ... atau kuharap begitu! Bocah tengik ini semakin berulah. Aku tulus berharap dia segera menemukan Unison. Keberadaan dehmos Murni semakin berkurang, kau dengar itu? Semua omong kosong tentang kebaikan Paduan ... tentang betapa mulianya kombinasi Energi-energi di dunia ini! Demi Tuhan, jika garis murni semakin tergerus oleh upaya-upaya untuk menghancurkan kami, aku tak akan tinggal diam. Benar, Viktor?"
Viktor tersenyum. "Ya, Tuanku."
Sang Count sangat menikmati ekspresi Jasper yang mengeras, atau Viktor yang sama sekali tidak tampak terganggu dengan ucapan itu. Dan, itulah alasan mengapa sang Count selalu memercayai Viktor untuk urusan-urusan yang lebih penting! Mungkin dalam hitungan bulan ia bisa mengangkat Viktor menjadi seorang kapten, atau barangkali menyandingkannya dengan gadis-gadis dehmos Paduan yang dipingitnya di Menara Barat. Para makhluk Paduan sepantasnya hanya bergaul dengan sesamanya.
"Sempurna! Kau bisa kembali ke Aliansi lagi, Viktor. Lakukanlah tugas-tugasmu." Kemudian, sang Count terdiam sejenak. "Tapi, ahhh ... tunggu sebentar. Apa pekerjaanmu saat ini, bocah? Kudengar kabar buruk sedang menimpamu."
"Tidak, Tuanku. Itu hanya kabar burung. Saat ini saya hanya mengawasi keberadaan Nona Weston dan mengurusi pekerjaan-pekerjaan yang telah diutuskan kepada saya."
"Itu hanya pekerjaan kecil, bukan? Setelah tahun ajaran baru dimulai, aku ingin kau kembali ke Institut."
Viktor termenung. "Ya, Tuan."
"Awasi Mikhael, dan, tentu saja, Weston yang malang itu. Aku sedang sibuk saat ini, kau tahu? Semakin banyak pesta. Perjamuan. Membosankan! Hanya pada waktu-waktu tertentu inilah aku mampu menikmati kesenggangan. Tak memikirkan apa-apa. Untungnya kau datang dengan kabar baik! Mikhael harus segera menemukan Unisonnya, benar? Bukan memancing gadis-gadis untuk mendatanginya. Tapi kau selalu tahu dalihnya—Unisonku harus sempurna! begitu kata mulut manisnya—dan, memang, untuk sesuatu yang sempurna, harus disandingkan dengan sesuatu yang sempurna pula. Di situlah letak kecantikan yang tiada cela berada, bukankah begitu, Viktor?"
"Benar, Tuan."
"Baik sekali. Kalau begitu kembalilah bekerja, Viktor, dan kunantikan kabar-kabar baik lain darimu. Barangkali, kau bisa meningkatkan pelatihan pada ... itu, asuhanmu, yang sepertinya masih perlu belajar banyak hal."
Viktor tahu Jasper akan malu setengah mati, jadi ia tidak repot-repot menegaskan momen itu dengan menoleh kepadanya. Ketiadaan respons Viktor membuat senyum sang Count berubah masam.
"Nah, pergilah. Banyak yang merindukanmu." Sang Count mengibaskan tangan. Viktor dan Jasper membungkuk hormat sekali lagi, lantas meninggalkan ruangan itu dengan cepat. Viktor tahu betul Jasper akan mulai uring-uringan, sehingga segera setelah mereka menyusuri lorong kastil, Viktor mengacungkan telunjuk. Jasper mengatupkan mulut.
"Jangan."
"Ya, bung. Ya. Maafkan aku karena kau mendapat teguran atasku."
"Sepantasnya kau merasa demikian."
"Aku hanya tidak ingin jadi pendiam dan selalu bermuka datar sepertimu," kilah Jasper. Viktor tak terlalu mendengarkan sejak mereka berbelok menyusuri koridor-koridor yang luas. Jasper mengenal rute ini sebagai arah menuju kastel para gadis. "Omong-omong apa ini? Kau sudah menikah, dan kau masih saja mengunjungi mereka?"
"Bukan." Viktor berhenti melangkah, tepat di depan sepasang penjaga yang berdiri di sisi-sisi pintu menuju Menara Barat para gadis. Ia mengayunkan tangan. "Untukmu."
Jasper mengangkat alis. "Yah, aku tidak akan menolak ... tapi kau?"
"Aku harus pergi lagi." Viktor memberikan isyarat dengan tangannya: bolak-balik, ke sana kemari. Jasper menyeringai melihat tingkah seniornya. Viktor lantas berbisik. "Dan aku tidak main-main, Jasper. Meski status pernikahan kami hanya formalitas, aku tetap harus menjaga kehormatanku sendiri. Juga gadis itu. Dia masih baru di dunia ini, dan kalau dia mendapat kepercayaanku"—Viktor menjentikkan jari—"semua akan berjalan sangat mulus dan baik."
Jasper tersenyum penuh arti. "Sejujurnya aku sangat terkejut saat menerima suratmu, senior. Kau, dan ambisimu yang tidak setengah-setengah untuk menuntaskan sesuatu. Aku sedikit kasihan pada istrimu itu, tetapi dia juga beruntung betul karena kaulah yang pertama kali menemukannya. Sungguh, kau gila."
"Kau yang gila karena menyebutnya di sini." Viktor mendesis. "Pelankan suaramu dan jangan pernah ungkit itu. Kau sudah bakar suratnya, kan?"
"Sudah. Tentu saja sudah ...."
"Aku mungkin kembali nanti malam," kata Viktor. "Sampai saat itu, kau coba cari tahu apa saja yang telah dilakukan Mikhael. Aku harus menyusun rencana agar bocah tengik itu tidak merusak milikku ... Para gadis itu pasti tahu. Mikhael sering mengunjungi mereka."
"Oh ya, tentu saja itulah alasan kau akhirnya mengizinkanku kemari." Jasper memutar bola mata, yang segera berubah kembali menjadi sebuah keceriaan. "Tapi, tak masalah! Aku sangat baik dalam hal seperti ini. Lain kali kenalkan aku pada istrimu."
Viktor melotot kesal. Jasper pun terkikik geli dan segera menghilang ke balik pintu, meninggalkan seniornya tenggelam dalam kegelisahan. Viktor tak mau membuang-buang waktu lagi dan segera berlalu. Ia melewati banyak lorong, tangga, hingga berakhir pada kastel terpisah yang menjadi barak para Aliansi.
Para anggota tidur di sel-sel serupa penjara, dan meskipun itu sesungguhnya adalah bentuk penghinaan masa lampau dari Count-count terdahulu, mereka tak punya tempat lain untuk tinggal. Sisi bagusnya adalah tak ada yang mencoba untuk mencuri spot tidur satu sama lain, dan kamar peristirahatan Viktor jauh dari hingar-bingar kekacauan.
Saat ia tiba, nampak beberapa surat berserakan di mejanya.
Viktor menyortir surat-surat itu. Surat dari Rod, dua kali, dikirim dalam jarak waktu yang dekat. Mengapa dia mengirimkan Viktor surat, kalau ujung-ujungnya berakhir di sini? Surat ketiga tak memiliki nama, dan sepantasnya membuat Viktor curiga.
Ia membuka surat itu, dan jelas saja, membaca nama pengirimnya sudah cukup meningkatkan kadar kegelisahan dan kekesalannya.
+ + +
12, Bulan Api, tahun 1819
Malam sudah lama menyapa langit Demania Raya, meredam kilau matahari yang tak mampu menyaingi dinginnya musim gugur tahun ini. Hujan menderu di luar jendela-jendela raksasa berukiran rumit, menggantikan ribuan pasang kaki yang semula meluber di lobi, dua jam yang lalu.
Niklaus Cleventine lama tidak menjadi bagian dari mereka lagi—para staf berwajah kusam.
Bukan, bukan karena pengangkatannya menjadi anggota Dewan Tinggi. Jika memang demikian, dia justru mendapatkan keistimewaan untuk pulang tepat waktu, tetapi kenyataannya, dia tidak seistimewa itu.
Tidak, selama dia adalah seorang Cleventine.
Berlatarkan suara gempuran hujan yang menggema di koridor-koridor kantor, Niklaus meninggalkan salah satu ruang rapat dengan langkah lebar. Napasnya diatur sedemikian rupa; dalam, embuskan, tarik lagi, dan embuskan lebih keras. Sekretarisnya mengikuti dengan tergopoh-gopoh, kali ini merutuk pria tua yang baru saja menertawakan bos barunya ini. Astaga, siapa yang setega itu untuk mengatakannya di depan orangnya langsung? Ya! Pria mesum tua yang masih bertahan di kursi Dewan Tinggi selama tiga puluh tahun lebih; seorang dewan dari Dinasti Fortier, musuh bebuyutan dinasti asal bosnya. Senioritas menggelikan—begitulah anggapan sang sekretaris baru—dan dia mengasihani Cleventine yang masih belia dan gagah ini.
Mereka memasuki lift. Gerbang lift berderak menutup dan melesat menuju lantai kantor para Dewan Tinggi. Suasana sepi ketika mereka tiba di sana, sebagaimana kantor para pejabat pada umumnya. Semula perjalanan itu mereka lalui dengan tergesa-gesa (bagi sang sekretaris) dan penuh ketegangan, dan ia berusaha betul mencari cara untuk mengalihkan perhatian sang bos. Sayang, ia menghabiskan waktu terlalu lama hingga Niklaus mencapai pintu. Sebelum kenop diputar, ia menghela napas, menggumamkan sesuatu yang tidak mampu didengar sang sekretaris, lalu mendorongnya cepat.
Mereka tersentak saat mendapati ada seseorang di kursi tamu. Sang sekretarislah yang paling terkejut. Ia ingat telah mengunci pintu, lantas bagaimana—
"Mengejutkan sekali ... saudara." Niklaus tidak cukup prima untuk menyambut dengan elegan. Selama sesaat ia bertatapan dengan sang tamu, yang sama-sama tampan di mata sang sekretaris, lantas berputar kepadanya. "Terima kasih untuk hari ini, pulanglah segera."
"Ah, Tuan? Saya barangkali bisa ...."
"Tidak, tidak perlu. Kau bisa pulang segera."
Sang sekretaris ingin mengingatkan bahwa hujan mengguyur ibu kota dengan gila-gilaan, tetapi Niklaus tidak bisa dibantah saat ini. Maka sembari mencuri-curi pandang kepada sang tamu, mengabaikan kenyataan bahwa ia mengenakan jubah cokelat yang khas, sang sekretaris membereskan mejanya dengan cepat. Ia tak percaya ini. Konon dewan-dewan muda di kementerian memang tampan, tetapi ia tak memercayai keberuntungannya untuk bekerja di bawah Dewan Tinggi Cleventine. Rupanya ia juga memiliki saudara yang sama tampannya! Kendati, mereka cukup kontras: Niklaus Cleventine tinggi, proporsional, sedikit bungkuk karena terlampau sering membaca buku, kulitnya bersih cemerlang, mata sayunya menyihir, dan senyumnya secara santun menginginkanmu untuk berlutut padanya; sang saudara, di sisi lain ... begitu jangkung, tubuhnya tegap dan berbahu lebar, janggut tipis dan rambutnya dipangkas rapi, dan mata tajamnya teramat pucat. Ia mengingatkan akan serigala kelabu di hutan bersalju.
Dan ... ah, sayang sekali sang sekretaris tak bisa berlama-lama menjelaskannya untukmu. Niklaus terus mengawasi hingga gadis itu tak punya pilihan.
Segera setelah sang sekretaris menghilang, Niklaus mengisyaratkan Viktor Olliviare untuk memasuki ruang utama. Viktor beranjak dengan malas-malasan.
"Aku tidak lama," gerutunya, walau Niklaus tidak mendengarkan sama sekali. Ia mengeluarkan sebuah botol yang membuat Viktor memicing. "Dan aku tidak akan minum."
"Maaf, layani dirimu sendiri. Aku sedang merasa ingin mati."
Viktor mengernyit melihat Niklaus langsung meneguk isi botol itu. Gila. Dia baru saja menanggalkan kesantunan para Dewan Tinggi. Santun bahkan adalah nama tengah Niklaus—santun, elegan, apalah itu. Kenyataan ini membuat Viktor sejujurnya terhibur, dan ia duduk di lengan sofa sambil menyeringai tipis. Tidak pernah sekali pun terlintas di benaknya akan berada satu ruangan lagi dengan Cleventine, tetapi di sinilah ia, untuk sesaat bersimpati pada seorang Dewan Tinggi.
Niklaus bergumam. "Kenapa kau lambat sekali?"
"Aku bahkan tidak berniat bertemu denganmu."
"Singkirkan niatmu untuk membuatku jengkel, karena apa pun yang kau lakukan berhak kulaporkan sebagai kasus. Aku bisa membuat seratus laporan dalam satu malam. Jadi, segera jawab semua pertanyaanku di surat."
"Aku tidak berutang jawaban apa-apa padamu. Berhenti mencampuri urusanku."
"Ya, dan inilah alasan mengapa aku bisa menempatkanmu di penjara tak peduli siapa pun tuanmu, Viktor!" Niklaus mengacungkan botolnya. "Seenaknya memutuskan dan bertindak—kau kira kau siapa? Seorang individu lepas, bebas, dan tak terikat? Kau pikir namamu tidak tercatat sebagai keluargaku dalam dokumen riwayat hidup?"
Viktor membeliak. "Kau tidak ...."
"Ayah-ayah kita adalah keturunan Cortess, apa yang kau harap?" tanya Niklaus. "Hanya karena mereka semua sudah meninggalkan kita, lantas tak ada ikatan sama sekali? Tak ada hubungannya? Kalau begitu untuk apa aku berada di sini, mempertahankan kedudukanku yang ditertawakan siapa saja di luar sana?"
Viktor mengangkat tangan sembari beranjak. "Aku tidak tahu apa masalah yang kau hadapi saat ini, tapi jangan menyeretku."
"Kalau begitu, jangan membuat situasi makin buruk, keparat," gerutu Niklaus. Selama sesaat sang dewan mengatur napas kembali. "Katakan, mengapa kau membawa gadis Weston dan meninggalkan Aliansi?"
Semisal bukan Niklaus Cleventine yang bertanya, maka Viktor tidak akan menjawabnya, dan justru mengintimidasi kembali orang itu. Namun ia sedang berbicara pada Niklaus, dan sesuai dengan perkataannya, Viktor bisa saja dikasuskan. Para Cortess, meskipun menyukai drama, mereka tidak pernah main-main.
Viktor mendesah. Seharusnya Cleventine itu musnah saja sekalian semuanya.
"Aku tidak meninggalkan Aliansi. Kebetulan tugas-tugas yang kuemban membuatku menjauh," jawab Viktor, pasrah. "Kalau kau tidak percaya padaku, datanglah ke kediaman Wyterseen dan tanyakan apa yang kubawakan kepadanya kemarin siang."
"Gadis itu?"
"Beritanya."
"Apa maumu?"
"Kau tahu apa yang diniatkan para Aliansi. Kau bisa menguping di mana-mana."
"Setidaknya aku tidak mencampuri urusan yang tidak melibatkanku, Viktor," kata Niklaus, yang hampir saja dicemooh. Tentu saja, para Dewan Tinggi berhak mengintervensi setiap kasus yang menarik perhatian mereka! "Lantas apa rencanamu?"
"Sisanya bukan urusanmu."
"Harus berapa kali kukatakan bahwa tindakanmu memengaruhiku?" Niklaus memijat pelipis. Ia berusaha keras menahan diri untuk tidak melemparkan botol ke wajah Viktor. "Dengar, aku akan dengan senang hati mengabaikanmu seumur hidup, tetapi seandainya perjuanganku hancur karena keburu-buruan yang kau gagas ini, aku tidak akan tinggal diam. Klan Wyterseen tempatmu mengabdi itu adalah pengelola institut terbesar di dunia. Di dunia, kau paham itu? Satu kekacauan darimu maka akan berdampak pada karirku. Jadi, mari berdamai untuk saat ini, dan pastikan tak ada yang saling merugikan di antara kita."
Viktor tak merespons selama sesaat. Ia menatap Niklaus, menghela napas, lalu mengusap wajahnya.
Haruskah ia berdamai dengan sepupunya, setelah bertahun-tahun terkungkung dalam ketegangan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top