Akhir Pekan yang Baik


16, Bulan Dingin, tahun 1820

Alexandra tidak ada di pondok saat Andiane berkunjung selepas sarapan. Barangkali sang profesor sedang mempersiapkan tahun ajaran baru, sebagaimana banyaknya jumlah pengajar yang berlalu-lalang akhir-akhir ini. Andiane mencoba berbesar hati. Alexandra memang pernah mengingatkan Andiane untuk tidak terlalu berharap karena kesibukannya tidak diduga-duga. Seandainya Alexandra tak ada di pondok, maka Andiane harus belajar sendiri. Sebagai gantinya, Alexandra telah menyiapkan berbotol-botol ramuan penekan Energi jika Andiane merasakan gejolak yang besar. Itu adalah satu-satunya ramuan yang aman baginya saat ini.

Andiane membuka lemari penyimpanan, bersiap mengambil sebuah botol, saat pintu samping pondok dijeblak terbuka. Andiane melonjak kaget.

"Oh, Viktor."

"Andy, apa maksudmu?"

Andiane langsung menciut di tempat saat Viktor menghampiri dengan langkah lebar. Matanya menyala-nyala dalam amarah dan tak ada kasih sayang di wajahnya. Andiane menunduk, merasa amat kecil di hadapan Viktor yang menjulang.

"Aku ...."

"Bagaimana bisa Franco mengenalmu? Membawamu pergi begitu saja, dan apa maksudmu dia meminta menjadi Unison? Bagaimana kau bisa ... astaga." Viktor mengusap wajah, tak mampu menyelesaikan kata-kata. Dia terdiam sejenak, bersandar pada lemari penyimpanan, lalu menghela napas berat. "Andy, tatap aku."

Andiane menurut kendati tidak bertahan lama. Viktor nampak mengerikan baginya. "Bagaimana aku tahu dengan apa yang akan menimpaku saat itu, Viktor?" ujarnya membela diri. "Semua terjadi begitu saja. Bagaimana kesaksian yang diberikan Mikhael dan yang lain saat kau mencari tahu? Apa mereka menyesatkanmu, berkata bahwa aku telah mengenal Cleventine sejak lama? Kukira mereka akan mengatakan itu, karena seminggu belakangan aku dipaksa mengikuti dan itulah yang selalu mereka lakukan pada siapa pun yang dianggap menggelikan!"

Viktor terperangah, sementara itu Andiane terus melanjutkan, "Cleventine itu—dia berteriak-teriak mencariku sambil gelantungan di lampu. Bayangkan! Dia lantas melompat ke arahku, dan karena aku tak bereaksi sebagaimana yang lain, dia mengira akulah yang dicari-carinya. Dia seketika membawaku pergi dengan mengucap Sumpah Pengikat. Aku bahkan belum tahu namanya saat itu."

Viktor mendesah kesal, membuat Andiane makin takut. Dia memainkan jemarinya dengan gelisah. "Tapi, di atas itu semua ... dia ternyata sepupumu, Viktor?"

Viktor menatap Andiane tajam. "Apalagi yang dia katakan kepadamu?"

"Selain memaksaku menjadi Unisonnya, dia hanya bilang kalau kau sepupunya," kata Andiane. Sebelum Viktor berkata-kata lagi, Andiane menambahkan dengan cepat, "Kenapa aku tidak tahu kalau kau punya sepupu di Institut?"

"Tidak ada yang perlu kau tahu tentangnya, Andy, dan andai kau tahu, apa gunanya bagimu? Dia—seperti katamu di kantor—memang gila."

"Aku tidak bermaksud—"

"Tidak, dia memang gila!" Viktor membentak. Andiane terkesiap, dan reaksinya cukup untuk membuat Viktor menahan lebih banyak kata keluar. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam, kemudian memelankan suara. "Tak ada yang tahu jika kami bersaudara di Institut selain mereka yang telah lama mengenalku, Andy. Para Wyterseen, Alexandra—selebihnya tak ada yang tahu."

Andiane tak merespon. Ia mencoba memaklumi perkara Viktor tidak jujur padanya menyoal ini. Memiliki saudara semacam Franco memang aib, tetapi ada hal-hal tertentu pada Franco yang membuat Andiane masih gusar.

"Maafkan aku, Viktor, tetapi aku sungguh tidak tahu apa-apa di sini. Aku hanya ... aku hanya mencoba mengenal apa yang sedang menimpaku." Pelupuk sang gadis memberat. Tidak lama hingga air mata bergulir membasahi pipinya yang pucat.

Viktor mengembuskan napas. Ia pun merengkuh Andiane ke pelukan, dan membiarkan gadis itu sesenggukan di dadanya. Viktor lantas menepuk-nepuk punggung Andiane, yang semula agak keras karena emosi, hingga lambat laun gerakannya itu melembut.

"Maaf." Viktor mengecup kepala Andiane. "Aku lupa kalau kau masih butuh adaptasi dan belum terbiasa dengan situasi Institut yang seringkali heboh."

Andiane mengangguk samar. Tangisannya memelan. "Aku bingung," ujarnya terbata-bata. "Aku selalu bingung, terlebih-lebih aku sendirian sekarang. Kau sibuk, dan begitu pula Alexandra, jadi aku ... aku mencoba belajar memetakan semuanya ...."

"Kau harus lebih waswas," bisik Viktor. Walau ada amarah tersisa di nadanya, pria itu mencoba menenangkan diri. Pada akhirnya, dia sadar bahwa amarah itu memang tidak ditujukan untuk Andiane. "Dengar, Andy. Energimu masih meledak-ledak. Jadi, kau tak boleh menyanggupi permintaan apa pun untuk menjadi Unison mereka, apalagi menunjukkannya. Jangan."

Andiane merasakan darahnya berdesir. "Ya."

Viktor melepaskan pelukan itu dan menangkup wajah Andiane. Dia menghapus bekas air mata sang gadis dan mencoba memasang senyum. "Sekarang sudah akhir pekan," katanya. "Waktunya beristirahat sejenak dari kegaduhan Institut, benar?"

Andiane menyetujui. "Lalu, bagaimana keputusan Dekan? Apa yang kau awasi?"

"Aku mencoba untuk tetap netral, Andy," Viktor bergumam. "Tetapi aku berusaha untuk menjaga kehormatanmu. Seperti yang kau katakan, kesaksikan Mikhael dan kawan-kawannya tak terlalu bisa diandalkan. Jadi aku menemui murid-murid lain yang melintasi lorong saat itu—dan ini mudah bagiku. Kesaksian mereka lebih mudah dipercaya. Kau tidak bersalah, Andy, dan seperti apa yang dikatakan Lady Wyterseen, kau adalah korban."

"Apa yang akan terjadi setelah ini?"

"Mencegah ada Weston kedua dan ketiga."

"Apakah sepupumu benar-benar akan dikeluarkan dari Institut?"

Alis Viktor berkedut. "Tolong berhenti menyebutnya sebagai sepupuku dan ... entah, aku tak tahu pasti. Dia melakukan banyak hal yang membuatnya pantas dikeluarkan."

Andiane mengatupkan bibir. "Oh, sayang sekali! Pertunjukan Energi apinya cukup menakjubkan."

"Apa?"

"Orang kurang waras sepertinya kadang menghibur."

Viktor mengernyit. Tanpa sadar jemarinya yang menangkup wajah Andiane menekan kepalanya terlalu keras. Andiane berjengit, sehingga Viktor melepaskan kedua tangannya. "Kau ... jangan menoleransi orang sepertinya, Andy. Kau belum mengenalnya."

"Ya, sepantasnya kau jelaskan padaku siapa keluargamu yang masih kau sembunyikan, sehingga ini tak perlu terjadi lagi."

Viktor memutar bola mata. Ia pun mulai menanggalkan mantel dan menyampirkannya pada kursi makan. "Oh! Tak terbayang olehku ini akan terjadi, dan bodohnya aku karena tak memperkirakannya ... tapi, baiklah."

"Kau tidak marah lagi padaku, bukan?" tanya Andiane sekali lagi. Suaranya masih menyiratkan sedikit ketakutan. "Aku ... aku tidak tahu apakah Alexandra bisa pulang akhir pekan ini, dan aku butuh pendamping untuk usaha pengendalian Energiku."

Viktor melonggarkan pakaian yang menghangatkannya dari cuaca musim dingin. "Tentu saja," katanya. "Dan ... aku tidak marah."

"Kau jelas-jelas membentakku tadi."

"Ah, maaf. Aku hanya ... aku hanya khawatir padamu," kata Viktor, yang sama sekali tak diduga bakal diucapkannya juga. Ia semula bertekad untuk menyembunyikan perasaan itu pada dirinya sendiri, karena bagaimanapun juga status pernikahan mereka palsu, tetapi akal sehat Viktor kalah dengan situasi yang menyelimutinya. Wajah Andiane yang memelas serta ekspresi ketakutannya melunakkan pertahanan Viktor.

Andiane tersenyum lega. Ah, kapan terakhir kali Viktor melihatnya senang? Terakhir kali mereka bertemu, setelah jeda agak lama, mereka justru dipertemukan dalam situasi yang mencengangkan.

"Omong-omong kau tampan sekali dengan pakaian kemarin di kantor," goda Andiane. "Apakah kau akan mengenakannya selama di Institut?"

"Mm, ya."

"Oh!" kata Andiane, dan perubahan rautnya yang muram membuat Viktor terheran-heran. Gadis itu dengan enggan berkata, "Kawan-kawanku mulai tertarik padamu, dan itu berbahaya. Bagaimana jika seseorang benar-benar jatuh cinta padamu dan mencoba menarik hatimu?"

Viktor tak menduga akan mendengar jawaban semacam itu. Dia bersandar pada meja makan dan menatap Andiane dengan geli. Amarahnya mulai menguap. "Kau cemburu, Andy?"

Gadis itu menghampiri dan Viktor secara otomatis meraih pinggangnya untuk mendekat. Wajah pucat Andiane telah bersemu lagi seperti sedia kala.

"Bagaimana menurutmu? Status kita memang palsu, tetapi aku tidak yakin dengan cara menciummu terakhir kali!"

"Memang ada apa dengan itu?"

"Aku jadi ragu dengan status kita."

"Kalau begitu ragukan saja," tukas Viktor. Andiane terkekeh, dan tidak menolak saat Viktor merengkuhnya lebih dekat untuk menciumnya. Dalam sekejap, kekesalan Andiane atas kejadian bertumpuk selama seminggu terakhir lenyap, digantikan kehangatan cumbuan Viktor yang mengenyangkan rasa kesepiannya.

Ah, kalau begini terus ...

"Sudah kuduga ini terjadi!" Suara Alexandra menyentak mereka dari arah pintu samping pondok. Andiane melompat menjauh dan Viktor mengangkat tangan. "Dasar muda-mudi, tidak bertemu sebentar saja langsung begini! Apa esensinya kehidupan asrama kalau begitu?"

Andiane sama sekali tak mampu menatap Alexandra. Ia menutup wajah, lantas memilih untuk menyibukkan diri dengan membuka botol ramuan. Viktor hanya menyunggingkan seringai.

"Tidak bisakah kau bahagia sedikit atas apa yang terjadi di tempatmu? Pondok ini jadi sedikit hangat, bukan?"

"Bah, itu alasanmu saja, Viktor. Sekarang bawakan barang-barangku ke atas atau kau tidak boleh tidur di sini lagi!"



Sesuai janji Alexandra, dan berkat kemunculan Viktor kembali, Andiane bertekad menggunakan akhir pekan untuk belajar mengendalikan Energi. Tak mengapa baginya, sebab ia pun telah lama beristirahat karena penyakit. Ia bisa mengenal seluk-beluk Institut lain kali! Lagi pula, bukankah memiliki dua staf yang membantunya adalah hal yang patut disyukuri?

Demi mencegah rusaknya pondok Alexandra sebagai bentuk berjaga-jaga, mereka memutuskan untuk mengunjungi padang tempat Franco menculik Andiane kemarin. Salju menipis pada musim dingin yang hangat, menunjukkan bekas rumput gosong di sebuah petak tertentu. Andiane takjub dengan kenyataan bahwa lembah itu terlalu luas baginya, dan siapa pun bisa hilang. Bagaimana caranya dia mampu menemukan jalan pulang ke Institut kemarin? Masih banyak cekungan sungai, tanah yang amblas, atau batu-batu besar yang menjadi tempat persembunyian vehemos-vehemos mungil. Mustahil dia bisa sampai ke institut tanpa tersandung sama sekali!

"Lihat itu," kata Andiane, menunjukkan pola tanda hati dan bunga-bunga bermekaran pada rerumputan gosong yang diciptakan Franco. Viktor nampak jengkel, dan Alexandra tidak heran sama sekali.

"Bakatnya perlu dicurahkan ke tempat lain, kurasa. Institut terlalu mengekangnya. Sirkus, misalnya," kata Alexandra, yang memicu kekesalan Viktor. Pria itu memilih untuk tidak menyahut. "Sekarang, Andy," lanjut sang profesor, "duduklah di rumput dan pejamkan matamu. Buat dirimu setenang mungkin, lalu rasakan Energimu bergejolak sata kau memanggilnya. Ketika kau siap, kau takkan meresponku."

"Ya?"

"Mulailah."

Andiane tidak paham pada bagian dimana dia tak akan merespon ucapan Alexandra lagi, walau ia menurut saja. Dia mengikuti apa yang diperintahkan Alexandra, mencoba merasakan gejolak familiar serupa air mendidih ketika Andiane memanggilnya dalam hati. Andiane menahan napas. Oh, mereka datang lagi! Dan, astaga, dia merasa takut. Bagaimana jika—

Andiane tersentak ketika merasakan sentuhan di pundaknya. Andiane menerka-nerka tangan siapa itu, tetapi gagal karena mantelnya tebal. Maka Andiane memutuskan untuk tak menggubris, selain menyadari bahwa sentuhan itu membuatnya lebih tenang.

Kau bisa, Andy, kau bisa!

Gejolak Energinya pun mengalir lebih tenang, tidak lagi menggegelak dalam semangat yang berkobar. Andiane mencoba menyatukan diri pada aliran gejolaknya; menyebar ke segala arah, mencapai titik-titik terjauh dari hatinya.

Oh, apakah kau juga merasakannya? Andiane merasa dia mampu melayang saat ini juga!

Andiane mencoba membuka mata, lantas menyadari bahwa Alexandralah yang memegang pundaknya. Andiane menjadi lebih tenang. Seandainya Viktor yang memegangnya, mungkin Andiane akan mendapati jantungnya berdegup, dan itu tidak baik.

"Andy," Alexandra berbisik, menyadarkan Andiane bahwa dia sejak tadi dipanggil. "Sekarang, rasakan Energimu di ujung-ujung jari. Rasakan serupa semut yang mengerubungi bawah kulitmu, sehingga kau harus mengeluarkannya. Ibarat kau seperti mengalirkan air dari ujung telunjukmu ... arahkan pada dandelion di depanmu. Bayangkan, aliran air itu ternyata padat serupa es! Jika kau pernah melihat bilah-bilah es Viktor, Andiane, akan lebih mudah bagimu, sebab kau akan menghempaskan anak-anak dandelion itu dari induknya. Lepaskan ke udara. Lepaskan ... Perlahan."

Setiap kata Alexandra seperti tuntunan alamiah yang menggerakkan gejolak Energinya. Entah apa yang Alexandra lakukan pada tubuhnya, sebab Andiane sanggup mengikuti semuanya dengan baik. Sesuai arahan, Andiane mengangkat tangan, membiarkan jemarinya menghadap dandelion mungil itu.

Andiane berpikir akan muncul asap hitam yang berkobar, tetapi dugaannya salah. Semula jemarinya seperti berasap, lalu asap tipis itu menjalin seperti sulur dengan liuk yang indah. Jalinan asap itu bergerak menyelubungi dandelion, dan sedikit meleset dari bayangannya, jalinan itu berputar-putar di sekeliling dandelion hingga anak-anaknya tercabut ke udara.

Viktor menghampiri dengan takjub, bersamaan dengan Alexandra yang melepaskan cengkeramannya pada pundak Andiane.

Gadis itu menoleh menatap kedua seniornya dengan takut. Namun, itu semua terbayar saat Alexandra tersenyum.

"Selamat, Andy," kata sang profesor, ada kelegaan luar biasa di suaranya. "Kau mulai bisa mengendalikan Energimu."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top