dari tigra | moments

Waktu gue ngabarin teman-teman gue kalau gue mau nikah sama Jella, sebagian besar respon mereka bisa digambarkan cuma dengan satu kata; lah?

Padahal sih yah, nggak se-mengherankan itu juga. Kita ada di jaman di mana cowok nikah sama cowok saja sudah dianggap wajar—nggak di Indonesia, gue tau, tapi kan ada orang-orang di belahan dunia yang lain yang menganggap itu sah-sah saja—nah, apalagi gue sama Jella yang jelas-jelas laki-laki dan perempuan?

Cuma di sisi lain, gue cukup paham kenapa mereka, bahkan sampai teman-teman sekosannya Jella termasuk Rei, bisa kaget banget.

Di jaman kuliah, kalau sama anak-anak lantai dua kosan Sadewo, gue cuma sering ngobrol sama Harsya. Kalau Rei sih nggak perlu ditanya lagi ya, kita mah sudah lebih dari sekedar ngobrol.

Gue selalu merasa kalau teman-teman selantai kosannya Rei itu kombinasi orang-orang aneh yang nggak gue kira, bisa bersahabat sama orang kayak Rei. Contohnya saja kayak Rossa yang princess-like banget, bukan hanya dari tampang, tapi juga dari dandanan serta kelakuan—bagian dia setia ngejar Milan juga macam princess, yang ngotot karena percaya kalau Milan itu adalah cinta sejatinya.

Yumna... wah, kalau lihat kelakuannya yang benar-benar kayak preman jelata, sulit dipercaya kalau dia punya darah bangsawan. Terus orangnya ngocol banget, pula. Kalau ngomong, suka nggak disaring.

Sedangkan Jella...

Di awal kita pertama kali ketemu, kita tuh canggung banget.

Namanya sama-sama masih maba ya, saat itu Rei sama anak-anak kosan selantai dua (minus Sakura sama Jinny, karena mereka setingkat di bawah kita, jadi belum kuliah apalagi nge-kos di Sadewo) main ke kosan gue.

Dulu, Alfa masih nge-kos juga di kosan gue, dan nih orang memang social butterfly abis. Teman-temannya kesebar di mana-mana, jadi meski sudah masuk tingkat tiga, Alfa masih eksis banget sampai kalangan maba. Terus, Dhaka juga temannya Rei dari kecil, makaya otomatis pada saling kenal gitu deh.

Mulanya, tau Jella cuma sebatas nama doang. Anaknya nggak secerewet Yumna, nggak selembut Rossa atau sekaku Rei. Kayak in-between saja. Dia lebih banyak diam kalau sama gue, padahal sama anak-anak cowok lain di kosan tuh, ribut banget. Apalagi kalau sama Milan atau Yuta, gue nggak heran kalau mereka bertiga bisa saling ngata-ngatain sampai sama-sama emosi terus saling menyerang dan bergulingan di lantai.

Sampai suatu ketika, Johnny main ke kosan gue bertepatan dengan Rei sama Jella balik sehabis Rei minta tolong di-install-in aplikasi AutoCAD ke Dhaka, terus mereka sempat berpapasan di depan kosan gue.

(Johnny ini anak Mesin yang pernah jadi senior pendamping kelompok gue waktu ospek fakultas, terus ternyata kita lumayan cocok temenan, walau ya tentu, gue nggak hangout sama dia sesering kayak gue hangout sama Dhaka atau sama Rei).

"Lo kenal dia?"

"Siapa?"

"Cewek yang tadi papasan sama gue di depan kosan."

"Regina atau Jella?"

"Jella." Johnny mengangkat bahu. "Kalau Regina, gue kan emang udah tau kalau lo temenan sama dia."

"Kenal, soalnya dia se-kos sama Rei."

"Oh..."

"Kenapa gitu nanya-nanya?"

"Nggak apa-apa. Kayaknya si Jella-Jella itu cewek barunya Jenar, deh."

Gue sempat ternganga sebentar.

"Jangan bilang siapa-siapa! Lagian tau sendiri, ngomongin Jenar mah nggak akan ada habisnya."

Tentu, gue juga tau siapa Jenar yang dimaksud Johnny. Sama-sama anak Mesin, seangkatan sama Johnny. Dia terkenal banget bukan cuma di fakultas kita, tapi juga sampai ke fakultas lain. Wajar sih, ganteng gitu. And when I said he's handsome, dia tuh bukan tipikal ganteng cowok-cowok effortless atau ganteng yang macam typical ganteng aesthetic cowok Tumblr. Emang anaknya ganteng, kayak pangeran.

(Maybe this is not familiar for you but yah, boys can compliment other boys too. Walau lebih seringnya di dalam hati, soalnya awkward banget kalau diucapkan terang-terangan).

"Wajarlah, Jella kan cantik." Gue menyahut.

"Honestly, gue justru takutnya Jella cuma dimainin."

"Dimainin gimana?"

"Biasalah, Gra. Kayak nggak tau aja cowok gimana kalau udah mainin cewek. Terakhir yang gue tau korbannya si Jenar tuh Sierra, anak fakultas tetangga. Gue ngingetin aja, soalnya Jella kan teman lo. Gue pribadi bakal marah banget kalau teman cewek gue ada yang dimainin, jadi ya gue ngasih tau aja."

Jella kan teman lo.

Emangnya iya?

Kita nggak pernah ngobrol. Hanya sesekali bertegur sapa, atau saling bicara dengan awkward kalau kebetulan ketemu di kosan Sadewo. Nggak pernah lebih dari itu, hingga beberapa bulan berlalu sejak pertemuan pertama kita yang nggak memorable sama sekali di kosan gue.

Kayak biasanya, saat itu anak-anak lagi pada ngumpul, ngerayain ulang tahunnya Alfa. Alfa ini tergolong anak orang kaya juga, makanya nggak heran kalau dia all-out soal mentraktir anak-anak sekosan. Dia juga sengaja ngundang anak-anak selantai dua kosan Sadewo buat ikut makan-makan.

Suasananya kayak party dadakan, dengan tambahan beberapa jenis minuman beralkohol sekaligus—nggak perlu takut bakal digrebek Pak RT, soalnya Alfa pasti sudah memastikan aspek keamanan telah oke.

Lagi ramai kayak gitu, tau-tau Jella membelah kerumunan, ngedeketin gue.

"Tigra—sori, bisa minta tolong nggak?"

"Minta tolong apa?"

"Gue sama anak-anak cewek order Chatime, tapi gue salah pencet. Harusnya bayar pakai Gopay, ini ternyata yang kepilih pake cash. Masalahnya, pesenannya banyak dan uang cash yang kita punya nggak cukup buat bayar pesenannya."

"Loh, kenapa order Chatime? Kan minuman banyak?"

"Ujuy—maksud gue Yumna, baru kelar kerokan semalem. Dia masuk angin. Jadi nggak mau minum-minuman berat. Rei sama Rossa, ya lo tau sendiri."

"Oh..."

"Gue boleh pinjem uang lo dulu nggak? Soalnya dari tadi gue cari-cari Kak Alfa nggak nemu-nemu. Kak Devan juga nggak bawa uang cash, dia kan anaknya cashless banget, jajan Indomaret aja gesek."

"Ada sih kayaknya."

Gue pun berbalik, berjalan menuju lantai dua di mana kamar gue berada. Gue nggak expect kalau Jella bakal ngikutin. Orang-orang tuh banyaknya pada ngumpul di lantai bawah atau halaman depan kosan yang emang luas, makanya nggak heran kalau lantai dua sepi. Even Dhaka yang hobinya menyendiri sambil gitaran kalau lagi ada keramaian pun nggak berada di kamarnya.

Gue sengaja membiarkan pintu kamar gue kebuka, tapi langkah kaki Jella tertahan di pintu. Mukanya kelihatan ragu.

"Nggak apa-apa, La. Masuk aja."

"Hng, boleh?"

Gue tertawa. "Kenapa nggak boleh?"

"Abisnya, kamar cowok kan suka ada ranjaunya."

"Ranjau?"

"Kayak misalnya kolor, atau kotak Fiesta—"

"Tenang aja, La. Kamar gue bersih. Gue nggak kayak Jenar kok."

Jella mengerjap sambil melangkah memasuki kamar gue. "Kenapa jadi Jenar?"

Waduh, mampus gue, keceplosan.

"Nggak apa-apa. Kata orang-orang, lo deket sama Jenar. Jadi gue berasumsi—"

"Gue sama Jenar nggak ada apa-apa." Jella mendengus. "Cuma temenan senior sama junior aja. Nggak lebih."

"Really?"

"Beneran!"

"Kalau pun ada apa-apa, ya sebenarnya nggak apa-apa juga." Gue berujar. "Cuma, ada temannya Jenar yang gue kenal, yang bilang kalau Jenar suka main-main sama cewek. Jadi mending, lo hati-hati."

"Maksud lo, Jenar tuh sejenis buaya-buayaan?"

"Iya."

"Setengah diri gue setuju, setengah lainnya nggak."

"Dan kenapa nggak?"

Jella mengedikkan bahu, terus tatapan matanya jatuh pada foto gue bareng Rei yang ditusuk paku mading ke papan styrofoam yang terpasang di salah satu sisi dinding kamar.

"Lo dekat banget ya sama Rei?"

"Hm, emang kenapa?"

"Ini pertama kali gue lihat Rei mau foto mepet sama cowok selain sama Dhaka."

Gue ketawa saja, lalu memberikannya beberapa lembar uang. "Segini cukup?"

"Kelebihan dua lembar, anjrit!"

"Takutnya kurang. Mending lebih daripada kurang."

"Makasih ya, Gra! Ntar abis ini, gue tagihin ke anak-anak! Pasti gue ganti kok!"

"Nggak diganti juga nggak apa-apa."

"Hah—"

"Anggap aja, gue traktir lo sama anak-anak kosan. Selama ini juga belum pernah, kan?"

Jella mengerutkan dahi, kelihatan heran, tapi setelahnya dia angkat bahu, terus turun ke lantai bawah buat membayar pesanan ke abang-abang Gofood yang sudah menunggu.

Sehari setelahnya, Jella ngotot banget buat ngeganti uang gue, tapi gue tetap nolak... kayak ya... itu cuma Chatime. Sekali-sekali neraktir Rei sama teman-teman satu kosnya kan nggak ada salah. Tapi Jella masih saja ngeles, terus bilang kalau next time, dia yang bakal balik traktir gue.

Dari situ, menurut gue ya, Jella ini tipikal orang yang tegas dan keras kepala, beda-beda tipis lah sama Rei.

Bedanya, Jella adalah pribadi dengan self-confidence tinggi yang tau apa yang pantas dia dapat dan apa yang dia mau, sedangkan Rei, meski Rei nggak pernah benar-benar ngomong, I know that she tends to look down on herself.

Apa habis itu gue sama Jella jadi berteman dekat?

Nggak juga.

Dia memang cukup sering main ke kosan gue, tapi biasanya ya buat tanding main playstation sama Milan, atau jadi tukang nge-goblok-goblok-in Yuta tiap kali tuh orang habis berantem sama Yumna. Nggak pernah ada interaksi lebih diantara kita.

Hingga suatu hari, ada peristiwa lain yang terjadi.

Posisinya waktu itu, gue lagi pacaran sama Rei—yang mana nggak ada seorang pun yang tau, kecuali Harsya sama Dhaka dan surprisingly, mereka nggak ember atau berkoar kemana-mana.

Mungkin karena mereka paham Rei orangnya gimana dan nggak mau bikin Rei ngerasa nggak nyaman—padahal gue pribadi sih ya santai-santai saja kalaupun ada yang tau kalau kita pacaran. Cuma berhubung Rei merasa nggak ingin mengekspos soal itu ke siapa-siapa, gue mengikuti apa maunya dia, selama itu bikin dia nyaman.

Kita berdua lagi ada di kamar gue, duduk berhadapan di kasur gue dalam kondisi gue nggak pakai atasan apa pun (soalnya memang sengaja mau nunjukkin tato gue ke Rei, berhubung dia ngerasa perlu referensi sebelum dia bikin tato) ketika Jella tau-tau membuka pintu tanpa mengetuk dulu.

"Tigra, gue boleh pinjem chargeroops—sori!" Jella sontak nggak meneruskan ucapannya, langsung salah tingkah ketika dia melihat Rei. "—gue nggak tau kalau lo lagi main kesini—ow, oke, gue coba pinjem charger ke Dhaka aja deh! Sori udah ganggu!!"

Jella menutup pintu kamar gue, bikin Rei buru-buru turun dari kasur.

"Jella—"

"It's okay." Gue menahan lengan Rei. "Biar gue aja yang ngomong sama Jella."

Dhaka lagi nggak ada di kamarnya, alhasil Jella nggak punya tempat untuk melarikan diri selain dapur kosan gue.

"Jella, soal yang lo lihat—"

"Sori banget udah ganggu, Gra." Jella makin salah tingkah. "Jenis chargernya Milan nggak kompatibel sama handphone gue, terus—intinya, anggap aja gue nggak lihat apa-apa."

"Gue sama Rei nggak ada apa-apa, Jella."

Jelas, itu bohong, tapi saat itu, nggak ada yang lebih penting buat gue selain perasaan dan kenyamanan Rei.

"Kalau ada apa-apa juga, apa masalahnya? Bukan sesuatu yang mesti lo jelaskan ke gue."

"Gue nggak mau Rei ngerasa nggak nyaman."

Jella memandang gue sebentar, terus menghela napas. "You like her, right?"

Gue mengangguk.

"Kelihatan."

"Tapi diantara kita nggak ada apa-apa." Gue mengulang apa yang sudah gue katakan sebelumnya. "Rei ada niat mau bikin tato. Gue saranin, di tempat yang ketutup baju dulu, walau kalau areanya susah dijangkau tangan, dia bakal perlu bantuan buat ngerawat tatonya waktu masih baru. Rei jadi kepo sama tato gue, jadi yah, makanya gue buka baju."

"Oh..."

"Gue nggak keberatan dikira ada apa-apa sama Rei, tapi dia mungkin nggak begitu. Makanya gue ngerasa perlu negasin, nggak ada apa-apa diantara gue sama Rei."

"Oke..."

Gue ragu kalau Jella benar-benar mempercayai alasan gue, soalnya posisi duduk gue sama Rei memang dekat banget. Cuma, bagusnya adalah dia berusaha bersikap biasa saja setelah itu dan melihat kalau nggak ada gosip aneh-aneh yang kesebar setelahnya, gue ngerasa, diam-diam Jella juga cukup peduli sama Rei, sama kayak Harsya atau Dhaka.

Efeknya ya... sampai sebulan setelah kejadian itu, gue sama Jella nggak bisa saling berdekatan tanpa ngerasa salah tingkah.

Terus pelan-pelan, kita yang memang sudah berjarak, jadi makin berjarak.

Makanya, gue cukup memahami kalau teman-teman kita pada nggak expect kalau ujung-ujungnya, gue bakal nikah sama Jella.

Sama sih.

Gue juga nggak expect.

Jella itu kayak kejutan nggak terduga-duga, tapi sejauh ini, gue bisa bilang kalau dia adalah kejutan terbaik yang pernah gue dapat.

*

Kalau ada momen yang cukup berkesan antara gue dan Jella semasa kuliah, itu adalah sesuatu yang terjadi di hari kelulusan kita.

Sejujurnya, momen itu adalah salah satu momen yang nggak bisa gue lupakan.

Apa titik-balik semuanya dimulai dari sana?

Nggak tahu, deh.

Kita wisuda di periode yang sama dengan Rei dan Yumna. Harsya telat daftar wisuda, jadi otomatis dia mesti ngikut periode berikutnya. Kalau Rossa... well, peristiwa yang dia alami bikin dia mesti menunda kuliah setahun, makanya tentu, nggak bisa wisuda bareng kita.

Menilik dari karakternya Jenar, sudah pasti, dia bakal hadir sebagai pembimbing wisuda Rei. Apa gue cemburu? Dikit, karena gimana pun, nggak segampang itu menghilangkan perasaan yang sudah terlanjur lestari selama bertahun-tahun. Tapi dibanding rasa cemburu, gue lebih banyak merasa lega.

Seenggaknya, Rei bisa ditemani sama seseorang yang dia sayang dan balik sayang sama dia di salah satu hari bersejarah dalam hidupnya.

Habis kelar prosesi wisuda di kampus, kita pada ngumpul lagi, terus pergi ke studio foto. Situasinya rame banget, karena orang tua juga pada datang.

(Not my parents, tho. Bokap-nyokap gue sudah sepakat bakal bikin sesi photoshoot sendiri buat mengabadikan momen wisuda gue, jadi gue pure dateng buat foto-foto sama teman-teman gue aja).

Tapi berbeda sama Rei, yang benar-benar cuma sama Jenar doang. Gue sempat melihat ke arahnya, berniat baca situasi, siapa tau Rei butuh gue hibur, namun gue justru menyaksikan sesuatu yang lain.

Rei lagi bicara sama Jenar. Cewek itu kelihatan antusias banget, dan cerewet. Jenar diam, mendengarkan dengan penuh perhatian. Matanya menatap ke Rei seolah-olah cewek itu adalah pusat dunianya.

Terus di tengah-tengah cerita Rei, tahu-tahu Jenar mengulurkan tangan buat benerin tali toga Rei yang kurang rapi.

Gue kira, Rei bakal bengong, atau merespon gestur Jenar yang mendadak. Namun ternyata nggak. Rei justru lanjut bercerita, seolah-olah apa yang Jenar lakukan itu adalah sesuatu yang biasa buatnya.

Jenar bisa bikin dia nyaman, lebih dari apa yang pernah gue lakukan.

Gue jadi merasa seperti pecundang.

Mungkin gue bakal terus-terusan meratapi kekalahan gue sendiri kalau nggak mendadak terdengar suara Jella yang berdeham, yang otomatis bikin gue menoleh.

Oh, damn.

Dari jarak dekat kayak gini, gue baru sadar kalau Jella cantik banget hari ini. Kebayanya warna biru muda. Rambutnya yang biasa digerai atau diikat ekor kuda tersanggul rapi. Dia terlihat lebih feminin dari biasanya.

"Dasi lo tuh."

"Hah?"

"Dasi lo berantakan. Nggak ada yang rapiin ya?"

"Hah?"

"Yailah, dasi lo!" Jella menunjuk ke dasi gue, lalu dia berjalan hingga jaraknya lebih dekat dengan gue. Lalu tanpa permisi, dia mulai memperbaiki dasi gue yang agak berantakan. "Nggak ada yang rapiin ya? Kasihan."

"Oh—hng—iya, tadinya nggak ada yang rapiin, tapi sekarang ada."

"..."

"Ada lo, yang rapiin dasi gue."

Jella tertawa kecil. Cantik. "Jangan bilang-bilang Milan."

"Tenang, gue belum bosan hidup kok." Gue meladeni candaannya.

"There you go." Tangan Jella menepuk dasi gue. "Dasinya udah rapi."

"Thankyou, Miss J."

Dia tersenyum mendengar sahutan gue. "Gue kasih saran, boleh nggak?"

"Saran apa?"

"Kalau mau bahagia, jangan sayang sama orang yang nggak balik sayang lo dengan cara yang sama."

"Maunya sih gitu. Tapi hidup nggak melulu bisa sesuai apa mau kita, kan?"

"Emang. Siapa juga yang bilang kalau hidup bisa selalu sesuai sama mau kita?" Jella melipat tangan di dada. "Cuma masalahnya, lo nggak ada effort untuk nemuin orang lain yang bisa balik sayang lo dengan cara yang sama."

"Kan katanya jodoh tuh udah diatur, La." Gue ngeles.

"Kalau lo nggak ada usaha, apa lo kira Tuhan bakal ngejatohin jodoh lo dari langit begitu aja?"

"Woh, ternyata bisa bawa-bawa nama Tuhan juga..." gue meledeknya.

"Untung lo Tigra."

"Maksudnya?"

"Kalau lo Milan dan barusan lo ngomong gitu, udah gue betot leher lo pakai dasi!"

Kita saling berpandangan, terus tawa kita meledak berbarengan.

Kayaknya, itu pertama kalinya kita saling bikin satu sama lain tertawa.

*

Kita ketemu lagi sekitar setahun setelah kelulusan.

Habis lulus tuh, semuanya kayak berpisah jalan, mulai meniti karir mereka sendiri-sendiri. Gue juga begitu. Awalnya, masih suka sesekali lihat unggahan teman-teman kuliah di media sosial. Tapi lama-lama ya sibuk sama kerjaan, jadi nggak sempat dan nggak terlalu update lagi—walau setahu gue, Rei masih tetap sama Jenar, begitu pun Jella yang masih pacaran sama Milan dan status hubungan Yuta-Yumna yang nggak jelas.

(Kalau soal Yuta-Yumna, mereka nih memang rajin bikin kehebohan. Tiap lagi berantem heboh, dua-duanya tuh suka live Instagram bareng, kayak membuka kesempatan bagi netizen untuk jadi komentator. Dhaka sama Eno nggak pernah ketinggalan ngirim link ke WhatsApp gue tiap kali Yuta sama Yumna live bareng, jadi tentu saja, nggak heran kalau gue hampir nggak pernah ketinggalan).

Suatu siang, gue sengaja mampir ke Apotek K-24 dekat kantor gue buat beli masker, tapi malah dibikin kaget sama Jella yang tengah terduduk di depan apotek. Mukanya pucat banget, dan dia kelihatan lemas.

"Jella?"

Cewek itu nggak banyak berubah. Paling cuma rambutnya saja yang dipotong lebih pendek hingga ke bahu.

"... Tigra?"

"Lo pucat banget! Lo sakit?"

Jella nggak menjawab, malah pingsan.

Gue sempat panik lihat dia tiba-tiba pingsan begitu, cuma ya, sejenak kemudian gue sadar kalau gue nggak boleh panik kalau gue mau bantu dia. Makanya, gue buru-buru angkat Jella, terus minta tolong tukang parkir yang lagi ada di sekitar sana untuk bukain pintu mobil.

Ternyata, Jella kena usus buntu. Usus buntunya mesti segera ditangani, yang membuat gue membuka ponselnya buat menelepon Milan. Ketika itu, gue mikirnya mereka masih pacaran. Tapi Milan malah reject teleponnya. Gue jadi bingung, cuma berhubung keputusan harus diambil secepatnya, gue ganti nelepon nomor orang tuanya.

Orang tuanya Jella tinggal di luar kota, dan karena situasinya sudah darurat banget, mereka mendelegasikan hak untuk mewakili keluarga ke gue.

Terus apa?

Jella mesti dioperasi. Untungnya, semuanya gercep dilakuin. Kalau nggak, pasti bakal jauh lebih parah dan bisa jadi, hidupnya bakal ada dalam bahaya.

Gue nggak masuk kantor selama tiga hari berturut-turut, karena kebetulan banget, bapaknya Jella lagi ada dinas ke luar kota, yang bikin mereka agak lama tiba di Jakarta.

Kondisinya Jella benar-benar darurat, yang bikin gue nggak terpikirkan buat ngabarin siapapun selain keluarganya. Nyokapnya berkali-kali bilang 'makasih' sama gue lewat telepon, yang bikin gue ngerasa bakal nggak bertanggung jawab banget kalau gue ninggalin Jella gitu aja.

Gue sudah hampir ketiduran sewaktu dia bangun selepas operasi.

"... Tigra?"

Suaranya parau dan lirih, mungkin karena baru bangun dan efek obat bius yang belum benar-benar habis.

Gue mengangkat wajah, melihat ke dia dan tersenyum. "Hei... how is it? Ada yang sakit?"

"Lo... ngapain di sini?"

"Kita ketemu di depan apotek. Ingat?"

"... iya."

"Lo sakit usus buntu. Harus dioperasi, dan situasinya udah gawat banget. Telat sebentar aja, bisa bahaya. Orang tua lo udah gue kabarin, tapi selama mereka belum sampai di sini, gue yang temenin lo."

"... you know, you don't have to." Jella menghela napas. "Jadi usus buntu ya?"

"Emang lo kira apa?"

"Sakit bulanan biasa."

Gue berdecak. "Saking parahnya peradangan, usus lo udah nggak kelihatan waktu di-USG. Masih untung lo masih selamat."

"It all thanks to you, I guess?" Jella masih pucat, tapi ketika dia tersenyum, gue merasa sangat lega. "Lo malaikat penyelamat gue."

"Kebetulan aja gue lagi ada di sana, dan gue kenal lo. Kalau situasinya dibalik, lo pasti bakal ngelakuin yang sama, karena lo kenal gue."

"Nggak juga."

"Hm?"

"Yang jelas, gue nggak bakal kuat gendong lo, kayak gimana lo gendong gue..."

"..."

"Gue berat nggak?"

"Nggak."

"Bohong."

"Oke, mungkin agak berat."

"Huf... eh, tapi kalau usus gue dioperasi, berarti dikeluarin tuh yah?"

"Mm-hm."

"Berarti harusnya berat badan gue turun dong ya?"

"Lo hampir mati, dan sekarang yang lo pikirin adalah berat badan?"

"Hampir, tapi kan nggak mati."

"Still."

"Again, thank you." Jella berujar tulus. "Makasih karena udah jadi malaikat penyelamat gue."

Terus terang, gue nggak expect Jella bakal bilang begitu.

"Eh ya, gue belum sempat hubungin Milan—"

"Nggak perlu."

"Loh, kenapa?"

"Gue sama Milan udah putus. Udah enam bulan. It was a bad break-up. Nggak dramatis banget sih, tapi ya still a bad break-up. Gue nggak mau mengganggu Milan dengan urusan gue."

"Uh... oke."

"Mending lo pulang."

"Lo ngusir gue nih ceritanya?"

"Nggak..." Jella tergelak. "Nanti pacar lo nyariin."

"Nggak ada."

"Apanya?"

"Pacar."

"Seriously? Jangan bohong!"

"Untuk orang yang baru bangun, lo ini cerewet banget."

"Keberatan?"

"Nggak juga. Enak aja lihat lo nanya-nanya. Berasa lagi di-interview HRD."

"Oke, kalau gitu, gue akan nyerocos terus!" Jella berseru penuh semangat. "Masa sih lo nggak punya pacar? I mean, you?! Like seriously?!"

"Emang nggak ada."

"Dude, you're too fine to be single."

Tigra cuma tersenyum. "By the way, lo mau ngabarin yang lain?"

"Siapa?"

"Teman-teman cewek lo yang lain. I don't know, Rosie—eh, lo masih kontak-kontakan sama Rossa?"

"Masih, sesekali doang. Anaknya lagi sibuk balik kuliah. Gue nggak mau ganggu. Untungnya, di kosan masih ada Jinny sama Sakura."

"Yumna? Harsya? Rei?"

"Aduh, Yumna terlalu heboh. Skip dulu. Bisa jadi, dia lagi puyeng ssama urusannya sendiri sama si Atuy. Kagak kelar-kelar. Kalau Harsya, gue nggak tau deh. Dia orang lapangan. Nelepon dia dan bisa nyambung aja udah alhamdulillah. Kalau Rei, hadeh, tuh orang mah sibuk sama cowoknya!"

"Masih Jenar ya?"

"Mana bisa dia kabur dari orang kayak Jenar? Kalaupun ada kesempatan kabur, dianya juga nggak mau." Jella berdecak. "Nggak apa-apa sih. Toh, udah sembuh ini."

"Belom. Masih masa pemulihan." Gue mengoreksi.

"Sama aja, udah sembuh!" Jella berkilah.

"Beneran nggak apa-apa?"

"Nggak. Sebagai orang dewasa, gue paham teman-teman gue juga punya kesibukan sendiri. Gue nggak mau ganggu mereka. Dan lo—" Jella mengangkat alis. "Lo juga pasti punya kesibukan sendiri! Kenapa lo malah buang-buang waktu dan nungguin gue di sini sih?!"

"Karena kalau bukan gue, siapa lagi yang bakal nemenin lo di sini?"

"Gue nggak masalah sendirian."

"Gue yang masalah biarin lo sendirian."

"Tapi ya, Tigra—"

"Sebagai malaikat penyelamat lo, gue mau nungguin lo di sini, seenggaknya sampai orang tua lo tiba."

"Ck—"

"Masa malaikat penyelamat lo mau diajak debat?"

"Hadeh..."

Gue terkekeh, meraih jeruk dari atas nakas. "Mau jeruk nggak? Gue bukain."

*

Oh ya, apa gue sudah pernah cerita kalau sebelum ada apa-apa diantara kita secara resmi, gue pernah menciumnya?

Gue sendiri nggak tau apa yang terlintas dalam pikiran gue ketika itu.

Situasinya adalah, Jella baru pulang dari rumah sakit selepas operasi, dan gue ikut mengantar. Orang tuanya juga ada di sana. Ketika itu, nyokapnya Jella pamit turun ke lobi untuk ambil delivery kopi buat papanya Jella. Bokapnya sendiri sedang di toilet.

"Masih baca Detective Conan?" Gue nggak bisa menahan tanya saat melihat sebuah komik tergeletak di atas meja. Kentara banget, komik itu telah lama nggak tersentuh.

"Oh, itu punya Rei. Pas pindahan, kayaknya ada beberapa yang kebawa sama gue. Kata Rei, di-keep aja. Kadang, suka gue baca kalau lagi bosen dan nggak tau mau ngapain." Jella membalas seraya meraih sebotol air mineral.

"Sini, bisa nggak bukanya?" Gue duduk di dekatnya, mengambil alih botol air dari tangannya saat gue lihat dia kesulitan buka tutup botolnya.

"Thanks."

"It's okay." Gue memberikan lagi botol air mineral itu ke dia. "Gue tadi dengar dari nyokap lo kalau mereka nggak bisa lama-lama nungguin lo di sini. Jadi, just in case lo butuh bantuan atau butuh seseorang, nomor gue nyala terus kok. Chat atau telepon aja ya, La."

"Gue nggak mau ngerepotin."

"Gue nggek merasa direpotin."

"Tapi, Tigra—"

"Jella, soal yang ini, jangan keras kepala ya? Jujur banget, gue khawatir. Soalnya lo tinggal sendirian dan sakit lo ini bukan yang sepele."

Jella nggak menyahut, tapi dia menatap gue lekat. Gue balik memandangnya.

Terus ya, semuanya terjadi begitu saja.

Gue menempatkan salah satu telapak tangan gue di pipinya, mencondongkan tubuh agar lebih dekat, kemudian menciumnya.

Untung nggak ketahuan.

(Yah, di kemudian hari, ternyata sebenarnya ketahuan sih, cuma bokap mertua gue—yang waktu itu belum jadi mertua gue—lebih memilih menonton saja, soalnya katanya "seru banget").

Malamnya, gue sengaja menelepon Jella, soalnya gue takut, tindakan impulsif gue bakal bikin dia awkward dan memutuskan menjauhi gue.

"La, soal yang tadi siang—"

"Soal ciuman itu?"

"Mm-hm. Sori."

"Kenapa harus minta maaf? Ciuman lo oke kok."

Bener-bener deh.

"Nggak gitu! Gue cuma takut kalau gue bikin lo nggak nyaman—"

"Nggak. Gue nggak ngerasa gitu. You know how to kiss. Damn, now I am craving some orange."

"Orange?"

"Waktu ciuman tadi siang, rasanya rasa jeruk. Pasti lo habis makan permen jeruk ya?"

"... iya."

"That was nice. Kalau ada kesempatan lagi, gue bakal jadi yang duluan cium lo. Next time, we'll try cherry flavor."

Refleks, tawa gue pecah.

Jella sangat santai menanggapinya dan karena selera humor kita klop, situasinya jadi nggak secanggung yang gue duga.

Kebalikannya, malah.

Semuanya berawal dari sana, lalu tanpa gue sadari, kita berdua jadi dekat.

Tentu baik gue maupun Jella nggak langsung punya pikiran "oh, gue pengen nikahin nih orang!".

Hubungan kita lebih kayak sepasang sahabat saja. Boleh jadi, karena gue sama Jella lagi sama-sama single, makanya kita lebih leluasa jalan atau main kemana-mana. Jella suka nemenin gue hunting foto keliling Jakarta, terus kulineran tengah malam. Besoknya, sesi kulineran tengah malam itu bakal dilanjut jogging bareng.

Terus tanpa gue sadari, camroll gue yang awalnya berisi foto-foto pemandangan, potret gedung pencakar langit ibukota di kala senja atau pemandangan Pantai Indah Kapuk kini berganti oleh wajahnya.

Suatu sore, dia datang ke apartemen gue tanpa bilang-bilang.

"Kok nggak bilang-bilang sih?"

"Biar lo kaget." Jella lalu menunjukkan kantung plastik di tangannya. "Ta-da!"

"Chatime?"

"Gue masih punya hutang neraktir lo Chatime. Inget nggak?"

"Hah?! Hutang apaan?!"

"Dulu, di kosan lo, waktu Alfa ulang tahun, gue pernah minjem duit lo untuk bayar Chatime karena lagi nggak pegang uang cash."

"Kapan—hah, yang itu?! Lah, kan udah gue bilang, nggak apa-apa, anggap aja traktiran dari gue..."

"No, gue udah ngotot kalau gue bakal balikin duit lo. Tapi karena gue tau lo nggak mau terima duit, ini aja ya? This is your favorite right?"

"Mm-hm."

Gue membuka pintu unit apartemen gue lebih lebar, mempersilakkannya masuk. Sebelum dia datang, gue lagi main playstation. Makanya wajar banget, kalau gue cuma pake celana pendek rumahan sama heavy tank.

"The song is nice." Jella mengomentari lagu yang tengah terputar di Spotify laptop gue. "Vibesnya rada jadul gitu ya."

"Emang lagu jaman dulu."

"The title?"

"Destiny. Lagunya Misha Omar. Dia penyanyi Malaysia deh kalau nggak salah."

Jella manggut-manggut. "Lagi sibuk?"

"Nggak. Lagi main game aja." Gue mengedikkan bahu, lalu meluruskan kedua lengan gue yang pegal untuk melakukan sedikit peregangan.

"Damn, gue nggak sadar kalau tato lo emang sebanyak itu." Jella berkomentar seraya menatap pada tato-tato yang tersebar dari bagian atas bahu sampai ke bagian dalam salah satu jari gue.

"Di tempat yang ketutupan baju malah lebih banyak lagi, La."

"Masa?!"

"Iya."

"Mau liat, boleh nggak?"

"Gue harus buka baju dong kalau gitu?"

"Emang kenapa?"

"Nggak apa-apa?"

"Ini bukan kali pertama gue lihat cowok telanjang."

"Gue nggak akan telanjang." Gue tertawa seraya membuka heavy tank gue, bikin gue praktis nggak mengenakan apa pun untuk menutupi badan bagian atas gue. "See? I have way more."

"Bagus di lo."

"Hm?"

"Tato-tatonya kelihatan bagus di lo."

"Lo adalah cewek pertama yang nggak bilang kalau tato gue kebanyakan."

"Nggak kok, emang bagus. They make you look sexy." Jella berkata. "That one is huge, anyway."

Gue tau tato mana yang dia tunjuk. Bentuk tatonya mahkota ratu. Tato yang gue buat untuk Rei, because Regina means queen.

"Ah, yes."

Hening sejenak, sebab nggak ada diantara kita yang berbicara.

"Jella, gue tau lo orangnya kayak gimana." Gue jadi yang pertama berinisiatif memecah kesenyapan. "Lo nggak akan datang kesini tanpa tujuan yang jelas. Dan lo terlihat serius. It's okay, kita kan bisa saling jujur sama satu sama lain."

"Lo tuh bisa terlalu to the point kadang-kadang ya?"

"... sori."

"Nggak perlu. Itu salah satu yang gue suka dari lo."

Gue nggak bisa menahan senyum gue. "Come on, Princess J. Tell me, ada yang mau lo omongin ke gue?"

"Ada."

"Apa?"

"Kita udah sama-sama dewasa. Gue yakin mau ngomong ini, dan gue harap lo juga bakal menanggapinya dengan baik, kayak, kalau pun lo nggak bisa membalasnya dengan cara yang gue inginkan, gue harap kita tetap jadi teman."

"Wait, are you—"

"Tigra, I think I am catching—"

"Jella, I think I like you."

Jella mengerjap. "What?!"

"Lo udah dengar jelas gue ngomong apa barusan."

"Tapi yang mau confess tuh gue ya! Kenapa lo tiba-tiba ngomong?!"

"Gue mau jadi yang duluan confess." Gue terkekeh.

"NGGAK BISA GITU DONG! Itu curang! Gue belum selesai ngomong dan lo udah motong—"

"Alright—" Gue memutuskan mengalah. "Oke, anggap aja gue nggak pernah ngomong barusan. Gue tarik lagi semua kata-kata gue. Gue nggak pernah bilang apa-apa soal suka sama lo. Nah—sekarang silakan, Jella. Katakan apa yang mau lo katakan."

Jella kelihatan bete. Dia cemberut. Tapi itu justru bikin gue makin susah menahan tawa.

"Sebenarnya, mau lo tarik kata-kata lo pun udah nggak guna ya, Tigra. Tapi yaudah. I think I am catching feelings."

"... udah?"

"Udah!" Jella mendengus. "Dih, jadi garing banget! Sebel!"

"Oke, sekarang giliran gue ya?"

"Don't you dare make your confession better than mine, Tigra."

"I can't promise that." Gue mencibir separuh mengejeknya. "Inget nggak, apa yang lo bilang di rumah sakit, waktu gue nemenin lo abis operasi?"

"Nggak."

"Jella, please ya..."

"Nggak! Lo nemenin gue berhari-hari. Mana gue inget semua yang lo omongin?!"

Gue berdecak. "That time you said I am too fine to be single."

Jella terhenyak, terus cemberut lagi. "I told you, don't make your confession better than mine, for the love of God!"

Gue tertawa keras. "Be my double, then?"

"Dude—what the hell?!"

"Gue sayang sama lo, La. Lebih dari sebatas teman. Gue nggak tau sejak kapan, tapi gue baru tersadar ketika gue ngelihat camroll gue, dan mayoritas isinya adalah lo. Atau saat gue melihat handphone gue, dan kebanyakan pesan yang muncul di notif itu dari lo."

"... TUH KAN!! LO BIKIN CONFESSION LO LEBIH BAGUS DARI GUE!!"

"Come on, Jella!"

"Okay, then. Remember another one?"

"Apa?"

"Soal ciuman nggak sengaja waktu gue baru balik dari rumah sakit—"

"Sengaja deh. Gue sepenuhnya sadar waktu gue cium lo."

"Oke, intinya soal ciuman itu."

"Kenapa?"

"Ciumannya rasa jeruk."

"... ya. Terus?"

"Gue pernah bilang, next time kita ciuman, ciumannya bakal rasa cherry."

"... terus?"

"Sekarang, gue lagi pake lipbalm rasa cherry." 

Gue nggak perlu menjelaskan apa yang terjadi setelah itu, kan? 



***

jaman kuliah

jaman pacaran

jaman udah ada cherry


***

a/n: 

permulaan sebelom jella vs mama mertua wkwkwk 

apa reaksi tigra? wkwkwkwk 

btw next time, mau moments dari sudut pandang siapa 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top