72 | déjà vu
Sewaktu melihat ekspresi yang tergambar di wajah orang tuanya saat mereka saling menyadari kehadiran satu sama lain di koridor rumah sakit sempat bikin Rei merasa seperti baru saja melakukan tindakan kriminal.
Seperti yang dibilangnya ke Jenar sebelumnya, dia memang sengaja nggak memberitahu kedua orang tuanya kalau mereka akan ada di tempat yang serupa pada waktu yang bersamaan. Soalnya kalau dia kasih tau, pasti salah satu dari mereka bakal bikin alasan biar tidak jadi datang. Untuk sekali saja, Rei ingin mereka terlihat seperti keluarga yang utuh. Seumur hidupnya, dia hampir nggak bisa mengingat kapan terakhir kali mereka benar-benar 'hadir' sebagai orang tuanya.
Setidaknya untuk kali itu saja, Rei berpikir.
"You're really cruel, you know that?" Jenar membungkuk dan berbisik padanya sebelum mereka masuk ke ruangan.
Rei hanya meringis, terus mengangkat bahu. "Can't help it. Sorry."
Obgyn mereka sempat agak kaget dengan ramainya orang-orang yang hadir. Tapi di saat yang sama, dokter itu bisa mengerti. After all, sesi hari itu adalah sesi ultrasonografi Rei yang terakhir. Wajar jika antusiasmenya lebih dari biasanya, sebab sesi tersebut adalah tanda bahwa hari perkiraan lahir semakin dekat. Tinggal selangkah lagi hingga mereka bisa mendekap anggota keluarga baru mereka dalam pelukan.
"So far so good." Dokter Natya berkata seraya menatap pada monitor. "Nggak ada masalah. Dedeknya baik-baik aja."
"Fix perempuan nih ya, Dok?" Jenar bertanya.
"Kelihatannya sih begitu. Seenggaknya dari yang terlihat di sini."
"Fix satu doang, Dok?" Hyena ikut-ikutan nyeletuk, bikin Jenar menoleh padanya.
"Apa maksudnya nih fix satu doang?"
"Nanya doang. Lo nggak usah nyolot gitu dong." Hyena mencibir. "Kan banyak tuh cerita ibu hamil yang ngiranya anaknya satu doang, eh pas keluar-keluar, ternyata buy one get two—siapa tau aja, Wuje tau-tau dapat dua adik baru!"
"Masa iya, Dok?!" Jenar berpaling ke Dokter Natya. Bukan apa-apa sih, cuma ya, sepengalamannya mengurus Wuje bersama Rei dulu, mengurus satu bayi saja sudah lumayan bikin keleyengan. Apalagi dua sekaligus.
"Itu mungkin aja. Ada banyak kasus di mana seorang ibu nggak sadar kalau dia mengandung anak kembar, dan nggak kelihatan ketika USG karena salah satu bayinya berada di belakang bayi lain kembarannya, jadi ketutupan gitu." Dokter Natya menjelaskan. "Tapi sejauh ini, kemungkinan besar, dedeknya cuma sendirian kok. Kalau dilihat dari usia kandungan. Even, mesti dijadikan catatan kalau ukuran janinnya tergolong besar."
"Will that be a problem?" Jenar bertanya lagi, kali ini tampak agak khawatir.
"Seharusnya nggak, kalau labour berjalan smooth."
"Nggak perlu lewat c-section kan?" Rei turut bersuara.
"Sejauh ini, nggak. Justru saya lebih encourage lewat natural birth aja. Hopefully, things will go smoothly."
"Hopefully?" Jenar nggak bisa nggak notice bagian dari ucapan Dokter Natya yang itu.
"Nggak ada yang perlu dikhawatirkan untuk saat ini, sebenarnya. Biasanya, kehamilan kedua akan lebih mudah daripada yang pertama. Selain karena ibu dan ayahnya biasanya sudah lebih tau apa yang harus dilakukan, labour biasanya berlangsung lebih cepat." Dokter kembali menerangkan. "Jangan cemas, Pak Jenar. When I said 'hopefully', doesn't mean I expect something bad, tapi kembali lagi, kalau kaitannya sama nyawa manusia, dokter kan nggak berhak memastikan sepenuhnya, entah itu yang baik atau yang buruk. So far, things are looking good. Semuanya oke, kok."
Jenar mengangguk, telah terlihat lebih lega. "Oh, oke. Saya ngerti."
Usai mendengarkan keterangan lebih lanjut dari dokter mereka dan diberitahu soal hari perkiraan kelahiran, sesi tersebut pun terselesaikan.
Setelah berada di luar ruangan, secara bersamaan, kedua orang tua Rei bersuara untuk pamit pulang. Tindakan keduanya bikin mereka refleks saling menatap, lalu sama-sama menunjukkan gestur canggung yang kentara. Rei menahan tawa, berusaha hanya tersenyum kalem. Seperti mengerti, kedua orang tuanya Jenar dan Hyena menjauh bareng Wuje yang lagi sibuk mengoceh tentang idola barunya—sesosok dinosaurus unyu berwarna kuning yang menurut Jenar lebih mirip sosis dikasih kunyit.
"Sorry, I lied. Tapi kalau nggak gitu, kalian berdua pasti nggak akan mau datang." Rei berkata pada kedua orang tuanya. "Ini sesi terakhir USG-nya Boba—"
"Boba?" mamanya Rei mengangkat alis.
"Ah ya, Mama belum tau ya? Itu nama lucu untuk anak aku. Jenar yang kasih, dari sebelum kita kepikiran mau kasih dia nama apa." Rei tertawa kecil. "Maaf aku bohong. Tapi aku makasih banget karena udah pada mau datang hari ini. Mama bakal datang juga kan nanti? Waktu aku lahiran, maksudku."
"..."
"Please? The last time I had my child, yang temenin aku cuma Jenar."
Perempuan itu menatap anaknya sejenak, kemudian mendekat dan memeluk Rei begitu saja.
"Aku anggap itu artinya 'iya'." Rei berujar setelah pelukannya terlepas. "Mama mau langsung pulang? Bisa ikut aku—"
"Nggak perlu. Mama akan naik taksi aja."
"Atau sama Papa? Suster Anna yang nyetir."
"Nggak perlu."
Rei mengangguk, menghargai keinginan ibunya. "Okay, then."
"Take care ya, Regina." Mamanya berkata.
Rei mengangguk lagi. "Mama juga. Dan—" Rei berpaling pada ayahnya. "Suster Anna masih di kafetaria kali ya? Mau aku teleponin?"
"Nggak usah."
"Oke."
Suasana diantara mereka masih cukup awkward, tapi jelas sudah jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Rei bisa mengerti. Mereka bertiga telah hidup berjauhan, saling bersikap layaknya orang asing. Es yang mengkristal mungkin telah terlalu tebal, dan jelas butuh waktu lebih untuk mencairkannya.
Atau mungkin, es itu tidak akan pernah mencair.
Entahlah, Rei nggak bisa menerka.
Tapi yang terpenting buatnya adalah, dia sudah melepaskan seluruh perasaan negatif yang sebelumnya bercokol di hatinya. Rasa marah, sedih, kecewa, bingung. Semuanya telah Rei putuskan untuk tak lagi dia jaga dalam hatinya. Pilihan yang dia ambil membuatnya paham kenapa katanya, memaafkan seseorang itu seringkali bukan untuk yang dimaafkan, melainkan demi menjaga hati yang memaafkan. Tanpa semua perasaan negatif tersebut, Rei merasa hatinya jauh lebih ringan.
Dia sendiri nggak pernah menyangka kalau hari itu akan tiba; hari di mana dia bisa bilang kalau dia telah berjiwa besar merelakan semuanya dan kemudian, telah merasa benar-benar Bahagia.
"Mereka canggung banget. Even tho, aku bisa paham." Jenar berujar dengan suara rendah ketika mereka menonton sosok kedua orang tua Rei menghilang di belokan koridor rumah sakit.
"Aku jahat ya?"
"Nggak. Apa yang kamu lakuin bisa kumengerti. Dan dua-duanya juga, somehow, terlihat happy."
"No wonder. A baby is a bundle of joy," Rei bergumam sembari menyentuh perutnya.
"Indeed, Love." Jenar mengusap lengan atas Rei. "Sekarang... mau gimana? Mau langsung pulang, atau kita makan-makan dulu sama Papa, Mama dan si Hyendul?"
"Heh, gue denger itu ya!" seruan Hyena menyambar dari belakangan mereka.
Jenar menanggapi sikap sewotnya Hyena dengan tawa keras yang membahana di sepanjang koridor.
*
Sore ini, Jenar sama bapak-bapak yang lain pada hangout di rumah barunya Mark.
Iya, Mark baru saja beli rumah setelah tiga tahun sejak dia menikahi pacarnya. Sebelumnya, mereka tinggal di studionya Mark yang lebih mirip ruko dua lantai. Kata Jenar sih, Mark sama istrinya bukan tipe orang yang menginginkan rumah besar. Mereka adalah dua orang minimalis yang mudah merasa cukup. Namun setelah punya anak, sama halnya seperti Rei dan Jenar, sepertinya Mak merasa mereka berdua perlu pindah ke rumah yang lebih luas biar anak mereka bisa main dengan leluasa. Di ulang tahun anak mereka yang kedua, barulah mereka bisa mampu membeli rumah sendiri.
Berhubung Mark sama istrinya belum sempat bikin acara housewarming khusus untuk teman-teman mereka, jadi deh sebagai permulaan untuk perayaan, Mark yang baru beli meja pingpong ngajakkin bapak-bapak kumpul di rumahnya.
Tadinya, Jenar cukup hesitant.
Sebagai suami siaga yang baik, selepas sesi ultrasonografi terakhir Rei, dia sengaja mengambil cuti biar bisa stand-by di rumah. Memang sih, hari perkiraan lahirnya masih sekitar minggu depan. Cuma ya, rasanya rada gimanaaaa gitu kalau dia malah memanfaatkan cutinya buat hangout di tempat Mark—walau ya, itu occasional saja, bukan sesuatu yang rutin.
Tapi Rei malah menyuruhnya datang memenuhi undangan Mark.
"Mark pasti happy kalau kamu dateng. Dia baru pindah ke rumah baru loh, Je. Pasti lagi excited banget."
"Iya, tapi kan..."
"Tapi kenapa?"
"Masa aku tinggalin kamu sendirian?"
"Aku nggak sendirian. Kan ada Arga. Arga udah jago juga telepon-telepon orang kalau ada apa-apa. Lagian, emang hangout di rumahnya Mark bakal berapa lama sih? Mark juga kan punya anak kecil. Jadi nggak mungkin juga kalian pesta semalam suntuk."
"Bener nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa."
"Kalau ada apa-apa, kamu langsung telepon aku ya?"
"Iya. Lagian emangnya bakal ada apa sih?" Rei tertawa geli. "Ingat kan apa yang dibilang Dokter Natya? Everything's good and okay."
"Oke."
Jadi begitulah, Jenar akhirnya main ke tempatnya Mark bareng bapak-bapak grup Pejantan Tangguh yang lain. Tumben banget tuh, bisa full team. Bahkan Johnny saja datang—katanya sih, Chester lagi senang-senangnya dibacain komik sama maminya, jadi Johnny bisa punya waktu hangout ke tempatnya Mark.
Rumahnya Mark nggak semegah rumah Tigra yang kayak istana, dan nggak terkesan modern dan penuh kaca kayak rumahnya Jenar. Rumahnya tergolong besar, dengan halaman yang luas, cuma kesannya lebih homey, dengan interior yang sifatnya lebih personal. Penghias dinding kebanyakan adalah foto-foto Mark, foto istrinya, foto keluarga, foto-foto anaknya dari bayi, gambar bikinan istrinya, coret-coret Mark, puisi buatan Mark yang ditulis tangan lalu dibingkai sama istrinya. Ruang tengah rumahnya penuh mainan anak-anak, buku cerita bergambar yang tergeletak di beberapa tempat dan wangi bedak bayi yang khas.
Itu kali pertama Jenar ketemu sama anaknya Mark, sebab waktu lahir sampai umur enam bulan, anak itu stay di Kanada bareng ibunya. Setelah dia kembali ke Jakarta, Mark jarang mengajak serta istrinya kalau lagi ketemuan sama teman-temannya. Sebelumnya, mereka memang datang ke acara pernikahannya Rossa, tapi tanpa anak mereka.
"Namanya siapa, Mark? Sori, gue lupa." Lanang bertanya sembari sesekali nyengir pada anaknya Mark. Kelihatannya, anaknya Mark takut sama Lanang, soalnya sejak Lanang masuk, dia terus saja bersembunyi di belakang ayahnya.
"Avalanna."
"Ava is Regina's baptismal name, by the way."
"I know, Kak." Mark menyahut, terus tertawa. "I named her after Kak Reggy."
"Loh, kok gue baru tau?!"
"Emang gue baru bilang." Mark terkekeh.
"Dia jalan dua tahun ya? Umurnya, maksud gue." Johnny bertanya.
"Em-hm."
"Seumur sama Chester dong."
"Terus kalau seumur kenapa? Mau di-cup buat dijodohin di masa depan?!" Yuta menyambar.
"Kalau seumuran tuh katanya kurang cocok tau." Jenar nyeletuk. "Cocoknya kalau cowoknya lebih tua."
"Yaudah, sama anak gue aja." Dhaka bergurau.
"Nggak bisa lah. Terbentur tembok." Yuta menukas jahil, lalu bersiul. "Paling mentok-mentok, endingnya sama kayak lo dan Rei!!" habis menyambung begitu, Yuta langsung ngakak.
"Ngeledek mulu lo!"
"Nggak apa-apa. Ngeledek lah sebelum lo yang diledek!"
"Ati-ati, karma dari ngeledekkin orang nantinya turun ke anak lo!" Dhaka mendelik.
"Nggak bakal!"
Ekspresi wajah Yuta yang benar-benar disengajakan untuk bikin Dhaka tersinggung diikuti oleh respon Dhaka yang memang gampang ngomel bikin situasinya jadi lucu bagi yang menonton. Mereka pada tertawa. Sesekali, Lanang masih berusaha menggoda anaknya Mark—yang gagal total. Sepertinya dia mesti terima, kalau bocil cewek yang demen sama dia cuma Cherry dan Nadi—si Nadi bisa dimengerti, karena gitu-gitu, Lanang kan bapaknya.
Habis ngerecokin Dhaka, mereka ganti main pingpong sampai bosan. Khas bapak-bapak banget. Setelahnya, perhatian para pria tersebut teralihkan oleh istri Mark yang unjuk kebolehan mixing minuman.
Sementara istrinya sibuk atraksi di balik meja bar yang memang ada di ruang makan luas rumahnya Mark, Mark menjelaskan kalau perempuan itu memang jago banget bikin racikan cocktail. Dulu, istrinya Mark penuh bekerja sebagai mixologist di Las Vegas. Bahkan setelah menikah pun, perempuan itu masih sangat tertarik pada mixology. Makanya, Mark sengaja memfasilitasi dengan membelikannya cocktail station.
Kumpul-kumpul yang tadinya direncanakan sebagai hangout biasa dengan cepat ganti agenda jadi sesi minum-minum bareng sambil main poker—nggak jauh berbeda dengan apa yang kerap para bapak-bapak lakukan di kosan semasa kuliah dulu untuk mengusir suntuk usai penat ngerjain tugas.
Makanya, nggak heran kalau menjelang jam delapan malam, Jenar diantar pulang oleh Tigra dan Dhaka—yang sengaja nggak minum, karena mereka sadar mereka mesti menyetir—dalam kondisi drunk.
Rei sempat kaget, tapi lega sebab Tigra dan Dhaka cukup peduli buat mengantar Jenar sampai ke kamar tidur, berhubung dua lelaki itu tahu kalau Rei nggak mungkin membantu Jenar berjalan sampai ke kamar sendirian. Wuje yang masih bangun dibikin melongo oleh kondisi bapaknya. Itu bukan kali pertama Wuje lihat Jenar drunk—tapi tetap saja, di mata anak umur lima tahun setengah, konsep mabuk karena minum adalah sesuatu yang nggak familiar dan bagi Wuje, hanya ada satu kata untuk menggambarkan Jenar kalau lagi drunk; aneh.
"Makasih banyak ya, udah repot-repot anterin Jenar sampai kamar." Kata Rei ke Tigra dan Dhaka ketika dia mengantar dua laki-laki tersebut ke pintu depan. "Jujur, surprised banget Jenar bisa balik dalam keadaan drunk gitu. Bukannya kalian hangout ke tempat Mark?"
Tigra meringis. "Emang."
Rei melongo. "Loh... ke tempatnya Mark kok... bisa sampai tepar?"
"Istrinya Mark jago bikin orang mabok. Literally." Dhaka menukas cepat. "Dan Jenar kalah mulu pas main poker, jadi otomatis, laki lo kedapetan jatah minum paling banyak."
"Istrinya Mark pernah kerja di bar jadi mixologist. Skillnya nggak main-main sih, kalau dari yang gue lihat. Makanya, yang minum ya tau-tau pada tepar aja."
"Oh..." Rei manggut-manggut. "Tapi kalian nggak minum, kan? Driving under influence nggak boleh loh."
"Nggak kok."
"Good, then."
"Oke, kalau gitu, kita pamit balik ya!"
"Hati-hati, dan makasih banyak yaa!!"
Rei sengaja menunggu sampai kedua lelaki itu masuk mobil dan mengemudi keluar dari area luas depan rumahnya sebelum berbalik untuk kembali ke dalam rumah.
"Mama, Papa kenapa sih?"
"Kenapa gimana?"
"Aneh banget."
"Anehnya kenapa?"
"Masa ya, tadi aku berdiri kan di depan pintu kamarnya Mama. Terus Papa yang tiduran di kasur ikutan bangun. Terus ngelihatin aku. Terus Papa nanya, Ma."
"Nanya apa?"
"Kamu siapa? Gitu katanya."
"..."
"Atau jangan-jangan..." Wuje megang dagu, mulai berspekulasi. "JANGAN-JANGAN PAPA HILANG INGATAN, MA?!! KAYAK CERITA-CERITA DI SINETRON ITU?!!"
"Je,"
"... ya?"
"Kamu nonton sinetron?"
Wuje menutup mulutnya dengan telapak tangan, sempat agak panik, tapi tangkas ngeles. "Nggak sengaja, Ma. Beneran deh. Abisnya kata Kwinsa, seru..."
Rei geleng-geleng kepala, lantas meneruskan langkah menuju kamarnya. Wuje setia mengikutinya. Jenar masih terbaring di atas kasur. Matanya menatap langit-langit. Lelaki itu langsung terduduk lagi ketika menyadari kehadiran Rei dan Wuje. Dia mengerjapkan matanya, membuatnya jadi tampak polos. Tapi kentara sekali dari leher, pipi dan telinganya yang merah kalau dia lagi mabuk.
"Ow—didn't expect to meet a hot girl here..."
"Papa!"
"Eh." Jenar menatap Wuje. "Kamu siapa sih?! Dari tadi Papa-Pepe-Papa-Pepe terus?!"
Wuje mendekat, terus memanjat kasur tempat Jenar berada. "Papa lihat aku!"
"Apaan?"
"Aku anak Papa!"
"HAH?!!!" Jenar memegang kedua pipinya dengan telapak tangan. "Kamu anak saya?! Masa sih?!"
"Papa..." Wuje terdengar merengek, terus menghampiri Jenar dan memegang kedua sisi Jenar pakai tangannya. "Papa lihat aku—ini aku tau! Papa kenapa aneh gini sih?!"
"..."
"Ngaku, Papa habis main ke gubuk penyihir mana?!"
"... penyihir?"
"Mama!!" Wuje menoleh panik ke Rei. "Mama, kayaknya Papa sakit deh..."
"Eh..." Rei meringis. "Nggak kok. Papa nggak sakit. Cuma emang lagi aneh aja."
"Papa nggak kenal aku, Ma!"
"Papa juga kayaknya nggak kenal Mama." Rei melangkah menuju kasur, lalu duduk di tepinya, di dekat kaki Jenar. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia melepaskan kaos kaki Jenar yang masih terpasang, kemudian merapikannya.
"Ini pasti karena Papa habis minum ramuan penyihir!!" Wuje berteori, wajahnya dramatis kayak Sherlock Holmes lagi Menyusun deduksi.
Rei tertawa kecil sehabis merapikan kaos kakinya Jenar, lalu kembali mendekati kasur dan duduk di pinggirnya. Jenar mengatupkan kedua matanya sejenak, terus menghela napas. Matanya menatap heran pada Wuje, juga pada Rei. Rei balik tersenyum padanya, yang bikin Jenar batuk-batuk salah tingkah.
"Sorry, Miss—i mean, ma'am, you're so pretty and totally my type, but uh—" Jenar menatap pada perut Rei yang membuncit. "... I think you're a married woman and—"
"It's true. I am married—"
"... that's very unfortunate for me and—"
"—to you."
Jenar melongo. "Hah?"
"I am married to you since years ago and this big boy—" Rei menatap ke Wuje. "—is our first son. And another one—" Rei menyentuh perutnya. "—is on the way."
"WHAT?!"
Rei bergeser agar lebih dekat pada Jenar, terus dia mengulurkan tangan untuk menepuk pipi Jenar lembut. "You're drunk, Sayang. Tidur aja ya?"
"... well, so you're married to me?"
"Mm-hm."
Jenar mengangkat bahu. "That's great! I mean, wow, you're so pretty and—sorry... saya—eh gue—eh aku—"
"It's okay. Just sleep." Rei mengarahkan Jenar agar berbaring, lalu dia merapikan selimut yang membentang di atas tubuh lelaki itu. Tak lupa, tangannya menyentuh rambut di dahi Jenar, merapikannya dengan gerak halus sebelum merunduk untuk menjatuhkan satu kecupan. "Just sleep, okay?"
Jenar mengernyit, namun akhirnya menyerah dan perlahan, menutup matanya.
*
Keesokan harinya, Jenar terbangun dengan kepala pening menjelang jam sembilan pagi.
Dia sempat terdiam sebentar menatapi langit-langit kamar. Lalu mengembuskan napas pelan sewaktu sadar kalau itu langit-langit kamarnya. Spontan, tangannya meraba bagian kasur di sampingnya. Kosong, dan sepreinya terasa dingin. Sepertinya Rei sudah bangun duluan sejak lama.
Jenar mengganti posisi berbaringnya dengan duduk sembari memijat batang hidung. Kacau banget. Dia nggak ingat bagaimana dia pulang semalam. Salahnya sendiri, yang merasa tertantang oleh celetukan Yuta. Jadilah, dia main tenggak-tenggak saja minuman hasil racikan istrinya Mark sampai tepar.
Apa saja yang dilakukannya semalam ya?
Apa dia langsung tertidur begitu tiba di rumah?
Wah, berarti dia melewatkan rutinitas ngajak ngobrol Boba sebelum tidur, dong?!
Agak tergesa, Jenar bangun dari kasur untuk menuju kamar mandi. Setelah membasuh wajah dan menyikat gigi, barulah dia keluar. Suasana rumah sepi. Ini weekdays, jadi kayaknya Wuje sudah berangkat ke sekolah pakai mobil jemputan. Rei lagi duduk di ruang keluarga dengan bucket es krim besar di tangannya.
"Regina?"
"Oh, hei!" Rei menoleh sedikit, terus menyapa dengan senyum lebar. "Want some ice cream?"
"Astaga..."
"Kenapa?"
"Aku nggak ingat gimana aku pulang semalam..."
"Dianter sama Dhaka sama Tigra."
"Terus kamu yang bawa aku ke—"
"Nggak." Rei memotong, sudah tahu apa yang Jenar maksud. "Aku nggak akan sanggup bawa kamu ke kamar dengan perut melendung gini sendirian. Of course, yang bawa kamu sampai kamar ya Dhaka sama Tigra."
"Sorry..." Jenar meringis.
"Hm, untuk apa?"
"Soalnya aku pulang... dalam keadaan drunk. It feels so wrong."
"... loh, kenapa?"
"Kalau kamu tiba-tiba butuh aku semalam dan aku lagi drunk, gimana coba?" Jenar berkata setelah dia duduk di samping Rei.
"Tap ikan nyatanya nggak." Rei melepaskan sendok es krimnya, terus mengusap bahu Jenar. "Nggak apa-apa kok. Lagian, kamu juga butuh me-time setelah berhari-hari nemenin aku di rumah aja."
Jenar membuang napas. "Berarti semalem aku nggak ngobrol sama Boba kayak biasanya ya?"
Rei mengangguk. "Tapi sebagai gantinya, aku udah ajakkin dia ngobrol kok. Wuje juga ikut cerita-cerita ke dia sebelum tidur."
Jenar menyentuh perut Rei. "Really?"
"Really." Rei menarik senyum lebar, kemudian lanjutnya. "Mau es krim?"
"Lebih suka nontonin kamu makan es krim."
Rei mengangkat bahu, lalu menyuapkan sesendok besar es krim ke mulutnya.
Jenar mengamatinya sebentar. "Aku berubah pikiran."
"Hm?"
"Let me taste the ice cream..."
"... oke—"
Rei baru bermaksud menyendokkan es krim untuk disuapkan ke Jenar sewaktu lelaki tersebut telah lebih dulu menangkup salah satu pipinya menggunakan telapak tangan, terus mencondongkan badan dan menciumnya. Awalnya, Rei kaget. Tapi akhirnya, dia memejamkan matanya, membiarkan Jenar mencium lebih dalam. Es krim membuat ciuman itu jadi terasa dingin dan manis. Namun sayangnya, momen tersebut tidak berlangsung lama karena bunyi handphone Jenar menginterupsi.
Ada telepon dari Hyena.
"Diangkat, Je." Rei berbisik.
"Duh."
"Diangkat. Siapa tahu penting loh..."
Jenar pun menjawabnya, sembari bersungut-sungut, sedangkan Rei lanjut memakan es krimnya dengan wajah riang. "Apa?"
"Idih, galak banget."
"Dibikin cepet deh, Kak! Lo ganggu gue aja!"
"Lagi ngapain sihhhhhh?!" Hyena malah ngeledek di seberang sana.
"Cepetan!"
"Istri lo tuh udah deket-deket mau lahiran ya, jadi nggak usah beraktivitas yang aneh-aneh! Tahanlah itu lo punya napsu syahwat!!" Hyena sengaja meledek sekali lagi sebelum kembali bicara. "Papa agak nggak enak badan. Tadinya mau ke kantor untuk pimpin meeting hari ini, tapi Mama nggak izinin. Gue tau lo lagi cuti, tapi bisa nggak lo tolong ke kantor dan gantiin Papa? Cuma buat pimpin meeting aja. Abis itu lo boleh pulang lagi."
"Kak, gue nggak bisa ninggalin Regina di rumah sendirian—"
"I know. Gue bakal ke rumah lo sekarang dan nemenin dia sampai lo balik."
"Kenapa nggak lo aja sih yang pimpin meetingnya?"
"Gue ini itungannya stranger di kantor, kalau dibandingin sama lo. Ini permintaan khusus dari Mama loh. Kalau lo nggak bisa, Papa bakal ngotot ke kantor. Mereka pasti debat parah. Baru bayangin aja, gue udah pusing duluan."
"Fine." Jenar akhirnya menyerah. "Jam berapa?"
"Kan udah gue bilang tadi. Jam sepuluh ini."
"YA ANJRIT, KURANG DARI SEJAM?!!"
"Kantor dan rumah lo deket. Makanya, buruan siap-siap!!"
"LO BURUAN KE SINI!! GUE BARU CABUT KALAU LO UDAH FIX SAMPAI SINI!!"
"Iye, bawel! Ini lagi jalan ke garasi!"
"Cepetan!"
"Iye!"
Usai memberitahu Rei apa tujuan Hyena menelepon, yang cuma bikin Rei manggut-manggut, Jenar sibuk belingsatan ke sana-kemari untuk bersiap-siap ke kantor. Lelaki itu bahkan nggak mandi dulu. Dia langsung berganti baju ke kemeja dan celana kantor, memasang dasi dengan buru-buru—yang ujungnya berantakan dan mesti Rei rapikan—terus membawa tas kerjanya yang berisi laptop beserta sejumlah dokumen.
Rei hanya bisa meneriakkan. "Hati-hati nyetirnya!" sewaktu Jenar berjalan cepat menuju pintu depan. Dia terheran-heran ketika Jenar balik lagi, dan ternyata itu untuk mencium pipinya.
"Hampir kelupaan. Aku berangkat ya!!"
Rei geleng-geleng kepala, baru mau berjalan menuju teras kala Hyena muncul di pintu depan. Perempuan itu mengenakan celana pendek, sport bra dan luaran jaket varsity kebesaran.
"Habis lari di treadmill, Rei. Belum sempat ganti baju." Hyena meringis, terus menyambung. "Tapi tenang, gue nggak bau keringet!"
Rei tertawa geli. "It's okay, Kak."
Tak lama setelah Ranger Rover hitam milik Jenar melintas menuju pintu gerbang depan, barulah Rei sama Hyena masuk ke dalam rumah.
*
Wuje sampai di rumah sekitar setengah jam menjelang waktu makan siang. Seperti biasa, kalau nggak ada yang menjemput, dia pulang diantar mobil jemputan sekolah. Anaknya terlihat lebih dekil dari biasanya, yang sempat bikin Hyena melongo serta Rei diserang rasa heran.
"Hari ini habis main apa, Sayang? Kok seragamnya kotor banget..."
"Abis berantem sama Kwinsa."
"Loh, kok berantem?"
"Kwinsa nakal. Jadi aku ajak berantem aja!" Wuje mendengus.
"... ajak berantem gimana maksudnya?"
"Aku kelitikin Kwinsa sampai nangis! Terus Kwinsa marah, terus mau bales dendam kelitikin aku juga!"
"..."
"Kita guling-gulingan di rumput sampai ketahuan Bu Guru."
"... terus?"
"Kita dihukum sama Bu Guru, suruh sapu kelas sama lap jendela."
Rei tersenyum geli. "Tapi emang bener Bu Guru hukum kamu. Nggak boleh loh berantem gitu..."
"Abis, Kwinsa nyebelin..." Wuje bersungut-sungut.
"Hati-hati loh, Je, kalau kecilnya berantem melulu, nanti gedenya cinta-cintaan!" Hyena menukas jahil.
"Cinta-cintaan itu apa, Tante?"
"Kayak Mama sama Papa kamu."
"Nggak mau!" Wuje menolak.
"Nggak mau cinta-cintaan?"
"Eh... kalau cinta-cintaan sih mau..." Wuje nyengir, agak malu-malu. "Tapi nggak mau sama Kwinsa!"
"Terus maunya sama siapa?"
"... Lila."
"Waduh." Hyena geleng-geleng kepala. "Udah bakat jadi playboy nih kayaknya!"
"Playboy itu apa, Tante?"
"Nggaaaaaaak, nggak apa-apa." Hyena menjulurkan lidahnya, terus mengeluarkan handphone. "Kamu mau makan siang apa? Biar Tante yang traktir."
"Beneran!?"
"Beneran! Bebas, kamu mau pilih makanan apa."
"Asyiiiiiiikkkk!!!" Wuje bersorak kegirangan, yang mau nggak mau bikin Rei ikutan tersenyum.
Sementara Wuje sibuk dengan Hyena, Rei agak menjauh ke teras belakang.
Kalau kata Hyena tadi, meetingnya dijadwalkan untuk selesai di jam makan siang. Dikarenakan sudah dekat-dekat jam makan siang, Rei sengaja kirim chat ke Jenar.
rei:
babe, udah selesai meetingnya?
rei:
belum ya?
rei:
kayaknya belum.
kalo udah baca ini, kabarin aku ya, mau makan di luar apa makan di rumah.
Sebab nggak mau bikin Hyena mencarinya, Rei pun kembali masuk ke dalam rumah. Dia ikut-ikut saja ketika Hyena dan Wuje sibuk memesan makanan. Dalam waktu yang nggak terlalu lama, makanan pun diantarkan, dan diterima dengan baik oleh Hyena. Sewaktu Hyena dan Wuje lagi saling mencicip makanan satu sama lain, Rei kembali nge-chat suaminya.
rei:
je, masih belum selesai juga?
udah lewat jam makan siang loh.
are you okay?
Rei jadi agak cemas. Namun dia memutuskan untuk menunggu sedikit lebih lama. Ada setidaknya dua puluh menit dia menanti, sampai tiba-tiba, Hyena bicara padanya.
"Jenar kok belum balik ya? Apa dia makan di luar? Perasaan meetingnya cuma sampai jam makan siang deh."
"Bentar deh ya, Kak, ditelepon aja karena chat aku dari tadi nggak dibales-bales..."
Rei menelepon, tapi nggak diangkat. Dia makin cemas, tetapi tidak berhenti mencoba. Satu telepon tak terjawab... dua telepon... tiga kali menelepon, akhirnya ada yang menjawab.
"Halo?"
Suara yang menjawab adalah suara perempuan. "Halo."
Rei tercekat sesaat. "Sori, ini handphonenya Jenar kan ya?"
"Ah, iya benar. Ini siapa ya?"
"Saya istrinya. Kamu siapa?"
"Oh..." suara di seberang sana terkesan kikuk. "Maaf, Bu. Tapi saya terpaksa jawab teleponnya karena bunyi terus dari tadi—"
"Nggak apa-apa. Bisa saya ngomong sama suami saya?"
"Eh—itu—Pak Jenar lagi di rumah sakit—"
"What?!" seruan kaget Rei berhasil bikin Wuje dan Hyena ikutan menoleh. "Rumah sakit mana? Ngapain?"
"Rumah Sakit Inter Medika, yang paling dekat sama kantor. Setahu saya ke sana. Tadi di kantor ada kecelakaan, terus—"
Rei terlalu kaget untuk mendengar lebih jauh. Jantungnya berdebar sangat kencang, hingga dia serasa bisa mendengar suara detaknya di dalam telinga. Katanya, terjadi kecelakaan di kantor. Rei nggak paham kecelakaan apa, sebab suara si perempuan yang menjawab teleponnya juga terkesan bergetar dan tersendat-sendat. Dia seperti panik.
Apa terjadi sesuatu pada Jenar?
Tapi kalau nggak, kenapa handphonenya dijawab oleh orang lain dan kenapa juga Jenar nggak mengabarinya sama sekali?
Dalam kondisi kalut dan pikiran yang berkabut, yang terlintas dalam pikiran Rei hanya satu; dia mesti buru-buru pergi ke rumah sakit yang disebut oleh perempuan tadi.
"Rei, kenapa—"
"Rumah sakit, Kak." Rei menelan saliva, berusaha agar suaranya bisa keluar secara normal, tidak dalam bentuk bisikan. "Jenar di rumah sakit. Kita harus ke sana sekarang!"
"Kenapa?" Hyena jadi ikutan cemas.
Rei menggeleng. "Aku nggak tau, tapi katanya di kantor ada kecelakaan. Tolong, bisa kita ke rumah sakit sekarang? Aku harus pastiin keadaannya. Tadi yang jawab teleponku bukan dia. Kalau dia nggak kenapa-napa, harusnya dia bisa jawab teleponku atau minimalnya nggak ninggalin handphonenya di sembarang tempat..."
Nada suara Rei yang terkesan memohon, juga matanya yang sudah berkaca-kaca membuat Hyena mengangguk.
Dalam waktu singkat, mereka bertiga telah berkendara dalam mobil Hyena menuju rumah sakit yang dimaksud. Sepanjang perjalanan, Hyena bisa melihat bagaimana kedua tangan Rei gemetar. Perempuan itu terlihat sangat panik dan dalam kondisi yang seperti itu, Hyena tahu, satu-satunya yang bisa membuat Rei tenang hanyalah dengan dia tahu kalau Jenar baik-baik saja. Sesuatu yang belum bisa mereka pastikan.
Hyena berusaha focus menyetir, tapi perhatiannya tersita ketika mendadak, Rei mengerang lirih.
"Rei, kenapa?"
Rei mengatur napas. "Nggak apa-apa. Cuma kontraksi palsu. Belakangan ini, emang makin sering. Ini mungkin karena aku lagi tegang." Perempuan itu menghela napas panjang sekali lagi, lalu mengembuskannya perlahan. "Nggak apa-apa—ini juga udah mulai reda—"
"Mama," Wuje memanggil, terlihat sekali dia sudah siap melepas sabuk pengaman car seat khusus anak-anak yang dia duduki. "Mama sakit?"
"Nggak. Nggak apa-apa." Rei melirik ke belakang. "Tetap duduk yang manis. Inget apa kata Mama? Nggak boleh copot sabuk pengaman kalau lagi naik mobil. Oke?"
"Tapi Mama sakit..."
"Nggak, Wuje."
"Bener ya?"
"Bener."
Untungnya, pada akhirnya mereka berhasil tiba di rumah sakit dengan selamat. Hyena cepat-cepat memarkir mobil, kemudian mereka turun dan langsung masuk. IGD masih tampak dipadati oleh orang. Sebagian diantaranya mengenakan seragam pekerja yang sering Rei lihat dipakai oleh pekerja di proyek-proyek gedung. Ada juga beberapa orang yang berkemeja dan berdasi rapi. Dari lanyard yang mereka pakai, Rei tahu, mereka bekerja di perusahaan keluarganya Jenar.
"Sori," Rei berusaha membelah kerumunan, mendahului Hyena yang masih membaca situasi. Matanya menatap nanar, berusaha menemukan Jenar. "Sori, permisi—"
Seorang pria berkemeja di depan Rei yang tak menyadari kehadirannya tahu-tahu melangkah mundur. Tanpa bisa dihindari, dia menyenggol perempuan itu. Rei agak terdorong, mungkin sudah menabrak deretan kursi di koridor jika saja sepasang lengan kuat tidak memegangi kedua bahunya dari belakang.
"What are you doing here?"
Rei berbalik, merasakan kelegaan mengaliri sekujur tubuhnya sewaktu dia melihat Jenar. Tapi rasa lega itu tidak bertahan lama, sebab matanya otomatis tertuju pada noda darah di bagian depan kemeja putih yang suaminya pakai. Dia panik lagi.
"Ini darah—"
"Bukan darahku." Jenar buru-buru menenangkan. "Tadi waktu meeting, ada kecelakaan gondola proyek untuk peremajaan gedung. Gondolanya putus, jadi tiga pekerja yang ada di atasnya ikutan jatuh. Suasananya jadi nggak kondusif, cuma untungnya meeting tinggal ditutup aja. Aku ngerasa perlu ikut buat mastiin kondisi tiga pekerja itu. Sekarang mereka masih di IGD."
Rei mengembuskan napas. Setelah puluhan menit jantungnya dipacu lebih cepat oleh adrenalin, rasa tentramnya datang dibarengi oleh lemas. Lututnya terasa goyah, yang membuat Jenar memegangi tubuhnya lebih erat seraya membimbingnya untuk duduk di salah satu kursi di dekat mereka.
"Aku telepon kamu. Tapi yang angkat orang lain. Katanya kamu di rumah sakit dan ada kecelakaan."
"Ah ya, kayaknya handphoneku ketinggalan di ruang meeting. Kejadiannya cepat banget dan kita semua buru-buru ngecek keluar, makanya aku sampai lupa soal handphone." Jenar membalas. "Kamu pucat banget, Regina. Udah makan kan?" Jenar menyentuh pipi Rei. "It's okay. Aku nggak apa-apa—astaga, kamu gemetar banget."
"Aku takut kamu kenapa-napa."
"Nggak apa-apa." Jenar mengusap punggung Rei sambil masih duduk. "Emang yang jawab bilang apa? Sampai-sampai kamu secemas ini."
"Cuma gitu doang. Kamu di rumah sakit. Ada kecelakaan." Rei menelan saliva, mengembuskan napas sekali lagi. Tak berapa lama, Hyena dan Wuje muncul dari kerumunan.
"Papa—HAH, PAPA BERDARAH?!!"
"Bukan darah Papa." Jenar memberitahu lagi, menyambut Wuje dan menaikkan anak it uke pangkuannya. Beberapa pegawai di dekatnya melirik sekilas.
"Ini kenapa sih?" Hyena bertanya penasaran.
"Ada kecelakaan gondola."
"Astaga! Parah?!"
"Lumayan. Satu dari tiga pekerja meninggal di tempat. Untuk dua lainnya masih ditangani sama dokter." Jenar menghela napas, kembali menatap pada Rei. "Regina, it's okay. Aku nggak apa-apa."
Rei mengangguk rikuh. "Aku tau kok..."
"Kamu masih kelihatan shock."
"Iya. Kukira kamu kenapa-napa." Rei mengulang jawabannya sebelumnya. Dia menelan saliva. "Tadi kaget banget..."
"Kamu pucat. Sekarang gantian aku yang cemas. Kita pulang aja ya? Biar kamu bisa istirahat."
Rei mengangguk.
"Bisa jalan sendiri?"
"Bisa!" Rei mendengus, yang bikin Jenar tertawa kecil. Dia menurunkan Wuje dari pangkuannya, terus beranjak lebih dulu. Lelaki itu kemudian mengulurkan tangannya di depan Rei untuk membantu istrinya bangun dari kursi.
Rei baru saja bermaksud membalas uluran tangan Jenar ketika dia merasakan sesuatu yang basah mengaliri betisnya. Dia tercekat seketika. Perubahan ekspresi wajahnya mampu Jenar deteksi dalam hitungan detik.
"Regina, kenapa?"
"Je,"
"Iya?"
"I think my water just broke."
*
Buat Rei, perjalanan selanjutnya menuju rumah sakit terasa amat surreal.
Iya, secara teknis, mereka memang sudah berada di rumah sakit. Tapi itu bukan rumah sakit ibu dan anak. Ditambah lagi, Dokter Natya juga tidak praktek di sana. Makanya, mereka bertolak meninggalkan rumah sakit tersebut setelah menghubungi Dokter Natya, yang berkata akan segera mempersiapkan seluruh yang mereka butuhkan untuk persalinan.
Kontraksinya semakin intens. Bisa jadi, karena air ketubannya sudah pecah. Meski begitu, di saat yang sama, rasa sakitnya seperti lebih tertahankan. Mungkin karena setidaknya, Rei sudah tahu kalau Jenar baik-baik saja. Kata-kata perempuan di telepon tadi sempat membuatnya sangat takut, sampai-sampai dia pikir jantungnya sempat berhenti berdetak sejenak.
Makanya, sepanjang jalan, Rei mengeratkan rangkulan lengannya pada lengan Jenar yang duduk di sebelahnya. Kepalanya bersandar ke lelaki itu, sementara Jenar mengusap bahunya. Di balik roda kemudi, Hyena yang menyetir. Wuje sendiri tetap duduk manis di car seatnya yang melekat ke jok mobil, walau sesekali, dia memandang cemas pada ibunya.
Berbanding terbalik pada Rei yang malah tampak relaks, Jenar justru stress berat. Sudah lima tahun lebih berlalu, tapi memori akan kelahirannya Wuje masih cukup segar di ingatannya. Tatkala mereka sampai di rumah sakit dan beberapa suster sudah menunggu bersama sebuah kursi roda, Jenar serasa mengalami déjà vu.
Dia masih benci melihat Rei kesakitan.
Namun di saat yang sama, dia sadar, dia tidak bisa lari. Dia harus mendampingi istrinya. Apalagi dengan Hyena yang sibuk menelepon orang tua mereka, juga meladeni pertanyaan-pertanyaan bernada penasaran dari Wuje, praktis Rei hanya 'punya' Jenar untuk saat itu.
Entah bisa dibilang keberuntungan atau tidak, persalinannya dimulai dalam waktu yang relatif singkat sejak mereka tiba di rumah sakit. Berbeda dengan waktu kelahirannya Wuje, di mana Jenar mesti menemani Rei melewati kontraksi berjam-jam hingga mencapai pembukaan sepuluh. Kali ini, jarak dari satu pembukaan ke pembukaan yang lain tidak terlalu lama.
Tapi bukan berarti rasa sakitnya berkurang.
"Seven centimeters dilated!" Suster yang bertugas monitoring kondisi Rei berujar, mengumumkan kondisi terbaru.
"Transition phase."
Wajah Rei telah dipenuhi peluh. Dia terlihat pucat, juga kesakitan. Itu pemandangan yang Jenar takutkan akan kembali Jenar saksikan. Dalam hati, Jenar bertekad bahwa dia nggak akan membiarkan Rei melewati itu lagi untuk yang ketiga kalinya. Ini akan jadi yang terakhir.
"Nggak apa-apa. Kalau sakit, remas aja tangan aku. Atau cakar juga boleh." Jenar berkata pada Rei. "Maafin aku ya. Aku janji nggak akan bikin kamu begini lagi. Maaf..."
"It hurts. Just like before—"
"But you can do it, right, Gina? You did it. You can do it again." Jenar mengusap jari-jari Rei yang terasa dingin, berusaha memberikan kehangatan di sana. "... ya?"
Rei mengangguk. "Iya."
"Ini terakhir. Terakhir banget. Habis ini, kita bisa peluk dia. Kamu kuat kan? Tinggal sedikit lagi."
Rei mengangguk lagi, bersamaan dengan air matanya yang menetes, berpadu dengan peluh di kulitnya.
Intensitas kontraksinya makin rapat, yang sempat membuat Rei tersedu. Jenar tidak bisa melakukan apa-apa, selain mendampinginya, memegangi tangannya yang berkeringat. Waktu terasa berjalan sangat lama, hingga salah satu suster kembali mengumumkan.
"Ten centimeters dilated!"
It's time to push.
Lagi-lagi, déjà vu.
Jenar ingin melarikan diri, seperti dulu, namun dia memaksa dirinya tetap di sana. Genggaman tangan Rei di tangannya terasa menyakitkan, tapi bahkan itu nggak lagi terasa oleh Jenar. Kuku-kuku Rei meninggalkan jejak berbentuk bulan sabit di punggung tangan Jenar, namun Jenar mengabaikannya. Rasa sakit itu nggak akan pernah sebanding dengan rasa sakit yang tengah dialami istrinya.
Satu dorongan besar terakhir, dan tangis bayi terdengar di ruangan itu.
Masih déjà vu.
Jenar masih merasakan haru itu. Haru yang bikin sekujur tubuhnya merinding. Ada air mata menetes ke wajahnya tanpa dia sadari. Dalam kondisi lemas, dengan wajah bersimbah keringat, Rei menatap Jenar seraya menarik senyum lelah.
Jenar menunduk, dan seperti dulu, tindakan pertama yang dilakukannya adalah menjatuhkan kecupan di pipi dan dahi Rei.
"Regina, makasih—" Jenar mencium pipi Rei sekali lagi. "—makasih. Makasih banyak."
"A pretty baby girl and, no, no twin,"
Dokter Natya bergurau sembari menyingkirkan hospital gown dan meletakkan bayi mereka yang baru lahir di sana. Kulit bersentuhan dengan kulit, tanpa penghalang. Dia hangat ketika Jenar menyentuhnya. Juga lembut. Bayi itu masih terus menangis nyaring, bahkan ketika Dokter Natya menginstruksikan Jenar untuk membuka baju atasannya.
Seraya duduk di kursi yang sudah disediakan, Jenar menggendong anaknya. Dada melekat dengan dada. Jenar menyetuhnya dengan hati-hati.
"Regina,"
Rei yang masih pucat menjawab dengan suara lirih mirip bisikan. "... ya?"
"Aku rasa, dia mirip kamu."
"Akhirnya."
Jenar tidak bisa menahan tawa, yang terlihat mengharukan karena matanya masih basah oleh jejak air mata. "Akhirnya?"
"Ada anakku... yang mirip... aku—ah."
Kelegaan Jenar kembali terganti oleh ketegangan saat dia mendengar Rei merintih.
"Regina, kenapa?"
Jenar terperangah kaget, merasa ada yang tidak beres ketika salah satu suster mengambil alih bayi dari tangannya. Sedangkan Dokter Natya dan beberapa suster lainnya tampak resah. Ada gelisah di ekspresi mereka. Dalam percakapan bernada rendah mereka, Jenar hanya mampu mendengar satu kata dengan jelas; bleeding.
Cepat, Jenar berpaling pada Rei yang masih terbaring. Wajahnya makin pucat, tampak bersaing dengan warna tembok ruangan. Matanya perlahan terpejam, tapi kerut diantara kedua alisnya menunjukkan kalau dia sedang kesakitan. Jenar mengabaikan dirinya sendiri yang masih bertelanjang dada setelah memeluk Boba, ganti meraih tangan Rei. Tangan itu dingin dan terkulai lemah. Seakan untuk balik menggenggamnya saja, Rei tak lagi punya tenaga.
"Doc, what happened?!"
Dokter Natya masih nggak menjawab. Kini dia mulai mempraktekkan gerakan massaging di perut Rei. Salah satu perawat juga tampak mengecek birth canal dengan tangannya. Perawat yang lain turut menyuntikkan sesuatu di paha kanan Rei. Jenar makin kalut, sebab yang terlontar dari Rei kini hanya rintihan samar. Dia kesakitan, tapi sepertinya kondisinya mulai setengah sadar.
"Dokter, jawab saya! Saya barusan nanya!" Ketegangan Jenar berganti oleh rasa geram karena tanyanya nggak ditanggapi.
Dokter Natya tetap nggak menyahut. Perempuan itu malah melirik pada salah satu suster. Seperti punya kemampuan telepati, suster itu menghampiri Jenar, kemudian membimbing langkahnya meninggalkan sisi Rei. Jenar ingin menolak, tapi ketika satu suster lainnya ikut menggiringnya menuju pintu ruangan, pegangan tangan mereka pun akhirnya terlepas.
Jenar ingin memberontak, namun sewaktu dia dibawa menjauh dari Rei dan melihat betapa banyaknya darah di tempat tidur, bahkan sampai ke lantai, dia membeku seketika, kehabisan kata-kata.
That's too much blood...
Di luar ruangan, ternyata keluarga dan beberapa teman mereka, termasuk Jella dan Tigra telah menunggu. Mereka tercengang melihat Jenar yang masih shirtless dipaksa keluar dari ruangan. Jenar tampak marah, dia bicara dalam suara keras yang penuh geram.
"Saya butuh penjelasan soal apa yang terjadi ke istri saya!! Kenapa kalian malah memaksa saya keluar?!"
"Bapak sedang panik. Kepanikan Bapak tidak akan membantu penanganan di dalam." Salah satu suster berujar tegas.
"Jawab, istri saya kenapa?!"
"Istri Bapak mengalami pendarahan pasca melahirkan karena rahimnya tidak berkontraksi cukup kuat setelah kelahiran bayi. Dokter dan perawat di dalam sedang berusaha menanganinya. Bapak terlalu panik, dan itu tidak akan membantu situasi di dalam agar jadi kondusif." Suster tersebut menjelaskan. "Dari sini, Suster Bethari akan bicara dengan Bapak dan keluarga untuk antisipasi kalau kita perlu mengambil tindakan lanjut. Ada beberapa dokumen yang harus ditanda-tangani."
"Tindakan lanjut apa yang anda maksud?!"
"Hysterectomy atau pengangkatan uterus. Jika pendarahannya tidak berhenti setelah penerapan tindakan darurat, kami tidak punya pilihan selain mengangkat rahimnya dan berharap itu bisa menyelamatkan jiwa istri Bapak."
Jenar benar-benar ingin meninju tembok sekarang.
Seorang suster lain muncul dari dalam. "Kesadaran pasien masih hilang-timbul. Jika pasien masih bisa mendengar, Dokter Natya bilang, bukan tidak mungkin pasien merasa takut kalau ditinggal sendirian. Satu anggota keluarga diperkenankan menemani, dengan catatan, anggota keluarga tersebut sedang dalam kondisi tenang."
Jenar mengepalkan kedua tangannya yang mulai gemetar.
Dia ingin masuk, jelas saja.
Namun kondisi psikologisnya saat ini amat jauh dari kata tenang.
Senyap sesaat, hingga ibunya Rei yang tadinya duduk akhirnya beranjak. Dia terlihat bisa menguasai dirinya. Karenanya, mudah saja bagi suster untuk mengizinkannya masuk, menggantikan Jenar yang kini perasaannya sudah nggak karuan.
"Oma, kenapa Papa nggak pake baju?" Wuje berbisik pada mamanya Jenar. "Terus... Mama mana? Masa Mama ditinggal sendiri..."
"Mama udah ditemenin Oma kamu yang lain." Mamanya Jenar menjawab dengan sabar.
"Terus adik bayinya mana? Tadi kan ada suara adik bayi kan..."
"Mungkin adik bayinya lagi mandi."
"Dia mandi sendiri?"
Jenar nggak bisa fokus pada apa pun selain pemandangan yang dilihatnya tadi. Rei yang pucat terbaring lemah di atas kasur. Darah di mana-mana. Darah yang mengubah seprei putih jadi merah. Darah di lantai. Darah di tangan beberapa suster. Itu semua darahnya Rei.
Dahinya melekat ke dinding, sementara tangannya terkepal kuat.
"This big boy—" Hyena menghela napas sembari bangkit dan mencopot jaket varsity yang dia kenakan. Membuatnya hanya memakai sport bra. Perempuan itu lalu memakaikan jaket varsitynya pada adiknya. "Pakai ini yang benar."
"Hyena, masa kamu pake beha doang?!"
"Daripada si Jenar telanjang dada gitu, Ma! Bikin suster nggak fokus!" Hyena berdecak, yang bikin mamanya geleng-geleng kepala.
Tigra turut menghampiri Jenar, terus meremas bahunya, seperti ingin menguatkan. Jenar mulai terisak, beberapa kali membenturkan kepalanya sendiri ke dinding. Tigra menarik napas dalam, memaksa Jenar berbalik dan memeluknya sambil menepuk-nepuk punggungnya.
Wuje terperangah melihat ayahnya larut dalam sedu-sedan.
Takut-takut, dia bertanya pada ayahnya Jenar. "Opa... Papa kenapa? Kok nangis..."
Ayahnya Jenar nggak bisa menjawab.
Maka yang dilakukannya adalah mengusap pelan puncak kepala Wuje, sementara mereka harap-harap cemas menanti kabar.
*
"Je, mau ikut Papa?"
"... ke mana?"
"Beli bunga untuk Mama."
Mata Wuje yang awalnya sendu menyala oleh rasa senang. "Aku udah boleh ketemu Mama?!"
Jenar mengangguk. "Boleh."
"Asyikkkkkkkk!!"
Jenar mengulurkan tangan yang kemudian Wuje gandeng. Bersama, mereka pergi ke toko bunga langganan mereka. Ada banyak bunga di sana. Seperti biasa, Wuje selalu sangat antusias tiap pergi ke tempat baru. Dia melangkah cepat dari satu rak ke rak lain, sesekali menghirup aroma bunga yang memang wangi.
"Mau beli bunga apa untuk Mama, Pa?"
"Menurut kamu apa?"
"Itu?" Wuje menunjuk kuntum-kuntum bunga carnation berwarna merah. Jenar menatapnya beberapa lama. Sepertinya, dia mulai membenci warna merah. Warna merah mengingatkannya pada sesuatu yang tak ingin dia kenang; seperti darah di tempat tidur, darah di lantai. Darah yang sangat banyak. Juga wajah Rei yang pucat.
Ah, Regina...
Usai menghabiskan waktu cukup lama memilih bunga, akhirnya mereka pulang bersama sebuah buket yang terdiri dari bunga krisan, mawar dan... carnation. Walau sebisa mungkin, Jenar nggak menggunakan yang berwarna merah.
Setelahnya, mereka kembali ke rumah sakit.
Sudah dua hari lewat sejak peristiwa yang membuat Jenar merasa putus asa sekaligus diliputi rasa takut yang tidak terkira. Tentu, rasa takut itu hanya bermuara pada satu kalimat; takut akan kehilangan Rei. Menit demi menit yang dihabiskannya di kursi ruang tunggu terasa sangat menyiksa. Berkali-kali, dia menatap tangannya sendiri dan bertanya-tanya, apakah genggaman tangan Rei ketika perempuan itu berjuang melahirkan anak kedua mereka adalah genggaman tangannya yang terakhir?
Jenar belum siap.
Sejujurnya, dia rasa dia tidak akan pernah siap.
Kehilangan Rei adalah konsep yang tak pernah terpikirkan olehnya. Dan tidak ingin dia pikirkan. Maka sangat wajar, kalau jantungnya serasa berhenti berdetak selama sesaat ketika pintu ruang bersalin akhirnya terbuka dan Dokter Natya muncul dari dalam sana.
Wajah Dokter Natya terlihat lelah, tetapi di saat yang sama, juga lega.
"Istri anda mengalami atonia uteri yang menyebabkan pendarahan pasca persalinan. Diperkirakan, ini karena persalinan yang tergolong cepat, dan ukuran bayi yang cukup besar. Untuk saat ini, pendarahannya sudah berhenti. Tapi istri anda telah kehilangan cukup banyak darah, jadi akan diperlukan waktu untuk benar-benar pulih. Untuk sementara, Ibu Regina akan ditempatkan di ruang ICU dan diberikan transfusi darah serta nutrisi secara teratur. Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah menunggu kondisinya benar-benar stabil dan membaik dengan sendirinya."
Jenar belum sepenuhnya lega, sebab dia tahu golongan darah Rei termasuk golongan darah yang langka untuk wilayah Asia. "Soal transfusi darah—"
"Soal itu, jangan khawatir. Sekitar sebulan yang lalu, kakak anda sudah reach up saya, in case ada masalah yang terjadi. Katanya, jarak dari keguguran sebelumnya dan kehamilan yang ini cukup pendek. Dia merasa perlu berjaga-jaga. Jadi untuk masalah transfusi darah, nggak ada yang perlu dikhawatirkan."
Jenar mengangguk.
"Lalu, kalau boleh saya kasih saran sebagai dokter, mengingat dari resiko yang mungkin jauh lebih besar di kehamilan berikutnya, saya menyarankan agar Ibu Regina tidak hamil atau punya anak lagi setelah ini. Persalinan setelah ini kemungkinan besar akan berbahaya untuknya."
Untuk yang kesekian kalinya, Jenar lagi-lagi mengangguk.
Ini hari kedua sejak hari itu, dan Rei masih belum bangun. Dokter Natya bilang, mereka hanya perlu menunggu, selain karena tubuh Rei juga butuh waktu untuk memulihkan diri. Tapi tetap saja, Jenar selalu takut, ada sesuatu yang salah yang terjadi. Lalu dia akan kehilangan istrinya.
Fokusnya terpaku pada Rei, dan itu membuatnya sejenak 'melupakan' kehadiran anak keduanya.
Jenar merasa bersalah, tentu saja. Untungnya, keluarga dan teman-temannya selalu memberikan support yang seperti tanpa henti. Seenggaknya, Jenar tahu Boba nggak merasa ditelantarkan. Dia baru satu kali benar-benar menggendong bayi itu sampai tertidur. Sisa waktunya dihabiskan untuk berjaga di sisi tempat tidur Rei.
Seperti kemarin-kemarin, Rei masih terbaring diam ketika Jenar dan Wuje masuk ke ruang ICU.
Wuje memeluk buket bunga yang mereka beli untuk Rei, terus meletakkannya di atas nakas. Anak itu lalu mendekati ranjang, meraih tangan Rei yang tergeletak. Menyentuhnya pelan-pelan.
"Mama, aku sama Papa bawa bunga!"
Tetap hening.
"Mama cepat sembuh ya..."
Masih senyap.
Jenar menghela napas, berusaha tersenyum dan mengelus lembut puncak kepala Wuje.
"Aku kangen Mama, Pa."
"Iya, sama. Papa juga."
"Papa,"
"... ya?"
"Mama sakit karena Boba ya?"
"..."
"Pasti iya kan? Soalnya Mama nggak bangun-bangun setelah Boba datang."
"..."
"Mama sakit karena Boba kan?"
"..."
"Kan aku udah bilang, kalau cuma bikin Mama sakit, aku nggak mau ada bayi baru!"
"Je—"
Jenar belum sempat menjelaskan situasinya pada Wuje ketika perhatiannya teralihkan pada jemari Rei yang bergerak, diikuti matanya yang perlahan terbuka. Perempuan itu menatap sayu, sebelum kemudian menarik napas dalam melalui hidungnya yang terpasangi nasal cannula.
"Regina—" Jenar mendekati sisi tempat tidur Rei, meraih tangan perempuan itu. "You're awake?!"
Rei hanya mengangguk, sedangkan Wuje menghampiri sisi tempat tidurnya yang satu lagi, mengusap pelan punggung tangan ibunya. "Mama, Mama, ini aku..."
"Aku panggil suster deh ya?" Jenar sudah mau bergerak menjauh, tapi genggaman tangan Rei pada ujung bajunya menahannya. Dia menoleh lagi.
Rei menggeleng, terus katanya dalam bisik yang tanpa suara. "Di sini... aja."
"Kamu nggak apa-apa?"
Rei mengangguk.
"Nggak ada yang sakit?"
Rei menggeleng.
"Mama, Mama, ini aku!!"
"Mamanya masih lemes, Je." Jenar memberitahu, pada akhirnya merasa benar-benar lega sampai ke poin di mana dia hampir menangis.
Dia menarik kursi di dekat nakas dan duduk di samping tempat tidur. Jenar juga memangku Wuje yang ngotot mau melihat ibunya. Rei terlihat masih lemas, tapi perempuan itu juga tampak baik-baik saja.
"Mama, kenapa bobonya lama banget?!"
"..."
"Aku sampai kangen Mama, tau nggak?!"
Rei tersenyum sedikit, mengulurkan tangan dan menyentuh pipi Wuje. "Sama."
"Apa, Ma? Nggak kedengeran..."
Rei berdeham. "Sama. Mama juga kangen..."
"Masa sih? Kan Mama tidur! Emangnya orang tidur bisa kangen ya?"
"... bisa."
"Alright, Mama perlu istirahat, soalnya masih lemas." Jenar jadi penengah sebelum Wuje mulai berceloteh panjang-lebar. "Jangan ganggu Mama ya. Kamu main di tempat Boba dulu."
"Papa juga dong!"
"Papa kan mau jagain Mama..."
"Aku juga mau!"
"Kamu berisik, Je. Mama nggak bisa bobo."
"Huf!" Wuje melipat tangan di dada, sempat kepingin ngambek. Tapi ketika menatap Rei, dia akhirnya luluh. "Yaudah, tapi aku mau cium Mama dulu!"
"Iya, iya. Terserah!"
Wuje beranjak sedikit, terus mencondongkan badan untuk mencium dahi Rei. Habis itu, dia melangkah keluar ruangan sendirian. Jarak antara ruangannya Rei sama ruangan tempat Boba berada tergolong dekat. Keluarganya Jenar memang sengaja meminta ditempatkan di kamar yang berdekatan dengan ruang perawatan Rei.
"Is she... okay?" Rei berbisik sewaktu Wuje sudah meninggalkan ruangan.
"Dia baik-baik aja."
Rei tampak lega. "Syukurlah..."
"Kamu sendiri gimana? Beneran nggak ada yang sakit, kan? Kepingin sesuatu?"
"Kepingin ketemu anak aku."
"Kalau itu, belum bisa. Kamu masih lemas. Udah dua hari kamu di sini—"
Rei mengerjap. "Dua... hari? Terus... gimana sama Alessia?! Dia makan apa? Aku—"
"Sshhh, Regina listen," Jenar membelai rambut di dekat jidat Rei. "You almost died. Aku lihat sendiri. Darah di mana-mana, ada yang sampai ke lantai. Aku beneran panik—" Jenar tercekat, memaksa diri menelan saliva. "Intinya, fokus untuk ngerasa enakan aja dulu. Ale baik-baik aja."
"Tapi—"
"Sshh, Regina."
Rei mengembuskan napas. "Aku mau ketemu dia..."
"Iya. Nanti." Jenar membalas tegas.
Rei tahu, Jenar nggak akan bisa dibujuk jika nada suaranya sudah setegas itu.
"Aku minta maaf."
"... hm?"
"Maaf karena aku udah bikin kamu kesakitan lagi. This time, even worse. Aku benar-benar takut kalau kamu bakal nggak ada. Aku janji, setelah ini, aku bakal jaga kamu baik-baik. No more child after Ale."
"... bukannya kalau rumah makin rame... kamu makin seneng?"
"Nggak. Arga dan Ale. Udah cukup."
"Really?"
"Dokter Natya juga bilang sebaiknya kamu nggak hamil lagi kok."
Rei mengerjap. "... separah itu ya?"
"Kamu beneran nggak inget apa-apa ya?"
Rei berpikir sebentar. "Nggak tau. Samar-samar. Yang aku inget cuma sakit nggak lama setelah aku lihat kamu peluk Alessia. Terus dingin..."
Jenar mengusap punggung tangan Rei. "Sekarang nggak dingin, kan?"
"Nggak kok."
"Alright, time to sleep."
"Je, aku kan baru bangun—"
"Suara kamu masih lemes. Mata kamu masih sayu. Kamu masih kelihatan ngantuk. Jelas, kamu masih butuh tidur."
"Cerewet."
"Mau ketemu Ale apa nggak?"
Rei bersungut-sungut, tapi akhirnya menurut. Dia memejamkan mata, disusul oleh Jenar yang membungkuk di atasnya, menjatuhkan kecupan lembut di dahinya.
to be continued to epilog
***
saranghae tto saranghae
tapi engga jadi
"papaaaaaaa, ini susun baloknya gimana 😥."
"gini loh nih ya, papa contohin..."
"papa, ini ulet bulu ya? kok dia jadi kupu-kupu..."
"hm, mana sini coba papa lihat..."
***
a/n:
selamat jenar telah menjadi seorang duda.
WKWKWKWWKWKWKWKWKWKWKWKWKWK
hadoh coy, ya begitulah ya.
tinggal epilog niy.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top