Badai Salju yang Hangat
Awal Bulan Akhir, tahun 1819.
Viktor akhirnya pulang.
Pria itu menembus salju yang mengguyur lembah. Viktor memasuki pondok utama dan menyapa Alexandra yang sedang menyeduh kopi. Ia menanggalkan mantel dan mencari Andiane yang tidak nampak sama sekali. Ke mana Andiane? Ia memang berharap Andiane akan muncul dan menyambutnya, karena pertama-tama, ia akan meminta maaf kepada gadis itu.
Lagi pula Viktor juga sedikit merindukannya.
Namun Alexandra mengangkat bahu. "Dia mengunjungi desa sejak tadi siang. Seharusnya ia sudah perjalanan kembali karena waktu makan malam akan tiba. Aku sudah membuatkan sup tomat kesukaannya, kau tahu! Ia akan kembali lebih cepat."
"Tetapi salju sedang deras." Viktor menyambar mantelnya lagi. "Aku akan mencarinya."
"Vik—"
Pria itu menutup pintu, menyela ucapan Alexandra. Sang profesor menghela napas. Ia menarik kursi dan bergumam, "Dasar anak muda," sembari menyesap kopi.
Sementara itu Viktor menjentikkan jari dan menciptakan kehangatan yang menyelubunginya. Meski ia masih merasakan butiran salju menampar-nampar wajahnya, setidaknya salju itu luruh menjadi udara hangat. Ia perlu menambah tenaga untuk menembus tumpukan salju yang makin meninggi, dan tidak repot-repot menghabiskan Energi untuk mencairkan seluruh permukaan salju yang ia lewati. Energinya terlalu berharga untuk hal semacam itu.
Viktor baru saja menaiki tangga tebing ketika melihat sosok tak asing sedang menuruninya. Namun, alih-alih mengambil cabang tangga ke arahnya, sosok itu berlalu ke arah menuju hutan. Viktor mengernyit dan segera mengejar Andiane.
"Andy!"
Gadis itu berhenti. Ia menoleh dan cukup terkejut mendapati Viktor bergegas ke arahnya. "Tuan," bisiknya tak percaya. "Tuan sudah pulang!"
Andiane berlari dan, di luar kendali tubuhnya, menyambut pria itu dengan pelukan. Andiane refleks merentangkan tangan dan sekarang ia memeluk seorang pria! Andiane baru saja berniat melepasnya, namun Viktor telah balas merengkuhnya.
"Oh, Tuan—"
"Maafkan aku, Andy," Viktor berbisik, membuat telinganya memerah merasakan terpaan napas yang menghangatkan di cuaca ini. Dan, oh tidak! Itu juga karena pelukan Viktor. Tubuhnya jauh lebih tinggi dan besar daripada Andiane yang menyusut karena penyakitnya dahulu. Ia seperti diselimuti beludru tebal yang berat, wangi, dan nyaman. Andiane tanpa sadar memejamkan matanya sejenak.
Selama sesaat, ia bersyukur dengan cincin di jarinya. Atau salju deras yang menahan orang-orang untuk keluar rumah dan menghakiminya.
"Tidak apa-apa," jawab Andiane, meski semula tidak paham mengapa Viktor meminta maaf. Suaranya tenggelam di dada Viktor. Pria itu lantas melepaskan pelukan dan mendapati wajah Andiane serupa udang rebus.
"Apa yang kau lakukan di cuaca seperti ini, Andy?"
Andiane mengatupkan bibir. Jelas sekali ia malu untuk menatap kedua mata Viktor. "Saya ... saya hanya ingin mengambil jalan memutar."
"Mengapa?"
"Mengapa? Saya bahkan tidak tahu apa yang harus saya lakukan di pondok. Saya bosan."
Viktor terdiam. "Profesor menantimu. Ia memasak sup tomat untukmu, dan ... dan rupanya kau juga menyukainya! Bukankah kita semua menyukai sup tomatnya?"
Andiane mengangkat bahu. "Saya tidak bisa mengirim surat kepadamu. Saya tidak bisa mengatakan apapun yang ingin saya sampaikan, termasuk sup tomat Profesor Alexandra yang sangat enak."
Viktor membuka mulut, kendati tidak ada suara yang keluar. Andiane efektif menyindirnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan berbisik, "Aku meminta maaf karena tidak bisa menemui pada kunjungan terakhir, Andy."
Andiane menggeleng. "Yang penting kau sudah pulang."
Viktor menatapnya lekat-lekat. Gadis ini tetap tersenyum meski wajahnya pucat. Bibirnya nyaris biru dan Viktor segera menangkup pipi Andiane dengan kedua tangannya yang hangat. Gadis itu menahan napas. Apa yang—oh. Keterkejutannya memudar saat udara di sekelilingnya tiba-tiba berubah hangat. Rona mukanya perlahan memerah. Bibir yang pucat itu tidak lagi nampak mati. Senyum Andiane melebar.
"Maafkan saya karena tidak bisa menyambutmu dengan baik," kata gadis itu malu-malu. Ia menyukai betapa besar kedua tangan Viktor saat menangkup wajahnya. "Apakah kau sudah lama?"
"Tidak, aku baru saja datang dan langsung mencarimu karena kau belum juga kembali."
Andiane terlihat sungkan. "Kudanya agak rewel ... yah, karena cuacanya memang seperti ini. Jadi saya pun berjalan dari gerbang kemari."
"Itu melelahkan," ujar Viktor. "Mari kita pulang dan menghangatkan diri di depan perapian. Aku akan mendengarmu setelah itu."
Andiane mengangguk patuh dan mereka pun berjalan beriringan menuju pondok Alexandra. Viktor menyadari bahwa Andiane lebih bungkam. Gadis itu biasanya akan menatapnya dengan penuh keingintahuan, atau mulut yang dikatupkan karena berusaha menahan ledakan kata-kata yang ingin sekali ia lontarkan kepada Viktor. Namun kali ini Andiane begitu tenang, bahkan cenderung kosong, dan Viktor menyadari itu. Yang jelas ini bukan karena rasa malu-malu akibat pelukan tadi.
"Apakah terjadi sesuatu selama aku pergi?"
"Banyak sekali."
"Ceritakan padaku," kata Viktor. "Jika ada yang ingin kauceritakan tanpa profesor mendengarnya, maka itulah waktunya sekarang."
Andiane berhenti melangkah, begitu pula dengan Viktor. Andiane menatap pria itu dengan dahi mengernyit. "Tidak ada, Tuan. Semua telah kuceritakan kepada Profesor, dan apapun yang akan kuceritakan kepadamu adalah pengulangannya."
Viktor mengangkat alis. "Baiklah kalau begitu." Mungkin tidak sekarang. Mungkin nanti? Mereka kembali berjalan dalam diam.
"Bagaimana denganmu?" Andiane akhirnya menyuarakan pertanyaannya setelah jeda lama. "Ke mana kau pergi selama ini?"
"Keluarga bangsawan tempat aku bekerja sedang mengadakan banyak pesta dan perjamuan," kata Viktor, "dan itulah yang ingin kukatakan kepadamu. Karena aku terlalu sibuk dengan mengurus kehidupan pribadiku selama melamarmu, mereka menangguhkan semua beban pekerjaanku di akhir."
"Kau terlihat lebih kurus."
"Aku tidak makan banyak. Walaupun suguhan makanan mereka begitu menggugah, aku sama sekali tidak berniat menyentuhnya. Aku lebih suka masakan orang-orang terdekatku. Kentang krim dengan daging panggang, misalnya."
Pipi Andiane bersemu, lagi. Itu masakan kesukaannya yang ternyata juga disukai oleh Viktor. Ia pernah memasaknya ketika Viktor berkunjung ke rumahnya dulu, masa-masa di mana mereka bersiap-siap untuk perjamuan menjelang pernikahan sederhana.
"Saya bisa menyiapkannya untukmu besok malam."
"Aku akan sangat menantikannya, Andy." Viktor tersenyum. "Sayang sekali aku belum sempat mencicipinya di rumah kita, tapi itu tidak apa-apa. Aku bisa bersabar untuk menunggu esok malam tiba."
Andiane tertawa kecil. "Omong-omong, saya sering bepergian ke desa. Tempatnya menyenangkan. Saya ingin sekali berkeliling bersamamu suatu waktu. Mungkin kau bisa menunjukkan kepada saya tempat-tempat persinggahanmu dulu."
"Oh, tentu saja. Ada banyak sekali yang bisa kutunjukkan kepadamu," Viktor menanggapi. "Mungkin sebagian pemilik usaha di desa masih mengenalku. Kita bisa melakukannya lusa ... dan, ah, sepertinya kita perlu banyak mengatur waktu untuk kita berdua, bukankah begitu?"
Andiane malu-malu menyetujuinya, sementara Viktor tersenyum lebar. "Di desa pun ada sebuah butik yang perlu kau kunjungi," tambah pria itu.
"Untuk apa?"
"Jadi begini," Viktor berkata saat pondok Alexandra mulai terlihat dalam pandangan. "Kau mendapat undangan pesta dari Klan Wyterseen, pemilik yayasan Institut."
Andiane membeliak. "Undangan ... pesta? Tetapi, bagaimana? Maksud saya, bagaimana mereka bisa mengenal saya?"
"Mereka selalu tahu siapa yang akan masuk ke Institut, dan—ini yang penting—mendiang Profesor Weston memiliki tempat tersendiri di hati semua orang. Mereka tentu sudah mendengar tentangmu."
"Oh, astaga!" Andiane menepuk pipi. Ini terasa seperti mimpi—diundang oleh sebuah klan yang mayoritas memenuhi kursi jabatan di negeri!
"Saya tidak pernah diundang ke pesta sebuah klan besar, apalagi Klan Wyterseen! Apa yang harus saya lakukan?" Andiane merasa kehadiran ibunya sangat dibutuhkan di sini. Pesta-pesta yang pernah ia hadiri hanyalah pesta-pesta orang kaya biasa, atau pesta-pesta para tuan pemilik tanah. Ia tidak pernah menghadiri pesta bangsawan, apalagi klan besar dari Dinasti Cortess, dan tentu saja itu akan menjadi hal yang baru baginya!
Viktor tersenyum geli. "Jadilah dirimu sendiri, Andy. Kita bisa membicarakan sisanya setelah ini, atau besok, atau saat kita pergi ke desa. Semua itu bisa diatur dengan mudah. Yang penting, sekarang kita makan malam dahulu."
Andiane mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa tegang dan bingung, tetapi setelah Viktor membukakan pintu pondok untuknya, ketegangan itu seolah sirna kala ia mencium aroma sup tomat yang pekat dan menggoda.
Setelah sekian lama, akhirnya ia merasakan kehangatan rumah di pondok ini lagi.
Semula Andiane merasa kehadiran Viktor membuat segalanya berubah. Kecenderungannya untuk diam telah menghilang karena pria itu sekali lagi berhasil membangkitkan dirinya yang dulu. Andiane mulai banyak bicara. Selama sesaat, ia melupakan mimpi-mimpi buruknya hingga Viktor ingin melihat sejauh apa ia berkembang.
Andiane kehilangan senyum. Ia tidak berani menatap Viktor dan hanya menggeleng pelan. Viktor mengernyit tak mengerti dan menoleh kepada Alexandra, yang juga disambut dengan respons serupa. Alexandra kemudian meninggalkan mereka saat Viktor mengajak Andiane mengobrol.
"Apa yang terjadi?"
Andiane menggigit bibir. Ia tidak mengatakan kepada Alexandra tentang pusaran hitam yang ia buat beberapa hari lalu. Hanya itu yang belum ia sampaikan. Dan, ia juga takut mengatakannya kepada Viktor, tetapi tidak ada yang lebih pantas untuk mengetahuinya daripada suami palsunya. Maka Andiane mengatakannya dengan suara yang amat pelan, sampai-sampai Viktor harus mencondongkan tubuh untuk bisa mendengar.
Lalu, pria itu terdiam.
Mata gadis itu berkaca-kaca. "Apa yang terjadi pada saya?"
Viktor menggenggam tangan Andiane. Ia membuka kedua telapak tangan gadis itu dan jemarinya membentuk gerakan tertentu di atasnya. Andiane merasakan sentuhan dingin pada kulitnya. Sinar-sinar kelabu dan biru mengintip dari balik jemari Viktor, yang kemudian melebur menjadi asap hitam.
Mereka berdua mengunci mulut.
"Apakah ini karena Rod?" bisik Andiane.
"Katakan, Andy." Viktor tak pernah merasa jantungnya berdetak sedemikian cepat akhir-akhir ini. "Katakan, apa yang tepatnya Rod lakukan padamu waktu itu?"
Andiane membasahi bibir. Ia berusaha mengingat hal yang paling ingin ia lupakan. Ia pun akhirnya bercerita bagaimana sebelum proses penyiksaan batinnya berlangsung, Rod menangkup wajahnya dengan tangan hitam itu, kemudian membuat kedua mata Andiane memuntahkan asap hitam, yang ia telan bulat-bulat. Andiane menduga itulah yang merangsang benaknya untuk memanggil kenangan-kenangan terpahitnya, dan kabar buruknya, Viktor tidak menyanggah itu.
"Andy," panggil Viktor lembut. Ia menarik dagu Andiane untuk menatapnya. "Aku akan membicarakan hal ini dengan Profesor Alexandra. Kau tidak perlu takut. Tetaplah tenang, kau mengerti?"
"Saya tidak lagi tidur dengan tenang, Tuan." tenggorokan Andiane tercekat. "Semenjak kau pergi, mimpi-mimpi buruk saya berubah mengerikan. Saya pernah bermimpi kau mengejar Rod."
Viktor menggeleng. "Itu tidak benar. Aku tidak mengejar Rod," balasnya, kemudian ada jeda singkat sebelum ia melanjutkan. "Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Andy. Aku akan tetap di sini sampai kau baik-baik saja."
= = = =
Apakah hanya aku, atau Viktor dan Andy membuatku berpotensi terkena diabetes?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top