Akhir Buku Lamanya
Andiane tidak benar-benar pingsan. Seumur hidupnya, ia tidak pernah kehilangan kesadaran. Meskipun tubuhnya sangat lemas, Andaine masih sadar ketika Viktor Olliviare menggendongnya ke dalam rumah, diikuti gagap gempita kedua orangtuanya dan Thomasen yang buru-buru mengantar para bibi kembali ke kereta-kereta mereka. Andiane juga masih sadar saat Momma mengganti gaunnya yang basah dengan gaun tidur yang hangat dan menyelimutinya, atau merasakan tangan Pappa yang mendarat di dahi untuk mengecek suhu tubuhnya. Andiane pun merasakan tajamnya kuku Momma saat memijat-mijat kaki sementara dirinya melewati masa-masa terlemahnya.
Andiane sempat tertidur setelah itu, dan bangun beberapa jam kemudian saat langit telah semburat ungu. Momma pasti sedang menyiapkan sup di dapur sementara terdengar suara seperti kayu-kayu yang dipukul. Kamar Andiane pun sudah gelap, hanya bermandikan cahaya lilin-lilin di tepi kasur. Jendela kamarnya... tunggu, bukankah jendela kamarnya pecah? Andiane baru sadar bahwa tirainya dipaku pada sisi-sisi kusen jendela, menghalangi angin malam agar tidak merasuk berlebihan ke kamarnya. Apakah suara pukulan konstan di luar kamarnya adalah pekerjaan Thomasen atau Pappa yang sedang memaku tirai ke semua jendela?
Andiane mengabaikan kemungkinan bahwa Tuan Olliviare sudah pulang, karena matanya terpaku pada jendela. Ia tidak percaya ini. Apakah tadi ia memecahkan kaca rumah? Ia, dengan... ledakan entah-apa-itu yang mengempas sebagian air danau?
Apa yang Tuan Olliviare lakukan padanya?
Andiane mengusap wajah. Jemarinya refleks menyentuh dada, siap merasakan nyeri yang akan menerjang ketika mengalami gejolak emosi, tetapi tak ada yang terjadi. Dadanya baik-baik saja, tak ada denyut nyeri yang mencekik napas, seolah-olah ia tak pernah sakit. Kepalanya bahkan terasa ringan.
Andiane menyingkap selimut dan bangkit dari kasur. Ia menghampiri cermin untuk memastikan sekali lagi kondisi tubuhnya dan ... Ya Tuhan, dia sama sekali tidak pucat. Ada rona merah yang sehat dan ranum di kedua pipi, sesuatu yang telah lama hilang sejak Andiane merasakan nyeri di dada. Andiane hampir saja buru-buru keluar kamar untuk mengumumkan kesembuhannya, kalau saja ia tidak menyadari ada yang berubah dari matanya.
Andiane mencondongkan tubuh dan melotot.
Bola matanya berubah cokelat pucat, sepucat mata Viktor Olliviare.
"Momma!"
Andiane berderap ke dapur. Ia sedikit kesusahan dengan gaun yang dikenakan ibunya. Kenapa ia tidak dipakaikan gaun rumah yang lebih sederhana? Kenapa ia harus mengenakan gaun rumah dengan rok yang cukup lebar? Andiane kemudian teringat bahwa ibunya tidak akan sempat mempertimbangkan apa-apa jika beliau sudah kebingungan, maka ia pun memaklumi. Lagipula ia sudah tiba di dapur sekarang, menyaksikan ibunya menghidangkan mangkuk terakhir di meja. Thomasen juga berada di ruangan yang sama, sedang memaku ujung tirai bagian bawah sebagai pengganti kaca yang berhamburan, dan ... ya Tuhan, apakah pria jangkung di sampingnya yang ikut membantu memaku bagian atas tirai adalah Viktor Olliviare?
Siapa lagi?
Andiane refleks berhenti. Matanya membeliak, tak lain karena Viktor telah menanggalkan topi dan mengganti pakaiannya yang basah. Pria itu pun menoleh menatapnya, menyunggingkan senyum sopan, entah menyadari atau tidak jika Andiane tersihir dengan rupanya.
Dia tidak pernah melihat pria setampan ini, selain di panggung-panggung pertunjukan yang selalu dipuja-puja para gadis belia!
"Kau sudah bangun!" Momma menyentak lamunan Andiane. "Kenapa kau berlarian, Sayang? Kau baik-baik saja?"
Andiane masih terpaku dengan situasi yang tengah dialaminya kini. Selama sesaat Andiane bengong, namun dengan segera mendapatkan kesadarannya kembali dan menatap sang ibu. "Aku ... baik-baik saja. Hanya lapar."
"Kalau begitu kenapa kau berlarian? Kembalilah ke kamar!"
"Tapi—"
"Saya yakin ia baik-baik saja, Nyonya Weston." Viktor Olliviare beranjak dari tempatnya. Thomasen membereskan perkakas dan menghilang dari dapur, sementara Pappa muncul untuk menyilakan Viktor mengobrol dengan lebih santai di meja makan. "Putri Anda bisa ikut makan malam bersama kita, kurasa."
Momma tidak ragu-ragu untuk menyetujuinya, tetapi Andiane menangkap keresahan yang berusaha disembunyikan. "Duduklah, Nak. Kau benar-benar merasa sehat? Bagaimana dadamu? Kondisimu?"
"Aku ingin sekali mengatakan bahwa kondisiku sangat baik-baik saja, bahkan mendekati sempurna, tetapi aku sedikit pusing karena aku lapar." Andiane menghampiri Momma dan membantunya meletakkan semangkuk besar semur di meja. Situasi ini membuat Andiane canggung. Sudah sangat lama sejak ia makan bersama seorang pria tampan dengan seluruh anggota keluarganya. Rasanya seperti masa-masa perkenalan calon pasangan seperti kakak perempuannya dahulu. Dada malang Andiane pun semakin berdegup kencang tatkala ia ingat bahwa Viktor Olliviare tadi melamarnya di tepi danau.
Tunggu. Andiane melotot pada sendok semur di depan matanya. Dia dilamar. Dilamar! Andiane refleks melirik ke arah sang tamu, yang menerima suguhan dari Momma, dan Viktor nampaknya sadar sedang ditatap. Ia membalas pelototan Andiane dengan tatapan teduh dan senyum yang melenakan.
Ya Tuhan!
"Jadi, Tuan Olliviare," Momma membuka percakapan makan malam setelah duduk di posisinya. "Kau yakin tidak akan menginap malam ini? Perjalananmu panjang dan akan sangat melelahkan. Kami juga telah merepotkanmu dengan membantu memasang paku-paku pada tirai-tirai itu."
"Tidak masalah, nyonya Weston. Saya memang harus segera kembali bekerja," katanya. Andiane berusaha untuk tidak melirik. "Dan saya tidak keberatan. Bagaimana pun juga, peristiwa tadi siang memang di luar dugaan saya ...."
Nampaknya Viktor belum menyelesaikan kalimat seutuhnya, namun Papa berdeham. Itu cukup untuk membuat Mamma cepat-cepat menambahkan, "Kami akan senang untuk menerimamu kembali datang kemari, Tuan Olliviare. Ada banyak sekali hal yang perlu didiskusikan. Kurasa perbincangan selepas makan malam tidak akan mampu menyelesaikan semuanya dalam sekejap."
Andiane merasa makin kebingungan. Apakah Mamma tahu jika tuan Olliviare melamarnya, atau bagaimana? Papa pun tidak mungkin akan bersikap demikian kikuk jika bukan karena perkara ini. Papa selalu menjadi pihak pertama yang menolak pemuda mana pun yang mencoba melamar Andiane (dan tentu mendukung pilihan sang putri bungsu) sehingga sikap Papa membuat Andiane merasa bahwa Tuan Olliviare telah menyampaikan keinginannya ....
Oh, Papa, jika memang itu benar, Andiane ingin menikahi pria setampan ini!
Tetapi, oh, ia tidak perlu terburu-buru! Apa yang Momma katakan benar. Mereka senang untuk menerima kedatangan Tuan Olliviare lagi, entah kapan, yang menandakan bahwa Andiane akan masih hidup sampai saat itu.
Benar. Dia akan tetap hidup, karena dia sudah sembuh!
Andiane diundang untuk ikut berdiskusi setelah makan malam di ruang duduk. Ia memilih untuk berada di dekat perapian, sesekali memainkan kayu bakar yang berderak dilalap api, dan ia bingung harus memberikan reaksi apa ketika orang tuanya mengobrol dengan sang tamu.
"Karena Nona di sini, saya ingin menegaskannya sekali lagi," ucapan Viktor cukup untuk membangkitkan ingatan Andiane sebelum pandangannya menggelap di tepi danau tadi. Andiane telah memikirkan hal itu selama sang tamu berada di sekitarnya. Diam-diam pipinya kembali bersemu merah, tapi ia harap itu hanya bayangannya saja ... atau tidak?
"Saya benar-benar ingin melamar anak Anda."
Demi Tuhan di langit, itu sungguhan!
Andiane refleks menoleh kepada Viktor yang ikut menatapnya dengan sungguh-sungguh. Tidak dengan kedua orangtuanya. Papa terlihat seperti tersambar petir di siang bolong. Ya, benar saja! Anak gadisnya tinggal Andiane seorang sementara kakak perempuannya sudah menikah, dan Thomasen akan lebih sibuk dengan lebih banyak pekerjaan. Jika Andiane dilamar, itu berarti tidak akan ada anak perempuan yang tersisa, dan ...
Andiane memandang Papanya kalut. Alisnya hampir bertaut.
"Saya rasa ini terlalu mendadak, apalagi jika ... kau tahu, Tuan Olliviare, dengan tujuan tertentu." Mamma mengambil alih pembicaraan. Beliau masih bisa menyunggingkan senyumnya. "Kami bahkan belum siap menghadapi apa yang terjadi tadi siang."
Andiane mengernyit. Tujuan tertentu apa? Namun ada pertanyaan lain yang lebih dibutuhkan jawabannya saat ini. Andiane meminta izin untuk duduk di posisi kosong yang tersisa di samping sang tamu. Ia menatap Viktor Olliviare dengan penuh rasa penasaran. "Apa yang telah engkau lakukan pada saya tadi?" tanyanya sembari menyentuh dada.
Sang pria mengangkat alis. "Aku hanya mengeluarkan beban kekuatanmu, Nona Weston. Apakah kamu tidak tahu?"
"Tidak. Dia tidak tahu." William Weston tiba-tiba bersuara. Seisi ruangan menatapnya dan sang kepala keluarga menggeleng. "Andiane tidak tahu. Kakak-kakaknya tahu, melupakannya, tapi ia tidak." Wah, Thomasen tidak ada di sini. Andiane sepertinya perlu menginterogasinya nanti.
"Saya tidak merasa bahwa itu cukup bijaksana, Tuan Weston." Viktor terlihat menyesal. "Ia membawa kekuatan yang luar biasa di dalam dirinya. Seandainya saya tidak datang di waktu yang tepat, Nona Weston mungkin ... maaf, tidak akan bersama kita lagi, hanya karena Energi di dalam dirinya tidak dilepaskan."
"Kami tidak ingin siapa pun di dalam keluarga kami untuk menggunakan itu!"
"Anda tidak bisa menolak kenyataan itu." Viktor masih tenang. Andiane takjub dengan kekalemannya di saat-saat membingungkan seperti ini. "Sekali dehmos, tetap dehmos. Saya sangat menyayangkan jika Anda tetap gigih menolaknya. Bagaimana pun juga—dan ini yang penting—keluarga Weston masihlah keturunan daripadanya."
Papa menggeleng. Andiane mengerling. Keturunan? Keturunan dari siapa? Ia kembali menatap sang tamu yang kini membalasnya dengan respon serupa.
"Saya tidak paham apa-apa di sini."
"Kau adalah dehmos, Nona Weston. Kau adalah Setengah Monster."
"Tuan Olliviare!"
"Putri Anda harus mengetahuinya, Tuan Weston." Viktor membalas sama tegasnya. "Jika Energinya tidak digunakan, hal yang sama akan terjadi terus-menerus. Suatu saat, hal paling buruk benar-benar akan terjadi dan emas bertumpuk pun takkan mampu menyembuhkannya. Apakah Anda rela jika putri Anda mengalaminya? Saya yakin bukan itu yang mendiang Profesor Seans inginkan."
Papa terdiam lagi. Beliau sangat kalut sekarang. Mamma telah lama mendengarkan dalam diam, sama bingungnya. Andiane pun demikian. Namun, alih-alih merasa sedih, ia justru makin penasaran dan ada sedikit percikan perasaan baru yang membuncah di dalam hatinya.
Aku dehmos. Aku Setengah Monster.
"Kenapa aku tidak tahu ini?" Andiane menatap kedua orangtuanya.
Papa menolak untuk menjawab, sehingga Mamma menatapnya dengan enggan. "Memang tidak ada yang pantas untuk diketahui."
"Aku tidak paham, Mamma."
"Cukup." Papa memotong pembicaraan. Beliau beranjak dan meraih tangan Andiane. "Kembali ke kamar, Andy!"
"Tapi..."
"Kembali." Tatapan Papa menajam. Suaranya sangat tegas dan sama sekali tak menerima bantahan. Andiane menatap nanar hingga ibunya membantu untuk berdiri.
Segera setelah meninggalkan ruangan, Andiane bertanya. "Mamma, kenapa—"
"Sudahlah," ibunya menyela. "Kita bicarakan ini esok hari. Tidurlah, Sayang. Kau harus tidur. Kau harus beristirahat. Mamma akan menemanimu, ya?"
"Mamma harus jelaskan padaku tentang dehmos itu. Bukankah aku sudah menjadi bagian dari mereka?"
Cengkeraman Mamma pada tangan Andiane menguat. "Belum," bisiknya. "Belum waktunya kamu tahu ... tidak malam ini. Tidak. Besok, atau lusa, atau entah kapan ayahmu merasa siap."
Papa nampaknya tidak akan siap. Meski begitu, betapapun Andiane mendesak ibunya untuk menceritakan apa yang terjadi, usahanya tetap gagal. Ia sampai kelelahan sendiri dan akhirnya jatuh tertidur, mengacuhkan dinginnya malam yang merembes masuk melalui jendela tanpa kaca yang hanya ditutupi tirai tebal.
Sayangnya ia tidak tahu apa yang terjadi pada sisa malam itu. Apakah Tuan Olliviare berhasil mempersuasi Papa sehingga hatinya bisa melunak sedikit? Ayolah, semoga dia bisa. Dia harus bisa.
+ + +
Keinginan Andiane nampaknya terkabul. Meski selama satu bulan setelah peristiwa mencengangkan itu, Papa dan Mamma memilih untuk bungkam dan terus-terusan berkata bahwa hanya Tuan Olliviare yang berhak menjelaskan. Hingga, kedatangan sang tamu rupawan pada bulan selanjutnya membuat Andiane terkejut dengan hati yang berbunga-bunga.
Apalagi, ketika Tuan Olliviare membawa sebuket bunga dan cincin yang sangat indah.
"Siang yang hangat, Nona Weston," sapaannya membuat Andiane teringat dengan pertemuan pertama mereka, begitu pula dengan senyum dan suaranya yang melenakan. Oh, luar biasa. Ia merindukan kedua mata biru pucatnya dan suaranya yang menggoda. "Semoga Tuan dan Nyonya Weston, begitu pula dengan hatimu, mengizinkanku untuk masuk sekali lagi ke rumah ini untuk melamarmu dengan baik."
Ya Tuhan, sepertinya sekarang hatinya yang melemah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top