epilog

"Jenar?"

Ada suara seseorang yang terdengar memanggil sejenak sebelum Jenar membuka mata. Hidungnya berkerut oleh serbuan aroma yang tajam dan menggelitik. Dia mengernyit, pelan-pelan membuka matanya dan mengerjap beberapa kali.

"Jenar?"

Suara itu berulang lagi dan kali ini, Jenar bisa mengenali kalau suara itu milik Hyena.

"Jenar?"

"... ya." Jenar menjawab parau, hampir tidak terdengar. Dia mengerang lirih nyaris tanpa suara, kemudian memaksa dirinya bangkit.

Butuh beberapa lama bagi Jenar untuk menyapukan pandangan ke sekeliling, dan dia tersadar jika saat itu, dia sedang berada di sebuah kamar rumah sakit. Temboknya pucat. Ranjang perawatannya dilapisi seprei putih. Ada gorden biru muda yang menutupi jendela. Bau obat amat kental mewarnai udara.

"Kenapa... gue di sini?"

Hyena yang berdiri di hadapannya tampak memucat. Perempuan itu menelan saliva. Dia seperti lagi memutar otak mencari kata-kata yang pas untuk diucapkan pada adik laki-lakinya, tetapi hasilnya nihil. Sejenak, hanya ada senyap. Jenar memijat batang hidungnya, berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi.

"Where's Regina?"

"Itu..."

"Dia tidur lagi?"

"Jenar," Hyena menarik napas, lantas lagi-lagi meneguk ludah. Dia lalu mengambil tempat untuk duduk di samping Jenar. Meraih tangan Jenar dan menggenggamnya. "Soal Regina—"

"Kenapa?" Jenar bertanya, terkesan memburu. "Kak, jangan bikin gue takut! She's okay, right? Gue inget gue pergi ke florist bareng Arga dan beli bunga untuk dia—"

"She's gone."

"WHAT?!" Jenar hampir nggak bisa mempercayai pendengarannya.

"She's gone. They failed to save her."

Jenar terperangah, menatap Hyena dengan pandangan kosong selama sesaat. Kemudian, tawanya pecah. Tawa yang keras, tetapi justru terkesan sedih. Melihat reaksi Jenar yang seperti itu, Hyena nggak bisa lagi menahan dukanya. Air matanya jatuh mengalir di pipinya.

"Je—"

"Ini prank macam apa sih sebenarnya? Okay. You got me. Sekarang, kasih tau gue, istri gue di mana?"

"She's gone, Jenar."

Jenar berhenti tertawa, sepenuhnya membeku. Perlahan, dia menggeleng. "Nggak. Nggak mungkin."

"Lo jadi hysterical setelah Dokter Natya keluar dari ruangan dan ngasih kabar buruk itu ke kita semua. They were trying to rush her to OR, tapi udah terlambat. Mereka kehabisan waktu. Lo terlalu histeris, to the point mereka harus ngasih lo suntikan obat penenang dan—" Hyena menelan saliva lagi, terlihat jelas dia sedang mengumpulkan kemampuan untuk menyambung ucapannya. "—dan lo baru bangun. Sekarang."

Kata-kata Hyena itu diucapkan dengan suara pelan, namun terasa seperti dentuman yang memporak-porandakan dunia Jenar.

Dia tepekur, lantas kembali menggeleng berkali-kali.

"Nggak! Nggak mungkin!"

"Jenar," Hyena mengusap pundak Jenar sementara air matanya mengalir makin deras. "Gue tau, ini semua sulit buat lo. I'll always be with you no matter what, nemenin lo melewati semuanya. Dan—"

"Nggak." Jenar menggigit bibirnya keras-keras hingga terasa perih. "Nggak mungkin!"

"..."

"Gue baru aja memegang tangannya. Gue pergi beliin dia bunga. Gue... gue..." cara Hyena menatapnya membuat Jenar tidak kuasa meneruskan kata-katanya.

Tangisnya pecah. Keras dan deras. Air mata membanjiri wajahnya tanpa bisa dia tahan, apalagi dia kendalikan. Kedua tangannya gemetar. Tangan yang seingatnya tadi telah menggenggam tangan Rei. Jari manisnya yang masih dilingkari oleh cincin yang pertama kali perempuan itu pasangkan untuknya sewaktu mereka berjanji di depan altar.

Genggaman tangannya pada tangan Rei terlepas saat mereka memaksanya keluar dari ruangan, membuat Rei hanya sendirian dengan darah yang berada di mana-mana sementara maut mengintainya.

Apakah itu kali terakhir Jenar menggenggam tangannya di saat perempuan itu masih bernyawa?

Nggak mungkin, Jenar masih menyergah dalam hati, dengan perasaan yang pilu sebab seiring dengan detik yang berlalu, dia tersadar bahwa kemungkinan kalau semua ini hanya kebohongan jadi semakin kecil.

Apa perempuan itu benar-benar pergi?

Tapi kenapa?

Kenapa dia pergi meninggalkan Jenar?

Apakah Jenar kurang baik mencintainya sehingga pada akhirnya dia tidak bisa bertahan?

Mungkin iya.

Tapi bagaimana dengannya?

Selama bertahun-tahun ini, Jenar telah terbiasa dengan kehadiran Rei. Terlalu terbiasa. Perempuan itu ada di mana-mana. Jejak hangatnya di tempat tidur mereka. Wangi parfumnya yang menyapa Jenar setiap kali Jenar menariknya dalam dekapan. Botol-botol produk perawatan tubuhnya yang ada di kamar mandi. Sentuhannya pada gelas-gelas teh di dapur. Bahasa cintanya dalam kotak-kotak bekal makan siang yang selalu dia buatkan untuk Jenar hampir saban pagi.

Rei ada di mana-mana.

Bagaimana bisa Hyena mengabarkan padanya kalau perempuan itu telah tiada?

"Je, gue tau ini berat banget. Bukan hanya untuk lo, tapi untuk kita semua. Percaya sama gue, lo nggak sendiri." Hyena menatap adik laki-lakinya dengan mata yang basah. "But you have to be strong. Demi Rei. Buat Arga. Buat Ale. Please? She needs you to help her rest well."

Jenar hanya menggeleng dengan air mata yang mengalir serupa air bah di pipinya. Dia ingin menjerit, tapi nggak bisa. Apa yang terlontar darinya hanyalah duka dan sakit hati yang tanpa suara.

Hyena ikut tersedu. Dia meraih Jenar ke dalam pelukannya. Lelaki itu menangis di bahunya, membasahi bajunya. Diantara isaknya, Jenar masih berkali-kali membisikkan rasa tidak percaya.

Namun, akankah itu mengubah apa yang sudah terjadi?

*

"Jenar?"

Panggilan itu diikuti oleh suara ketukan berkali-kali.

"Jenar?"

Ketukannya jauh lebih keras.

"Jenar?!"

Jenar tersentak, setengah gelagapan, dia membuka matanya. Jantungnya berdegup kencang dan dia bisa merasakan denyut nadi di lehernya karena derasnya darah yang mengalir. Napasnya terengah. Dia baru sadar, dahinya berpeluh, meski embus udara dingin dari ac mobil tengah menerpanya. Dia menelan saliva, merasakan kerongkongannya seakan-akan sedang dijejali oleh segenggam batu.

Lelaki itu mengedarkan pandang ke sekelilingnya, menyadari kalau dia sedang berada di balik roda kemudi mobilnya. Ada foto Wuje bersama Rei di dashboard. Mesin mobil tengah menyala.

"Jenar?! Oy! Buka pintunya!"

Refleks, Jenar menoleh ke luar kaca mobil di samping tempat duduknya dan mendapati Hyena sedang menggedor-gedor di sana. Kakak perempuannya itu terlihat jengkel. Jenar mengerjap berkali-kali, masih dilanda kebingungan juga sisa ketakutan sewaktu dia membuka kunci mobil. Pintu di samping tempat duduknya mengayun membuka tak lama kemudian.

"Edan, diminta nunggu sebentar aja sampe ketiduran!!" Hyena geleng-geleng kepala, terlihat sudah siap mengomel. Tapi wajah Jenar yang pucat membuatnya mengurungkan niat. "Lo kenapa deh?"

Jenar menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan-lahan. Dia mengulanginya beberapa kali, yang membuat Hyena memiringkan wajah sebelum berinisiatif mengeluarkan sebotol air mineral yang belum dibuka dari salah satu kantung plastik yang dia bawa. Usai memastikan segel tutupnya sudah terbuka, dia mengulurkannya pada Jenar.

"Minum dulu."

Jenar mengangguk, menyambut botol air mineral yang diulurkan Hyena, terus menenggaknya banyak-banyak.

Sehabis minum, Jenar sudah tampak lebih tenang, walau wajahnya masih saja pias.

"Thanks," Jenar berujar pada kakaknya.

"Lo kenapa sih?"

"Kak,"

"Apa?"

"Regina... gimana?"

"Gimana apanya?! Bukannya tadi lo yang ngajak gue belanja-belanja buat bini lo?!"

"Dia baik-baik aja kan?"

"Of course! Dia kan keluar dari ICU pagi ini..."

Jenar mengembuskan napas lega sembari menyandarkan punggung dan kepalanya ke sandaran jok mobil. "Praise The Lord—"

"Lo kenapa deh?"

"Eh ya," Jenar baru terpikirkan bahwa bisa saja, ini halusinasinya. Makanya dia buru-buru menegakkan punggung. "Kak, coba tabok gue!"

"Hah?"

"Tabok gue, Kak! Yang kenceng!"

"Lo kenapa deh?!"

"Tabok, Kak!!"

"Oke!" Hyena pun menampar pipi Jenar sekeras yang dia bisa. Bunyinya cukup kencang, dan bikin Hyena meringis. Jenar tercengang, terus melotot kesal pada kakaknya.

"NGGAK SEGITUNYA JUGA KALI NAMPARNYA!!"

"Lah, katanya yang kenceng?!"

"KENCENG YA KENCENG, TAPI BARUSAN ITU TUH KAYAK LO ADA DENDAM PRIBADI AMA GUE!!" Jenar mendesis, walau ujung-ujungnya, entah bagaimana dia merasa lebih lapang dari sebelumnya. "Tapi untung deh, karena barusan itu sakit banget. Berarti yang ini bukan mimpi..."

"Pipi lo merah, by the way."

"Jelas! Lo naboknya pake perasaan gitu!" Jenar menyahut sewot.

"Lagian, lo tiba-tiba minta ditabok yang kenceng, mana pake maksa pula! Yaudah, gue turutin!"

"Huf."

"Tapi emang kenapa sih?"

"Tadi mimpi buruk."

"Mimpi buruk?"

"Mimpi Regina kenapa-napa."

"Oh... pantesan sampai keringat dingin." Hyena manggut-manggut. "Mungkin lo terlalu stress dan kecapekan selama empat hari ini. Jelas kurang tidur, karena lo sampai-sampai ketiduran di dalam mobil. Padahal gue masuk ke dalam juga nggak yang lama-lama banget."

Jenar hanya berwajah kecut mendengar ucapan Hyena. Oh ya, itu jelas saja. Sejak Rei melahirkan anak kedua mereka sampai saat itu, dia belum sekalipun tidur lebih dari tiga jam setiap harinya. Dia juga belum pernah meninggalkan rumah sakit. Keluarganya sengaja menyewa dua kamar perawatan—di luar ruang ICU yang ditempati Rei. Satu untuk anak mereka yang baru lahir, dan satu lainnya untuk tempat istirahat anggota keluarga yang menginap. Sekuat-kuatnya fisik Jenar, dia hanya manusia biasa yang punya batas lelah.

Tapi Jenar nggak menyesalinya sama sekali. Lagipula, sekalipun dia menyempatkan diri untuk pulang ke rumah, dia tidak akan bisa beristirahat dengan tenang selama dia belum bisa memastikan kalau Rei sudah benar-benar baik-baik saja.

"Oke, daripada nanti kita kenapa-napa, mending gue yang nyetir. Keluar."

Jenar menurut, sebab memang dia terlalu penat untuk lanjut menyetir buat balik ke rumah sakit. Dia beranjak dari balik roda kemudi, lalu pindah ke passenger seat di samping pengemudi. Begitu Jenar membuka pintu mobil, jok mobil telah dipenuhi oleh kantung-kantung plastik, sementara Hyena tampak membetulkan posisi rear-view mirror.

Jenar memindahkan semua kantung plastik ke dashboard biar dia bisa duduk.

"Apa aja sih yang dibeli?"

"Macarons almond-free buat Arga. Popmie buat istri lo—"

"Popmie?! Perasaan dia nggak bilang nitip Popmie..."

"Bilangnya ke gue. Dia lagi pengen makan Popmie katanya, dan setelah gue tanyain ke Dokter Natya, nggak apa-apa, asal nggak sering atau kebanyakan."

"Dia baru keluar dari ruang ICU hari ini, for God's sake!"

"Nah kan. Makanya dia bilang ke gue, bukan ke lo. Yaudah sih, cuma satu kali ini doang. Kasian, tadi pas bilang ke gue, dia bisik-bisik dan mukanya melas banget. Mungkin takut kalau ngomong ke lo nggak bakal diizinin."

"Hadeh."

"Terus apa lagi tuh—oh, kue-kue sama camilan buat semua yang dateng jagain atau nengok Rei. Beberapa susu beruang buat lo—"

"Buat gue?"

"Rei yang minta."

"Ck."

"Sama nipple cream buat istri lo."

Ah ya, untuk yang terakhir itu, memang Jenar yang berinisiatif membelinya duluan. Dan itu sah-sah saja, sebab untuk membeli produk tersebut nggak memerlukan resep dokter. Berkaca pada pengalaman mereka ketika baru punya Wuje dulu, Jenar berjaga-jaga, kalau-kalau Rei kembali membutuhkan nipple cream tersebut.

"Tapi tadi lo mimpi apa sih?" tanya Hyena tahu-tahu memecah keheningan dalam mobil yang sedang melaju menuju rumah sakit.

"Mimpi buruk."

"Hm?"

Jenar menelan saliva, menjawab dengan nada pahit. "Mimpi kalau Regina nggak ada."

"Oh." Hyena manggut-manggut. "Jelas, lo kecapekan. Kalau orang kecapekan, emang yang ada di bawah sadar suka nggak jelas dan numpuk-numpuk. Jadi kebawa sampai mimpi."

"Gue takut banget dia nggak ada. Dari dulu."

"..."

"Mulainya sih sejak kecelakaan yang waktu dia masih kuliah itu. Di situ gue kayak tersadarkan, kalau hidup manusia itu rapuh banget. Hari ini, bisa aja segalanya baik-baik aja. Tapi nggak tau besok. Boro-boro besok, kita aja nggak bisa tau apa yang bakal terjadi lima menit kemudian." Jenar mengembuskan napas. "Gue selalu takut dia kenapa-napa. Takut dia sakit. Takut dia nggak bahagia. Takut dia ninggalin gue."

"Takut itu wajar, tapi jangan berlebihan, Je."

"Ya, ya, gue tau." Jenar menyandarkan kepala ke sandaran jok. Dia memejamkan mata, terus membuang napas ke udara. "Cuma... ya, kadang gue suka berandai-andai, gue pengen tau aja, kapan saat terakhir gue bisa sama-sama dengan dia. Kapan saat terakhir gue bisa pegang tangannya, peluk dia. So I can make the best of it. Benar-benar ngasih yang terbaik sampai saat terakhir."

"Nggak lah. Yang ada lo bakal resah terus, karena mau gimana pun juga, nggak ada orang yang bisa mempersiapkan diri untuk sebuah kehilangan. Sekalipun kita udah berekspektasi atau udah menebak kita akan kehilangan, tetap aja, sewaktu kita benar-benar kehilangan, kita tetap 'shock' dan sedih." Hyena membantah. "Lagian, bukannya lebih baik gitu? Dengan nggak tau, lo bisa memahami setiap momen bisa aja jadi momen terakhir. So you can make the best out of every moment. Nggak cuma yang terakhir."

"... well, lo benar juga."

"Kapan coba Hyena pernah salah?"

"Deileh, mulai deh songongnya!" Jenar mencibir.

"Dan tentang lo takut dia nggak bahagia, gue rasa, nggak perlu kok, Je. Gini-gini, gue kan perempuan juga kayak istri lo. She's happy, at least, sampai sekarang. Dalam kondisi baru keluar dari ruang ICU pun, dia masih peduli sama lo dengan nitip susu beruang ke gue. Dia jelas khawatir karena katanya, lo kelihatan kurang tidur banget. I am sure, kalau keadaannya dibalik, lo pun akan begitu."

"..."

"Hidup ini nggak sempurna. Kita pun sebagai manusia pasti banyak kurangnya. Kayak gimana kalian berantem di awal ada Arga aja. Dia lagi sensitif. Ego lo kepalang gede. But both of you managed to work it out in the end, right? Rumah tangga emang begitu. Nggak akan selalu isinya rainbow and sunshine. Tapi sesekali hujan atau mendung juga bukan berarti pasangan lo nggak bahagia sama lo. Namanya juga hidup." Hyena mengedikkan bahu dengan mata lurus menatap jalan. "Tapi selama kalian saling sayang, tetap setia dan mau kerjasama buat hadapi masalah hidup, gue yakin, akan selalu ada alasan buat kalian untuk happy, even di masa-masa yang sulit atau berat sekalipun."

"Untuk ukuran orang yang belum nikah, lo nih tau banyak juga ya?"

"I am a coach, darling. And coach doesn't play."

*

Jella-Tigra dan Dhaka-Juno adalah orang-orang pertama yang membesuk Rei begitu dia dipindahkan dari ruang ICU ke ruang perawatan biasa.

Rei tahu, Jella-Tigra sudah beberapa kali datang ke rumah sakit, bahkan sejak dia masih berada di dalam ruang bersalin. Tapi pihak rumah sakit membatasi kunjungan untuk pasien ICU, yang diperuntukkan hanya untuk anggota keluarga inti. Selama Rei berada di ruang ICU, yang stand-by berjaga di sampingnya hanya Jenar dan yang pernah membesuknya cuma Wuje—itu juga karena Wuje bawel banget dan sudah merengek berkali-kali karena kepingin ketemu mamanya.

Jenar masih belum balik lagi ke rumah sakit ketika mereka tiba. Jella membawakannya buket bunga peony besar yang didominasi warna merah muda, juga rangkaian bunga yang jauh lebih kecil.

"Yang kecil ini buat Alessia."

Jella berkata seraya memasangkan karangan bunga berbentuk lingkaran tersebut pada salah satu bagian crib tempat bayi itu terbaring. Dia lagi terlelap setelah menyusu untuk pertama kalinya pada ibunya hari ini. Ramainya orang yang datang tampaknya nggak mengganggu tidurnya.

Berbeda dari Jella dan Tigra yang datang tanpa Cherry, Dhaka dan Juno mengajak serta anak-anak mereka. Anak Dhaka yang sulung—yang lebih sering dipanggil si Kakak berumur sekitar tiga setengah tahun, sedangkan adiknya hanya setahun di bawahnya. Untuk ukuran bocah-bocah seumurnya, mereka anteng dan nurut banget sama Juno. Keduanya sama-sama laki-laki, jadi mereka jelas curious melihat Alessia dan cribnya yang penuh warna merah muda.

Nggak seperti Jella yang bawa buket bunga bersematkan kartu ucapan manis, Juno membawa bungkusan kotak sterefoam yang dia letakkan di atas nakas secara mandiri.

"... itu apa?" Rei bertanya penasaran.

"Jangan tegang, Rei. Isinya bukan bom kok." Juno tergelak. "Itu bahan-bahan untuk bikin miyeokguk."

"Mi—what?" Rei mengerjap heran.

"Sup rumput laut ala Korea." Dhaka yang akhirnya memberitahu, seakan-akan dia adalah penerjemah pribadi Juno. "Juno suka banget nonton drama Korea—"

"Loh, emangnya kamu nggak?"

"Kalau aku, sukanya nemenin kamu nonton drama Korea." Dhaka nyengir, lalu meneruskan. "Sup rumput laut ini sering dimakan sama orang-orang Korea kalau lagi ulang tahun, atau buat ibu yang baru melahirkan. Apa ya, mungkin kalau di sini sama aja kayak sayur bening pakai daun katuk? Gitu."

"Oh..." Rei manggut-manggut.

"Di dalamnya ada rumput laut kering, beef brisket, sesame oil sama fish sauce. Oh ya, ada bawang putih juga! Cooking directionnya udah gue tulis lengkap ya. Gampang banget, suruh aja si Jenar yang masakkin kalau lo lagi mager." Juno mulai nyerocos. "Brisketnya masih frozen banget, jadi harusnya aman selama beberapa jam ke depan, cuma kalau bisa sih, segera dikulkasin. Suruh Jenar balik dulu taro brisketnya di freezer. Ini bagus banget buat orang yang baru lahiran, Rei."

"Oh iya, makasih ya, Juno."

"Kalau Jenar bingung, suruh chat suami gue aja. Dia udah ahli banget bikin sup karena tiga tahun berturut-turut bikinin gue sup biar lancar nyusuin anak-anaknya."

Rei tersenyum kalem pada Dhaka. "A gentleman, I see."

"Hehe." Dhaka nyengir malu-malu.

"By the way, lo nggak ada keluhan apa-apa lagi kan? Maksud gue, terkait recovery ini." Jellar tahu-tahu angkat bicara.

"Untuk hari ini, nggak. Cuma lemes doang. Emang kenapa?"

"Kemarin-kemarin, situasinya tuh sempat gawat banget." Tigra yang menjawab. "Kayak, semua orang yang ada di ruang tunggu pada tegang. Jenar stress banget, karena dia nggak diizinin stay di dalam ruangan—"

"Oh..." Rei terperangah.

"Lo nggak ingat?"

"Samar-samar aja. Gue cuma ngerasa dia nggak pegang tangan gue lagi, tapi gue nggak tau kalau dia dipaksa keluar."

"Dia panik." Jella menerangkan. "Kondisi lo empat hari lalu sama sekarang beda jauh banget. Makanya, pengen mastiin aja kalau lo udah bener-bener baik-baik aja dan nggak ada keluhan yang gimana-gimana banget."

"Perhatian banget deh..." Rei meledek.

"Ye, yang takut lo mati tuh bukan Jenar doang ya! Gue juga!" Jella mendengus.

"Don't we all?" Dhaka menukas.

Rei bungkam sejenak, menatap pada teman-temannya bergantian, sebelum akhirnya menarik senyum. "Makasih ya, semuanya, karena udah sepeduli itu sama gue. Not sure if I deserve it—"

"Of course, you deserve it."

"Still, gue nggak expect orang-orang bakal segitu baiknya sama gue. Gue sangat menghargai itu. Makasih banyak." Rei berujar tulus.

"Eh ya, tadi di depan pintu rumah sakit, gue sempat papasan sama nyokap lo." Dhaka mencetus. "Agak kaget sih..."

"Mau tau yang lebih ngagetin nggak?" Tigra menyela jahil.

"Apa?"

Jella yang menyahut. "Waktu Rei lahiran, bokap-nyokapnya ada di ruang tunggu."

"Oh ya?" Dhaka mengerjap, terus berpaling ke Rei. "Look, gue udah dengar cerita lo soal bokap lo yang sakit—cuma gue nggak expect kalau—"

"Gue yang minta mereka dateng dan surprisingly, mereka dateng." Rei tertawa kecil.

"You asked them to?"

Rei mengangguk. "Mm-hm."

"I thought you hate them..."

"I did. Tapi sekarang nggak lagi, Dhaka." Rei menarik senyum yang terkesan hangat. "Lagipula, soal gimana bokap gue ke gue dulu... well... sedikit-banyak, itu karena salah paham..."

"Wah, lo berhutang banyak cerita ke gue!"

"Hehe."

"Bunda, Bunda, Bunda!" si Kakak mendadak berseru memanggil, bikin Juno menghampiri mereka yang masih berdiri di dekat cribnya Alessia.

"Iya, Kak?"

"Dedeknya bangun!"

"Oh ya? Aduh, pasti gara-gara kita berisik ya..."

"Nggak kok." Rei membalas kalem. "Bob—Alessia emang suka gitu. Dia lebih anteng dari abangnya, jadi sering banget kalau bangun cuma diem aja dan nggak nangis."

"Whoa..." anak bungsunya Dhaka kelihatan takjub. Bocah itu agak memanjat tepi crib agar bisa melihat bayi yang ada di dalamnya lebih jelas. Wajar, soalnya kedua anak Dhaka laki-laki. Tentu, mereka jarang melihat bayi perempuan.

"Cantik ya, Dek?" Juno berujar pada anak bungsunya.

Si Adek mengangguk. "Cantik, kayak Buna."

"Oh ya?"

"Iya!"

Perhatian mereka semua teralihkan ketika pintu ruangan terbuka. Jenar muncul di sana, diikuti oleh Wuje yang sepertinya baru pulang sekolah.

"Wuihhhh!! Rame banget!!" Wuje berseru dengan mata terbelalak. "Ini pada dateng mau ketemu Mama apa mau ketemu Boba?!"

"Mama." Jenar menyahut sebelum sempat ada yang bicara.

Selama beberapa hari ini, setelah Jenar perhatikan, kayaknya Wuje nggak terlalu senang dengan kehadiran adik barunya. Penyebab utamanya, kalau menurut tebakan Jenar, adalah karena Wuje berpikir alasan kenapa Rei sakit adalah gara-gara adik barunya. Di malam pertama Rei masuk ruang ICU, Jenar sempat mendengar Wuje—yang lagi ngambek setelah keinginannya "tidur sama Mama" nggak dipenuhi—bicara ke Boba yang lagi berada dalam crib.

"Halo."

"..."

"Kok kamu diem aja sih?"

"..."

"Kamu diem tapi melotot ke aku! Kalau kata Mama, itu nggak sopan!"

"..."

"Eh, eh,"

"..."

"Kamu yang namanya Boba ya?!"

"..."

"Kamu yang bikin Mama aku sakit ya?!"

"..."

"Mama aku sakit karena kamu tau!!"

Untung saja, si bayi baru nggak sampai menangis. Dia hanya memandang Wuje penuh tanya dengan sepasang matanya yang besar dan bening. Sebelum kembali ke ruang ICU malam itu, Jenar mesti berkali-kali meminta Hyena agar tidak melepaskan pengawasannya dari Wuje. Namanya anak kecil, kadang kan mereka nggak paham apa yang baik dan nggak baik dilakukan ke bayi berumur satu hari.

Di luar itu, kayaknya, Wuje juga cemburu karena perhatian orang-orang yang tadinya selalu tertuju padanya mendadak jadi terpecah. Anak itu cukup dekat dengan ayahnya Jenar, juga ayahnya Rei. Dan kedua kakek tersebut lebih sering sibuk menggendong Boba beberapa hari ini.

Makanya, Jenar cepat menjawab pertanyaan Wuje sebelum ada yang bilang, "Mau ketemu adik bayi baru dong!"

Bisa-bisa, Wuje makin cemburu buta.

"Oh..." Wuje manggut-manggut, lalu melangkah menuju kursi beroda yang ada di pojok ruangan. Dia mendorongnya ke samping tempat tidur Rei, kemudian naik ke atasnya. "Mama, sini."

"Hm?" Rei mengangkat alis sembari mencondongkan badannya ke arah Wuje.

Wuje menempatkan telapak tangannya di dahi Rei. "Mama nggak panas."

"Oh..." Rei tertawa, baru paham maksud Wuje. "Iya. Mama udah nggak sakit kok."

"Mama udah makan?"

"Udah, Sayang. Arga udah makan?"

"Udah. Tadi Om Jaka jemput aku, terus ajak aku makan. Terus baru aku dianterin ke sini."

"Oh, bukan Papa yang jemput?"

"Tadi di apotek lumayan antre." Jenar yang sedang memisahkan kantung-kantung plastik menjawab. "Takut telat jemput Wuje. Tahu sendiri, anaknya gampang diculik. Jadi aku minta tolong Jaka, karena kalau pun Wuje naik jemputan ke rumah, ya di rumah nggak ada orang kan."

"Oh ya, Cherish gimana?" Rei berpaling ke Tigra dan Jella.

"Di rumah ada bokap sama nyokap gue." Tigra membalas.

"Ini macarons buat kamu." Jenar memberikan sekotak besar macarons, terus menyambung sewaktu dilihatnya si Kakak sama si Adek kompak mencuri pandang dengan tatapan penuh harap. Yah, namanya juga anak kecil. "Tapi makannya bagi-bagi ya sama temen-temennya."

"Iya, Papa. Tapi aku nggak mau kasih Boba."

"Boba emang belum waktunya makan yang kayak gitu." Jenar berdecak.

"Hehe."

*

Jella-Tigra dan Dhaka-Juno beserta kedua anak mereka baru pamit pulang sekitar satu jam kemudian, setelah mereka puas mengobrol.

Banyaknya sih yang dibicarakan nggak jauh-jauh dari anak-anak, walau mereka juga sempat ngomongin Rossa dan Jaka yang sulit dipercaya, sudah hidup bersama sebagai suami-istri, juga Wirya yang makin berani posting bersama cewek yang lagi dekat dengannya di akun medsosnya. Jenar hampir saja keceplosan bilang kalau Wirya lagi mau melamar Ryza, tapi untungnya, dia bisa menahan diri.

Wuje sendiri telah terlelap di sofa dalam kondisi masih memakai seragam sekolahnya. Sepertinya dia kenyang habis makan macarons, juga lelah karena sempat bermain dengan seru sama anak-anaknya Dhaka. Jenar memperbaiki posisi tidur anak sulungnya agar nggak sakit leher, setelah itu beralih mengecek barang-barang yang tadi dia simpan sementara di laci nakas.

"Eh ya, ada frozen brisket di dalam kotak sterofoamnya. Harus ditaro di freezer di rumah atau bisa ditaro di freezer kulkas sini ya?" Rei bertanya.

"Brisket?"

"Itu bahan-bahan untuk bikin sup rumput ala Korea. Juno sama Dhaka yang kasih. Katanya bagus untuk recovery pasca melahirkan."

"Oh..." Jenar manggut-manggut seraya membuka tutup kotak sterofoam, terus memeriksa isinya. "Bisa masuk kulkas sini aja dulu. Freezernya lumayan luas dan dinginnya oke kok."

"Oke—eh—" Rei tersentak ketika dia melihat Jenar mengeluarkan Popmie dari kantung. "—itu—"

"Titipan kamu. Aku tau."

"Satu kali ini doang kok, Je!" Rei buru-buru membalas. "Kata Dokter Natya, boleh. Asal nggak banyak-banyak. Aku lagi pengen banget—"

"Iya. Aku tau. Mau diseduh sekarang?"

"..."

"Kalau mau, aku seduhin."

"... mau."

"Oke. Tunggu bentar."

Jenar membuka kemasan Popmie tersebut, lalu menuangkan bumbu dan segala macamnya. Dia mengisikan air panas dari dispenser ke dalam cup sebelum menutupnya pakai penutup kertas yang diberatkan menggunakan garpu plastik. Benar-benar nggak sehat. Tapi yah, kalau kata Dokter Natya nggak apa-apa, Jenar menuruti saja.

"Aku kira kamu bakal ngomel."

"Tadinya mau ngomel, kayak, masak udah makan mi instan aja? Mana dalam cup Popmie. Tapi yaudah."

"Yaudah?"

"Nggak apa-apa. Kalau cuma sekali." Sambil menunggu Popmienya terseduh, Jenar memisahkan kantung plastik berukuran kecil dan meletakkannya di atas nakas yang sudah bersih dari barang.

"Itu apa?"

"Nipple cream. In case kamu bakal butuh."

"Ah ya, aku udah nyusuin Ale hari ini."

"And how was it?"

"Nggak banyak masalah, untungnya. Jelas nggak sesusah waktu pertama kali sama Wuje."

Jenar tersenyum seraya mengangguk. "Aku lega dengarnya."

Kala mendekat, dia membawa Popmie yang sudah terseduh di tangannya. Lelaki itu menarik salah satu kursi beroda agar lebih dekat dengan sisi tempat tidur Rei sebelum dia mengulurkan cup Popmie.

"Hati-hati, masih panas."

"Makasih ya..."

"Anytime, Sayang."

Panggilan yang Jenar gunakan, meski bukan pertama kalinya, mau nggak mau membuat senyum Rei makin merekah.

Perempuan itu meniup mi-nya yang masih berasap beberapa kali sebelum menyuapkannya ke mulut. Setelahnya, dia meneguk langsung kuahnya dari cup. Hangatnya sampai ke perut. Sederhana, tapi karena Rei lagi benar-benar pengen makan Popmie, sensasinya jadi beda.

"Kenapa?" Rei bertanya setelah menelan begitu dia sadar bagaimana Jenar menatapnya dengan lekat.

"Nggak apa-apa."

"Kamu ngelihatinnya gitu banget..."

"Kenapa sih?" Jenar tertawa. "Nggak boleh?"

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Cuma lagi lega dan bersyukur."

"Bersyukur karena?"

"Kamu ada di sini."

"..."

"Aku takut kamu sakit. Kamu kenapa-napa. Tapi ngelihat kamu sekarang, aku lega. Kamu kelihatan sehat, happy dan baik-baik aja."

Kunyahan Rei melambat. Ada jeda sejenak sebelum dia menyahut lagi. "Maaf ya..."

"Hm, kenapa?"

"Aku pasti baru nambahin memori kamu soal pengalaman yang traumatis."

"..."

"Dulu, kecelakaan yang waktu itu."

"..."

"Terus, waktu Wuje lahir."

"..."

"Terus sekarang—" Rei menatap Jenar. "Aku tau, ngerasa takut itu nggak enak. Maaf udah bikin kamu takut, udah bikin kamu stress, udah bikin kamu khawatir."

"No, don't. Sekarang kan yang penting kamu ada di sini, baik-baik aja, masih ngomong sama aku."

"Tapi jujur deh... kemarin itu parah banget ya?"

"Em-hm."

"Separah apa?"

"We were so close to lose you." Jenar menarik napas dalam. "Kamu nggak ingat apa-apa?"

"Lebih tepatnya, nggak bisa fokus karena sakit."

"Sakit?"

Rei mengangguk. "Sakit, tapi aku nggak bisa ngapa-ngapain. Ngeluarin suara aja kayak nggak ada tenaga. Aku kira kamu ada di sana, tapi ternyata kamu dipaksa keluar ya?"

"Soalnya aku panik."

"Terus aku dengar suara Mama."

"Mama?"

"Mama aku."

"Em-hm. Mama kamu bilang apa?"

"Nggak tau, kayaknya Mama pegang tangan aku."

"Terus?"

"Mama bilang 'Regina, yang kuat ya. Ada banyak yang sayang sama kamu'. Tapi nggak tau sih, mungkin itu cuma mimpi atau halusinasi aku aja. Namanya juga lagi nggak sadar."

"Mama beneran masuk kok."

"Hah?"

"Mama kamu nggak bilang ya?"

Rei menggeleng. "Mama nggak bilang apa-apa."

"Setelah aku dipaksa keluar, Mama yang masuk buat gantiin aku. Waktu itu aku ngerasa frustrasi banget, tapi setelah dipikir lagi sekarang... ya make sense. Aku yang panik bakal cuma bikin suasana tambah kacau dan nggak bantu kamu sama sekali."

"Oh..."

"Kenapa?"

"Nothing. It's just... aku nggak nyangka aja..."

"..."

"Tapi aku happy." Rei tersenyum dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Happy banget." Rei menunduk seraya tertawa kecil dan diam-diam menyeka bagian bawah matanya.

Jenar tersenyum, menepuk pelan puncak kepala Rei dengan penuh sayang sebelum beralih berjalan menuju crib tempat anak keduanya berbaring. Boba sudah balik tidur lagi. Terlihat tenang, dan lucu dengan karangan bunga mini warna merah muda di dekatnya.

"Katanya, Mark nanti sore ke sini bareng istrinya sama Lana."

"Oh ya?! That's nice."

"Papa sama Mama mungkin ke sininya malam. Aku baru dikabarin Suster Anna, Papa kamu lagi agak demam, jadi mungkin hari ini nggak ke sini dulu."

"Demam?"

"Mild fever. Tapi katanya, nggak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Oh... oke."

"Regina,"

"... ya?"

"Alessia mirip kamu."

Rei tergelak. "Je, kamu udah bilang itu puluhan kali."

"Aku tau. Hehe."

*

Rei menghabiskan empat hari berikutnya di ruang perawatan biasa, hingga Dokter Natya memutuskan kalau kondisinya sudah benar-benar membaik dan mengizinkannya pulang.

Di hari kepulangannya ke rumah, ada banyak yang datang. Teman-temannya dan teman-teman Jenar, termasuk Jaka dan Rossa yang datang lalu mengambil foto bareng Boba—ditingkahi oleh ledekan Milan yang bilang kalau Jaka terlihat jago banget gendong bayi, kedua orang tuanya Jenar, Hyena, kedua orang tuanya Rei. Rumah mereka yang biasanya tenang jadi sangat ramai.

Di sela-sela keramaian itu, Wuje sempat bertanya pada Jenar. "Pa,"

"Iya?"

"Dulu waktu aku lahir, Om sama Tante sama Opa sama Oma sama Tante Hyena pada dateng juga nggak kayak gini?"

"Dateng kok."

"Pada bawa hadiah juga nggak?"

"Bawa, Cil."

"Tapi kok aku nggak inget?"

"Kan kamu masih kecil."

Wuje tampak nggak puas, tapi ya... jawaban macam apa lagi yang bisa Jenar berikan?

Sebagai anak tunggal, tampaknya Rei kurang paham soal perubahan sikap Wuje yang dideteksi lebih dulu oleh Jenar. Dikarenakan nggak mau bikin Rei khawatir, Jenar ceritanya ke Hyena. Kata Hyena sih, wajar saja kalau anak sulung merasa cemburu dengan kehadiran adik baru. Soalnya dulu Hyena juga gitu.

"Gue kan sempat kepikiran, pengen masukkin lo ke kardus terus buang lo di manaaaaaaa gitu..." Hyena berujar dengan nada bercanda, yang bikin Jenar merengut.

"TEGA BANGET LO, KAK!!"

"Abisnya, nyebelin banget! Lo jadi selebriti dadakan di rumah! Cuma ya, untung aja nggak sampai gue kardusin beneran."

"Huh!"

"Tapi intinya bukan itu ya. Kayak, wajar aja Arga ngerasa jealous. Selama ini, dia kan selalu jadi pusat perhatian. Rei cuma ngurus lo sama dia doang. Apalagi si Ale ini suka nggak mau nyusu dari botol, maunya nyusu dari ibunya langsung. Otomatis, Arga ngelihatnya ya mamanya gendong bayi baru melulu."

"Gue takut aja, jealousnya berlarut-larut."

"Nggak kok. Nanti juga dia bakal menerima kehadiran bayi baru. Tapi sebisa mungkin, lo sama Rei ngasih perhatian secara adil ya, untuk meminimalisir jealousy sama biar dia nggak merasa tersisih."

Jenar mencoba mengikuti saran dari Hyena, namun sepertinya, apa yang dilakukannya masih belum cukup.

Soalnya suatu ketika, tepat setelah Boba menginjak usia satu bulan, Wuje kabur dari rumah.

Iya, kabur dari rumah.

Gimana ceritanya tuh?

Wuje kabur bersama tas ayamnya (yang kata Jenar, sebenarnya bebek) dengan membawa beberapa benda yang sudah dia siapkan malam sebelumnya, meliputi; kolor tiga biji, celana pendek satu, kaos satu, krayon, buku gambar, action figure Ultraman sama sendok pesawat.

Wuje berencana minggat selepas bubaran gereja, karena kan halaman gereja lagi ramai-ramainya oleh orang. Dikarenakan mamanya masih ngurus bayi, mamanya belum ke gereja. Alhasil, Wuje ke gereja bareng Jenar doang.

Jenar nggak expect anaknya bakal ngilang.

Di halaman gereja, dia yang ngira kalau Wuje lagi jalan ngikutin dia bahkan sempat nanya. "Je, mau mampir beli bubur dulu nggak? Atau kamu mau sarapan yang lain?" sambil terus jalan.

Tapi kok nggak ada yang jawab...

"Boy, kok Papa nanya nggak dijawab sih—" Jenar menoleh ke belakang dan kaget karena sosok Wuje nggak tampang. "—wait. Arga?!" Jenar yang mulai panik pun memelototi kerumunan, meneliti wajah-wajah bocah di sekitarnya. Tapi hasilnya nihil. Tas ayam kuning mencolok Wuje yang khas pun nggak kelihatan.

"Wuje?!" Jenar tercengang, sebelum perlahan, kesadaran menghantamnya. "HAH?! ANAK GUE NGILANG KE MANA?!!"

Jenar pusing banget. Dia mengitari halaman gereja yang masih ramai oleh orang beberapa kali. Dia juga sempat kembali ke dalam. Tapi Wuje tetap tidak tampak batang hidungnya. Sempat terpikir mau minta tolong pihak security untuk cek CCTV, tapi dipikir lagi, di tengah keramaian orang-orang yang baru keluar dari gereja, bakal nggak mudah menemukan sosok bocil seperti Wuje. Di parkiran juga, kayaknya ada banyak blind spot yang belum tentu tercover oleh CCTV.

Lagi stress begitu, Jenar dikagetkan oleh chat dari istrinya.

regina:
je, pulangnya mampir di ranch market dulu ya.
beli gruyere sama gouda cheese.
fontina jg, kalau ada.

jenar:
HAH, BUAT APA?!

regina:
si bocil kayaknya bete sama aku semalam.
aku sapa td pagi sebelum sarapan, dia gak jawab.
jd mau aku sogok pake cheese fondue.

jenar:
regina...

regina:
ya?

jenar:
wuje ilang...

Rei langsung meneleponnya sesaat kemudian. Jenar rada gentar, tapi dia memberanikan diri menjawab telepon yang masuk dari istrinya...

"NGILANG GIMANA?!!"

"Regina, jangan panik, oke? Aku—"

"GIMANA AKU NGGAK PANIK—"

"Anaknya nggak mungkin jauh, Gina. Dia masih kecil—"

"JUSTRU KARENA DIA MASIH KECIL!! KALAU DIA DICULIK GIMANA?!! IYA KALAU PENCULIKNYA MINTA TEBUSAN!! KALAU NGGAK?!!" Rei sudah panik dan overthinking banget.

"Wait. Bisa aja dia ikut mobilnya Tigra, kan? Kita satu gereja. Bentar, aku tanya Tigra."

"Je—"

"Jangan panik. Kamu tunggu aja di rumah. Jangan ke mana-mana."

Sesuai dengan apa yang dikatakannya ke Rei, Jenar pun beralih bertanya ke Tigra. Dia makin kalut ketika Tigra jawab kalau Wuje nggak ikut mobilnya. Seraya masih tetap tenang, Jenar ganti menelepon teman-temannya yang lain, terutama yang satu gereja. Just in case, gitu kan. Namun ternyata hasilnya tetap nol.

Akhirnya, dengan pasrah, Jenar bicara sama pihak security dan meminta mereka mengecek rekaman CCTV.

Dari rekaman CCTV, barulah terlihat kalau ternyata, Wuje sengaja 'memisahkan diri' dari ayahnya. Dia sempat melangkah agak ke sudut, habis itu masuk ke blind area yang nggak ter-cover CCTV. Nggak jelas lagi di mana keberadaan anak itu. Jenar kian mumet.

Tak berapa lama, Rei menelepon lagi.

"Kak Hyena udah sampai di rumah, bakal jagain Ale. Aku on the way ke sana—"

"KAMU NAIK TAKSI?!" Jenar hampir berteriak.

"Nggak. Aku nyetir sendiri. Udah bisa kok."

"Regina—"

"Kamu mau larang aku? Anak aku ilang, Je!"

"YA ITU ANAK AKU JUGA??!"

Hampir saja mereka ribut di telepon. Tapi mengetahui istrinya lagi di jalan dan mungkin lagi menyetir, Jenar memutuskan mengesampingkan egonya dan menahan diri. Dia menghela napas, terus berujar simpel saja sebelum menyudahi panggilan telepon.

"Oke, terserah kamu. Nyetirnya hati-hati. Aku tungguin di sini. Inget, jangan ngebut."

Namun jelas, Rei pasti ngebut, kalau melihat bagaimana nggak sampai dua puluh menit kemudian, Camry yang dia kendarai meluncur masuk ke parkiran gereja. Bisa mengenali mobil Rei hanya dengan sekali lihat, Jenar langsung mendekat. Saat pintu mobil dibuka, kentara sekali, Rei sudah pucat dan terkesan amat cemas.

"Alessia gimana kalau kamu ke sini?"

"Ada Kak Hyena. Ada Ayu juga."

"Kamu kasih tau Kak Hyena kalau Wuje ngilang?"

"Menurut kamu?!"

"Regina, aku tanyanya baik-baik!!"

"Aku juga jawabnya baik-baik!!"

Salah satu petugas security gereja yang ada di dekat mereka hanya bisa melongo menyaksikan perdebatan keduanya.

"Kok anaknya bisa ngilang?!"

"Nggak tau... tau-tau aku lihat udah nggak ada..."

"Kamu nggak pegang tangannya?"

"..."

"Je, pas bubaran gereja itu rame! Pasti banyak orang! Makanya anaknya dipegangin yang bener biar dia nggak ngilang." Rei kelihatan hampir menangis. "Kalau udah gini, gimana? Kalau dia dibawa orang jahat, gimana? Sekarang banyak cerita anak diculik buat diambil oargannya atau dijual ke luar negeri. Aku takut—" Rei nggak bisa meneruskan ucapannya, wajahnya telah memerah.

Jenar yang tadinya bete dan mau membantah malah jadi nggak tega sama Rei. "Regina—sshh, jangan mikir yang aneh-aneh dulu! Kita bakal cari Wuje sampai ketemu. Dia bakal baik-baik aja—"

Kata-kata Jenar terputus sewaktu handphonenya bergetar dan ternyata, yang masuk adalah chat dari Rossa.

"Siapa?!" Rei memburu cepat.

"Rossa."

"Kenapa?!"

"Wuje lagi sama dia." Jenar terlihat lega.

Ketegangan Rei menghilang drastis. "Oke. Kalau gitu, kita langsung jemput aja ya—"

"Regina,"

"Apa?"

"Wuje nggak mau pulang."

"Hah?!"

"Wuje marah sama aku. Marah sama kamu. Dia nggak mau pulang."

"... 🥺🥺🥺." 

"Kata Rossa, sebaiknya kita respect maunya Wuje dulu. Aku setuju. I know, he's just a child, but his opinions and feelings matter too. Saat ini, Rossa bilang Wuje belum mau ketemu kita."

"... 🥺🥺🥺🥺🥺🥺." 

"Regina," Jenar berusaha membujuk.

"... 🥺🥺🥺🥺🥺🥺🥺🥺🥺🥺." 

Ujungnya, dia malah mati kutu.

*

Pagi itu, Rossa kaget banget ketika Wuje menghampirinya sejenak sebelum dia mencapai mobil Jaka yang menunggu di luar pagar gereja.

"Tante, bawa aku pergi dari sini!!"

"Hah?!"

"Bawa aku pergi dari sini, Tante!! Aku lagi pengen kabur!!"

"..."

"Tante, aku mohon!!"

Rossa melongo, namun melihat tas Wuje yang tampak lebih berat dari biasanya dan matanya yang terlihat berkaca-kaca, dia pun nggak bisa nggak menurut. Jaka juga sama kagetnya, tapi sesuatu dalam ekspresi wajah Rossa membuatnya nggak bertanya lebih jauh dan hanya membiarkan saja ketika Wuje masuk mobil terus duduk di kursi penumpang bagian belakang.

"Kita ke mana, Shan?"

"Pulang."

"Oh..." Jaka melirik rear-view mirror. "Oke."

Mobil pun melaju.

"Papa kamu tahu nggak?" Rossa bertanya, sebab dia tahu beberapa minggu ini, Wuje selalu ke gereja hanya berdua saja dengan Jenar.

"Engga." Wuje menggeleng. "Kan aku tuh—apa tuh ya namanya—oiya, minggat! Kalau kata Tante Hyena."

"Kenapa minggat, Argan?"

Wuje hanya tertunduk.

"Argan?"

"Papa sama Mama engga sayang aku lagi, Tante. Soalnya udah ada adik baru..."

"..."

"Tante, jangan kasih tau Mama sama Papa ya kalau aku pergi sama Tante..."

Rossa mulai paham situasinya gimana. Dia melirik pada Jaka yang masih menyetir. Selama sesaat, mereka sempat saling pandang. Sebenarnya, wajar kalau Wuje merasa cemburu. Rossa tahu banget gimana kedua orang tuanya, terutama Rei memanjakannya. Kini, dengan adanya anak kedua, pasti mau nggak mau perhatian mereka jadi terbagi.

"Argan udah sarapan?"

"Belum."

"Mau sarapan nggak?"

"Mau."

Akhirnya, mereka berhenti sejenak di restoran soto langganannya Rossa sama Jaka.

Sembari menemani Wuje makan—dan dia ngotot makan sendiri, enggan disuapi—Rossa memperhatikan anak itu sebentar, lalu bertanya. "Kalau Papa sama Mama kamu nyariin, gimana?"

"Tante jangan bilang-bilang." Wuje menjawab dengan mulut belepotan kuah soto. "Lagian, kayaknya Papa sama Mama nggak akan nyariin aku."

"Emangnya kenapa?"

"Kemarin-kemarin, pas aku pulang sekolah, aku bilang ke Mama 'Mama, aku udah pulang nih!' tapi Mama nggak jawab. Padahal biasanya Mama jawab." Wuje bercerita dengan nada sedih yang bikin Jaka harus menahan tawa, sementara Rossa diam-diam menyikut rusuknya. "Terus semalam, aku mau bobo sama Mama, tapi nggak boleh. Harusnya gantian kan, Boba udah sering bobo sama Mama. Akunya kapan?"

"Boba siapa?"

"Bocil baru, Te. Adik aku."

Baik Rossa maupun Jaka gemes banget dengarin curhatannya si bocil. Tapi di sisi lain, mereka paham, Wuje pasti lagi sedih banget. Makanya, demi menghargai perasaan Wuje, keduanya nggak langsung mengabari Rei dan Jenar.

"Arga mau nambah?" Jaka menawari.

"Boleh, Om?"

"Boleh. Abis kelihatannya, kamu lapar banget."

"Iya, soalnya semalam aku makannya dikit doang, biar Papa sama Mama tau aku lagi marah! Tapi Papa sama Mama kayaknya nggak sadar..."

"Yaudah, Om Jaka pesenin lagi deh ya..."

Wuje makan cukup banyak. Jaka sempat khawatir Wuje bakal kekenyangan atau sakit perut, namun Rossa menenangkannya, bilang kalau Wuje memang suka makan, meski badannya nggak gembul banget dan masih tergolong sehat. Apalagi, anak itu sendiri yang bilang kalau semalam, dia hanya makan sedikit.

Setelah dari warung soto, mereka kembali ke rumah. Kelihatannya, rumah Jaka dan Rossa yang menurut Wuje unik dan keren cukup mampu menghiburnya. Sementara Wuje sibuk mengagumi robot penghisap debu milik mereka, Rossa memutuskan mengabari Jenar—yang menurut tebakannya, pasti lagi panik banget sekarang.

Sementara itu...

Pada akhirnya, Rei memutuskan berkendara sama Jenar sekalian meninggalkan dulu mobilnya di parkiran gereja setelah pihak security setuju menjamin keamanannya sampai nanti mobil itu diambil.

"Regina, kok nangis sih?" Jenar nanya sambil nyetir.

"Gimana nggak nangis?! Anak aku sampai kabur dan nggak mau pulang karena marah sama aku..." Rei tersedu, tampak benar-benar patah hati.

"Namanya juga anak muda, Regina."

"Dia masih bocil, Je!"

"Iya, bocil juga anak muda, kan?" Jenar nyengir, mencoba memperbaiki mood Rei. Tapi ternyata nggak cukup berhasil. "Regina... udah dong... jangan nangis..."

"Wuje tuh kalau tidur harus sama boneka kelincinya... harus dibikinin susu... hiks... boneka kelinci sama susunya nggak ada di rumahnya Ocha... hiks... kalau anxious, anaknya suka kebangun sendiri malam-malam... rewel... hiks... emangnya Ocha mau direpotin, dibangunin tengah malam?"

Jenar berdecak. "Oke, gini aja—"

"Gini aja apa?"

"Kita mampir rumah dulu deh, ambil susu bubuk sama boneka kelinci. Terus anter ke tempat Rossa sama Jaka."

"Wuje-nya gimana?"

"Ya kan anaknya bilang belum mau pulang, Regina..."

Kembali lagi ke rumah Rossa dan Jaka...

Usai puas ngepoin robot penghisap debu punyanya Jaka dan Rossa, Jaka menawari Wuje donat kentang bertabur gula halus yang tadi pagi-pagi banget sempat dia bikin bareng Rossa. Wuje menyambutnya dengan gembira, sebab dia memang suka makanan manis. Anak itu duduk lesehan di lantai berlapis karpet, makan donat hingga sekeliling mulutnya penuh bubuk putih gula halus.

"Masih mau nggak?"

"Kalau sekarang, udah cukup, Om. Tapi engga tau kalau nanti."

"Oke."

"Om, aku pengen nonton Charli tau. Om punya nggak?"

"Woh, kamu juga suka dengerin ST12?!" Jaka kaget, soalnya mereka kan beda generasi.

"Este dua belas itu apa?"

"Band-nya Charlie!"

Wuje melongo, kemudian tepuk tangan. "Hebat banget si Charli! Udah punya pabrik cokelat, punya band juga!"

"Hah?" Jaka jadi bingung.

"Maksudnya Charlie and the Chocolate Factory, bukan Charlie Van Houtten." Rossa memberitahu Jaka, lalu berpaling ke Wuje. "Argan, Papa sama Mama kamu mau ke sini."

Wuje tersentak. "TANTE BILANG-BILANG KE PAPA SAMA MAMA YA?!"

"Iya, Argan. Maafin Tante. Tapi kasihan deh mereka, pasti panik nyariin kamu. Tapi Papa sama Mama kamu bilang kok ke Tante, mereka nggak akan maksa kamu ketemu atau maksa kamu pulang kalau kamu nggak mau. Tapi kasihan deh Mama kamu. Kayaknya Mama kamu sedih banget..."

"Terus, Papa sama Mama ngapain ke sini?"

"Kata Mama kamu, kamu suka nggak bisa tidur kalau nggak ada Mr. Ici. Jadi Mama kamu mau anterin Mr. Ici."

Ucapan Rossa malah membuat Wuje tertunduk muram.

"Loh, kenapa?" Jaka melongo kaget.

"Kamu nggak mesti ketemu kok kalau nggak mau. Papa sama Mama kamu mau nunggu sampai kamu nggak marah lagi." Rossa berusaha menenangkan. "Maafin Tante Ocha ya, Argan, tapi kalau Tante Ocha nggak kasih tau Papa kamu, nanti kamu dikira ilang beneran..."

"Tapi aku emang mau dikira ilang beneran, Tante..."

Jaka dan Rossa saling pandang, sama-sama bingung.

"Tapi kalau Mama mau anter boneka kelinci aku..."

"... ya?"

"Berarti sama aja Mama nyuruh aku bobo di sini dong..."

"..."

"Berarti Mama engga mau aku pulang ya?"

"Waduh..." Jaka hampir tepuk jidat.

"Kalau gitu, Argan maunya gimana?" Rossa bertanya dengan sabar. "Sebenarnya ya, menurut Tante, Mama kamu gitu bukan karena Mama kamu nggak mau kamu pulang. Mama kamu khawatir sama kamu, takut kamu nggak bisa tidur nantinya."

"..."

"Argan mau ketemu sama Mama apa nggak?"

Wuje tertunduk makin dalam.

"Argan?"

"Nggak tau, Tante." Wuje kelihatan murung.

"Atau gini aja, kalau kamu belum mau ketemu, pas Mama sama Papa kamu sampai, Tante bilang aja kamu lagi tidur ya?"

"..."

Ujung-ujungnya, memang itu yang terjadi.

Begitu Rei dan Jenar tiba, Wuje buru-buru kabur ke kamarnya Rossa dan Jaka yang tergolong dekat dari ruang depan. Dia bersembunyi di bawah selimut. Tapi soal nguping sih... tetap stand-by ya.

"Anaknya mana, Cha?" Rei bertanya dengan wajah sembab.

"Tidur, Rei."

Rei bermuka muram nan sedih.

"Nggak lo, nggak Argan, kenapa sih mukanya pada kayak gitu? Mellow banget." Jaka berkomentar.

"Kalau lo udah punya anak, lo pasti ngerti gimana rasanya kalau anak lo inisiatif kabur, terus nggak mau ketemu sama lo..." Jenar menjelaskan. "Dia ada cerita atau curhat nggak?"

Rossa menghela napas. "Katanya, dia sedih. Kayaknya, dia ngerasa tersisih karena di rumah kalian ada bayi baru."

"Ngerasa tersisih gimana?"

"Katanya kemarin-kemarin, waktu dia pulang sekolah, mamanya nggak jawab pas dia bilang dia udah pulang. Terus semalam, dia kepingin tidur sama mamanya, tapi nggak dibolehin, disuruh tidur sendiri." Rossa bercerita.

Di kamar, Wuje panik banget karena Rossa segitu blak-blak-annya.

"Anaknya udah tidur beneran?" Jenar bertanya lagi.

"Iya sih, kayaknya."

"Gue mau lihat dia deh bentar, kalau dia lagi tidur."

Wuje makin panik ketika mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Secara dramatis, anak itu keluar dari bawah selimut, terus berbaring di atas kasur. Dia berniat pura-pura tidur. Tapi aktingnya buruk banget, soalnya Wuje tidur dengan pose tubuh kaku, dua tangan di atas perut dan mulut mingkem.

Menyaksikan anaknya pura-pura tidur, Rei tercengang sejenak di ambang pintu. Jenar menyusul nggak lama kemudian di belakangnya. Seketika, wajah lelaki itu langsung menunjukkan ekspresi geli. Kayaknya sih, dia mungkin sudah tertawa betulan jika Rei nggak memelototinya sambil mouthing, "jangan ketawa!".

Jenar memaksa diri mingkem seraya mengacungkan jempol.

Rei jadi yang duluan mendekati kasurnya Rossa dan Jaka. Sebenarnya, rada nggak enak hati menginvasi area pribadi orang lain. Namun, Jaka dan Rossa sudah mengizinkannya, jadi yah.

"Wuje, maafin Mama ya..."

"..."

"Mama bukannya nggak mau jawab, tapi waktu kamu ngomong, Mama lagi repot. Jadi nggak kedengaran."

"..."

"Mama sayang banget sama kamu."

"..."

"Marahnya jangan lama-lama ya, Nak. Nanti Mama kangen."

Mendengar Rei bilang begitu, hati mungil Wuje yang lemah tentu dibuat nyesssssssssss meleleh.

Cuma, namanya bocil lagi ngambek, ya masih ada perasaan bimbang dan gengsi yang tersisa. Jadi dia baru berhenti pura-pura tidur sewaktu sadar kalau Rei tengah berjalan lagi menuju pintu. Dia takut Rei keburu pulang, makanya bangunnya grasa-grusu banget.

"Mama!!" Wuje berseru sembari struggling untuk turun dari kasur karena kakinya terlilit selimut. End up, Wuje malah keselandung dan jidatnya terantuk tepi ranjangnya Rossa dan Jaka. Bunyinya keras banget, hingga Jaka dan Rossa ikut-ikutan muncul di ambang pintu.

"Astaga, Arga—"

"Mama!!" Wuje meraung, kontan menangis. "Sakit!!"

Jenar melangkah mendekat untuk mengecek jidatnya Wuje. Agak merah. Ada benjolnya dikit.

"Huaaaaa!!! Mamaaaaa!!!"

"Yah, Je..."

"Papaaaaaa!!! Jidat aku—hwaaaaaaa!!!"

"Benjol nih. Tapi dikit kok." Jenar berujar kalem.

Tentu, Rei dan Rossa bergerak cepat memberi pertolongan pertama buat jidatnya Wuje yang malang, nggak seperti Jaka dan Jenar yang malah senyam-senyum menahan geli.

"Udahan ya Je, minggatnya?" Jenar meledek Wuje, sementara yang bersangkutan lagi manyun dengan mata merah dan muka sembab. Dahinya dikompres oleh es batu berbalut kain.

"Jenar, anaknya jangan diledekkin!"

"Abisnya, drama banget." Jenar mencibir.

"Sakit tau, Papa!"

"Siapa yang suruh?"

"Abisnya, semalem aku nggak boleh bobo sama Mama!!"

"..."

"Padahal kan ini Mama aku!!"

"Iya, ini mamanya Boba juga."

"Tapi kan aku jadi anak Mama duluan daripada Boba!"

"Dia kan masih kecil, Je..."

"AKU JUGA MASIH KECIL!!"

"Iya, iya," Rei berusaha melerai. "Nanti malam kamu bobonya sama Mama."

"Bener ya, Ma?"

"Iya."

"Yeeeey!"

"Tapi kok kamu kepikiran kabur sih, Je?"

"Kalau di film-film kan biasanya gitu, Ma. Kalau sebel, yaudah kabur aja!"

*

Jenar lagi memasukkan foto-foto yang baru dicetak ke dalam photo album terbaru keluarga mereka ketika Rei memasuki kamar.

"Wuje udah tidur?"

"Udah."

"Boba?"

"Udah juga. Food comma. Tadi nyusunya banyak banget."

"Berarti malam ini nggak butuh bantuan ya?"

"Kayaknya nggak."

"Kalau butuh, bilang aja." Jenar terkekeh, yang membuat pipi Rei memanas.

Bantuan yang dimaksud adalah 'bantuan' untuk meredakan nyeri ringan saat masa menyusui karena milk duct yang tersumbat. Biasanya, karena produksi ASI yang tergolong banyak melampaui kebutuhan bayi yang disusui. Biasanya, Rei memompa ASI dan menyimpannya untuk stok demi mencegah mastitis parah. Kata konsultan laktasinya, masalah yang Rei alami masih bisa diatasi dengan menyusui lebih sering. Tapi belakangan ini, daripada menggunakan pompa, Rei lebih sering menerima bantuan Jenar.

"Kamu ngapain?"

"Rapiin foto."

"Oh, udah album yang baru lagi?"

"Mm-hm."

Anggap saja mereka old-fashioned atau apa, tapi selain menyimpan soft file foto-foto keluarga mereka di Cloud atau Google Drive, mereka juga suka menyimpannya dalam album fisik.

Rei mengambil tempat duduk di samping Jenar, mengamati foto-foto yang masih belum dimasukkan. Kebanyakan adalah foto-foto yang diambil di rumah sakit. Ada fotonya yang lagi menggendong Boba bersama Jenar dan Wuje. Ada foto Jenar yang menggendong Boba sendirian. Ada foto Rei yang menggendong Boba sendirian. Foto Wuje yang mencium pipi Boba. Foto kedua orang tua Jenar bersama Boba dan Wuje. Foto Hyena bersama Boba dan Wuje. Foto Kedua orang tua Rei bersama Boba dan Wuje. Lalu foto Rei... bersama kedua orang tuanya.

"Foto ini bagus." Jenar menunjuk foto Rei bersama kedua orang tuanya. Senyum ayahnya terlihat kaku, dan ibunya tampak canggung. Tapi mereka terlihat seperti keluarga dalam foto itu.

"Ini mungkin fotoku sama orang tuaku satu-satunya yang aku punya."

"Kalau gitu, seringin foto dong."

"Hm."

"Kita nggak pernah tau apa yang bakal terjadi kan? Setiap momen bisa jadi momen yang terakhir. So, cherish it while it lasts."

"Benar juga." Rei menyandarkan kepalanya di bahu Jenar. "Oke. Besok-besok, kalau Papa sama Mama aku main, aku bakal banyakkin ambil foto mereka."

Jenar hanya tersenyum saja.

"Foto ini juga bagus." Rei menunjuk foto mereka berempat—foto Jenar, dirinya, Boba dan Wuje.

"Ah ya, happy family."

"Mm-hm."

"Rossa and Jaka will love this picture." Rei menunjuk foto lain, yang memuat sosok Jaka yang sedang duduk sambil menggendong Boba. Dalam foto itu, Boba nggak lagi dibedong, sehingga jemari mungilnya terulur ke atas, ke arah wajah Jaka. Rossa duduk di sampingnya, menumpangkan dagunya pada pundak Jaka sembari tersenyum.

"Nanti aku send copy-annya ke mereka." Jenar berujar. "Ah ya, jadi kapan mau konsultasi sama Dokter Natya?"

"Konsultasi soal apa?"

"Kontrasepsi. Masih beberapa bulan lagi, of course, tapi aku juga mau belajar dan mau tau. Soalnya perkara birth control itu kan bukan cuma tanggung jawab kamu, tapi tanggung jawab aku juga."

"Bulan depan, mungkin. No need to rush."

"Bulan depan ya?"

Rei mengangguk. "Iya."

"Oke..." Jenar setuju.

"Kamu concerned banget soal birth control."

"We have to be really careful. Dokter bilang, kita sebaiknya nggak punya anak lagi."

"Kita?"

"Kalau kamu hamil lagi, bakal bahaya buat kamu. Dan aku jelas nggak ada niatan mau hamilin perempuan selain kamu. So yah, kita."

Rei tertawa kecil.

"Aku serius, Regina. I'm not touching you unless I know it's medically safe."

"Iya, aku tau kok." Rei mengusap bahu Jenar, matanya tertuju lagi pada lembaran foto. "Pretty children. Too bad, Wuje kayaknya jealous banget sama Boba."

"It's natural. Pada akhirnya, dia bakal sayang sama Boba kayak kita kok."

"Hopefully so."

"It will happen, Regina. Trust me."

"Aku selalu percaya kamu, Je."

"Oh ya? What a character development."

"Sejak hari di mana aku bilang kamu udah menang, aku rasa, jauh di dalam hati kecilku, aku selalu percaya kamu."

"Thank you, Regina."

Rei mengangguk.

"Are you happy?"

"Very, walau dalam hidup ini, masih ada sesuatu yang mau aku lakuin."

"Apa?"

"Untuk selalu nemenin kamu, nggak peduli apa pun yang hidup kasih ke kita, dan..."

"Dan?"

"To love me the way that you love me."

"You will."

Rei menoleh pada lelaki di sampingnya, bersamaan dengan Jenar menatap padanya.

Lalu, keduanya menarik senyum yang sama. 






A BUNCH OF DADDY — SELESAI

****

a/n: 

AKHIRNYA SELESE JUGA CHAPTER TERPANJANG DARI CERITA TERPANJANG YANG PERNAH GUE TULIS WKWKWKWKWWK 

terimakasih banyak untuk semua pembaca, yang, terlepas dari semua kekurangan dalam tulisan ini, tetap ngikutin dan membaca sampai akhir. butuh komitmen dan meluangkan waktu untuk baca cerita yang chapternya banyak, dan mungkin masih ada juga bagian-bagian dari kehidupan tokoh-tokoh di sini yang belum terceritakan karena waktunya gak pas dan momen-momen yang gak mendukung. 

however, buat followers instagram gue mungkin tau, kalo gue suka bikin side story sendiri-sendiri maupun ebook project untuk 'menyorot' bagian-bagian yang kurang terceritakan itu. 

(soalnya sumpah, ini yang versi wattpad aja udah 318.000 kata, itu tuh kalo di-layout bisa kayak empat novel setebal 400 halaman wkwk) 

begitulah. gue jadi belajar banyak sepanjang menulis tentang jenar, regina, jella, tigra dan teman-teman mereka yang lain, yang sebenarnya semuanya tokoh utama dalam cerita mereka sendiri-sendiri, tapi berhubung Teknik dan ABOD ini berpusat di tokoh jenar, so, we saw more of him than others in both stories. 

dari semua tokoh dalam cerita ini, siapa yang kira-kira akan susah lo lupakan? wkwkwkwk 

sekian dari gue, sampai ketemu di tulisan-tulisan berikutnya (sebab gue pribadi berencana untuk lebih rajin lagi menulis dan menyelesaikan draft-draft cerita gue di tahun). 

tetap jaga kesehatan, stay safe dan semangat dalam beraktivitas! 

ciaooooo! 

papa dua anak

kesayangannya papa dua anak

daddy-mommy cherry 

wirya x incess (jiahhh) 

pandangan pertama boba-chester

abang dan boba


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top