special | 17-an (bag. 2)

note: bagian special dianggap sebagai bagian 'terpisah' dan tidak dipengaruhi oleh plot cerita ABoD yang saat ini sedang berjalan. ini adalah bagian terakhir dari bagian special 17-an. setelah ini, cerita akan kembali ke plot. thankyou. 


***

Sempat hening sejenak, soalnya jujur banget, para bapak-bapak tuh nggak expect kalau mereka bakal disuruh main futsal pakai daster. Apalagi Jenar. Duh, seumur-umur, lihat istrinya pakai daster di rumah aja paling cuma sekali-dua kali, itu juga pas lagi hamil si bayi.

Nah ini macam mana pula dia disuruh pakai daster, terus nantinya bakal mesti ngejar-ngejar bola?!

Kesunyian itu baru pecah oleh suara tawa keras Rei.

Tawa perempuan itu puas banget, betulan ngakak yang literally ngakak, sampai-sampai semua yang ada di halaman belakangnya pada menengok ke arahnya.

Gimana ya, dari jaman kuliah, Rei ini memang tipikal orang yang terkesan stoic. Kalau belum kenal, dinginnya kayak gunung es Kutub Utara. Kadang, ditambah sentuhan awkward. Kalau sudah kenal, baru kelihatan begonya dikit.

Tapi nggak pernah sekalipun teman-temannya lihat dia tertawa sekeras itu, sampai-sampai megangin perut segala. Selama ini, Rei kalau ketawa ya ketawa aja. Apalagi pas udah jadi ibu, kadang sebatas senyum lembut doang.

Satu-satunya orang yang nggak kaget cuma Jenar sama Wuje—wajar sih, soalnya ya, bertahun-tahun mereka bareng, dari mulai pacaran hingga nikah dan ngegedein Wuje bareng, Jenar sudah cukup sering lihat Rei tertawa keras.

Lagipula, Jenar sama Wuje juga kan satu dari sedikit orang di muka Bumi ini yang bisa bikin Rei tertawa sekeras itu.

Hehe.

"Regina!!" Jenar malah manyun, protes dengan mulut mengerucut, maju lima senti.

Rei masih saja ngakak.

"Regina—udah dong ngetawain akunya!!"

"Nar, itu bini lo coba dikasih minum air doa, takutnya kesurupan..." Yuta menyela, mukanya kelihatan parno banget.

"Mana sini air putih, biar gue bacain Ayat Kursi!" Yumna mendukung suaminya.

"Heh, emangnya istri gue nggak boleh ketawa?! Enak aja lo bilang kesurupan!" Jenar jadi dongkol. "Terus nggak usah gaya-gayaan mau bikin air doa! Air suci kita beda jenis!"

"Oh ya, benar juga..."

Lanang sempat takjub, terus nyengir. "Jujur banget nih, Bang, kalau dipikir-pikir, gue belum pernah lihat Kak Reggy ngakak. Ternyata—"

"Ternyata apa?!" Jenar memotong diikuti delikan galak.

"Cantik. Muehehe." Lanang cengengesan, namun cengiran kudanya kontan hilang ketika dia menyadari tatapan mata Delta serasa ingin membakar lubang di punggungnya. "Tapi sudah pasti, cantikkan bini gue tercinta dong, siapa lagi kalau bukan ibu dari anak-anak gue, the one and only Delta-nya lelaki jawa yang pure blood wanita jawa!!"

Lanang sempat rada panik sih.

Untungnya, ada banyak kamera yang menyala, jadi kemungkinan dia dicabik-cabik di tempat bisa diminimalisir.

Rei menghabiskan dulu stok tawanya, baru menyahut sambil menyeka sedikit air mata yang sempat keluar. "Maaf, Je. Tapi sumpah, aku bayangin kamu pake daster tuh... wah, kacau sih!!"

"NANG!!" Jenar berpaling ke Lanang. "Harus banget apa pakai daster?"

"Udah ketentuannya begitu, Bang. Lagian, harus unik dong! Namanya aja lomba 17 Agustus-an!" Lanang membalas.

"Harus banget apa pake daster?!" Dhaka turut protes. "Lo bayangin deh, kita tuh mau main futsal! Kalau kita pake daster, apa nggak bakal ribet—"

"Nggak, Dhaka." Juno memotong.

"Juno—"

"Aku ngurusin anak-anak kamu, masak, rapi-rapi rumah, beresin mainan Kakak sama Adek tuh pake daster, masih fine-fine aja kok." Juno menjelaskan, bikin Dhaka mati kutu. "Lagian, aku juga pengen lihat kamu pakai daster. Lucu deh kayaknya."

"JUNO... MASA KAMU TEGA SIH!?!" Dhaka merengek.

"You're fine with wearing daster?" Gianna menoleh ke Johnny yang angkat bahu.

"Paling kalau aku yang pake, dasternya jadi mini dress."

Awalnya, Yuta cuma nonton, tapi melihat keributan yang timbul akibat pertentangan para bapak-bapak muda yang ogah dikerjai Lanang, dia jadi gemas sendiri.

Pengennya tuh acara perkontenan Lanang ini cepat selesai, terus ketahuan siapa yang menang (yang sudah pasti, tentu saja timnya Yuta dong! Yuta nggak akan membiarkan timnya Jenar yang beranggotakan orang-orang tajir itu memenangkan hadiah liburan mewah ke Bali!) terus dia bisa pulang.

Makanya, Yuta menyela dengan sepenuh napsu, berteriak pakai setelan nada sangar yang suka dia gunakan waktu ngomdisin mahasiswa baru jaman masih kuliah dulu.

"WOY!!"

Berhasil, suasana senyap seketika.

"Cuma pake daster doang ribut!! Cemen lo semua!!" Yuta berseru sambil menunjukkan jempol ke bawah, yang sontak bikin Dhaka sama Jenar melotot.

"GUE NGGAK CEMEN!!" Dhaka protes.

"FINE, BRING IT ON!!" jiwa kompetitif Jenar jadi berkobar.

Lanang sangat mensyukuri kehadiran Yuta yang diam-diam mengemban peran sebagai provokator dengan sangat baik.

"Yak, baiklah, karena kelihatannya sesi lomba berikutnya sudah bisa dimulai, mari kita lanjutkan!" Lanang mengumumkan dengan penuh semangat, terus berpaling pada Deyang. "Yang, udah lo siapin barang yang gue minta?"

"Siap, udah, Bang Lanang!!"

Sigapnya Deyang ngalah-ngalahin siswa Akmil.

"Bawa kesini, Yang!!"

"Siap, laksanakan, Bang Lanang!!"

Untungnya, Deyang nggak se-dramatis itu dan mulai gerak jalan kayak anggota Paskibra.

Dia balik lagi bersama sebuah kotak, yang ternyata isinya sejumlah daster beraneka ragam corak. Ada yang batik. Ada yang bunga-bunga. Ada yang motif totol macan. Selain itu, ada pula kotak yang lebih kecil, berisi ikat rambut.

"Silakan, para istri yang selama ini setia mendukung suaminya dalam situasi suka maupun duka, memilihkan daster yang akan dipakai suami tercinta." Lanang mempersilakkan para mamak-mamak buat milih daster. "Oh ya, sekalian ikat rambutnya juga nggak apa-apa."

Para bapak-bapak shock lagi.

"IKAT RAMBUT APAAN NIH?!" Dhaka nyaris meraung.

"NGADI-NGADI BENERAN LO, NANG!!" Jenar menimpali.

Milan yang nggak ikutan main sibuk cekikan, menertawakan teman-temannya yang secara nggak langsung sedang ter-bully oleh ketentuan permainan buatan Lanang.

"Biar lucu, nanti rambut abang-abang sekalian dikuncir ala—" Lanang berpaling ke Delta. "—apaan sih itu, Dee, namanya? Yang rambut dikuncir unyu-unyu kayak member boyband Korehe itu?"

"Apple hair." Delta memberitahu.

"Nah itu! Apel hair!" Lanang beralih pada ibu-ibu yang terlihat sudah selesai memilih daster. "Gimana, ibu-ibu? Sudah kelar milih dasternya?"

"Udahhhhhh!!"

"Baiklah, silakan dibawa dan dipakaikan ke suami tercinta. Awas, jangan sampai salah suami ya. Terutama Kak Reggy, jangan belok ke oknum selain Bang Jenardi."

"Gue lihat-lihat tuh mulut lo kayaknya kurang akhlak ya, Nang!" Jenar langsung sewot, sementara para bapak-bapak yang lain kompak ngakak.

"Hush, ah, Je! Kok marah-marah terus dari tadi?" Rei mendekati suaminya sambil membawa daster dan sebuah ikat rambut.

"Kamu pilihin aku daster yang—REGINA, YANG BENER AJA?!!" Jenar shock lagi.

"Apanya yang bener aja?"

"DASTERNYA!!"

"Iya. Ini daster."

"KENAPA MOTIFNYA TOTOL MACAN?!"

"Soalnya lucu..." Rei terkekeh. "Terus motif yang lain udah keburu diambil sama Jella, sama Yumna, sama Sheza, sama Gianna. Tadi aku pengen yang bunga-bunga, tapi udah keduluan juga sama Juno. Lagian kenapa sih Je kalau macan?"

"Macyan, lucu!!" Wuje ikutan berseru, terus membentuk kedua tangannya jadi kayak cakar. "Aummmmmm!!"

"Itu singa!" Jenar melotot pada anaknya.

"Oh, salah ya, Papa? Kalau gitu... meonggggg..." Wuje meralat, dengan tangan masih tetap membentuk cakar.

"ITU KUCING!!"

"Macan kan kucing gede, Papa."

Nggak salah sih...

Jenar cemberut, namun pasrah ketika Rei melepaskan kaos yang dia pakai, menampilkan bagian atas badannya yang shirtless sebelum kemudian memakaikan daster.

"WOW!! PEMANDANGAN!!" –Ningning berpikir begitu dalam hati ketika melihat para bapak-bapak berganti baju.

Maklum ya, bapak-bapak yang ini tuh bukan bapak-bapak biasa.

Dasternya cukup panjang. Kalau Rei yang pakai, kayaknya sih bakal menyapu sampai ke mata kaki. Tapi berhubung ini Jenar yang pakai, jadinya ngatung. Jenar sempat bete, soalnya dia yakin penampilannya kelihatan nggak banget, tapi pas melihat kalau ternyata dasternya juga cingkrang di bapak-bapak yang lain, even di si Kecil Tigra, betenya berkurang sedikit.

"Sekarang rambutnya—Je, duduk dong! Aku nggak bisa kuncirin kamu kalau kamunya berdiri tegak..."

Jenar menurut, meski mulutnya masih mengerucut ketika Rei menguncir rambut di puncak kepalanya, bikin kepalanya jadi kayak apel yang punya satu tangkai.

Habis itu, baru deh pada pakai kaos kaki dan sepatu futsal.

Usai memastikan para personel dari masing-masing tim telah siap berlaga, pertandingan futsal para bapak-bapak berdaster pun dimulai.

Pertandingan berjalan adil pada awalnya, hingga Yuta yang memang jago banget perkara main futsal berhasil mencetak gol dengan satu tendangan maut ke gawang yang dijaga Johnny.

Jenar langsung dengki, terus cari masalah.

"YANG TADI TUH CURANG, TAU!!"

"Curang apaan sih, anjir?!" Yuta berpaling ke Jenar, mukanya sudah siap banget buat ribut.

"Lo bisa nge-gol-in karena gerak lo nggak terbatas kayak kita-kita!!" Jenar menuding penuh dendam pada daster Yuta yang sekarang lebih mirip crop top.

Kenapa bisa begitu?

Disinyalir, sebelum pertandingan dimulai, oknum Yuta telah menggulung dasternya sampai ke batas perut, terus dia ikat di bagian depan perutnya macam cewek-cewek hits mengikat kaos mereka biar bisa memamerkan lebih banyak aurat.

"Loh, intinya gue tetap pakai daster kan?!"

"Nggak, itungannya lo pakai celana!" Jenar ngotot.

"WAH, IYA BENER!! CURANG NIH CURANG!! GOL YANG TADI NGGAK SAH!!" Dhaka turut mendukung Jenar. Sesuatu yang amat langka, tapi ya... berhubung mereka satu tim...

"Tentu nggak dong!" Tigra turut membela Yuta. "Kan Lanang juga Hendra selaku wasit nggak memberikan aturan apa pun mengenai daster yang dipake, kan?!"

"TETAP AJA, KALAU KAYAK GINI, NAMANYA BUKAN DASTER!!"

"Wah, nggak bisa gitu dong! Daster yang gue pakai tetap memenuhi unsur-unsur untuk bisa disebut daster!!" Yuta masih nggak mau kalah.

Di pinggir lapangan, anak-anak pada melongo menyaksikan sekelompok bapak-bapak cekcok dengan suara keras nan berat, pakai muka galak pula.

"Mama..." Lila berpaling ke Sheza. "... takut..."

Wuje sontak menoleh ke Lila, terus mengulurkan tangan dan menepuk bahu Lila. "Jangan takut, Lila. Ada aku di sini!"

"Justru Lila takut karena ada kamu di sini, Wuje." Kwinsa menimpali, ogah banget lihat Wuje senang meski sebentar saja.

"Papa kamu tuh curang!!" Wuje menuduh.

"Papa kamu tuh, nggak bisa nge-gol-in!!" Kwinsa nggak mau kalah.

"Ya ampunnnnnnn!!" Cherry menepuk pipinya dengan kedua tangan, cemberut. "Masa kalian mau berantem lagi, sih? Capek dehhhhhhh!!"

"Ini tuh nggak bisa dibiarkan!!" Yumna jadi gregetan, akhirnya bangkit dari duduk dan menjadi satu-satunya perempuan yang berani menyelipkan diri diantara bapak-bapak setinggi tiang.

"OKE, HENTIKAN INI SEMUA!!"

"Tapi—"

"TUTUP MULUTMU, YUTA!"

Yuta kicep.

Jenar mengejek. "Nah mampus!"

Yumna mendelik ke Jenar. "Lo juga diem!!"

"Tapi laki lo curang!!" Dhaka berkata.

"Kalau pun menurut kalian curang, kenapa kalian baru protes pas Yuta udah nge-gol-in? Kenapa nggak protes dari awal?" Kun akhirnya angkat bicara. Biasanya dia netral, tapi sekarang ya nggak bisa dong, berhubung dia satu tim sama Yuta!

"Kan baru kelihatannya sekarang!!" Jenar ngeles.

"GUE SEGEDE INI MASA NGGAK KELIHATAN, SU!!"

"Udah! Kalau gini caranya, keputusan final kita serahin ke Lanang aja!" Yumna memutuskan. "Kalian tuh ditonton ama anak-anak loh! Tolong ya kelakuannya jangan kayak babi nggak pernah disekolahin!"

Habis ngomong gitu, Yumna melangkah menjauh.

Diam-diam, Yuta berbisik ke Tigra. "Gra, emangnya babi ada yang sekolah?"

"Kagak tau! Tanya dah sama bini lo. Kan dia yang ngomong..."

*

Setelah sempat melongo sejenak karena dia nggak expect pertandingan futsal tiga lawan tiga ini akan berujung kepada kericuhan, Lanang memutuskan kalau timnya Jenar bakal di-anugerahi hadiah satu pinalti langsung menuju mulut gawang lawan yang dijaga oleh Kun.

Jenar dan Dhaka suwit untuk menentukan siapa yang bakal menendang bola, dan ternyata pemenangnya adalah Jenar.

Maka, Jenar bersiap menendang.

"AWAS KALAU SAMPAI NGGAK GOL!!" Dhaka mengancam.

"Tenang, KFC jagonya ayam, kalau gue jagonya jebol-menjebol!" 

"MENJEBOL APAAN!!?"

"Menjebol gawang lawan lah!!" Jenar mendengus. "Dah sono, lo ngejauh dulu! Eksistensi lo mengganggu kemampuan gue dalam berkonsetrasi!"

Dhaka bete banget, tapi dia mengikuti seruan Jenar, menjauh untuk memberi laki-laki itu ruang.

Jenar memulai ancang-ancang. Dia bakal berlari dulu sebelum menendang. Sengaja, jaraknya jauh, biar bisa kelihatan heroik. Apalagi si Bocil lagi nonton dari pinggir lapangan area permainan. Jenar sudah membayangkan, Wuje pasti bakal takjub lihat bapaknya yang keren ini bersiap-siap mencetak gol untuk menyamakan skor.

Maka, Jenar mulai berlari.

Angin bertiup, membuat dasternya berkibar, berembus mempermainkan helai rambutnya yang dikuncir satu di puncak kepala.

Di sebelah Rei, Wuje berujar kepada mamanya. "Mama, Papa aneh banget kayak gitu... pake daster macan... rambut ada muncungnya satu... kayak rambut Upin..."

Rei tersenyum geli.

Untungnya, Jenar nggak mendengar.

Satu tendangan Jenar lancarkan. Mana tingkahnya dramatis banget, walau beruntung, bolanya berhasil ketendang. Kalau nggak, Jenar pasti bakal jadi bahan ketawaan subscribernya Lanang. Bola terpental, membumbung menembus udara mennuju gawang yang dijaga Kun... kemudian...

BERHASIL GOLLLLLL!!

Momen itu bakal jauh lebih keren kalau saja sikap tubuh Jenar lebih baik, jadi dia nggak kehilangan keseimbangan sesaat setelah menendang, lalu...

Jatuh di atas rumput dengan kedua kaki membentuk pose split tanpa direncanakan.

"WOW, KAKI PAPA BISA BEGITU YA?!" saking takjubnya, Wuje sampai berdiri sambil memegangi kedua pipinya, menampilkan ekspresi wajah sarat kekagetan.

Sedangkan Rei, daripada takjub, dia lebih khawatir. Soalnya kalau badan nggak fleksibel, posisi split itu agak ngeri-ngeri sedap, kan.

"Je—"

"It's okay!" Jenar mengacungkan jempol ke arah Rei, nggak sadar kalau kamera Lanang lagi menyorot padanya. Dia meringis, terus beranjak. Lelaki itu agak berlari kecil, berniat merayakan keberhasilan bolanya membobol gawang Kun ketika kok... kayaknya ada yang ganjil...

Bagian pantatnya berasa sejuk banget, gitu.

Akhirnya, tanpa pikir panjang, Jenar mengangkat dasternya sampai ke pinggang, terus menunjukkan pantatnya pada Dhaka.

"Oy, coba lihatin, di celana gue ada apa—kok kayak adem gitu..."

Dhaka tercengang, begitu pun dengan segenap hadirin di pinggir lapangan yang posisinya sekarang lagi Jenar punggungi.

"Je—"

"Lihatin, buru!"

"Celana lo..."

"Celana gue kenapa?"

"... robek. Pas pantatnya. Mana gede banget..."

Jenar tercekat, buru-buru menoleh ke belakang.

Wajahnya memerah sampai ke kuping ketika dia sadar, bagian pantat kolornya lagi jadi bahan tontonan warga.

Belum lagi kamera Lanang...

Rasanya Jenar kepingin Bumi menelannya bulat-bulat saat itu juga.

*

"Gue nggak mau tau ya!! Kalau sampai celana robek gue tayang di Youtube lo, gue bakal gandeng Bang Hotman buat bawa lo ke pengadilan!!" Jenar berseru pada Lanang yang memasang wajah memelas.

"Iya, Bang. Beneran, gue janji gue nggak akan masukkin footage yang itu..."

"Pokoknya sebelum videonya naik, lo harus kirim dulu ke gue!! Biar gue cek!!" Jenar masih nggak percaya.

"Iya, Bang. Beneran. Sumpah. Gue janji." Lanang membalas lagi, walau jujur sih, otak content creatornya meronta-ronta.

Soalnya insiden celana robek Jenar tuh bakal seru banget kalau dijadiin clickbait videonya. Tapi apa daya. Daripada kena somasi, mending Lanang turuti maunya Jenar.

Habis ngomong begitu, Jenar melangkah gontai menghampiri Rei yang tampak menahan senyum, juga Wuje di sebelahnya, yang lagi cengar-cengir meledek.

"Regina..."

"Iya, Je?"

Jenar berhenti di depan Rei, terus menumpangkan kepalanya di bahu istrinya. Jidatnya menyentuh lekuk bahu Rei sementara dia mengembuskan napas berat.

"Malu banget..."

"Nggak apa-apa, Je. Kan cuma kolor."

"NGGAK CUMA KOLOR, REGINA!!" Jenar membantah. "Harga diri aku... nggak ada..."

"Harga diri itu apa, Papa?" Wuje jadi kepo.

"Nanti dulu, Cil. Papa lagi kena mental breakdown."

"Mental brikdon itu apa, Mama?"

"Shock sampai malu, Je."

"Oh..." Wuje manggut-manggut, kemudian mendekat dan memeluk paha Jenar. "Nggak apa-apa, Papa. Temenku juga ada yang pernah mental brikdon karena ee di kelas, tapi lama-lama pada lupa kok kalau dia pernah ee di kelas."

"ITU KAMU BELOM LUPA!"

"Oiya. Hehe. Abisnya lucu sih, Papa. Jadi aku nggak bisa lupa. Kayak waktu celana Papa robek tadi..."

Jenar menghela napas, bikin Rei berinisiatif mengelus punggung suaminya. "Nggak apa-apa, Je. Para Mama bisa jaga rahasia kok."

"Tapi tetap aja... malu..."

Di saat Jenar masih meresapi kedukaannya, terdengar bunyi sirene dari speaker yang dibawa Lanang, disusul oleh aba-aba agar para bapak-bapak kembali berkumpul.

"Yuk, ngumpul yuk!" Rei mengajak.

"Regina... huhu..."

"Nggak apa-apa, Jenar. Yuk?"

Wuje ikut-ikutan menarik-narik tepi daster totol macan yang masih papanya pakai. "Ayo, Papa! Tim Papa udah menang loh! Ayo, jangan mau kalah sama tim papanya Kwinsa!"

Dengan berat hati, Jenar mengikuti ajakan anak dan istrinya.

Cuma nggak seperti sebelum-sebelumnya di mana dia sangat pede mencari gara-gara, kali ini Jenar lebih banyak terdiam, menunduk dengan mulut cemberut.

Lanang menginfokan kalau perlombaan yang terakhir untuk bapak-bapak akan dimulai sebentar lagi. Khusus untuk perlombaan yang terakhir, yang stand out adalah lokasinya, yang ternyata berada di kolam renang rumah Jenar.

Tadinya, Jenar mau protes. Tapi setelah dipikir lagi, dia belum siap jadi "pusat perhatian" orang-orang setelah insiden celana robek. Makanya dia tetap diam seribu bahasa, meski ekspresi wajahnya menunjukkan rasa tidak rela.

"Jadi, ini mainnya tetap tim-tim-an yah, kayak tadi!" Lanang menjelaskan. "Nanti, ada perwakilan dari masing-masing tim yang stand by di sisi kanan kolam. Udah megang ujung tali ya masing-masing. Habis itu, perwakilan kedua dari tiap tim bakal lomba renang dari ujung kiri ke ujung kanan kolam. Mulai tarik tambang tuh berdua. Sementara tarik tambang dua lawan dua dimulai, perwakilan ketiga dari tiap tim bakal mengulang lomba renang yang sama kayak perwakilan kedua. Siapa yang paling cepet sampai di ujung kanan kolam, berarti dia bakal bisa lebih cepet bantuin anggota tim-nya tarik tambang. Nih berhubung skor-nya udah satu sama, tim yang menang di lomba terakhir ini bakal jadi pemenang final ya!"

"Tunggu—" Johnny mengangkat tangan ke udara. "Ini maksudnya kita bakal tarik tambang di dalam air?"

"Yoi, Bang."

"Basah-basahan dong?!" Jella bertanya.

"Betul, Kak."

"Wow! Cherry, kalau gitu kita harus ambil kamera dari mobil Mommy! Kapan lagi kita bisa punya foto ganteng Daddy kamu pas lagi basah-basahan!!"

"Wah, benar juga." Yumna mengusap dagunya.

"Untuk nentuin siapa perwakilan pertama, kedua dan ketiganya tuh gimana?" Yuta turut bertanya.

"Bebas, Bang. Mau gambreng kek, mau salto kek, mau koprol kek, terserah!"

"Jangan koprol, nanti ada insiden celana robek kedua..." Dhaka menyindir.

Jenar makin merengut, tapi nggak cukup berani buat berargumen.

"Dhaka, jangan gitu." Rei akhirnya turun tangan membela Jenar. "Kasian laki gue."

Dhaka sontak dibikin kicep sesaat, terus berujar sembari setengah ngedumel. "Ya maap, Rei. Kan cuma bercanda..."

Terus... begitu deh... perlombaan terakhir pun dimulai...

Telah ditentukan, perwakilan pertama dari Tim Johnny, Jenar dan kawan-kawan adalah Dhaka. Perwakilan pertama dari Tim Kun-Tigra-Yuta adalah Tigra. Mereka stand-by lebih dulu di ujung kanan kolam renang, masing-masing memegang ujung tali tambang yang berlawanan sementara perwakilan kedua dan perwakilan ketiga berganti pakaian.

Demi menjaga kewarasan masyarakat, Lanang memutuskan kalau kostum para bapak-bapak selama berendam di kolam renang kompak berwarna hitam.

Bukan apa-apa ya, soalnya kalau warna cerah macam putih gitu... wah bisa berabe.

Nanti kolom komentar video Youtube Lanang bisa jebol oleh komen-komen kaum hawa (atau bahkan mungkin para pria penyuka batang) yang kehausan dan kepanasan, padahal yang ditonton orang yang lagi basah-basahan.

Jenar masih saja lesu ketika dia selesai mengganti dasternya dengan heavy tank top hitam dan celana pendek berwarna senada. Kacamata renang hitam turut terkalung di lehernya. Lama-lama, Rei jadi kasihan, meski kejadian celana robek tadi tuh lucu juga.

"Je, babe, it's okay." Rei mengusap lengan Jenar yang muscular. "It's alright."

"Huf."

"Semangat dong. Ya?"

"Huf."

"Je, cheer up, please? It's okay."

Akhirnya, Jenar mengangguk, terus berpindah ke ujung kolam, bersiap-siap. Dalam perlombaan renangnya menuju ujung kanan, dia akan berlomba sama Yuta.

"Papa, jangan sampe kalah dari papanya Kwinsa!" Wuje mengompori.

Kwinsa nggak mau tinggal diam. Dia turut berujar pada Yuta. "Papa, jangan sampe kalah dari papanya Wuje!"

"Percuma, pasti Papa aku yang menang!" Wuje mencibir Kwinsa.

"Nggak, Papa aku yang menang!"

"Papa, kalau Papa sampai kalah, aku mau ngambek sama Papa." Kwinsa berkata lagi pada Yuta.

Wuje melotot, beralih ke Jenar. "Papa, kalau Papa sampai kalah, aku nggak mau Papa cium-cium!"

"Oke, oke, stand by nih ya!" Lanang menyela pertengkaran para bocil. "Silakan Bang Jenar dan Bang Yuta bersiap... yak... dalam 3... 2... 1... go!"

Jenar sama Yuta kompak mencemplungkan diri ke kolam renang. Jenar nggak semangat sih, tapi dengar ancaman si Bocil tadi... wah... bahaya juga kalau tuh anak nggak mau dia cium-cium. Jadi deh, Jenar berenang dengan membabi buta, secepat yang dia bisa. Ujung-ujungnya, dia yang sampai duluan sih.

Begitu sampai, Jenar mengambil tempat di belakang Dhaka. Tarik-tarikan pun terjadi. Tigra betulan kewalahan, cuma di detik-detik kritis, Yuta bergabung, terus turut menarik. Mereka terlibat tarik-tarikan yang seru dan dramatis, dengan muka dan rambut basah yang berantakan. Johnny dan Kun berlomba. Kali ini, pemenangnya adalah Kun. Bergabungnya Kun memberi tambahan tenaga baru ke tim Tigra.

Dan saat Johnny telah bergegas untuk ikut menarik tambang, segalanya sudah terlambat...

Pemenang akhir adalah timnya Tigra, Yuta sama Kun.

Jenar dan Dhaka naik dari kolam renang sambil cemberut. Sedangkan Johnny lebih kalem, malah refleks tertawa ketika Chester berlari ke arahnya sambil membawa handuk dan berseru. "Papiiiii! Sini aku andukkin!!"

Jenar tertunduk lesu, melangkah mendekati Rei dan Wuje. Dia terduduk di tepi kolam, masih dengan sekujur tubuh basah. Matanya menatap ke lantai, baru berpindah ketika Wuje mendekatinya, terus berjongkok di dekatnya biar bagian pantat celana anak itu nggak basah.

"Papa..."

"Papa kalah, Je. Huf. Berapa lama Papa nggak boleh cium-cium kamu?"

"... berapa lama ya..."

Jenar makin murung. "Huf. Bete."

"Oh ya, aku tau!"

"Berapa lama?"

"Hitungan satu sampai sepuluh."

"Hah?"

Wuje nyengir, memunculkan lesung pipinya yang identik sama lesung pipinya Jenar, terus mulai menghitung. "10... 9... 8... 7... 6... 5... 4... 3... 2... 1."

"Hah?"

"Sekarang, Papa udah boleh cium-cium aku lagi!!"

Rei terkekeh, membentangkan handuk dan menyampirkannya di pundak Jenar dari belakang.

"Nggak apa-apa, Papa." Wuje menepuk-nepuk lengan Jenar dengan telapak tangannya yang kecil. "You did—apa tuh, Mama? Lupa."

"You did well."

"Nah itu. You did well, Papa."

Setelahnya, Wuje berdiri, terus memeluk leher Jenar dan menjatuhkan satu kecupan di pipi Jenar yang penuh titik-titik air kolam.

*

Perlombaan bapak-bapak ditutup setelah Yuta, Tigra dan Kun memberikan pidato kemenangan, disusul perlombaan untuk para bocil yang melibatkan lomba memasukkan belut ke botol (ini dimenangkan oleh Kwinsa, berhubung anak itu sangat gesit, sedangkan Wuje menyerah duluan karena dia terlalu takut buat menyentuh belut) terus lomba membawa kelereng pakai sendok (yang ini dimenangkan sama Wuje) dan lomba makan kerupuk (yang dimenangkan oleh Kakak, karena si Kakak memang jago makan banget).

Tapi pada akhirnya, tiap bocil tetap dapat hadiah, sih.

Makanya, boleh jadi karena aktivitasnya hari ini cukup melelahkan, Rei nggak butuh waktu lama untuk mengantarkan Wuje ke alam mimpi. Malah kayaknya nggak sampai 10 menit. Padahal biasanya, si Bocil suka banyak tanya kalau mau tidur.

Saat Rei kembali ke kamarnya, Jenar lagi berdiri di depan cermin. Lelaki itu cuma mengenakan celana piyamanya, sedangkan kemeja pasangan celana tersebut tergeletak di atas kasur. Dia tampak sedang kesulitan mengoleskan Counterpain ke punggung dan bahunya.

"Kenapa?"

"Pegel. Tapi susah ngolesinnya karena di punggung."

"Give it to me." Rei mendekat, mengambil alih tube Counterpain dari tangan Jenar. Jenar menurut, duduk menghadapi cermin meja riasnya Rei sementara perempuan itu mengoleskan Counterpain di punggung dan bahunya. "Sebelah mana lagi yang mau diolesin?"

"Sini..." Jenar menyentuh salah satu bagian di punggungnya.

Rei lanjut mengoleskan Counterpain di bagian yang Jenar maksud. "Udah?"

"Udah. Makasih ya, Regina."

"Anytime." Rei menutup tube Counterpainnya, terus tau-tau, tanpa bilang apa-apa sebelumnya, dia merunduk dan mencium pipi Jenar dari belakang.

Jenar tercekat, sontak menoleh untuk menatap Rei. "Kok tumben?"

"Nggak apa-apa. Emang aku nggak boleh cium pipi kamu?"

"Tiba-tiba banget. Ada angin apa?"

"Nothing." Rei tertawa. "It's just... I had a lot of fun today. Nontonin kamu. Nontonin Wuje. So... makasih ya? You made my day."

Jenar tergelak, lalu tatapan matanya melembut. "Sama-sama, Gina."

"Hehe."

"Tapi kamu tau kan, kalau kamu nggak bisa cium aku, terus expect aku nggak cium kamu balik?"

"Hm?"

"I am about to kiss you."

"Mm-hm."

"It will be a long one, it seems."

"... katanya lagi sakit punggung."

"Emang, tapi bukan berarti aku nggak bisa melakukan... ini..."

"Apa?"

"—ini."

Jenar tersenyum makin lebar sebelum membungkuk untuk menutup jarak diantara mereka. 



special - selesai. 

***

lagi dikuncirin 

bete dikit

basah-basahan

bapaknya orang

TETAP ROSO!!!!!

***

a/n:

yak, akhirnya bagian 17an special bapak-bapak udah kelar. 

tar kapan-kapan bagian anaknya diceritain. 

wkwkwkwk. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top