Berbagi Atap


Butuh hampir satu jam untuk mencapai Desa Tonstam, sebuah desa di bukit rendah di tepi barat ibu kota Covac. Derap kuda mengiringi heningnya sore, bersahut-sahutan dengan nyanyian jangkrik di balik hamparan ladang. Kerlip bintang-bintang nampak makin dekat, yang kemudian semakin besar dan semakin besar dalam pandangan, terkungkung di pucuk-pucuk tiang lampu yang senantiasa digosok para pemuda desa. 
Andiane tidak ingin memejamkan mata sepanjang perjalanan. Ia terus berusaha melongok keluar, meski sesekali Viktor melarang. "Jangan tampakkan wajahmu," ucapnya saat pertama kali memperingatkan. "Kau tidak akan pernah tahu siapa yang bersembunyi di balik sesemakan untuk menguntitmu."
Meski begitu Andiane tetap keras kepala. Ia terlalu menyukai langit Covac semburat ungu. Langit petang ini terlalu cantik untuk dilewatkan begitu saja.
Setelah melewati dua jembatan, kanal-kanal besar dengan perahu tertambat, serta melalui bukit rendah, kereta kuda melambat di depan sebuah rumah sebatang kara. Sedikit jauh dari keramaian, rumah Olliviare tampak menguasai berpetak-petak tanah lapang di sekitarnya.
Andiane tak bisa menyembunyikan senyum saat menginjakkan kaki. Kediaman Olliviare cukup besar untuk diurus seorang diri. Rumahnya khas, berbeda dengan rumah-rumah para penduduk di bawah bukit yang terbuat dari batu; kediaman sederhana bangsawan ini berdiri dari batu-batu bata yang apik dan dirambati tanaman secara rapi. Jendela-jendelanya banyak, simetris, dan berkusen rumit. Sesemakan petunia membatasi pekarangan rumah dengan dunia luar, memagari rerumputan dan bunga-bunga liar yang tumbuh dengan teratur. Tiang pos berdiri manis dengan tiga pucuk amplop mencuat dari lubang sempitnya yang rutin digosok.
"Ah, sebelumnya aku minta maaf," kata Viktor saat mengambil ketiga suratnya. Ia memilah amplop-amplop itu dan sekonyong-konyong merobek amplop yang paling kecil. Andiane penasaran, tetapi perhatiannya teralihkan saat Viktor kembali bersuara. "Aku lupa memberitahu bahwa aku tidak tinggal sendirian di sini ... atau, setidaknya, kadang-kadang. Ada seseorang yang akan sesekali datang ke rumah untuk membersihkannya. Seperti yang sudah kujelaskan padamu, aku tidak berada di rumah setiap hari. Namanya Dustan, dia sudah tua dan kuanggap seperti paman sendiri."
Andiane merasa gugup. "Apakah dia ada di rumah malam ini?"
"Sepertinya tidak." Viktor membuka kunci pintu. Keriut saat didorong bergema di seluruh penjuru rumah. "Kukira ia akan kemari esok pagi, aku yakin. Kau tidak usah memikirkan sarapan karena ia bertanggung jawab untuk itu. Ia tidak mau orang lain membuatkan sarapan selain dirinya."
Sebelum melangkah masuk, Viktor berbalik dan menatap Andiane yang terlihat agak canggung. Ia tersenyum. "Nah, selamat datang di rumah barumu, Andy."
Andiane tersenyum malu. "Rasanya sedikit aneh untuk disambut seperti itu."
"Ini akan menjadi rumahmu juga." Viktor mempersilakan Andiane masuk terlebih dahulu. "Meski status kita saat ini hanyalah sebatas formalitas, tetapi kau tetaplah istriku dan kuputuskan kau memiliki hak atas rumah ini, terutama saat aku tidak ada. Bagaimanapun juga tidak ada yang bisa mengurusnya selain aku dan kau, kalau-kalau Dustan tidak muncul."
Andiane tidak keberatan untuk mendapat tugas merawat rumah ini, apalagi Viktor sudah berbaik hati mau menanggung semua biaya pendidikan dan hidupnya. Andiane menarik napas dalam-dalam. Bau khas kayu yang wangi serta samar aroma rangkaian bunga menyambut kedatangan Andiane. Ia langsung jatuh cinta dengan aroma itu, menyingkirkan rasa gugup di dalam hatinya. Tidak ada debu, juga tidak ada noda dalam pandangannya. Taplak-taplak putih berenda menutupi permukaan-permukaan meja dan lemari. Rangkaian bunga anyelir dan lili mendampingi pigura-pigura di atas meja, meski bukan wajah Viktor yang terpampang. Saat Andiane menyusuri lorong untuk memerhatikan setiap pigura yang terpajang, ia menyadari hanya ada satu wajah Viktor yang tersimpan di sebuah pigura, diapit dua wajah paruh baya yang tersenyum sumringah. Wajah-wajah yang memenuhi hampir semua pigura di lorong. Wajah-wajah yang seolah tak pernah terbebani. Wajah-wajah yang sangat bersyukur atas hidup mereka.
Andiane berhenti sejenak. Apakah ini potret kedua orang tuanya? Andiane merasakan kehangatan menyeruak di dalam hati. Sepertinya keluarga Viktor adalah keluarga yang sangat bahagia, bukankah begitu? Oh, ini meringankan beban pikiran Andiane. Dia tahu jika Viktor Olliviare tinggal sendiri, dan mereka juga terlibat status palsu, tetapi itu bukan berarti ia takkan menemui kedua orang tuanya  ... bukan? Terlebih-lebih mereka adalah bangsawan Cortess, yang kendati terkenal sebagai dinasti semena-mena, tetapi sangat ramah terkhusus pasangan tua Olliviare. Bagaimana jika suatu waktu Nyonya Olliviare datang ke rumah ini dan mendapati Andiane sedang memasak di dapur—apa katanya nanti?
"Itu diambil beberapa saat sebelum orang tuaku meninggal." Suara Viktor mengejutkannya. Andiane mengerjap, lantas memandang kembali lukisan-lukisan itu dengan heran.
"Oh, jadi mereka sudah  ..."
"Ya." Ucapan Viktor membuat Andiane merasa kikuk, meski ada satu hal yang membuka teka-teki tentang lukisan-lukisan yang nampak lawas ini. Tertulis di tanggalnya ... sekitar tiga puluh tahun yang lalu! Andiane refleks menutup mulutnya.
"Astaga, ini foto-foto lebih dari tiga puluh tahun yang lalu."
Viktor tertawa. "Ya, kau kira? Lihatlah, aku masih muda betul di sana. Kalau tidak salah ... pada lukisan kami bertiga ... itu diambil sebelum aku masuk ke sekolah lanjutan."
Andiane menekuni satu-satunya lukisan yang memajang wajah Viktor. Benar juga. Pemuda di sini belum memiliki janggut yang terpangkas rapi, meski kedua matanya secerah kedua orang tuanya ... ah, keluarga setengah-monster, eh?
"Lihatlah mata-mata yang menakjubkan ini," Andiane berbisik. "Apakah kedua orang tuamu juga dehmos, Tuan?"
"Mm, tentu saja."
Andiane menatap Viktor dengan alis terangkat setelah menyadari kejanggalan nada sang pria. Viktor sedang menggantung mantel ke kapstok saat Andiane mendekat. "Ada apa?" bisiknya.
Viktor menelengkan kepala, menimbang-nimbang jawaban. Setiap detik yang mereka lalui dalam diam membuat Andiane makin salah tingkah. Apakah sebaiknya ia tidak bertanya? Terlalu awal? Untungnya, kesenyapan mencekik ini tidak bertahan lama. 
"Kedua orang tuaku memang sama-sama bangsawan Dinasti Cortess," katanya. "Ayah dari Klan Cortess dan Ibu dari Klan Tremaine, tetapi di antara kedua klan itu selalu terjadi ketegangan. Pernikahan mereka pun sedikit menimbulkan pertentangan karena ... ya, kau tahu, kedua klan ini sering memperebutkan kursi Dewan Tinggi di Demania Raya—kau tahu, kan? Mereka dulunya juga musuh, kemudian lama-lama jatuh cinta, dan memutuskan untuk menentang balik semua yang menentang mereka." Viktor mendengus di kalimat terakhir.
"Kakekku orang yang cukup keras. Ia ingin mempertahankan garis keturunan murni, jadi ia menghendaki ibuku untuk menikah kembali dengan sesama Tremaine. Ibuku tidak bisa menolak, meski ia sangat mencintai kami. Ia terpaksa menikah lagi setelah melahirkan aku, dan aku dirawat sementara waktu oleh Ayah dan bibiku. Tapi, kau tahu, keajaiban bisa terjadi kapan saja, bukan? Ayah mengajarkanku untuk selalu percaya kepada Tuhan, dan aku melakukannya. Suami Ibu dan Kakek meninggal dalam perjalanan bisnis mereka. Ibu pun kembali bersama Ayah." Viktor tersenyum tipis. "Dan, lukisan itu diambil tak lama setelah Ibu kembali kepada kami."
Andiane tersenyum. "Sepertinya Tuhan memang menakdirkan mendiang ibumu untuk selamanya menjadi ibumu seorang, Tuan."
"Ya, meski hanya bertahan sesaat. Tuhan menakdirkan hal yang berbeda setelah itu." Senyum Viktor menghilang. "Suatu malam, sekelompok Host datang kemari. Mereka datang membawa kepala Ayah." Ia terdiam sejenak untuk menghela napas. "Aku berhasil kabur, tetapi Ibu tidak."
Andiane merasa kepalanya agak panas. Ia menatap Viktor kalut, sama sekali tidak menyangka hal seperti itu ternyata terjadi pula pada Viktor. Ia sering membaca koran dan membayangkan puluhan keluarga yang kehilangan anak-anak karena pernikahan silang antar klan yang saling bersaing—seperti kedua orang tua Viktor. Siapa sangka jika orang di sisinya ini juga salah satu di antara keluarga itu?
Namun, alih-alih Viktor yang menghilang, kedua orang tuanya harus mengalami kejadian tersebut.
"Jangan menatapku seperti itu." Viktor mendengus. "Itu kisah yang sudah sangat lama, saat aku masih sepuluh tahun. Aku tidak merasakan apa-apa selain penyesalan, tapi penyesalan pun tidak lagi menghantuiku. Aku hanya ingin menuntaskan apa yang belum selesai, itu saja."
"Menuntaskan apa?" Andiane mengangkat alis saat Viktor mengajaknya ke dapur. Pria itu menjaring air alih-alih menjawab. Andiane memilih berdiri di sampingnya, menolak untuk duduk diam. Viktor lantas menyuruhnya untuk menabur daun-daun teh ke dalam teko. 
Viktor sadar akan tatapan Andiane yang menuntut jawaban. Oh, baiklah! Ia pun bersandar pada meja. "Ini sedikit rumit karena keluargamu tidak hidup sebagai keluarga dehmos, sebagaimana kalian seharusnya. Berita-berita tentang konflik semacam itu tidak ditulis di koran-koran pada umumnya."
"Ah, saya meminta maaf ...."
"Itu bukan salahmu. Tuan Weston memiliki alasan kuat mengapa beliau tidak ingin keluarganya mengalami hal yang buruk. Dan, tentu saja, setiap pilihan ada resikonya. Kita harus bersyukur karena kau bisa diselamatkan sebelum waktumu habis."
"Kalau begitu, bisakah kau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, selain persaingan antar klan di Demania Raya yang tampaknya lebih rumit daripada yang diberitakan?"
"Tentu," katanya, "tetapi itu akan menjadi bahasan yang cukup panjang, karena mari kita anggap kau akan mempelajari semuanya dari awal, benar?" Andiane mengangguk cepat. "Kita akan membicarakannya nanti setelah makan malam, bagaimana?"
Andiane tersenyum. Entah kenapa ia merasa sekujur tubuhnya mendadak lelah, sementara Viktor meraih tas pakaian Andiane dan membimbingnya ke tangga. "Kau beristirahatlah dahulu. Aku akan menunggumu di dapur menjelang makan malam," ujarnya lagi seraya menunjuk ruang di samping tangga. Andiane melongok sejenak, meresapi suasana dapur yang terasa nostalgis. Ia bisa membayangkan Viktor muda duduk di meja, berdebat ringan dengan mendiang Ayah tentang mana yang lebih dahulu muncul: ayam atau telur, sementara mendiang ibunya memasak semur sambil tersenyum geli.
Tangga itu berakhir pada lorong. Jendela-jendelanya yang bersih tanpa debu dihimpit oleh rak-rak buku mahatinggi yang memenuhi sepanjang lorong, membuat Andiane terpukau dengan koleksinya. Ada sepasang pintu berjajar di lorong, yang Viktor jelaskan sebagai kamarnya dan bakal kamar Andiane—oh, mereka bersebelahan!—dan masing-masing pintu pada kedua ujung lorong adalah kamar mendiang orang tuanya serta ruang kerja Viktor. 
Viktor melambaikan tangan pada rak-rak buku di seberang kamar. "Kau bisa membaca apapun yang kau mau, termasuk koleksi tentang sejarah klan milik orang tuaku. Nah, aku akan menjelaskan padamu nanti, di sini."
"Rak-rak buku di depan kamar ini terasa seperti mimpi yang tidak kusangka sangat kuinginkan," ujar Andiane, mengundang rasa penasaran Viktor. "Jika aku punya rumah sendiri kelak, aku akan menerapkan ini pada lorong-lorong di rumahku."
"Tak usah menunggu, bukankah ini juga rumahmu?"
Kata-kata Viktor membuat Andiane menatapnya dengan alis terangkat, dan pipi yang bersemu samar tanpa disadarinya. Viktor tersenyum, entah karena Andiane yang menjadi kikuk atau sekedar mendukung suasana. Apa pun itu, Viktor segera beranjak dan membuka pintu kamar Andiane.
"Ini kamarmu. Dan kamarku, di sebelahnya. Jangan khawatir akan suara-suara, dindingnya sangat tebal." Viktor mengetuk-ketuk dinding di dekatnya.
Andiane mengangguk-angguk. Ia menyukai suasana kamar itu—nuansa hijau tua yang menenangkan dan tenteram. Tanaman hidup yang menghias pojok-pojok ruangan menguarkan kesegaran yang benar-benar meyakinkan Andiane bahwa rumah ini dengan segera akan menjadi familiar baginya. 
"Saya menyukainya tanaman-tanaman itu. Apa kau sendiri yang mengurusnya?"
"Ah, Dustan suka sekali berkebun, jadi dia meminta izinku untuk menghijaukan rumah ini. Tidak kusangka bakal sangat bermanfaat untukmu, ya?" Viktor terkesima. "Baiklah, kuharap kau akan nyaman berada di sini, Andy."
Andiane berterima kasih dengan senyum paling tulus yang pernah diberikan kepada Viktor sejauh ini. Pria itu pun menutup pintu dengan pelan, lantas Andiane mendengarnya kembali turun. Ah, dia tidak masuk ke kamarnya? Apakah dia yang akan menyiapkan makan malam?
Andiane berbalik, mengangkat tas pakaiannya ke atas tempat tidur, membukanya, kemudian mengembuskan napas panjang-panjang.
Dadanya dari tadi berdegup, karena—yah, halo! Dia sekarang tinggal di rumah seorang pria yang luar biasa tampan, baik, dan memiliki kedua mata paling pucat yang diketahuinya! Status mereka boleh saja palsu, tapi apakah ada kemungkinan bagi Andiane untuk mengubahnya menjadi sungguhan? Andiane mungkin belum benar-benar mengenal Viktor, dan perasaannya juga masih pantas disebut sebagai kekaguman semata, tapi Andiane tidak yakin akan mau menerima pemuda yang tidak lebih baik daripada seorang Viktor Olliviare.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top