selingan: staycation pertama

warning: latarnya setelah jenar sidang akhir, rei-jenar, adegan dewasa (beneran adegan dewasa bukan adegan kehidupan orang dewasa yang capek kerja) (resiko ditanggung masing-masing hihiw)




***

Pertama-tama, biar nggak bingung, mari kita selami situasinya.

Ketika pada akhirnya Rei dibolehin pulang dari rumah sakit, sempat ada perdebatan dan kebingungan antara teman-temannya selantai dua kosan Sadewo versus Jenar.

Jella ngotot, sebab menurutnya lebih mending kalau Rei balik ke kosan Sadewo. Cewek itu masih butuh waktu yang lumayan panjang untuk benar-benar pulih, terus mesti rutin kontrol ke dokter setiap jangka waktu yang sudah ditentukan. Jadi menurut Jella, bakal lebih bagus kalau Rei di kosan, karena di kosan kan ada banyak orang yang siap bantu dan stand-by kalau ada apa-apa.

Soalnya memulangkan Rei ke rumahnya sendiri kayaknya nggak mungkin, mengingat situasinya sama orang tuanya yang... ya begitu deh!

Tapi Jenar nggak setuju. Buat Jenar, lebih baik kalau Rei tinggal sementara sama dia (yang langsung dibalas Yumna pake seruan 'ye anjing, itu sih maunya elu!' dan Jenar jawab 'YA EMANG MAUNYA GUE!!'). Jenar beralasan, tantenya teman baik si dokter, terus dia juga sudah masuk ke tahap-tahap nyusun proposal skripsi, otomatis banyak waktunya yang akan dipakai stay di apartemen, nggak kayak anak-anak kosan Sadewo yang masih harus rajin dateng ke kelas.

Rei pusing sendiri lihat mereka berdebat, makanya ujung-ujungnya, dia suruh Jella sama Jenar suit—yang berakhir dengan Jenar sebagai pemenangnya.

Jadi deh, selama beberapa bulan, Rei tinggal di tempatnya Jenar.

Jella rada nggak terima, tapi berhubung dia kalah suit dan baik Tigra maupun Dhaka nggak terlihat siap back-up dia ribut sama Jenar, ya dia hanya bisa berbesar hati.

Walau sebelum Rei balik dari rumah sakit, cewek itu sempat mewanti-wanti Jenar dengan penuh penekanan.

"Jangan diapa-apain! Dia lagi sakit!"

"Emangnya bakal gue apain sih?!"

"Bakal lo mesumin, mungkin?" Jella membalas nggak mau kalah sambil melipat tangan di dada dan mengangkat dagu, menatap sewot pada Jenar yang terlihat tersinggung.

"Lo anggap gue apa sih, La?"

"Buaya!"

"Gue juga masih punya akal sehat, La!"

"Rei," Jella berpaling ke temannya yang masih baringan dengan wajah pasrah di atas ranjang rumah sakit. "Kalau kelakuannya macem-macem, kasih tau gue! Biar gue jemput lo dari tempat dia."

"Iya..."

"Regina, lo nggak percaya sama gue?!" Jenar melotot.

"Gue kan cuma jawab Jella aja..." Rei membela diri.

Rasanya Jenar kepingin terbalikin meja.

Terus ya begitulah, selama masa pemulihan, akhirnya Rei stay di tempat Jenar. Paling ditinggal kalau Jenar mesti ke kampus atau nyari buku di perpustakaan buat mendukung skripsinya dia. Atau kalau lagi bimbingan. Tiap dia keluar, selalu ada yang dia suruh jagain Rei di tempatnya, entah itu Mark, kakaknya Jenar, Jella, Dhaka atau bahkan Johnny.

Rada susah dipercaya, makanya Rei pernah sampai nanya. "Lo nggak apa-apa nyuruh Johnny yang nemenin gue?"

"Kenapa-kenapa sih sebenarnya."

"Lah terus?"

"Kan yang lain lagi nggak ada yang bisa nemenin lo. Lagipula, bukannya tadi Sona juga ikut nemenin di sini?"

"Iya, sih."

"Gue nggak suka lihat lo deket-deket sama Johnny, ya itu ego gue. Tapi apa yang baik buat lo harus gue tempatin di atas ego gue. Jadi kayaknya nggak mesti ditanya lagi deh."

"Gue nggak apa-apa kok sendiri."

"Nope."

Habis jawab gitu, Jenar balik mengetik lagi di laptopnya. Rei membiarkan. Diam-diam, walau dia nggak pernah bilang, dia suka memperhatikan cowok itu saat lagi ngerjain skripsi. Mukanya serius banget, matanya fokus ke layar, sesekali berhenti ketika dia merasa dia perlu mikir. Mana saat itu, Jenar lagi sibuk-sibuknya, jadi nggak sempat potong rambut. Rambutnya mulai gondrong.

Rei baru kembali lagi ke kosan Sadewo saat dokter menyatakan dia sudah benar-benar pulih—dan begitu tiba lagi di kosan, cewek itu langsung diberondong pertanyaan sama teman-temannya, yang nggak jauh-jauh dari;

"Lo diapain aja sama dia selama stay di sana?!"

"Tergantung, konteks diapa-apain menurut lo tuh yang kayak gimana." Rei menyahut ringan, membuat Jella memutar bola mata, sedangkan Yumna nyengir.

"Nggak usah bertele-tele dan coba-coba melindungi cowok lo ya! Lo jelas paham banget apa yang gue maksud!"

"Kalau konteksnya itu, nggak kok."

Yumna sempat nggak percaya. "BOHONG?!"

"Beneran, nggak sama sekali." Rei mengulang jawabannya dengan lebih tegas. "Sure, he helped me a lot, kayak bantuin gue ke toilet atau nemenin gue dengan duduk di sisi bathtub waktu gue lagi bubble bath. Tapi dia nggak ngapa-ngapain seperti yang lo kira."

"Ah, masa nggak cipokan sama sekali?!" Yumna menyangsikan, yang dibalas anggukan oleh Jella dan Harsya. Jinny sama Sakura sih setia jadi penonton saja. Terus khusus untuk Rossa, saat itu dia belum balik ke Indonesia.

"Kalau peluk, cium atau cuddling sih masih suka dia lakuin ya, tapi itu kan nggak masuk dalam konteks diapa-apain kayak yang Jella maksud."

"Susah dipercaya, tapi kalau lo sendiri yang bilang, well..." Jella mengusap dagu.

"Kenapa sih kalian tuh berburuk sangka melulu sama dia?" Rei bertanya geli.

"Perasaan, dulu lebih sering berburuk sangka sama dia dibanding kita-kita deh..." Yumna menanggapi.

"Iya, sih." Rei mengangguk. "Tapi kan penilaian orang bisa berubah. Anggaplah, gue ke Jenar dulu tuh first impression aja, soalnya belum kenal banget."

"Oh, jadi sekarang udah, gitu ya Teh?" Jinny meledek.

"Seenggaknya, gue udah percaya kalau dia sayang beneran sama gue."

"Tapi kayaknya lo mesti hati-hati nggak sih?" Harsya nyeletuk.

"Hati-hati gimana?"

"Nih kan berapa bulan ya dia kayak buaya yang lagi puasa..."

"Lo tuh ngomongnya as if dia nggak bisa hidup tanpa yang kayak gituan aja deh, Sya." Rei berdecak.

"Loh, cowok kan emang nggak bisa hidup tanpa yang kayak gituan, kecuali imannya tebal banget! Itu pun pasti masih nyari pelampiasan, yang mana kalau nggak tangan sendiri, ya cewek lain!!" Jella berargumen dengan penuh semangat.

"Tapi kan—"

"Bener sih kata Harsya. Apalagi lo udah sembuh nih ya sekarang..."

"Hah, apa hubungannya?"

"Hati-hati aja."

"Hati-hati kenapa?!" Rei justru memburu.

"Rei, lo pernah lihat nggak sih orang yang puasa di bulan Ramadhan?"

"Pernah..."

"Sehari penuh dia menahan haus dan lapar tuh karena dia puasa. Nah, terus lo pernah nggak lihat gimana kebanyakan orang yang puasa ketika udah waktunya berbuka?"

"... kenapa?"

"Kalau makan, nggragas! Rakus! Semua kayaknya pengen dilahap!"

"Kayak bales dendam gitu ya, Kak?" Sakura berspekulasi.

"Tepat!" Harsya menjentikkan jari. "Makanya hati-hati aja."

"..."

"Biasanya, cowok bisa ganas banget kalau udah bales dendam!"

Kata-kata Harsya otomatis membuat Rei menelan saliva.

*

Meski Jenar sempat agak kontra, tapi sekitar dua minggu setelah Rei kembali ke kosannya, cewek itu juga turut kembali menjalani rutinitasnya kerja paruh-waktu di kafe yang nggak jauh dari kampus.

Soal finansial, sebenarnya nggak harus terlalu dikhawatirkan lagi, cuma karena sudah terbiasa, rasanya kayak aneh kalau tiba-tiba nggak lagi dilakukan.

Alhasil, Jenar jadi cukup sering nongkrong di kafe tempat Rei kerja part-time dengan alasan cari suasana baru sekalian ngerjain skripsi, padahal mah seenggaknya 50% dari waktunya habis buat ngelihatin ceweknya dari jauh.

Begitu terus, sampai Jenar sidang dan untungnya karena dia tergolong mahasiswa pintar yang gampang mengambil hati dosen (apalagi pengujinya ternyata ada yang cewek), dia berhasil lulus tanpa rintangan berarti. Rei datang sih ketika Jenar sidang akhir, sambil bawain cokelat sama bunga—disuruh sama Milan dan Yuta, katanya biar sesekali Jenar senang.

Karena sudah lulus dan tinggal revisi-revisi dikit, Rei kira Jenar nggak akan ke kafe siang ini, tapi ternyata dia salah.

Orangnya muncul hanya dengan kaosan hitam, pakai jeans sama baseball cap yang sewarna dengan kaosnya. Matanya nggak begitu kelihatan, hingga dia buka topinya di depan kasir sambil senyum lebar. Bolong di pipinya sontak kelihatan jelas.

"Siang, dunianya Jenar!"

"Udah mau sore." Rei membalas cuek, sibuk beres-beres karena shiftnya dia juga sudah mau selesai.

"Dek, gue nih mau beli loh ya! Mau pesen! Masa dicuekin!?"

Rei berhenti beres-beres, terus memiringkan wajah. "Dek?"

"Kan lo itungannya dedek buat gue."

"Terdengar agak salah."

"I am older than you. Nyatanya gitu. Salah di mananya?"

"Terserah." Rei berdecak. "Mau pesen apa?"

"Dih, kok nggak disapa sambil senyum?! Perasaan customer lain sering disapa sambil senyum!"

Rei menghela napas, lalu menarik senyum lebar. "Selamat sore, Kak. Mau pesan apa?"

Cengiran Jenar muncul lagi. "Iced Americano extra ice extra shot."

"Itu aja, Kak?"

"Sama satu lagi." Jenar memandang cewek di depannya dengan tatapan jahil. "Kalau sekalian sama waktu mbaknya, bisa nggak ya?"

"Ini bisa masuk kategori pelecehan nggak ya..."

Jenar tertawa. "Shift lo selesai sepuluh menit lagi. Get yourself a drink, masukkin ke bill gue. Open bill aja, just in case mau sekalian ngemil dulu."

"Ngemil? Emang mau lama di sini?"

"Mau ngomongin sesuatu sama lo. Penting."

Rei mengangguk, meski dalam hati dia jadi deg-deg-an setengah mampus. Nggak tau kenapa, bawaannya tuh jadi mikir yang aneh-aneh kalau dengar seseorang mau ngomongin sesuatu dan dia bilang penting. Apa jangan-jangan Jenar mau lamar dia berhubung tuh cowok sudah unofficially lulus? Tapi masa iya, kan Rei masih kuliah!

Jenar memilih meja yang dekat dengan jendela besar, dikarenakan sore sudah menjelang, jadi cuacanya nggak panas lagi.

Rei mendekati mejanya bersama segelas iced Americano sekitar sepuluh menit kemudian.

"Minum lo mana?"

Rei menunjukkan bagian samping tas punggungnya yang dijejali botol air mineral. "Itu."

"Ck."

"Air putih sehat, Je."

"Yaudah, ngemil apa kek gitu."

"Lagi nggak pengen ngunyah."

"Duh, susah banget sih mau manjain pacar doang." Jenar menyedot iced Americanonya sementara Rei duduk.

"Mau ngomongin apa?"

"Hehe."

Perasaan Rei makin nggak enak. "Kenapa senyumnya gitu?"

"Ganteng?"

"Oh please."

"Udah lama nggak dengar lo begging."

"Ck."

"Oke, sebelum lo ngambek, mari kita mulai." Jenar terkekeh. "Lo tau kan, gue udah kelar sidang, yang artinya, gue tinggal revisi dan ngurus berkas-berkas buat wisuda?"

"Iya."

"Jadi... untuk weekend ini..."

"Iya?"

"Will you..."

Rei mulai stress. "... apa?"

"Be my concert partner?"

Rei melongo bentar, lalu mengerjap. "Konser?"

"Mm-hm. Sheila on 7. Model konsernya festival gitu, outdoor."

"Oh... oke..."

"Tapi konsernya di luar kota."

"Hah, di mana?!"

"Jogja."

"Buset..."

"Nggak apa-apa. Lo tinggal bawa badan aja. Eh, sama baju, deng."

"Bentar..." Rei baru tersadar. "Kalau gitu... tandanya mesti nginep dong?!"

"Yah masa kita mau pulang-pergi Jakarta-Jogja dalam sehari?"

"Berdua aja?"

"Perginya iya, kalau baliknya sih nggak tau." Jenar bercanda, sekalian menggoda ceweknya.

"NGGAK TAU GIMANA!?"

"Kali aja mau balik bertiga."

"JENAR!"

"Bercanda, Regina." Tawa Jenar meledak. "Gue nggak setega itu, oke? Apalagi lo masih kuliah."

"Hng..."

"Kenapa sih, kayaknya gugup amat? Anggap aja staycation. Dulu juga sering kan sama mantan yang sebelumnya?" Jenar rada menyindir.

"Iya, sih..."

"Sekarang sama gue."

"Tapi..."

"Tapi apa? Soal kampus, tenang aja, ada Yua yang siap bantuin tipsen kalau diperlukan. Gue udah minta tolong sama dia."

"Tapi gue kan kerja—"

"Sona udah setuju mau gantiin lo sementara. Tadinya mau Jella, tapi Jella juga sibuk."

"Sona mau?"

"Dia lagi nggak ada kegiatan apa-apa, terus sogokannya gede. Jelas mau."

"Lo nih penuh persiapan banget ya?" Rei bertanya dengan mata yang disipitkan.

"Loh, kan anything for my girl." Jenar tergelak lagi. "Eit, kenapa tuh mukanya kok kelihatan kayak lagi mikir keras? Cari alasan pasti."

"..."

"Come on, Love." Jenar menyentuh punggung tangan Rei yang tergeletak di atas meja. "You deserve a break. I deserve a break as well."

"Yaudah."

"That's my girl."

*

"Mau renang nggak?"

Itu yang pertama kali Jenar tanyakan hanya sebentar setelah mereka tiba di kamar hotel.

"Lo mau renang?"

"Gue nanya duluan, Regina."

"Kalau lo mau, nanti gue temenin."

"Lo nggak mau ikut nyemplung?"

"Nggak. Nanti basah."

"Kalau nggak mau basah, renang di pasir aja."

"Itu namanya guling-guling, bukan renang." Rei memberitahu. "Tapi ya ayo, kalau lo mau nyemplung, gue temenin dari pinggir."

"Rasanya kayak anak TK lagi diantar mamanya renang."

"Kan gue bukan mama lo."

"Kan gue bilang 'kayak'."

"Loh, kok malah cemberut?" Rei memiringkan wajah. "Jadinya mau nyemplung apa nggak?"

"Nggak usah, deh. Gue mandi aja."

"Ngambek ya?"

"Nggak."

"Fine then, let me run a bubble bath for you?"

"Tumben."

"Mau nggak?"

"Boleh, deh. Eh, tapi emangnya lo bawa bathing stuffs gitu-gitu?"

"Bawa."

Jenar tersenyum simpul. "Hm, ternyata penuh persiapan."

"Kalau staycation, gue selalu bawa bubble bath bomb sama scented candles kok."

Jenar terbatuk. "Termasuk kalau sama Tigra?!"

"Emang sebelum ini, kalau staycation, gue sama siapa?"

"Mandi bareng ya?!"

Rei yang lagi membongkar kopernya buat mengambil pouch transparan anti air berisi barang-barang yang dia maksud barusan langsung menghentikan gerakannya untuk menoleh pada Jenar. "Sewot banget kayaknya?"

"Nanya!" Jenar membela diri.

"Nggak. Gue sama Tigra nggak seliar itu."

"Selain mandi bareng?"

"Nggak."

"Masa?"

"Tigra bukan orang yang touchy-touchy. Sure, dia suka ngegandeng atau meluk, tapi sentuhannya dia itu innocent."

"Terus sentuhan gue nggak?"

"Sentuhan lo lebih lusty."

"Bahasa lo, hey!"

"Apa ya bahasa Indonesianya? Penuh napsu?"

Jenar manyun. "Nggak usah diperjelas!"

Rei tertawa kecil. "Berarti lo mengakui. Tapi ya, gue sama Tigra nggak sampai segitunya. Kalau staycation, ya kita beneran jalan-jalan. Makan bareng. Cuddling. Tapi mandi bareng atau sesuatu yang derajatnya setingkat? Nggak."

"How many times did you sleep with him?"

"Sekali itu aja." Rei mengedikkan bahu. "You know, I didn't like it cause it hurt. Abis itu ya jadi nggak pernah excited melakukan yang sejenis."

"Trauma?"

"Dibilang trauma sih nggak ya, soalnya kayaknya berlebihan banget. Cuma lebih kayak... ya nggak semenyenangkan yang dibilang orang-orang."

"Until I changed your mind."

"Yes, until you changed my mind." Rei membenarkan, bikin ego Jenar melesat sampai ke langit ketujuh.

Rei membiarkan cowok itu menghempaskan badan ke kasur seraya menatap langit-langit dengan senyum senang melekat di wajah. Dia bergerak ke kamar mandi, yang ternyata cukup besar. Selain bathtub, ada juga kubikel shower yang jelas terlalu luas buat digunakan sendirian.

Duh, Rei jadi keinget apa yang dibilang Harsya.

Rei memutuskan nggak memikirkannya.

Of course, it's been long since the last time, tapi dia juga tau Jenar bukan orang yang bakal maksa apalagi sampai nyakitin dia.

Cewek itu mengisi bathtub dengan air, memastikan temperaturnya pas sebelum memasukkan sebutir bathbomb berwarna biru ke dalamnya. Terdengar bunyi desis, disusul bathbomb yang luruh, mengubah air jadi biru dan menciptakan busa berwarna senada dengan tambahan potongan kelopak bunga kering warna merah muda. Nggak hanya sampai di sana, Rei menyalakan scented candlenya, menempatkan lilin itu di atas meja pualam yang menyatu dengan wastafel.

"Perasaan gue nggak lagi ulang tahun deh."

Sebuah suara terdengar dan ketika Rei menoleh, Jenar sudah ada di belakangnya.

"Emang."

"Terus kenapa kayaknya niat banget—oh my, bahkan ada bunga-bungaannya?!"

"Emangnya kenapa?"

"Gue nggak pernah mandi pake bunga-bungaan."

"Makanya sekarang dipernahin."

Jenar mengerang. "Biru dan ada bunga-bungaannya..."

"Emang kenapa sih? Bagus buat kulit tau, Je."

"Kurang manly nggak sih?"

"Terus yang manly apa? Mandi pake oli?"

"Nggak gitu juga, Regina."

"Berendem deh sekarang, nanti airnya keburu dingin!"

"Mm-hm."

"Mau dibukain bajunya?"

Jenar mengangkat alis, tapi dia menyambut penawaran itu. "Yes, please?"

Rei beranjak mendekati Jenar dan berdiri di depannya. Jenar tau, bila dibandingkan dengan seseorang bertinggi setidaknya 180 sentimeter sepertinya, Rei itu tergolong petite. Tapi baru ketika mereka berdiri berhadapan dalam jarak dekat seperti sekarang, Jenar benar-benar menyadari itu.

Quite a turn-on, pikirnya, walau tentu saja dia mencoba menahan diri.

Rei membuka satu demi satu kancing kemeja hitam polos yang pacarnya kenakan, lalu terperangah selama sesaat.

"Kenapa?"

"Sejak kapan lo jadi makin toned kayak gini ya?"

"Selain skripsian atau ngerecokin lo, gue kan suka ke gym."

"Iya, sih. Cuma karena nggak pernah lihat jelas kayak sekarang, makanya kaget." Rei menurunkan kemeja Jenar ke bagian lengannya. "It's nice."

"Suka?"

Rei mengangguk. "Mm-hm."

"Tumben jujur banget."

"Kalau gue jawab nggak suka, kentara banget bohongnya." Rei menyahut sambil menarik kemeja Jenar hingga sepenuhnya terlepas, bikin Jenar shirtless sempurna. "Dan bentuk apresiasi. Hard work paid off."

"Hehe."

"Udah, sekarang buka sendiri celananya."

"Loh, nggak dibukain juga?!"

"Kan tadi gue cuma nawarin bukain baju doang." Rei meledek.

"Regina—"

"Nope, buka sendiri celananya, terus langsung berendem. Kalau airnya udah dingin sama busanya habis, nggak guna." Rei berkata seraya melangkah lebih dekat ke kubikel shower, terus dia balik badan untuk memunggungi Jenar.

"Lo ngapain?"

"Ngasih lo privasi biar lo bisa buka celana dengan tenang."

"Yailah."

"Jangan banyak protes, Je."

"Iya, Nyonya."

Tanpa Rei melihat, Jenar pun menanggalkan sisa pakaiannya sebelum dia melangkah dan masuk ke bathtub. Aroma bathbombnya enak dan busanya terasa lembut di kulit. Cukup membantu buat relaksasi.

Rei baru berbalik setelah dia mendengar suara Jenar masuk ke air.

"Look like a painting."

"Apanya?"

"Lo, dalam bathtub penuh busa yang ada bunga-bungaannya, ditambah scented candle." Rei tertawa sembari berjalan mendekat.

"Nggak mau ikutan juga?"

Rei menggeleng. "Nanti-nanti aja."

"Gue nggak akan ngapa-ngapain kalau lo nggak mau, sekiranya itu yang lo pikirin."

"It's not that, Je. Cuma emang gue mikirnya, nanti-nanti aja. Namanya staycation, ya ada me-time, ada we-time." Rei berujar. "You like the bubble?"

"Wangi."

"Gue anggap itu artinya lo suka." Rei tersenyum seraya mencolek busa yang kebetulan berada tepat di ujung hidung Jenar. "Gonna order us some snacks. Take your time here, okay?"

"I am gonna be lonely without you." Jenar merengek.

"Manja."

"Serius."

"Percaya." Rei merunduk, mencium puncak kepala Jenar sekilas, lalu katanya. "Enjoy your time here, okay?"

"Okay, Ma'am."

*

Saat Jenar keluar dari kamar mandi dengan badan dibalut kimono handuk yang disediakan hotel, dia disambut oleh Rei yang sudah ketiduran di atas kasur.

Cowok itu berdecak geli sambil melangkah mendekat, meraih ponsel yang tergeletak tidak jauh dari tangan Rei. Ada delivery makanan yang statusnya belum selesai, jadi jelas, cewek itu pasti ketiduran. Untungnya, mereka nggak perlu khawatir karena paymentnya sudah diselesaikan secara cashless dan nantinya, orang hotel yang bakal membawa makanan itu dari lobi menuju muka pintu kamar mereka.

"Regina?"

"Hn." Rei bergumam pendek, tapi nggak terbangun, jadi Jenar memutuskan membiarkannya tetap tidur. Dia menarik selimut hingga ke leher pacarnya, tau kalau temperatur pendingin udara saat ini tergolong rendah buat Rei. Setelahnya, baru Jenar membuka koper untuk mengambil baju ganti disusul mengeringkan rambutnya pakai handuk.

Delivery makanannya tiba sekitar setengah jam kemudian, tapi Rei masih belum bangun. Untuk mengisi waktu sambil menunggu cewek itu bangun, Jenar nonton tv. Ada kali satu jam kemudian, baru Rei bangun, dengan satu tangan Jenar absentmindedly memainkan rambutnya.

Cewek itu bergerak sedikit, bikin Jenar mengalihkan pandangan dari layar televisi.

"Hai."

"Udah berapa lama gue tidur?"

"Hampir satu jam setengah kali ya?"

"Kok nggak bangunin?" Rei baru sadar kalau dia sudah berada di bawah selimut, sementara tangan Jenar masih berada di rambutnya. Rei membiarkan saja, soalnya sentuhan tangan cowok itu membuatnya nyaman dan lebih relaks.

"Belum mau kemana-mana juga. Lagian flight kita pagi, jadi wajar kalau lo ngantuk."

"Wangi." Rei berkomentar.

"Apanya?"

"Lo wangi."

"Kan abis mandi."

"Oke, my turn ya. Gue mandi dulu."

"Bubble bath?" Jenar mengangkat alis.

Rei menggeleng. "Just a quick shower."

Jenar menukas jahil. "Mau ditemenin?"

"Nggak, deh. Gue orangnya gampang kedinginan. Kalau mau, abis mandi aja."

"Apanya yang abis mandi?"

"Apa pun yang lo pikirkan sekarang."

Jenar menyeringai. "Interesting."

Rei nggak menjawab, tapi dia bangkit dari kasur dan sehabis mengambil pakaian ganti dari dalam koper, cewek itu masuk ke kamar mandi, lalu keluar lagi nggak sampai dua puluh menit kemudian dengan rambut yang sudah setengah kering—all thanks to hairdryer yang memang tersedia di dalam kamar mandi.

"I like your sleepwear."

"It's peaches."

"I know, that's why I like it." Jenar tertawa, lalu mengulurkan tangannya. "Come here."

"Oh, wait, gue baru keinget sesuatu!" sebelum mendekati kasur tempat Jenar berada, Rei beralih membuka kopernya. Dia sempat mencari, merogoh ke bagian terdalam, baru berhenti ketika dia menemukan sebuah kotak berwarna gelap yang terkesan manly.

"Apaan?"

"I have something for you."

"Perasaan kita belum anniv deh."

"Emang bukan hadiah anniv." Rei duduk di tepi ranjang, tepat di dekat Jenar yang juga sudah duduk. "Hadiah sidang yang kemaren."

"Loh, kan udah."

"Bunga sama cokelat?"

Jenar mengangguk.

"Jujur, gue bawa bunga sama cokelat tuh disuruh Yuta sama Milan, katanya biar lo happy. Tapi sebagai hadiah, kayaknya agak gimana gitu, karena cokelat bisa kadaluarsa dan bunga bisa busuk." Rei mengedikkan bahu sambil membuka kotak di tangannya. "Jadi gue mikir, kayaknya gue mesti ngasih hadiah sendiri. Sesuatu yang emang pengen gue kasih, bukan karena disuruh orang."

"It's a..."

"Bracelet." Rei menyelesaikan ucapan Jenar. "Gue baru sadar, kalau lo tuh suka banget pake gelang. Malah kayaknya, lo lebih sering pake gelang daripada jam tangan. Ini merek lokal, karena kalau harus beliin lo Cartier, kayaknya ginjal gue bakal panik. Tapi barang mereka terkenal bagus dan tahan lama, kok."

Jenar kehabisan kata-kata. Bukan cuma karena secara nggak terduga, Rei menghadiahinya sesuatu, tapi juga karena nggak pernah ada yang betul-betul memperhatikan kebiasaannya yang itu sebelumnya. Malah kayaknya, belum ada yang ngasih Jenar gelang dengan alasan "soalnya gue sering lihat lo pakai gelang".

"Suka nggak?"

Pertanyaan Rei nggak dijawab Jenar dengan kata-kata, melainkan dengan menarik cewek itu ke dalam dekapannya.

Rei sempat kaget, tapi akhirnya dia menarik senyum, lega karena hadiahnya diterima dengan baik. Lengan cowok itu mengurungnya. Rasanya hangat. Safe place terbaik di dunia yang pernah dia miliki.

"Thankyou. Means a lot to me."

"Glad that you like it."

"Are you kidding me?" Jenar melepas pelukannya. "I love it."

"Happy to hear that."

"So now, can I return the favor?"

"Return what—"

"Can I have a kiss?"

Jeda sejenak, yang ada hanya tatap. Lantas, Rei mencondongkan tubuh untuk mempertemukan bibir mereka. Lambat dan lembut, hingga Jenar menarik Rei agar lebih merapat dan mulai melahapnya seperti orang lapar. Tanpa Rei sadari, dia menggeser duduknya sedemikian rupa hingga sejenak kemudian, dia telah berada di pangkuan Jenar.

Hampir sepenuhnya senyap, jika saja tak ada suara kecupan-kecupan yang mereka ciptakan. Udara dalam ruangan itu terasa menebal, memanas. Gerah yang tidak bisa dihalau bahkan oleh angin bersuhu rendah yang diembuskan pendingin udara. Tangan Jenar berpindah ke tepi wajah Rei, berhenti di rambutnya. Menggenggam erat. Tangannya yang lain turun, menyentuh payudara yang masih tersembunyi di balik pakaian.

Refleks, napas Rei tersentak.

Jenar langsung menghentikan ciumannya, memandang cewek di depannya. "Did I hurt you?"

Rei menggeleng. "It's just... it's been too long."

"I've missed you."

Lesung pipi Jenar kembali tampil. "Me too. Wanna try something new?"

"Apa?"

"You wanna lead?"

Rei ternganga sejenak, lalu wajahnya memerah. Dia menunduk, tampak ragu. "Gimana... caranya?"

"Oh, I bet you know."

"Secara teori, mungkin." Rei mengangkat bahu, tangannya memainkan bagian depan kaos Jenar. "Tapi secara praktek... kan belum pernah..."

"That's why, it will be exciting."

"Kalau nantinya failed gimana?"

Tawa Jenar pecah. "Failed... udah kayak ujian aja."

"Beneran!" Rei protes. "Kenapa malah ketawa?!"

"Kalaupun gagal, kayaknya nggak akan ada yang meninggal."

"Tapi nanti ada yang nggak happy."

"Lo?"

Rei menggeleng. "Lo."

"Love, you don't know the effect you have on me."

"..."

"Come on, just try."

"Kasih tau ya?"

"Kasih tau apa?"

"Apa yang bikin lo happy."

"Gue happy kalau lo happy." Jenar menatap Rei sambil tersenyum lebar. "Tell me, apa yang mau lo lakukan sekarang?"

"Hm..." Rei menatap Jenar, yang kini menempatkan tangan melingkari pinggangnya. Senyum cowok itu sangat cerah, terlihat innocent, yang sudah pasti berlawanan dengan apa yang mereka lakukan saat ini. "I want to... touch you."

"Di mana?"

Rei menempatkan telapak tangannya di dada Jenar. "Here."

"Then—" Jenar melepas kaosnya dalam satu gerakan tangkas, membuat bagian atas tubuhnya terekspos jelas. "—go ahead and touch me."

Rei melarikan jemarinya di dada dan perut Jenar. Mengikuti alur ototnya dengan jari telunjuk. "Kayak roti."

"What?" Jenar bertanya geli.

"Kayak roti kasurnya Sari Roti, yang gede itu."

"Dari semua hal, yang kepikiran sama lo sekarang tuh roti?"

Rei mengangguk. "It feels nice. Jadi kepingin punya. Tapi latihannya berat pasti ya?"

Jenar malah ngakak.

"Kok ketawa sih?!"

"We're about to do some sexual activities dan lo justru ngomongin roti... sama latihan buat bikin otot perut? Really, Regina?"

Rei merengut.

"Tapi gue jadi inget, waktu lo drunk di apartemen gue, ketika malam ulang tahunnya Yumna, lo nangis karena lo nggak punya abs dan gue punya."

"I did?!"

"Yes, lo bahkan hampir buka baju."

Rei melotot kaget, lalu merunduk dan menyembunyikan wajahnya di lekuk leher Jenar. Jenar tertawa lagi. "Hey, what are you doing?"

"Malu!"

"Kenapa? You were cute."

"BORO-BORO!!"

"Yaudah." Jenar mengusap punggung Rei dengan telapak tangan. "Jadi mau dilanjut apa nggak?"

"Oh ya." Rei kembali menegakkan punggung. "Sampai di mana kita tadi?"

"Now, what do you want to do to me next?"

"Cium."

Jenar menjawabnya dengan menarik salah satu tangan Rei, membuat tubuh cewek itu tersuruk ke depan. Jarak diantara bibir mereka hanya sesenti ketika Jenar berbisik dengan nada menggoda. "Then do it, Gorgeous."

Maka itu yang Rei lakukan. Mulanya, dia agak tidak yakin, sebab biasanya Jenar yang memegang kendali dalam aktivitas-aktivitas seperti ini. Namun lama-lama, instingnya mengambil alih dan dengan sendirinya, ciuman mereka berubah jadi lebih agresif.

Rei sedang mencium sudut rahang Jenar dan tengah turun ke leher cowok itu ketika Jenar tau-tau bertanya.

"Regina,"

"Mm-hm?"

"Do you wanna touch me down there?"

Rei menarik wajahnya dari leher Jenar, memandang Jenar ragu. "... boleh?"

"Masa nggak boleh?"

"... oke."

Tak butuh waktu lama bagi Jenar untuk menanggalkan sisa pakaiannya, membuatnya jadi yang pertama tanpa busana, sementara Rei masih berpakaian.

"Je."

"Yes, Love?"

"How do I touch you?"

"Just touch it."

"Like this?" Rei bertanya dengan raut wajah nggak yakin, sembari membawa tangannya pada bagian tubuh yang Jenar maksud. Sentuhannya begitu tiba-tiba, nggak Jenar antisipasi sama sekali. Dia tersentak, refleks menyandarkan kepalanya ke kepala ranjang diikuti lenguhan yang mirip bisik.

"Jesus—"

"Sori."

"No, don't say sorry. Keep going."

"Kayak tadi?"

"Iya."

Maka Rei kembali melakukannya... dan lagi... dan lagi...

Rei tahu efek apa yang bisa ditimbulkan oleh sentuhan pada alat vital laki-laki yang katanya sangat sensitif, tapi dia nggak pernah benar-benar menyaksikannya secara langsung... hingga sekarang. Salah satu tangan Jenar mencengkeram seprei pelapis kasur. Urat lengannya bertonjolan, seiring dengan genggamannya yang kian menguat. Wajah dan lehernya memerah, dengan keringat bermunculan di dahinya. Hela napasnya memberat.

Pemandangan itu membakar semangatnya, membuat Rei menggerakkan tangannya dengan cepat hingga tanpa aba-aba, salah satu tangan Jenar memegang pergelangan tangannya, membuatnya langsung berhenti.

"Something wrong?" Rei bertanya dengan suara dan tatapan polos, yang membuat Jenar merasa perlu memejamkan matanya sejenak.

"Damn, babe. You're really something else. Stop, I had enough."

"Gue salah ya?"

"No." Jenar menyergah cepat. "It's time for me to take over cause I don't wanna cum on your hands. Now, undress yourself."

Rei menuruti kata-kata Jenar.

Setelahnya, ciuman mereka kembali berlanjut, meski kini tangan Jenar tidak tinggal diam. Tangannya menyentuh sebanyak mungkin bagian kulit yang bisa dia sentuh, menjalar kemana-mana. Cowok itu menyentuh Rei seolah-olah dia punya banyak waktu, dengan penuh perhitungan, namun juga sarat kesabaran.

Kemudian tangannya berhenti di satu titik, disusul jarinya yang menekan masuk.

"Je—" Rei tersentak.

"I know,. I know." Jenar sighing. "It's been months since the last time, no wonder you're this tight. Gonna have to stretch you well, Gorgeous."

Rei tidak menjawab, hanya mampu melepas desah sembari memejamkan mata, satu tangannya berpegangan erat pada lengan Jenar.

"Je..."

"Iya, Sayang?"

"Kiss me, please?"

Jenar menjawabnya dengan melakukan apa yang Rei inginkan. Bibirnya memagut lagi bibir pacarnya, sementara dia menambahkan jari lainnya. Rei mengerang, yang tak sempat terdengar, sebab ciuman Jenar telah menelan seluruh suara yang dia hasilkan. Tidak butuh waktu lama bagi Jenar untuk menambahkan jari berikutnya, disusul sentuhan pada titik sensitif yang lain. Permainan jemarinya membuat tubuh Rei tersentak diserang oleh sensasi yang familiar.

Napas Rei terengah. "Jenar—"

Jenar mengalihkan kecupannya ke bawah telinga Rei, diikuti bisikan. "Let go for me, Love."

Kata-kata Jenar serupa komando yang membuat Rei melepaskan apa yang dia tahan sembari menggumamkan nama cowok itu berkali-kali, serupa mantra. Jenar mengelus pelan pahanya, lalu menciumnya lembut untuk membawanya kembali ke kenyataan, mengakhirinya dengan kecupan singkat di ujung hidung Rei yang masih terengah.

"Hai." Jenar menyapa.

Rei menelan saliva. "Baru sadar."

"Hm?"

"I've missed being this close to you."

"Me too." Jenar tertawa kecil sambil menyentuh sekilas bagian sensitif Rei, lalu ujarnya. "May I eat you out?"

Rei menggeleng. "No."

Jenar mengangkat alis. "Hm, kenapa?"

"Need you inside."

"Mm-hm." Jenar menyingkirkan helai rambut yang melekat di tepi wajah Rei dengan jari tangan kiri, sementara jari tangan kanannya masih menyentuh bagian sensitif Rei sambil lalu, membuatnya refleks mendesah. "But I wanna taste you."

"Please?"

"Curang banget kalau lo udah ngelihatin gue pake tatapan yang kayak gitu..."

"Kan bisa buat yang nanti-nanti."

"You greedy little thing." Jenar bergurau, kali ini seraya menyentuh tanda yang dia tinggalkan di leher Rei.

"Nggak boleh?"

"Boleh." Jenar menyahut. "Fine, let's save that for later. Now, let's get to the business."

Sehabis berkata begitu, Jenar beranjak dari kasur, membuat Rei langsung menggigil karena terpaan angin sejuk dari pendingin ruangan.

"Lo mau kemana—"

Jenar menjawabnya dengan menunjukkan sebentuk kemasan foil yang baru diambilnya dari dalam kotak yang tersimpan di koper. "Berhubung ada yang masih kuliah."

Rei mengembuskan napas. "Then quickly wrap it and come back here."

"Needy banget."

"It's been long."

Jenar setuju. Maka, nggak butuh waktu lama baginya untuk kembali ke ranjang. Cowok itu tengah memposisikan dirinya ketika dia tersadar, Rei justru menatap ke samping, menghindari melihatnya.

"Something wrong?"

"Nggak apa-apa."

"Lo buang muka."

Rei mengembuskan napas, menatap Jenar di mata. "It's too overwhelming."

"Apanya?"

"Your size."

Tawa Jenar langsung meledak. "Are you kidding me? You took it just fine before."

"I don't think I'll ever get used to it."

"Don't worry." Jenar mengusap pinggul Rei, seperti berusaha menenangkan. "I prepped you well."

Rei nggak menjawab, namun meringis ketika dia merasakan sesuatu mendesaknya di bawah sana.

Jenar mencium pipinya, lalu bibirnya, diikuti bisik. "Relax, Sayang."

"I am."

"What a tight fit."

"You're just big."

"Oke, gimana kalau kita berhenti saling menyalahkan dan—" kata-kata Jenar terputus ketika Rei menempatkan tangan di pinggangnya, memaksanya betul-betul masuk dalam sekali dorongan. "Jesus Christ, Regina—"

Napas Rei terengah, tapi dia berusaha bicara. "It's okay. I am okay."

"Sshhh... breathe, Regina."

"I am."

Sorot mata Jenar melembut, sembari berusaha menahan diri agar tidak meledak saat itu juga. "Ready to go?"

Rei mengangguk. "Can you do it fast and hard?"

Jenar tertawa sembari memulai ritmenya. "I prefer to be gentle."

"You treat me like I am about to break. I am not going to break."

"Yes, you're not going to break," Jenar meraih tangan Rei, menyelipkan jarinya dalam ruang kosong diantara jemari cewek itu. Bagian favoritnya, adalah menggenggam tangan Rei, bahkan dalam situasi seperti sekarang. "But I want to enjoy the moment. Want to feel you."

Rei hanya bisa mendesah karena Jenar telah mulai mempercepat ritmenya. Dagunya terangkat dan matanya terpejam. Bibirnya memerah, hasil dari ciuman agresif Jenar. Rambutnya tersebar di sekeliling bantal serupa halo.

There it is, my favorite view, Jenar membatin seraya terus bergerak.

Jenar baru berniat menggerakkan tangannya yang tak terkait dengan tangan Rei menuju titik sensitif di bagian bawah tubuh pacarnya ketika Rei lebih dulu membawa tangannya ke payudaranya sendiri, menyentuh di sana.

"Damn it, Regina—"

"Mm-hm?" Rei memaksa diri membuka mata, menatap sayu pada Jenar. Dia ingin bicara, tapi yang terlepas dari mulutnya hanya desah dan napas yang kian menderu.

"You're so hot."

"I—Jenar!" Rei refleks memekik ketika dia merasakan sentuhan lain di bawah sana, membuat pikirannya berkabut dan kata-katanya mulai tidak jelas.

Genggaman mereka pada tangan satu sama lain mengerat ketika keduanya mencapai puncak yang mereka kejar pada waktu yang berdekatan.

Kali ini, butuh waktu lebih lama bagi keduanya untuk betul-betul kembali ke dunia.

Napas Jenar masih terengah ketika dia mengubur wajahnya di lekuk leher Rei, membiarkan jemari Rei menyentuh rambut halus di belakang lehernya.

Hanya ada deru napas yang berangsur normal kembali selama sesaat, hingga Jenar mengangkat wajahnya seraya menahan bobot tubuhnya dengan kedua tangan. Matanya menatap pada Rei yang memandangnya lelah.

"How was it?"

"Great."

"I've missed you."

"Sama."

Jenar menunduk, mencium Rei lagi.

Setelahnya, dia menggeser tubuhnya, berbaring menyamping sembari menarik Rei dalam dekapannya. Kulit bersentuhan dengan kulit. Hangat yang sekaligus meleburkan batas-batas diantara mereka.

"Lo tuh wisudanya kapan sih?" Rei tiba-tiba bertanya.

"Dunno, kayaknya sekitar satu setengah bulan lagi. Kenapa?"

Rei ragu, lalu katanya. "Nggak apa-apa."

"Kenapa?" Jenar menyelidik sambil merunduk supaya dia bisa menatap Rei.

"Nggak apa-apa."

"Regina,"

"Cuma pengen tau aja, rencana lo habis wisuda ngapain..."

"Hm, mungkin mulai kerja? Masuk ke fase hidup selanjutnya."

"Berarti... mau pindah ya?"

"..."

"Maksud gue, nggak mungkin kan lo tetap stay di dekat kampus?"

"Ah, soal itu." Jenar tersenyum penuh pengertian. "Gue nggak akan ninggalin lo, Regina. Jangan khawatir."

"Nggak khawatir." Rei membantah.

"Lo khawatir. Ngaku aja!"

Rei membuang napas, tanpa sadar, jarinya memainkan rantai kalung yang melingkari leher Jenar. Hanya rantainya saja, tanpa liontin. "... agak takut dikit. Soalnya gue nggak pernah... punya hubungan jarak jauh."

"I am not going anywhere, Regina." Telapak tangan Jenar mengusap punggung Rei yang telanjang. "Gue kan udah bilang, gue nggak akan pernah biarin lo hidup tenang. Lagian, kemungkinan besar gue bakal tetap di Jakarta kok."

"Jakarta tuh gede."

"I'll still be one call away for you." Jenar terkekeh. "Anggap aja motivasi buat rajin belajar, biar cepet lulus, terus kita nikah."

Rei terbatuk. "Nikah banget?"

"Emang mau nikah sama siapa kalau bukan sama gue?"

"Nggak tau. But still—"

"Cuma bercanda." Jenar menenangkan. "Gue nggak akan memaksa atau mendesak lo. Gue bakal nikahin lo ketika lo memang siap dan memang mau. Sampai hari itu, gue bakal tetap dekat sama lo. Jadi jangan khawatir."

Dada Rei sesak, tapi bukan oleh sesuatu yang nggak menyenangkan.

Kebalikannya, rasanya justru seperti ada bunga tengah tumbuh di dalam paru-parunya.

"Udah bisa bangun?" Jenar mendadak bertanya.

"Kenapa?"

"Kita kan harus mandi lagi."

"Oh ya..."

"Mau bareng nggak?"

"..."

Jenar menyeringai. "Gue anggap itu jawaban iya." 




selingan - kelar 

***

a/n: 

selingan ini disponsori oleh preview jaehyun yang ternyata masih gondrong. 

bonus gelang. 

bonus gondrong. 

salam capeq. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top