Andy dan Viktor, Sekali Lagi
"Lakar masih ingin menahanku, Andy. Ada banyak sekali yang perlu kuluruskan, sejak aku keluar dari Institut sampai ... yah, sampai saat ini. Sampai ... bagaimana aku bisa membawamu ke Institut."
Andiane tahu dia bakal mendapat kesempatan mengobrol dengan Viktor, karena harus, tetapi sesungguhnya gadis itu tak pernah siap. Tak peduli betapa indah paviliun tempat mereka menyendiri (bersama Franco, tentunya, karena pria itu sama sekali tak mau lepas dari Andiane dan beralasan takut kalau-kalau gadis itu akan menangis), Andiane merasakan setiap kata yang diucapkan Viktor mengirimkan lebih banyak rasa sesak di dadanya.
Andiane mencoba mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Viktor tahu itu, dan memilih untuk tak berkata-kata hingga Andiane meresponsnya.
Oh, siapa sangka jika dalam waktu dua minggu saja hubungan mereka bisa terjun bebas seperti ini?
"Kenapa kau membawaku ke Institut?" tanya Andiane akhirnya, mengabaikan semua pertanyaan penting yang seharusnya dilontarkan dahulu. Jika Franco mendengarnya, pria itu pasti mencibir. "Kenapa kau bisa muncul di rumahku saat pelelangan, dan membangkitkan Energiku saat itu juga? Kalau dipikir-pikir ... semuanya terlalu aneh disebut sebagai serangkaian dari kebetulan."
Mata gadis itu memicing menatapnya. Tak ada lagi binar harapan dan kasih sayang seperti ketika mereka bermesraan dua minggu lalu. Viktorlah yang kini menghela napas.
"Aku memang sengaja datang ke rumahmu. Setelah sekian lama berada di Aliansi, aku sulit sekali menemukan keberadaan keluargamu. Ayahmu benar-benar berusaha keras menjauhkan kalian dari dunia ini dan pertikaian dengan Rod menyulitkanku. Hingga suatu saat, aku mendengar kabar bahwa ayahmu membuka lelang atas barang-barang Tuan Seans. Aku tahu itu adalah satu-satunya kesempatanku. Sungguh, Andy, hanya itulah rencanaku, karena semula aku hanya ingin bertemu ayahmu untuk mencari kebenaran akan kematian Tuan Seans. Kau mungkin tak tahu, atau tahu, karena kau telah mengikat Unison dengan Franco ... tetapi kukatakan kepadamu—aku adalah satu-satunya yang tersisa dari margaku." Ketika mata mereka bertatapan, Andiane menyadari gurat penyesalan yang tak terkira di mata Viktor, dia bahkan berhalusinasi pria itu nyaris menangis. Andiane menelan ludah. "Kau barangkali tahu apa yang terjadi pada para Cleventine. Aku pun demikian, tetapi mereka punya satu sama lain, dan aku tidak. Satu-satunya tumpuanku hanyalah Institut yang mau mengundangku. Kemudian aku bertemu kakekmu, dan dia menyelamatkan aku dari keterpurukan."
"Saat aku melihatmu di dapur saat itu, Andy, mataku ini—dan Energiku yang familiar dengan Energi Tuan Seans—merasakan Energimu yang bergejolak dengan sangat hebat. Lantas aku bertindak begitu saja. Yang kupikirkan adalah aku harus menyelamatkanmu sebelum berakhir seperti Tuan Seans. Aku hanya tidak ingin sejarah terulang di keluargamu, karena aku tahu rasanya sendirian. Ayahmu terlihat depresi saat aku menemuinya waktu itu."
Andiane menatap Viktor kalut. Mungkin obrolan inilah yang membuat Andiane bertahan untuk duduk berseberangan dengan pria itu, dan tidak tega untuk menghujaninya dengan penyesalan dan kekecewaan. Mungkin, Andiane bisa menyampaikannya lain kali.
"Maafkan aku," kata Viktor lagi, menyadari bahwa Andiane tak kunjung bersuara. "Maafkan aku juga karena membawamu dengan cara yang salah. Kukira itu bisa menyelamatkan kehormatanmu, tetapi aku berpikir terlalu pendek. Aku seharusnya sadar ini akan berakhir seperti kemarin."
Andiane sebenarnya sudah menahan diri betul, tetapi tubuhnya tak bisa membohongi. Air matanya mulai bergulir di pipi. Gadis itu tersentak, menahan napas, lantas air mata kedua menyusul.
Viktor memejamkan mata sejenak, suaranya serak saat berkata lagi. "Maaf, Andy. Aku telah merusak namamu. Dan ... dan dengan setulus-tulusnya, aku rela andaikan kau pergi, karena kau tidak sepantasnya menerimaku."
"Tidak, tidak, tidak." Andiane terperanjat. Ucapan Viktor menusuk hatinya, jauh lebih mengerikan dan menyakitkan daripada saat Rod menghajarnya. Rasa sakit yang berdentam-dentam, serupa ketika Energinya dahulu menggerogoti tubuhnya, kembali, dan Andiane menutup wajah. Dia menggeleng, membiarkan air matanya tumpah di kedua tangan. Dia bisa merasakan jemari Viktor nyaris menyentuhnya, mungkin ingin mengelus kepalanya, tapi entah apa yang akhirnya menahan pria itu. Andiane hanya bisa mendengar napasnya yang berat.
"Tidak," gumam Andiane lagi, dengan pengucapan yang lebih berantakan. Memejamkan mata membuat semua memori akan penyiksaan Viktor di ruang berbatu menjadi lebih jelas, tapi menatap pria itu pun akan membuat hatinya tersayat-sayat.
"Tidak, Viktor. Tidak. Ini bukan salahmu—kau ... kau hanya berusaha yang terbaik, dan aku menyanggupinya. Aku sadar, Viktor, itu juga kesanggupanku, dan aku tahu betul konsekuensinya, tetapi aku mengikutimu. Dan aku merasa sangat, sangat sakit saat tahu bahwa hanya kaulah yang disiksa, Viktor. Tidak." Dia sesenggukan. "Sseandainya aku tidak egois, seandainya aku tidak ... aku... aku seharusnya menemanimu di ruang itu. Dicambuk. Aku seharusnya juga menerimanya."
"Andy, tidak, itu salahku." Viktor terkesiap. Andiane mendengar kursi berderit, dan sepintas kemudian, Viktor sudah berada di sampingnya. Tangannya menyentuh pundak Andiane dan meremasnya. "Aku yang pantas menerimanya. Tidak apa-apa."
"Bagaimana kau bisa bilang kalau itu tidak apa-apa?" Andiane terperangah. Dia beranjak, meraih baju Viktor dan menarik-nariknya dengan emosi. Dia memukul dada pria itu. "Bagaimana bisa kau baik-baik saja disiksa seperti itu? Bagaimana kau rela menerima semuanya begitu saja, dan setelah apa yang terjadi ... sekarang kau melepasku? Apa maumu? Kenapa kau sangat ... oh, ya Tuhan—apa maumu, Viktor? Apa kau benar-benar mencintaiku?"
Viktor menelan ludah. Gadis itu menangis lebih keras dan menenggelamkan wajah di dadanya. Suaranya tidak karuan, dan Viktor sama sekali tak punya pilihan selain menepuk-nepuk punggung Andiane dengan lembut. Ketika Andiane tak menolaknya, Viktor pun mencoba merengkuhnya, tapi Andiane mendorongnya menjauh. Viktor terperangah melihat wajah Andiane yang benar-benar berantakan. Matanya memerah, wajahnya lebih gelap dan merah padam. Rambut-rambutnya mencuat dari untaian dan menempel ke sisi-sisi wajah. Viktor benar-benar tidak tega dan ingin sekali memeluknya. Memangnya hanya Andiane saja yang hatinya sakit?
Andiane memalingkan wajah dan kembali duduk. Dia menangis lagi, kali ini menenggelamkan wajahnya di kedua tangan.
Viktor mendesah dan berjongkok di sisi Andiane. "Andy ...."
"Sudah kubilang," suara Andiane pecah. Dia sesenggukan parah. "Sudah kubilang aku sadar dengan keinginanku mengikutimu, oh bajingan, dan kini kau bilang kau tidak pantas untukku? LANTAS UNTUK APA AKU DI SINI, MASIH BERSAMAMU?"
Viktor terperanjat. Dia sama sekali tak menduga Andiane akan mengatakan itu. Dia baru saja akan menyahut, tapi Andiane ternyata belum selesai.
"Kukira kau tulus, Viktor, sungguh. Aku mengira. Tetapi ternyata semua CUMA omong kosongmu—kau menyentuhku, lalu kau meninggalkanku!"
"Andy, tidak!" Viktor sontak mengelak saat gadis itu menjadi semakin histeris. Andiane mencengkeram wajahnya dan tangisannya meledak-ledak. Suaranya semakin serak, dan dia bisa saja melukai tenggorokannya saat ini. "Andy, sungguh, aku berani bersumpah—demi Tuhan—aku tidak bermaksud seperti itu!"
"Lantas apa!"
Viktor tak segera menjawab. Dia membuka mulut walau tak ada suara yang keluar. Oh, astaga, rasanya justru air matanya nyaris keluar. Namun, tidak, Viktor tak pernah menangis di depan siapa pun, dan tidak di depan seorang gadis. Viktor akhirnya merengkuh Andiane, dan meski gadis itu berusaha mengelak, Viktor memaksa. Dia memeluk Andiane lebih erat, menunduk, dan hatinya benar-benar sakit saat berbisik.
"Sungguh, Andy, aku berani bersumpah demi Tuhan—aku mencintaimu, tetapi aku sadar dengan semua kesalahanku dan aku sama sekali tidak punya harga diri lagi di depanmu. Dan seandainya kau menerimaku—kau benar-benar menerimaku—maka aku adalah orang paling hina, karena aku membawamu ke dunia yang berbahaya, membuatmu bingung dan berakhir seperti ini." Viktor menarik wajah Andiane untuk menatapnya, tetapi gadis itu tidak sanggup. Bola mata cokelat pucatnya kosong, sementara jemari Viktor dengan lembut mengelus wajahnya. Ketika Viktor menyadari bahwa kulit pelipis Andiane melepuh akibat Rod, ia merasa sangat ingin membekukan tubuh Kapten Aliansi itu dan membiarkannya mati kedinginan.
"Sungguh, Andy, ketika aku bersamamu, aku benar-benar ingin bersamamu; melupakan semua ini, dan memulai hidup yang baru denganmu. Tetapi ini terjadi, dan aku tahu kenyataan adalah kenyataan. Aku tak tahu lagi harus bagaimana agar kau bisa bahagia. Aku mencintaimu, Andy, dan aku benar-benar ingin kau bahagia."
Oh Tuhan, sepertinya intens sekali.
Franco sedari tadi duduk di salah satu jendela paviliun. Dia semula tak ingin mendengar pembicaraan kedua orang itu, apalagi paviliun ini terlapisi perlindungan khusus sehingga pembicaraan macam apapun takkan bisa didengar seluruh kuping di Kota Lakar. Namun, ketika Andiane meraung, lantas Viktor merengkuhnya dan gemetaran, Franco tahu drama ini tak boleh dilewatkan.
Kapan terakhir kali Franco melihat Viktor, sang pria jangkung yang selalu mengintimidasi, akhirnya jatuh terpuruk karena cinta? Suatu saat, berpuluh-puluh tahun lagi, situasi ini bisa menjadi senjata ampuh untuk mempermalukan Viktor di depan anak-anaknya kelak.
Pasti. Franco akan membingkai kenangan ini di alam pikirnya dengan taburan emas dan perak.
Franco memerhatikan histeria pasangan itu akhirnya meredam. Viktor menepuk-nepuk pundak Andiane dengan lembut, lalu pelukannya dilepas. Viktor lantas menyejajarkan dirinya lagi di samping Andiane, membisikkan sesuatu yang membuat tangisan gadis itu tenang. Viktor mengelus tangannya dengan lembut, dan kira-kira setelah beberapa menit yang terasa seperti tahunan bagi Franco, akhirnya Andiane mau mencium suaminya sekali lagi.
Franco menghela napas dan menyandarkan tubuhnya di tiang. Seutas senyum tipis di wajahnya menyadarkan Franco bahwa dirinya, sedari tadi, juga merasa tegang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top