9 | plung!
Rasa sepi yang paling nggak tertahankan itu adalah rasa sepi yang masih bisa lo rasakan, sekalipun lo sedang berada di tengah-tengah keramaian.
Jam tujuh malam, di Kimukatsu Grand Indonesia. Ini malam Minggu. Malamnya wakuncar alias waktu kunjung pacar, kalau kata anak muda ibukota angkatan lama. Sama seperti pusat-pusat tempat nongkrong lainnya, mall ini juga penuh sesak oleh pengunjung. Sedari tadi, makanan sudah diantarkan, tetapi tangan Sakura tak kunjung tergerak menyentuhnya. Dia hanya melamun, tanpa sadar mengaduk minuman dalam gelasnya pakai sedotan.
"Babe, kok malah bengong sih?"
Sakura tersentak sedikit, mengalihkan pandang dan mendapati lelaki yang duduk di hadapannya sedang memandang padanya dengan mata bersinar cemas.
"Nggak apa-apa."
"Masih ngambek karena kita malah kesini dan nggak makan udon favorit kamu itu? Aku mau aja sih kesitu, tapi kan lagi rame banget. Terus temen-temen kantorku juga suka nongkrong disitu."
Sakura mendesah. "Nggak apa-apa."
"Beneran?"
"Beneran, Mas."
Lelaki itu berdecak. "Told ya not to call me that, Sakura."
"Kenapa?" Sakura justru jadi tertantang untuk bertanya. Sesuatu yang tidak biasanya, soalnya selama ini, dia diam saja.
"Kok kamu malah tanya kenapa?"
"Sierra boleh panggil kamu begitu."
"Sierra kan beda."
"Beda karena dia istri kamu?"
Alfa menghela napas. "Sakura, please? I waited the whole week to go out with you. Jangan malah ngajak berantem deh."
"Aku nggak ngajak berantem! Aku cuma nanya." Sakura melepaskan tangan dari sedotan yang dia pegang, kemudian menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Tapi kalau kamu anggap itu ngajak berantem, mungkin memang ada sesuatu yang seharusnya kita omongin."
"Mau ngomongin apa?"
"Menurut kamu?"
"Oke." Alfa menghela napas, melihat pada sekelilingnya sebelum meraih salah satu tangan Sakura yang berada di atas meja dengan kedua tangan. Jemarinya baru saja bersentuhan sedikit dengan kulit Sakura ketika perempuan itu telah lebih dahulu menarik tangannya. Alfa tercengang.
"Harus banget ya selalu begitu ya?"
Alfa jadi makin heran dengan perubahan sikap Sakura yang menurutnya tiba-tiba banget. "Apanya yang selalu begitu?"
"Kamu selalu mesti ngecek sekeliling dulu kalau mau berinteraksi dengan 'dekat' sama aku? Karena kamu takut ada kenalan kamu, atau kenalannya istri kamu yang liat?!"
"Sierra knows about us, jadi kamu tahu pasti, aku nggak lagi berusaha melindungi perasaannya. Cuma, kalau soal kita sampai ke orang tuaku atau orang tuanya Sierra, aku harus bilang apa, Sakura?"
"Kamu masih nanya?"
"Maksud kamu?"
"Just tell them about us already. Apanya yang sulit?"
"Semuanya nggak segampang itu, Sakura."
"Selalu alasan yang sama." Sakura menyipitkan mata, merasakan emosinya perlahan merangkak naik menuju ambang batas maksimal.
"Terus mau kamu apa? Aku bilang ke orang tuaku dan orang tuanya Sierra kalau selama ini aku punya perempuan selain istriku dan lihat salah satu dari mereka jantungan lalu nge-drop?"
"Don't you think about my feelings too, Alfa?"
"Selama ini kamu baik-baik aja. Selama ini kita baik-baik aja." Alfa menjawab, terus menggeser kursinya dan bermaksud meraih tangan Sakura. Tetapi Sakura masih saja menolak. "Sakura, please? We didn't wait all those fucking days just to fight like this, right? I love you—"
"Aku nggak pernah baik-baik aja dengan itu! Kamu nggak pernah berada di posisi aku, juga nggak pernah ngerti! Aku capek kita terus-terusan kayak gini. Kemana-mana, kudu ngumpet-ngumpet. Kemana-mana, mesti ke tempat yang nggak sering didatangi sama orang yang kamu atau istri kamu kenal! And screw those things you said!"
"Sakura—"
"Aku mau pulang aja."
"Aku anter."
"Nggak mau."
"Sakura!"
"Aku lagi nggak mau dekat-dekat sama kamu."
Sembari menahan air matanya, Sakura beranjak dari duduk usai meraih tas tangannya yang berada di atas meja. Dia melangkah cepat dalam balutan sepasang stiletto yang bikin tiap langkahnya jadi terkesan jauh lebih dramatis. Wajahnya telah memerah menahan tangis dan jika ada sesuatu yang bisa disyukuri, pasti itu adalah fakta kalau Alfa membiarkannya pergi tanpa mengikutinya.
Selama ini kamu baik-baik aja.
Selama ini kita baik-baik aja.
Dalam taksi yang membawanya kembali pulang ke apartemennya yang berada di daerah Karet Tengsin, kata-kata Alfa itu mau tidak mau bergema dalam benak Sakura. Terus terngiang, meski Sakura tidak mau mengingatnya. Nggak, selama ini Sakura nggak baik-baik saja. Dia hanya berusaha agar dia terlihat baik-baik saja. Namun, mana mampu Alfa mengerti?
Alfa itu laki-laki. Dia nggak menanggung prejudice sebanyak yang mesti Sakura hadapi.
Sakura perempuan, tinggal sendirian di sebuah apartemen untuk kalangan menengah atas di daerah strategis ibukota yang bisa dibilang mahal.
Meski dia bekerja di sebuah perusahaan yang tergolong bonafit dan punya nama besar, tetapi di usianya yang masih muda tanpa latar belakang orang tua yang kaya-raya, tentu saja selalu ada omongan miring. Rumor itu diperkuat dengan Alfa yang kerap mengunjunginya beberapa kali dalam sebulan. Sakura juga tidak pernah benar-benar terlihat punya pacar di media sosialnya. Dalam beberapa kali liburan bareng Alfa, Sakura hanya bisa memposting fotonya sendiri, sebab apa yang akan dikatakan orang-orang kalau mereka melihatnya berlibur bersama suami orang?
Di satu sisi, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, selalu ada anggapan kalau perempuan itu punya expiration date. Kecantikan tak akan bertahan selamanya, dan tidak seperti laki-laki yang bisa bereproduksi seumur hidup, perempuan punya batas waktunya sendiri-sendiri. Layaknya sebuah produk, ketika tanggal kadaluarsa seorang perempuan sudah terlewati, ada anggapan bahwa dia tidak lagi berguna, baik sebagai perempuan di mata laki-laki, maupun sebagai bagian dari society.
Lalu, apakah Sakura harus bercerita juga tentang tanggapan teman-teman terdekatnya yanng mayoritas perempuan, saat tahu apa yang dilakukannya dengan suami orang?
Mereka perempuan, dan Sakura nyaris nggak pernah dengar ada perempuan yang mendukung perempuan perebut suami orang.
Terkadang, Sakura merasa situasinya betul-betul nggak adil. Iya, Alfa memang menikah dengan Sierra. Tapi Sakura ada dalam hidup lelaki itu lebih dulu. Dia mencintai Alfa lebih dulu dan Alfa pun berbalik memiliki perasaan serupa padanya. Tak seperti bagaimana Alfa memandangnya, Alfa nggak mencintai Sierra. Namun kenapa, justru Sakura yang mesti hidup dengan stempel besar sebagai perebut suami orang?
Sakura merasa dia nggak pernah merebut siapapun.
Sejak awal, hatinya Alfa memang miliknya.
Akan tetapi, tampaknya, Alfa juga nggak bisa memahami situasinya.
Sakura baru tiba di apartemennya ketika ponselnya bergetar. Dia mengeceknya. Ternyata dari Jinny.
jinny:
assalamualaikum pelakorku.
sakura:
kenape?
jinny:
telponan yuk.
sakura:
laki lo kemana?
jinny:
lagi yasinan dia.
sakura:
lah, ini kan malem minggu.
jinny:
kaya ngga tau laki gue aja.
dia mah tiada hari tanpa mengaji.
sakura:
kebalikan dari lo ya?
jinny:
emang gue kenapa, seus?
sakura:
tiada hari tanpa mengjulid
jinny:
namanya rumah tangga, kudu saling menyeimbangkan.
yuk ah capcus.
video call aja kali yak?
sakura:
jangan, gue lagi jelek.
jinny:
kapan lu cakep?
sakura:
haha sialan.
jinny:
jelek kenapa? gagal filler?
kata gue juga gak usah palar-piler lah langsung aja ke gangnam
kali aja lo bisa mirip itu tuh member iz*one yang cakep itu.
sakura:
hadeh.
abis berantem.
jinny:
sama laki orang?
sakura:
sapa lagi.
jinny:
oiya lupa.
malem minggu kan jadwalnya lo jadi bayi gula.
sakura:
kampret.
jinny:
video call aja gapapa.
bosen nih.
sakura:
ganggu laki lo ngaji ngga nantinya?
jinny:
dia ngajinya di musholla rumah.
kagak bakal kedengeran mau gue ajep-ajep sekalipun.
sakura:
oke.
Nggak berapa lama, sesuai kata-katanya, Jinny video call Sakura. Sakura agak shock ketika melihat Jinny memakai seragam ala-ala perawat nakal. Kayak tipikal pakaian buat cosplay aneh-aneh, soalnya jelas banget tuh kostum dibuat kurang bahan.
"Lo mau kemana pake gituan?!"
"Buat nyenengin laki gue, ntar kan balik kamar pas dia ngaji."
"Harus banget pake baju gituan?!"
"Kan mau main suntik-suntikan, beb. Ceritanya gue jadi suster nakal."
Sakura nggak habis pikir.
"Emang lo sama laki orang kayak pernah beginian apa?"
"Nggak se-ekstrem itu."
"Cupu."
"Gue kan emang selalu salah di mata lo, Jin."
Jinny terkekeh sambil mainin rambutnya. Kayaknya dia lagi sendirian di kamarnya yang didominasi oleh warna broken white dan cokelat pucat. Menurut Sakura, vibes kamarnya Jinny tuh vibes lebaran masa kini banget—suci tapi minimali. Maklum sih, lakinya kan ustadz ya.
Setahu Sakura, Jinny nikah sama lakinya ini dijodohin. Kalau mesti diurutkan, diantara semua alumni lantai dua kosan Sadewo, setelah Jella tuh sebenarnya Jinny yang nikah. Cuma menurut Harsya, harusnya kagak dihitung dong, karena Jinny main curang. Dia kan nikahnya dijodohin, bukan karena memang jatuh cinta. Jinny sih santai-santai saja, yang penting dia nikah, mana lakinya ini oke punya pula.
Jadi, sebelum jadi warga Sadewo, Jinny tuh keluaran pesantrennya Wak Iji kan. Wak Iji ini punya keponakan, namanya Seno. Keponakannya Wak Iji ini macam tokoh utama novel religi gitu deh, apa ya mungkin kayak si Fahri dari kisah Ayat-ayat Cinta kali ya. Anaknya ganteng dan sholeh dari kecil, karena memang keluarganya juga dari kalangan pesantren.
Eh, tau-tau si Jinny dilamar.
Usut punya usut, Seno pernah ngelihat Jinny dari jauh waktu Jinny masih di pesantrennya Wak Iji. Ketika itu mereka masih remaja. Ngelihatnya juga nggak sengaja, ketika Jinny mau loncat pagar pesantren, soalnya mau jajan gulali rambut nenek di warung. Bukannya dilarang sih, tapi kan di pesantrennya Wak Iji tuh ada aturannya kalau mau keluar-masuk, apalagi buat santriwati.
Namanya orang mau naik pagar terus pakai rok panjang, otomatis, harus diangkat dong tuh rok-nya. Maka tanpa sengaja, Seno melihat kakinya Jinny. Betul-betul memamerkan aurat secara literally dan sebagai pemuda muslim yang baik, Seno langsung memalingkan pandangan.
Terus dari sana, Seno jadi suka memperhatikan Jinny, masih dari jauh.
Lama-lama, Seno jadi demen. Katanya, dia ngerasa Jinny tuh sebenarnya perempuan yang baik. Cuma dia mesti dibimbing saja. Makanya, sepulangnya dia dari menimba ilmu di Al-Azhar Kairo, Seno pun melamar Jinny ke kedua orang tuanya Jinny. Berhubung Seno ini nggak hanya dekat dengan Allah Swt tapi juga tampan dan kaya-raya, Jinny sih nggak nolak ya.
Untungnya, Seno sabar banget menghadapi Jinny, jadi seenggaknya, dia sudah bisa cukup kalem di depan keluarganya Seno dan kalau diperlukan, memegang peranan sebagai pendamping ustadz dengan baik—walau Jinny nggak mendadak jadi ustadzah kayak kebanyakan istri ustadz lainnya. Kata Jinny sih, ilmunya belum sampai dan dia masih suka julid meskipun cuma di circle pertemanannya saja.
Namanya juga manusia ya, mana ada yang sempurna apalagi luput dari dosa.
"Lo kenapa berantem ama si palkon?"
"Palkon apaan?"
"Pala kontol."
"JIN, ELAH!"
"Emang tuh laki nyebelin. Suka-suka gue mau nyebut apa!" Jinny nyerocos. "Ributnya kenapa?"
"Biasalah."
"Gue kagak tau kan lo ribut biasanya karena apa."
"Jujur, gue capek banget hidup kayak gini." Sakura akhirnya curhat. "Kayak, nongkrong aja mesti di tempat yang nggak didatengin sama orang yang dia kenal. Mau pegangan tangan aja kudu mantau sekeliling. Berasa kayak penjahat."
"Kan emang penjahat. Hehe."
"Hadeh, Jin."
"Begitulah adanya kehidupan seorang pelakor, Kur. Kalau kagak mau hidup gitu, jangan jadi pelakor."
"Hati gue mentoknya sama suami orang."
"Nggak ada hati mentok. Hidup itu pilihan."
"Halah."
"Etdah, salah dimananya coba gue? Kayak lo nih ya, lo bisa milih, apa mau stay sama si palkon, atau lupain dia dan cari laki lain. Laki yang lebih mudah disayangi, laki yang lo nggak mesti bersakit-sakit hati cuma buat mencintai dia. Semua pilihan ada konsekuensinya. Tapi lo nggak mau kan? Lo lebih memilih jadi budak si palkon."
"... iya sih."
"Lo milih dia, tapi dia nggak milih lo kan?"
"Bukan maunya, Jinny."
"Bukan maunya gimana? Aduh, inilah contoh-contoh korban digoblog-goblogin lelaki." Jinny tuh kalau sudah bicara sama teman-temannya memang tanpa sensor. Di depan jamaah dan anak-anak pesantren doang kelakuannya alim banget. "Hidup itu pilihan, Kur. Dia bisa milih ninggalin bininya, cerai gitu, terus nikahin elu. Kalau dia memang cinta sama lo. Faktanya nggak gitu kan? Teh Rei nikah udah mau setahun. Dia pacaran sama A Jenar empat tahun lebih. Si palkon nikah pas Teh Rei sama A Jenar belum pacaran. Menurut lo, si palkon bakal bertahan sama istrinya selama itu kalau dia nggak mau?"
"Dia mau jaga perasaan orang tuanya..."
"Dengan ngorbanin perasaan lo?"
Sakura bungkam, tak kuasa bicara.
"Dengerin gue nih ya Kur, nggak ada seorangpun yang bisa merendahkan lo kalau lo nggak mengizinkannya."
Sakura menghela napas panjang, tapi dadanya tetap saja sesak.
"Sama aja, nggak ada seorangpun yang bisa nge-treat lo kayak second option tanpa lo izinkan. Lo berada dalam situasi lo sekarang ini ya karena lo mengizinkan si palkon itu melakukannya."
Duh, Jinny sudah bersabda macam itu, gimana ceritanya Sakura bisa membantah?
*
"Bang, ini... beneran?"
"Masa boongan, Nang?"
"... tapi—"
"Lo sendiri kan yang bilang, lo mau bikin konten vlog bareng anak gue? Nah, nih sekarang pas gue pinjemin anak gue, lo malah kayak shock gini."
"Iya, Bang. Tapi bukan vlog—maksud gue, masa gue mau ngelihatin si Cherry tanpa ada ibunya?"
"Cherry udah nyusu kok, Nang." Jella menjawab kekhawatiran Lanang. "Terus ada juga susunya yang gue bawain, udah gue masukkin kulkas lo. Nanti kalau anaknya nangis, lo tinggal kasih aja tuh susu."
"Kalau nangisnya bukan karena mau nyusu gimana, Kak?" Lanang garuk-garuk kepala, sesekali melirik panik pada Cherry yang masih berada dalam gendongan bapaknya. Bayi berumur tujuh bulan itu tersenyum ketika Tigra mengajaknya bicara, akan tetapi justru cemberut sewaktu Lanang menyapanya.
"Bayi tuh kalau nggak nangis karena lapar, biasanya nangis karena pengen diajak main sama nangis karena buang air, Nang. Tapi kalau soal buang air, nggak usah panik. Gue udah bawain pampersnya Cherry. Tadi sempat gue cek sih, pampersnya masih kosong. Berarti Cherry belum buang air. Gue sama Tigra nggak akan lama-lama kok."
"Gue belum pernah ngajak main bayi, Bang."
"Lo sok asik aja sama Cherry, Nang." Tigra menukas.
"Anak lo kayaknya sensi sama gue. Dari tadi, gue dipelototin terus." Lanang akhirnya mengakui dengan jujur sembari menatap takut-takut pada Cherry yang makin memasang muka galak.
"Dia emang sensi sama semua laki-laki yang bukan bapaknya, Nang."
"Waduh."
"Tolong deh ya, Nang? Kata lo juga kan cewek lo bakal kemari nih."
"Iya, tapi Delta juga nggak pengalaman ngurus bayi, Bang."
"Temenin Cherry bentar aja. Nggak mungkin kan gue naro anak gue di tempatnya Milan, apalagi Wirya? Walau Milan masih lebih waras dari lo, tapi dia kagak punya cewek. Anaknya pasti bingung banget menghadapi bayi." Tigra berkata. "Ini situasinya Jenar sama Rei udah darurat banget. Nggak mungkin juga ngelibatin Dhaka, yang ada tuh orang malah makin ngamuk."
Lanang membuang napas.
"Kita percaya sama lo, Nang. Lo pasti bakal jaga Cherry baik-baik sampai gue sama Tigra kelar ngurusin tuh pasutri." Jella menyemangati sembari menepuk bahu Lanang, yang jujur, bikin Lanang makin tremor. Duh, nih kalau Cherry sampai kenapa-napa, dia bakal menghadapi amukan dua orang sekaligus.
"O... oke, Bang."
"Sekalian nanti gue kirimin nomor dokter anaknya Cherry di WhatsApp ya, kali aja perlu. Walau harusnya nggak sih."
Lanang meneguk saliva. "Iya, Bang."
"Oke. Now, Cherry—" Tigra beralih pada anaknya yang masih berpegangan erat-erat pada bagian depan pakaiannya. "Mommy and Daddy have to go somewhere else first. Sebentar aja kok, Sayang. Nanti Daddy jemput kamu lagi. Sambil nunggu Daddy jemput, kamu main dulu sama Om Lanang ya? Mau ya? Baik-baik sama Om Lanang, oke?"
Cherry memanyunkan bibirnya, cemberut seperti mau ngambek, namun waktu Tigra menyerahkannya pada Lanang, bayi perempuan itu nggak menangis. Meski yah, dia sempat melirik Lanang dengan tatapan penuh permusuhan. Mungkin kalau Cherry sudah bisa ngomong, dia bakal bilang, "bisa-bisanya Daddy aku menyerahkan aku pada manusia setengah kingkong ini!".
Sebelum pergi, Tigra menyempatkan diri mencium pipi Cherry, terus ya... begitu deh, Lanang ditinggal bareng Cherry dan Hendra, rekan sekaligus cameramennya buat vlog hari itu.
"Gimana nih, ngab?" Lanang bertanya pada Hendra.
Hendra hampir keselek. "Meneketehe! Gue belom pengalaman punya bayi!"
"Perkara bikin aja baru lo jago!"
"Cocot lo dijaga, ngab. Anak kecil loh dia tuh! Telinganya masih suci!"
"Emang dia ngerti?"
"YA MASA KAGAK NGERTI!"
"Bentar, gue tanya dulu," Lanang berpaling pada Cherry yang masih ada di gendongannya. "Cherry, kamu ngerti bahasa Indonesia nggak?"
Cherry diam saja, masih menatap pada Lanang dengan muka galak.
"Apa artinya nih, Dra?" Lanang beralih pada Hendra.
"Kagak ngerti, gue bukan pakar bahasa bayi."
"Mungkin nggak kali ya? Oke, sekarang gue ganti pake bahasa Inggris." Lanang berdeham, berusaha terlihat ganteng buat Cherry. "Cherry, do you speak english?"
Cherry melengos sambil mengenyot salah satu jarinya.
"Nah loh." Hendra masih setia menyorotkan kamera.
"Mungkin artinya 'yes little little I can'." Lanang berkata, terus nggak lama kemudian, ponselnya bergetar. Dia mengeceknya. Ternyata ada chat dari Delta yang mengabarkan kalau Delta lagi di jalan menuju apartemen yang Lanang fungsikan sebagai studio untuk filming konten Youtubenya. "YESSSS!!"
"Yes kenapa nih?"
"Cewek gue lagi otw. Seenggaknya kalau ada dia, gue nggak akan bingung-bingung amat."
"Pede bener. Cewek lo kan belum pernah ngurusin bayi juga."
"Otak dia lebih beres dari gue, Dra."
"Oh, ngaku."
"Kejujuran gue inilah yang membuat Delta bertekuk lutut buat gue." Lanang sesumbar, terus melanjutkan. "Hm, oke, update igstory dulu kali ya? Sekalian teaser, biar subscriber gue pada menanti-nanti kemunculan gue sama Cherry di vlog Youtube."
"Terserah sih."
"Enaknya mirror selfie nih sama si bayi lucu. Bentar, gue ke toilet dulu."
"Woke."
"Nanti kalau Delta nyampe, sorot aja dia. Kali aja bisa dimasukkin ke vlog."
"Sip."
Lanang pun bergerak menuju kamar mandi sambil menggendong Cherry. Terus, dia berdiri di depan cermin, mengambil mirror selfie bareng Cherry di gendongannya. Anehnya, seperti sadar kamera, Cherry langsung nyengir ketika Lanang bilang "say cheese, beibeh". Tapi ya itu, sehabis fotonya kelar dijepret, dia manyun lagi.
"Hm, kecil-kecil kamu ini sudah pintar berpura-pura ya, Cherry. Nggak apa-apa deh, yang penting kita sama-sama cakep di foto instastory."
Cherry diam saja, walau tangannya mulai memainkan ujung tali leher tudung hoodienya Lanang. Lanang membiarkannya, sibuk bikin caption dengan satu tangan.
"Oke, posting foto udah. Wedewwww, langsung banyak nih Cherry, repliesnya. Sekarang kita bikin video yah." Terus Lanang mulai menyorotkan kamera depan ponselnya untuk merekam dia bareng anaknya Tigra. "Halo semuanyaaaaa!!" Lanang melambai heboh, kayak kebanyakan Youtuber yang senantiasa terlihat bahagia di depan kamera. "Hari ini, gue lagi bareng Cherry!! Cherry, say hi!!!" Melihat Lanang melambai dengan sangat hiperaktif, Cherry pun jadi terinspirasi.
Bayi itu turut melambai tak kalah antusias dengan kedua tangan, bikin Lanang malah jadi kerepotan. Di satu sisi, Lanang nggak menerka kalau Cherry bisa selincah itu. Dia kaget dan nggak siap, langsung kewalahan. Pada suatu kesempatan, tanpa sengaja tangan Cherry menyenggol keras ponsel di tangan Lanang.
Secara dramatis, ponsel itu terlepas dari genggaman Lanang yang mulai licin karena telapak tangannya mulai berkeringat—lalu melayang dan plung!
Lanang melotot hingga matanya mencapai bukaan maksimal ketika menyaksikan ponselnya... yang kameranya ada tiga biji itu... tercemplung ke lubang toilet.
Harga ponselnya itu... dua puluh juta lebih...
Lanang shock.
Cherry ikutan bengong.
Mereka bertatapan, bersamaan dengan Hendra muncul di ambang pintu kamar mandi yang terbuka dengan kamera di tangan.
"Apaan tuh yang barusan nyemplung, ngab?!"
"... handphone gue, Dra..."
"Handphone lo kenapa?!"
"... nyemplung... ke toilet..."
Hendra keselek, tapi dia merasa dia mesti tetap professional, jadi dia menyorot ponsel yang telah terbenam ke lubang toilet dengan dramatis.
"Wow! Dua puluh juta rupiah lebih, para pemirsah! Telah ternoda oleh jutaan bakteri yang berada di dalam sana! Bravo! Very unbelievablo"
Lanang masih melongo... terus nggak berapa lama... wajahnya memelas... dan tangis lebaynya pun pecah. "HAPE GUAAAA HUAAAA!! HAPE GUA NYEMPLUNG TOILET HUAAAA!!"
Cherry menengadah, menatap Lanang dengan dahi berlipat, terus setelahnya... tangisnya ikutan pecah.
Delta muncul dalam kurang lima menit, dibikin terheran-heran oleh dua laki-laki dewasa yang ngedeprok di lantai kamar mandi, dengan salah satunya masih memegang sebuntal bayi.
Tiga-tiganya menangis.
Lanang menangis karena ponselnya nyemplung.
Hendra menangis membayangkan ponsel harga dua puluh juta lebih nyemplung.
Cherry menangis karena shock pasca melihat muka menangis Lanang.
*
Usai kejadian tempo hari, memang sih, bisa dibilang, hubungan Jenar sama Rei rada-rada memburuk.
Setelah diomelin sama semua anggota grup WhatsApp Pejantan Tangguh, Jenar jadi paham salahnya dia di mana. Apalagi waktu Jella ikutan turun tangan. Kupingnya Jenar panas, cuma dia malah makin ngerasa bersalah. Rei masih nggak mau diajak bicara. Terus, setelah Jenar perhatiin, istrinya jadi sering banget melamun. Kalau tidur, juga suka kebangun tengah malam meskipun si bayi nggak kebangun. Beberapa kali, Jenar mergokin Rei diam sendiri, ngelihatin si bayi yang lagi tidur, lalu mewek lagi.
Jenar jadi stress, sekaligus takut istrinya kenapa-napa.
Makanya, keesokan harinya, dia nekat nelepon bokapnya, bilang mau cuti seenggaknya satu bulan penuh. Bokapnya Jenar jelas kaget, hingga ujung-ujungnya, Hyena datang ke apartemen. Mereka sempat ngobrol berdua di balkon.
"Kata Papa, lo ngajuin cuti sampai sebulan."
"Iya." Jenar tahu, cuti untuk ayah ketika baru punya bayi itu bukan sesuatu yang lazim di Indonesia. Kalau permintaan cutinya di-approve, pasti ada saja orang kantor yang menganggap Jenar memanfaatkan privilegenya. Tapi mau gimana lagi? Saat ini, Jenar ngerasa dia nggak bisa ambil resiko.
"Regina kenapa?"
Jenar yakin banget dia bakal kena semprot lagi, namun dia tetap menceritakan kejadian malam itu ke kakaknya. Sesuai tebakannya, Hyena memang mengomelinya. Bahkan sampai menjitaknya segala.
"Sakit, Kak!"
"Itu ganjaran buat kebodohan lo." Hyena membalas nyolot. "Nggak tau diri banget jadi laki! Lo sendiri yang bilang, ini pertama kalinya lo jadi bapak. Emangnya sebelumnya Regina pernah jadi ibu?"
"..."
"Lo bilang lo capek ngurus kerjaan di kantor. Emangnya bini lo kagak capek di rumah? Kerjaan lo di kantor terjadwal pasti, dari jam delapan sampai jam empat sore. Lebih dikit, tapi lo dibayar lembur. Jadi Regina? Nggak pasti dimulai jam berapa, nggak pasti berakhir jam berapa. Workloadnya banyak. Itu baru secara fisik, belom secara mental. Dia dibayar? Nggak. Dan dia masih harus ngadepin komentar lo yang judgmental itu?"
"Iya, gue tau gue salah."
"Selesaikan masalah lo sama Rei. Kalau belom kelar, anak lo kagak bakal Mama sama gue balikin."
Jenar terbatuk. "Hah, maksudnya?!"
"Mama takut kalian tanpa sadar nyakitin si bayi. Jadi, Mama memutuskan buat jemput si bayi besok. Si bayi bakal dibalikin kalau masalah lo sama Rei udah ada solusinya."
"Kak, mana mau Regina ngebiarin anaknya dibawa?!"
"Itu artinya, lo berdua harus saling komunikasi buat nyelesein masalahnya kan?"
Jenar jadi pusing.
Keesokan harinya, betulan mamanya Jenar sama Hyena datang buat menjemput si bayi. Rei sempat menolak, tapi pada akhirnya hanya bisa menangis melihat anaknya dibawa pergi. Jenar memeluknya sampai lebih tenang, lalu dengan hati-hati, dia mulai ngajak Rei ngomong.
"Regina, kita perlu ngomong."
Tadinya, Rei hanya membisu.
"Regina, Sayang, gue ngomong sama lo."
"Emangnya ada yang perlu diomongin lagi?"
"Lo mau si bayi dibalikin ke kita lagi, kan? Kita harus ngomong, Regina."
"Bukannya lo duluan yang egois?"
"Jujur, gue capek banget marahan gini terus."
"Lo yang nggak bisa ngertiin gue!" Rei mulai terisak lagi.
"Gue kan udah minta maaf..."
"Gampang banget ya? Kayaknya emang segampang itu buat lo ngomong, terus segampang itu juga buat minta maaf. You were implying that I am not a good mother for my son, weren't you? That I'm not good enough. I tried my best, I swear! Tapi lo nggak akan bisa ngerti—"
"Iya, terus sekarang gue harus ngapain?!" suara Jenar keluar lebih tinggi dari yang dia niatkan, dan itu membuat Rei tersentak tanpa sadar.
Jenar kontan menyesalinya. Dia buru-buru berjongkok di depan Rei yang duduk di sofa, meraih tangan istrinya.
"Look, Regina, Sayang, I am so sorry. Gue nggak bermaksud membentak barusan. Gue juga minta maaf soal yang kemarin. I didn't mean it. Really. Please?"
Masalahnya nggak selesai juga.
Makanya, mau nggak mau, Tigra sama Jella pun turun tangan. Mereka datang ke tempatnya Jenar dan Rei. Tigra sempat mengajak bicara Rei, begitupun Jella yang ngasih perhatian dari sudut pandangnya sebagai perempuan ke Jenar. Habis itu, mereka berdua dipaksa duduk berhadapan buat betulan ngomong—dengan Tigra dna Jella mengawasi.
"Berasa moderator banget nih gue." Tigra geleng-geleng kepala.
"Harus begini banget, Gra?" Rei berpaling pada Tigra, menatap dengan sorot merajuk.
"Gue ama Jella nggak akan balik sampai lo berdua kelarin masalah ini sampai betul-betul clear."
"Tapi—"
"Rei, lo pilih deh, mau kelarin di sini, atau lo berdua kita bawa ke studionya Lanang buat jadi konten vlog tuh orang."
to be continued.
***
Akhi Seno, suaminya Jinny
(ini pas lagi ngisi kultum menjelang berbuka puasa di masjid)
Si palkon, kalo kata Jinny.
***
a/n:
memang yah, menjadi orang tua yang baik itu tidak mudah
pun pernikahan tak sesimpel hepi-hepi jadi papa, mama dan punya anak-anak yang lucu bentuknya xixixi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top