70 | closure

"Kalau lo mau ditemenin, gue bisa stay di kafenya kok, Shan. Paling beda meja aja."

"... gue kelihatan segugup itu ya?"

"Nggak juga." Jaka mengusap pundak Rossa, seperti ingin menenangkan perempuan itu. "Cuma... you look... a bit uneasy. Don't worry. Orang yang bakal lo temuin kan Wirya. Bukan orang lain."

Justru karena dia bukan orang lain, Rossa berpikir.

"Wirya kan baik. Gue yakin, dia nggak akan nyakitin lo."

"Iya. Gue tau." Rossa mengembuskan napas perlahan. "Kebalikannya, malah gue yang sering nyakitin dia."

"Kalau gitu, kenapa dari semua orang, lo memilih nggak kirim undangan ke dia?"

"Itu..."

Rossa tak bisa menjawab pertanyaan Jaka.

Setidaknya, nggak di saat itu juga.

Dia paham, undangan digital yang dia sebar bersama Jaka telah menuai reaksi kaget dari mayoritas teman-teman mereka—meski jelas nggak semengejutkan berita pernikahan Jella sama Tigra yang nggak pernah ngasih spoiler maupun tampil berdua di depan publik sebelum rencana pernikahan mereka diumumkan.

Sebenarnya sih, dia sama Jaka memang nggak meniatkan "menyusul" Milan dan Sakura secepat ini.

Tentu, hari di mana mereka datang menghadiri acara resepsi pernikahan Milan dan Sakura ditutup dengan sangat menyenangkan. Rossa menginap di rumahnya Jaka. Nggak, mereka nggak melakukan apa pun yang kira-kira bisa dikategorikan ke dalam tanda kutip. Dibanding dari bagaimana dia semasa kuliah, Jaka yang sekarang tampaknya telah jauh lebih "konservatif".

Rossa sempat meledeknya ketika itu. "Jadi... lo beneran udah tobat?"

"Maksudnya?"

Jaka bertanya seraya mengulurkan cangkir berisi teh rosella yang dibuatkannya untuk Rossa. Di luar, malam telah merambat menuju larut. Suasana sepi. Sesekali, terdengar bunyi rumpun mawar yang saling bergesekan karena ditiup angin.

"Gue kira lo... masih bebas banget kayak ketika jaman kuliah."

"Emang waktu kuliah, menurut lo, gue sebebas itu?"

"I don't know, kadang gue ngerasa vibes lo sama Jenar itu setipe tau." Rossa mengangkat bahu.

"Shan," Jaka mengerang. "Gue bukan tandingan Jenar. Mantannya dia mah banyak."

"Oh ya. Dia buaya senior. Lo buaya junior."

Jaka tertawa geli. "Mungkin begitu. Meski di mata gue, Jenar tuh nggak benar-benar bisa dibilang buaya."

"Hm?"

"Dia bukan predator. Dia cuma tidur sama cewek yang lagi jadi pacarnya aja. In short, dia cuma ngapa-ngapain sama orang yang memang dia sayang."

"Tau dari mana?"

Jaka menyeringai. "Oh, cowok-cowok biasanya sangat terbuka antar sesama cowok. Apalagi soal yang begituan. Obrolan tongkrongan cowok nggak jarang adalah tipe obrolan yang bisa bikin kuping cewek merah, tau nggak?"

"Oh..."

"However, Jenar bukan cowok yang—let's say, suka ngomongin cewek-ceweknya as if mereka objek. Kayak, ada beberapa cowok yang suka terlalu santai ngomongin sesuatu yang bersifat sangat personal bagi ceweknya di depan teman-temannya dengan santai. Jenar nggak begitu, sejauh yang gue ingat."

"Gimana dengan lo?"

"Hm?"

"Gimana dengan lo sendiri?"

"Gue cuma pernah tidur sama dua perempuan."

"..."

"Yang pertama... well, cuma ketertarikan sesaat aja. Gue nggak pernah kontak-kontakan lagi sama dia setelah itu. Lalu, gue ketemu lo di acara anak-anak kosannya Alfa dan—kayaknya lo udah tau kan sisa ceritanya kayak gimana?" Jaka menarik senyum tipis. "Perempuan yang kedua, tentu lo."

Rossa ternganga. "Jadi lo nggak pernah bersama siapa pun setelah itu?"

"Nggak."

"Even sama cewek BO?"

"Nggak lah." Tawa Jaka pecah. "Life style kayak gitu nggak cocok untuk gue. My body is my temple. Gue hanya mengizinkan mereka yang beneran spesial buat gue untuk ada sedekat itu—meski pun, apa yang gue lakukan ke lo dulu... itu nggak seharusnya gue lakukan."

"Wow, that sounds hard, Man."

"Hard gimana?"

"You don't get laid for years." Rossa geleng-geleng kepala. "Gini-gini, kasarnya kita tetap saja kayak hewan dengan akal sehat. Dan lo... ganteng... mapan... oke... terus ngejomblo bertahun-tahun? Udah gila."

"Salah siapa coba?"

"Salah gue?"

"Gue juga salah sih." Jaka terkekeh. "Bisa jadi emang benar yang lo bilang. Kita ini kayak hewan. Tapi jangan lupa sama apa yang lo bilang setelahnya. Kita juga punya akal sehat. Lagian, ketika gue sibuk, gue nggak punya waktu juga mikir yang nggak-nggak."

"Hm..." Rossa manggut-manggut, terus menyesap tehnya. "Tehnya enak."

"Ini teh rosella. Dibuat dari bunga."

"Jangan bilang lo bikin sendiri?"

"Di teras samping ada tanaman rosella." Jaka nyengir.

Rossa tersenyum, sebelum kemudian mendekat dan menarik Jaka merapat untuk mencium lelaki itu.

Mereka nggak membahas soal pernikahan, kendati keesokan harinya, begitu tiba di apartemennya, Rossa sempat menyisihkan beberapa tangkai bunga dari buketnya Sakura, lalu merendamnya dalam vas kaca berisi air es.

Tapi tak bisa dipungkiri, setelah itu, mereka berdua memang makin dekat.

Rossa jadi sering main ke tempat Jaka ketika dia nggak lagi bekerja. Lagi-lagi, mereka tidak melakukan sesuatu yang aneh-aneh. Seringnya, cuma nonton film-film lama Audrey Hepburn bareng. Atau baca komik. Atau masak makan siang bersama, lalu mencuci piring.

Hingga suatu siang, kata-kata itu terlontar begitu saja dari Rossa, pas-pas-an waktu mereka lagi main scrabble.

"Nggak tau kenapa ya, belakangan ini gue kayak lebih suka spending time di rumah lo daripada di apartemen gue."

"... hm, kenapa?"

"Mungkin karena lebih nyaman. Di depan ada kebun mawar. Jadi wangi. Terus ada lo-nya juga."

"Yaudah. Tinggal aja di sini, biar nggak bolak-balik tiap hari."

"Lah, bukannya baru kemarin lo bilang lo nggak mau tinggal serumah sama perempuan yang bukan istri lo?"

"Mm-hm."

"Terus?"

"Maksud gue, tinggal aja di sini setelah lo jadi istri gue. mau mulai kapannya, silakan lo yang tentuin."

Rossa terkekeh. "Besok boleh?"

"Kalau lo mau pindah besok, berarti kita harus nikah hari ini." Jaka menyahut, ringan saja.

"Oke. Tapi sebelum itu..."

"... ya?"

"Gue mau lo ketemu orang tua gue... dan gue ketemu orang tua lo."

"Shan,"

"... nggak mau ya?"

"Boleh sih." Jaka menggaruk tengkuknya yang nggak gatal. "Tapi terakhir kali gue ketemu bokap lo, gue ditonjok..."

Respon Jaka yang terkesan polos memicu meledaknya tawa Rossa.

Terus begitu deh.

Mereka sama-sama bicara dengan orang tua masing-masing, lalu sepakat untuk mengatur sebuah sesi makan malam lengkap dengan orang tua kedua belah pihak. Makan malamnya sempat terasa agak canggung, hingga tiba-tiba, Rossa meraih tangan Jaka yang duduk di sebelahnya, dan bilang...

"Kalau kita bilang kita mau nikah dalam tiga bulan ini, kalian keberatan nggak?"

Kedua pasang orang tua sama-sama tersedak sup dan minuman mereka, yang justru bikin Rossa dan Jaka kompak saling pandang, lalu giggling.

Kayak apa yang Jaka bilang, kedua orang tuanya tampak sangat terbuka.

Respon pertama ayahnya Jaka nggak jauh-jauh dari, "Wah... berarti Ayah harus mulai ngukur dan jahit jas baru ya? Soalnya baru nimbang minggu kemarin... berat badan Ayah naik..."

Kelakarnya disambut oleh tawa canggung dari maminya Rossa. Papinya Rossa diam saja, meski diam-diam saling lirik dengan Jaka. Betulan awkward.

Rossa dan Jaka berencana memanfaatkan waktu tiga bulan untuk saling mendekatkan kedua orang tua mereka, sampai mendadak, Jaka dapat chat broadcast dari temannya yang batal menikah. Padahal persiapan pernikahannya sudah hampir selesai.

Habis diskusi sama Rossa, mereka memutuskan untuk melanjutkan persiapan pernikahan tersebut.

Kesannya mendadak sih, tapi di saat yang sama, Rossa juga excited banget.

Sesuatu yang nggak terpikir olehnya bakal dia rasakan.

Apa pun itu, untuk pertama kalinya dalam hidup, Rossa tersadar jika dia hanya hidup sekali. Dia sudah membuang waktu sepuluh tahun. Dia nggak bisa membuang lebih lama dari itu.

Dan harus dia akui, dia memang menginginkan laki-laki itu.

Dia menginginkan Jaka.

*

Rossa tiba di kafe tempat mereka janjian lebih dulu. Jaka mengantarnya, tapi nggak ikut ke kafe. Dia menunggu di tempat lain. Begitu tiba, Rossa langsung duduk di salah satu kursi, terus mengirim chat ke Wirya.

rossa:
aku udah di kafe.

wirya:
omw

Rossa melongo sebentar. Agak kaget, karena tumben-tumbenan tuh, Wirya membalas chatnya dengan disingkat-singkat. Mana tiga huruf doang pula. Jadi kelihatan kayak anak salah gaul. Tapi ya sudahlah. Rossa hanya mengangkat bahu, memutuskan memesan matcha latte seraya menunggu kemunculan Wirya.

Wirya datang sekitar sepuluh menit kemudian, diikuti seorang gadis muda yang menutupi rambutnya pakai pashmina asal pakai dan sunglasses hitam yang... masih ada price tagnya di bagian tangkai telinga. Kentara banget, sunglasses itu baru dijemput dari optik yang berada di lantai satu.

Mereka berlagak nggak kenal, tapi dari gerak-geriknya yang mencurigakan, Rossa bisa menebak situasinya.

Dia juga masih ingat kalau gadis aneh itu adalah gadis muda yang beberapa kali dia lihat bersama Wirya.

Gadis itu mengambil tempat duduk nggak jauh dari tempatnya Rossa. Dia menutupi wajahnya pakai buku menu, namun Rossa tahu pasti, dia sedang melihat ke arah mereka.

"Udah lama?" Wirya bertanya seraya menarik kursi dan duduk di depan Rossa.

"Udah."

Rossa kepingin nyeplos; tadi seru nggak milih-milih kacamatanya?

Tapi nggak jadi.

Dia pura-pura berdeham. "Baru sebentar. Mau pesan apa?"

"Air putih."

"Mereka punya kopi yang enak."

"Nggak, kata—hng, maksudku, takut diracun."

"Siapa yang ngeracun?" Rossa melirik pada Ryza yang tertangkap basah lagi memandangi mereka dari balik kacamatanya. Secepat kilat, gadis itu menunduk, berpura-pura sibuk sama layar handphonenya.

Wirya hanya mengangkat bahu. "Mau ngomongin apa?"

"Kamu dulu. Aku yakin, kamu punya banyak unek-unek buat aku."

"Jangan sakit hati ya?"

"Bukannya kamu yang paling berhak sakit hati sama aku?"

Rossa membalas, suaranya masih tenang. Malah agak geli. Dia tersadar, bahwa ada yang berbeda dari pembawaan Wirya. Lelaki itu jadi lebih... emosional. Nggak sedatar sebelumnya. Ibarat kata kanvas, dia jadi berwarna.

Wirya menyipitkan mata. "Aku nggak akan berkomentar tentang gimana keputusan kamu buat nikah tuh cepat banget. Aku juga nggak tertarik tentang apa yang mungkin terjadi diantara kamu sama Jaka—"

"Tapi barusan itu kamu komentar—"

Wirya mengabaikan ucapan Rossa dan meneruskan ucapannya. "Aku cuma mau tau, kenapa dari semua orang, kamu nggak ngundang aku ke hari bahagia kamu?"

"... kamu kepingin diundang?"

"Nggak gitu!" Wirya mendengus. "Aku nggak ngarep diundang. Aku cuma heran aja. Kita bukan lagi pasangan. Oke, it's fine. Aku bisa terima. Tapi apa jadi mantan pasangan itu berarti kita nggak bisa lagi temenan?"

"... kamu masih mau temenan sama aku?"

"Menurut kamu?"

"Kukira kamu sakit hati sama aku..." Rossa berujar, terus menghela napas dalam. "Dan nggak, terus terang, aku nggak berpikir negatif ke kamu."

"..."

"Aku nggak benci kamu."

"... terus kenapa kamu nggak mengundang aku?"

"Soalnya... aku ragu kamu mau hadir apa nggak."

Wirya terdiam. Sepertinya, dia sudah mempersiapkan apa yang mau dia katakan sebelumnya. Cuma, karena situasinya tiba-tiba berbeda dari situasi yang telah dia bayangkan, maka hasil latihannya buyar semua. Dia nge-blank. Lelaki itu kehabisan kata-kata, hanya bisa menatap Rossa tidak percaya.

"Sebenarnya aku sama dia nggak berencana menikah secepat ini."

"..."

"But things happened—"

"Kamu hamil?"

Rossa mengerjap, terus tertawa kecil. "Astaga... nggak, Wirya. Bukan itu. Lagian, aku nggak yakin aku bisa, sekalipun aku mau. Jadi alasannya jelas bukan karena ada accident yang semacam itu."

"Terus?"

"Kurasa, aku udah lama yakin. Hanya, akunya aja yang nggak tau. Kejadian marahnya kamu habis aku dan Jaka pulang dari bukit, pertengkaran kita, terus kamu yang pulang duluan bareng cewek itu—" Rossa melirik sedikit pada Ryza yang masih mengamati mereka dari jauh. "—benar-benar buka mata aku. Dan aku sadar, apa yang sebenarnya aku inginkan, tapi nggak pernah bisa aku akui sebelumnya."

"..."

"Aku mau minta maaf, Wirya."

"..."

"Maaf karena kebodohanku selama ini udah ikut nyakitin kamu. You deserve better. A lot better. Kalau aku bisa memutar waktu untuk nebus semua salah yang udah kubuat ke kamu, pasti akan aku lakukan."

"..."

"Selama ini... aku salah mengartikan gimana perasaanku yang sesungguhnya ke kamu. Maaf..."

"Bentar... aku bingung..."

"... bingung kenapa?"

"Situasi ini nggak kayak apa yang aku dan Rhyzoma latih sebelumnya..."

Rossa nyengir. "Emang situasi yang kamu latih tuh yang kayak gimana?"

"Situasi yang drama banget... yang banyak marah-marahnya, ada bagian di mana—" Wirya ngeluarin handphonenya, lalu membuka memo dan membaca sedikit bagian yang sempat dilatihnya bareng Ryza. "—kamu bakal bilang 'terus kenapa kalau aku nggak ngundang kamu?! Itu hari bahagiaku!! Jadi terserah aku!' lalu aku bakal jawab, 'kamu bisa milih jadi mantan budiman atau mantan anjingan dan kamu malah lebih milih jadi mantan anjingan?! A fucking mantan anjingan?! Sakit jiwa kamu!'." Wirya berhenti membaca tulisan pada memonya, kemudian menatap Rossa. "... tapi... hng... ternyata nggak gitu ya?"

Rossa nggak bisa menahan tawanya agar nggak meledak. "Siapa yang bilang ke kamu situasinya bakal kayak gitu?"

"Rhyzoma."

"Dia bikin kamu sesat."

"Rosie—"

"—in a good way." Rossa buru-buru menambahkan. "Kamu bisa suruh dia join ke sini, daripada cuma lihatin dari jauh."

Wirya terkesiap. "KAMU TAHU?!"

"Wirya, cara nyamar dengan price tag sunglasses yang masih nempel dan pashmina nggak jelas adalah cara nyamar paling jelek yang pernah aku lihat."

Wirya mengembuskan. "Aku udah kasih tau dia tadi. Tapi dia ngotot."

"Dan kamu nggak bisa membantahnya. Iya, kan?"

"... ya."

"That's a good sign." Rossa mengangkat bahu.

"Kenapa?"

"Tanda sayang seorang laki-laki biasanya terlihat ketika dia bersedia ngalah."

"..."

"Do you love her?" Rossa akhirnya bertanya.

Wirya terdiam sejenak. "I think... I am on my way to fall."

"On your way? Kenapa jawabnya begitu?"

"..."

"Aku harap, kebodohanku yang udah nyakitin kamu nggak bikin kamu kapok jatuh cinta, Wirya."

Wirya menghela napas. "Kamu yakin? Soal kamu yang mau nikah sama Jaka, maksudku."

"Em-hm."

"You sure you will be happy with him?"

"I think I am."

"Fine." Wirya akhirnya berujar. "Kalau kamu rasa kamu bakal bahagia sama dia, it's okay. Go ahead. Tapi kasih tau dia, kalau kamu sampai nggak bahagia setelah nikah sama dia, aku bakal bikin dia lebih babak-belur dari waktu itu."

Rossa menarik senyum lebar. "Bakal aku sampein."

"Sekarang... boleh aku kenalin dia?" Wirya menatap pada Ryza yang duduk dengan buku menu menutupi sebagian wajah.

"Sangat boleh."

Wirya pun beranjak, melangkah mendekati Ryza yang langsung panik. Dia memberi gestur pada Wirya untuk menjauh, tapi Wirya cuek saja dan terus menghampirinya. Saking kalutnya, Ryza pun merebahkan kepalanya ke atas meja, terus menutupi wajahnya pakai pashmina.

"Rhyzoma,"

"OM, LATIHAN KITA KAN NGGAK GINI!!"

"Rosie mau kenalan."

"What?!"

"Rosie mau ketemu calon pacar saya." Wirya menambahkan, sengaja bergurau dengan nada yang dia bikin terdengar seserius mungkin.

"WHAT?!!!"

*

Biasanya, selain untuk me-time, akhir pekan akan Jenar jadikan sebagai waktu khusus untuk keluarga.

Tapi sepertinya berbeda untuk weekend kali ini.

Di pagi hari, dia mendapat telepon dari ibunya kalau ayahnya tengah kurang sehat. Bukan sesuatu yang serius, karena dari muda, papanya Jenar tergolong pribadi yang sudah menjaga kesehatan. Hanya saja, beliau punya acara workshop bisnis yang mesti dihadiri pada hari Sabtu dan Minggu—yang untungnya dilaksanakan di Jakarta. Lokasinya di sebuah hotel berbintang standar internasional. Beliau direncanakan menjadi salah satu pembicara sekaligus trainer di sana.

Dikarenakan kurang memungkinkan bagi Hyena untuk menggantikan beliau, mamanya Jenar menelepon, bertanya apa Jenar bisa menggantikannya.

Tentu, Jenar bisa saja menolak dan ayahnya akan mendelegasikan tugas itu pada orang kantor yang lain. Namun sebagai anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga yang diharapkan akan mengambil alih posisi ayahnya di masa depan nanti, Jenar tau, beliau pasti mengharapkannya bersedia.

Dan pada akhirnya, memang itu yang dilakukan.

Acara workshopnya tergolong padat, karena dimulai jam sepuluh pagi dan baru berakhir jam enam sore. Acara itu berlangsung dua hari berturut-turut dan dihadiri bukan hanya oleh mereka yang bertempat tinggal di ibukota, melainkan juga peserta dari perusahaan daerah yang tergolong bonafit.

Jenar sempat agak ragu soal kemampuannya menggantikan ayahnya pada acara workshop tersebut—meski pada akhirnya, terbukti dia bisa melakukannya. Dia merasa terbantu, karena materi yang dibawakan hampir sama dengan apa yang pernah dipelajarinya dalam kegiatan di Shanghai bertahun-tahun lalu.

Tepat jam enam sore, workshop untuk hari Sabtu terselesaikan dengan baik.

Begitu acara ditutup, Jenar langsung mengecek ponselnya. Senyumnya tertarik otomatis ketika tahu ada rentetan chat yang belum dibuka dari Rei. Isinya foto-foto; foto Wuje yang lagi makan mangga, foto Wuje yang lagi menggambar, juga rekaman Wuje yang lagi main kejar-kejaran sama kucingnya.

Dia jadi ingin buru-buru pulang.

Sayang seribu sayang, niatnya tak kesampaian karena beberapa trainer workshop lain yang juga kolega ayahnya telah mendekatinya. Mereka menyapanya, mengajaknya bicara, terus mengusulkan untuk makan bersama. Jenar merasa nggak enak hati kalau menolak, apalagi mayoritas dari para trainer tersebut seumuran ayahnya.

Ujung-ujungnya, dengan berat hati, dia ngabarin istrinya kalau dia nggak akan makan malam di rumah malam itu.

regina:
loh, katanya acaranya cuma sampai jam enam?

jenar:
koleganya papa ngajak dinner bareng.
nothing serious, tapi aku agak gak enak nolak.

regina:
oh, oke.
jadi aku dinner aja sama si bocil ya?
gak usah nunggu kamu?

jenar:
yes.
regina, I am so sorry.

regina:
no need too.
gak apa-apa kok.
pulang jam berapa?

jenar:
soon after I finish the dinner.

regina:
okay.

jenar:
miss you.

regina:
kita baru ketemu tadi pagi, je wkwkwkwk

jenar:
terus emang kalo baru ketemu tadi pagi gak bisa kangen?

regina:
ya boleh.
miss you too.
enjoy your dinner yaa.

Turned out, dinnernya baru selesai jam delapan malam lebih sedikit.

Jenar sempat berbasa-basi sejenak, sebelum pamit pulang, yang lalu bikin beberapa kolega ayahnya menatap heran.

"Penyelenggara acaranya nyediain akomodasi di hotel ini loh. Kamu bisa nginap daripada repot-repot nyetir pulang."

"Saya tahu." Jenar membalas sopan, tak lupa sambil sedikit tersenyum. "Tapi di kamar hotel nggak ada istri sama anak saya. Jadi saya memilih pulang aja."

"Ah, family man ya? Just like your father."

Jenar hanya tertawa kecil, sebelum akhirnya benar-benar berpamitan dan melenggang menuju area parkir tempat Range Rovernya berada.

Jenar baru tiba di rumah jam setengah sembilan lewat.

Suasana rumah sepi ketika dia sampai. Lelaki itu mengecek ke kamar tidur mereka, dan Rei nggak ada di sana. Suara Wuje juga nggak terdengar. Benaknya menduga, besar kemungkinan Rei sedang menemani Wuje di kamar anak itu.

Jenar memilih mandi dan ganti baju dulu. Dia baru saja dari luar dan tidak sedang dalam kondisi bersih. Sejak Wuje baru lahir, mereka berdua sudah sepakat, kalau sepulang kerja, Jenar mesti bersih-bersih sebelum menyentuh atau memeluk anaknya. Kebiasaan itu terus terbawa hingga sekarang.

Tebakan Jenar terbukti benar.

Rei memang lagi ada di kamar Wuje, menemani Wuje sampai tertidur seperti malam yang sudah-sudah. Namun untuk malam ini, sepertinya Rei ikut-ikutan ketiduran. Jenar mendekat dalam langkah pelan. Hatinya terasa penuh, membengkak oleh rasa hangat saat dia melihat mereka berdua.

Orang-orang yang selalu jadi alasan kenapa dia nggak pernah nggak merindukan rumah, dan kenapa dia selalu memilih rumahnya sebagai tujuan nomor satu untuk pulang.

Ada kerut samar yang muncul diantara kedua alis Rei, sebelum matanya perlahan terbuka.

Dia menguap. "Loh, udah pulang?"

"Mm-hm." Jenar beralih menatap Wuje yang telah terlelap. "Gimana kalian hari ini?"

"Sibuk." Rei tergelak lirih, khawatir membangunkan Wuje. "Aku sama Wuje menggambar. Terus buat dinner, kita masak bareng."

"Dia nanyain aku nggak?"

"Of course." Rei beranjak dari kasurnya Wuje. "Nggak biasanya kamu ngilang seharian untuk kerja waktu weekend, jadi tentu, anaknya kepo. Tapi aku udah kasih tau kok."

"Maaf..."

"Hm, kenapa?"

"Weekend harusnya untuk kamu sama Wuje. Tapi aku malah—"

"No, it's okay. Nggak usah minta maaf. Aku sama Wuje paham kok." Rei lalu bertanya. "Kayaknya aku lagi kepingin minum teh herbal. Kamu mau dibikinin apa? Atau masih lapar?"

"Bikinin kopi aja, kalau nggak ngerepotin kamu."

"Nggak sama sekali."

Habis berkata begitu, Rei meninggalkan kamarnya Wuje duluan menuju dapur. Jenar tetap di sana, memandang anak laki-lakinya beberapa lama. Lalu dia mendekat dan mencium dahi Wuje, sekalian mengucapkan selamat malam. Setelah itu, barulah Jenar menyusul menuju dapur.

Dia menonton Rei membuat minuman untuk mereka berdua, yang lantas dibawa perempuan itu ke ruang keluarga.

"So... how was it? Acaranya lancar?"

"Materinya nggak jauh beda sama materi yang pernah aku pelajarin waktu sebulan di Shanghai dulu. Jadi, nggak ada masalah. Semuanya lancar." Jenar menghirup kopinya, kemudian menatap Rei yang duduk di sebelahnya. "How about yours? Hari ini jadi telepon Mama kamu?"

Rei mengangguk. "Jadi."

"Apa kata Mama?"

Rei menghela napas panjang, menyesap tehnya dan menelannya sebelum menjawab. "Mama sempat diam lama banget."

"..."

"Terus dia nangis."

"Oh, dear..."

Rei mengangguk. "Mama minta maaf ke aku, karena dulu, waktu Papa nuduh dia selingkuh setelah hasil tes darah itu keluar, Mama terlalu terfokus sama perasaannya sendiri. Mama sakit hati. Aku paham. Aku pun kayaknya bakal begitu kalau aku dituduh selingkuh, padahal sebenarnya nggak. Apalagi nggak lama dari sana, Papa selingkuh beneran, sama perempuan yang menurut Mama jauh lebih muda dan lebih cantik. Kalau aku jadi Mama, aku juga bakal hancur."

"Mm-hm, tapi itu bukan pembenaran untuk sikapnya selama ini kan, Regina?"

"Aku nggak membenarkan apa yang Mama lakukan. Dan Mama juga nggak ngerasa tindakannya benar. Mama sadar tindakannya salah, karena Mama terlalu terfokus sama sakit hati dan perasaannya sendiri tanpa mikirin gimana perasaanku. Aku nggak ngerti apa-apa ketika itu. Satu yang aku tau ya... suasana rumah tiba-tiba berubah. Papaku tiba-tiba nggak sayang sama aku lagi."

Rei menatap cangkir teh yang dia pegang.

"Saat Tigra telepon Mama di malam aku kecelakaan dan ngasih kabar, Mama nangis karena ngerasa hopeless dan nggak bisa bantu aku, karena golongan darah kita nggak sama."

"Tapi—"

"Aku tau. Mamaku kelihatan flat dan nggak bicara apa-apa waktu itu. Tapi sebenarnya... daripada karena nggak peduli, itu lebih karena, Mama ngerasa malu..."

"Malu?"

Rei mengangguk lagi. "Malu sama kamu."

"Kenapa?"

"Kata Mama, kamu sayang sama aku lebih baik dari gimana Mama sayang sama aku."

"..."

"Itu juga yang jadi alasan Mama milih jaga jarak dari kita setelah itu. Mama ngerasa, kamu lebih pantas, lebih capable sayang sama aku. Kamu bisa jagain, lindungin aku, ketika Mama gagal ngelakuin itu."

"... still—"

"Iya. Aku tau. Makanya aku bilang ke Mama, yang namanya peran orang tua itu, sampai kapan pun nggak akan pernah bisa terganti. Makanya, untuk jadi orang tua, perlu komitmen. Orang tua itu pekerjaan seumur hidup. Kayak... apa orang tua berhenti jadi orang tua setelah anaknya cukup dewasa atau bisa mandiri? Kurasa nggak. Aku bisa aja umur dua puluh... tiga puluh... atau bahkan empat puluh, dan aku akan tetap butuh rasa sayang dari orang tuaku."

"..."

"Aku juga ngabarin Mama soal bocil baru. Aku sekalian bilang, kalau dulu, waktu kita mau punya Wuje, aku ngerasa Mama nggak 'hadir' sebagai mamaku. Aku berharap, kali ini, situasinya bisa berbeda. Lagipula, setelah tahu Papa sakit, kita harusnya sadar kan kalau masa depan itu nggak bisa ditebak? Siapa yang tahu umur seseorang? Mumpung masih sempat, kenapa nggak take kesempatan yang ada? Jangan sampai karena terlalu fokus sama kesalahan masa lalu, Mama jadi lupa sama masa sekarang."

"Terus Mama kamu bilang apa?"

"Mama bilang iya. Dan aku lega." Rei membuang napas. "It feels like... apa yang selama ini ngeganjel soal orang tuaku... udah lepas semua. Udah hilang. Aku nggak punya beban lagi."

"I am happy for you, Love."

Rei menarik senyum lebar. "Thank you."

"Alright, sekarang giliran aku tanya soal bocil baru—" Jenar balik tersenyum. "How was her day?"

"Her?" Rei tertawa geli. "Je, kita bahkan belum tau gendernya apa..."

"I am sure it's a her."

"Yakin banget." Rei mencibir.

"Iya. She must be Daddy's little princess, karena aku yang dibikin repot mual sama muntah di awal-awal kita tahu dia ada." Jenar menyahut penuh percaya diri. "Apa kabar dia hari ini?"

"Baik-baik aja, kayaknya? Dia baru sebelas minggu, jadi menurut Dokter Natya... movementnya baru mulai kerasa di minggu keenam belas atau ketujuh belas."

"That early? Kayaknya dulu movementnya si Wuje baru mulai kerasa di minggu ke-20 deh?"

"Wuje itu kan kehamilan pertama. Jadi jelas beda."

"Oh ya?"

Rei mengangguk. "But I think she's okay. Di usia tiga bulan, umumnya janin udah lebih stabil."

Jenar membawa salah satu telapak tangannya naik, kemudian beristirahat di atas perut istrinya. "Grow strong, little one."

Rei turut meletakkan telapak tangannya di atas tangan Jenar, terus menarik senyum lebar. "I am sure she will."

"Jadi kamu setuju?"

"Setuju apanya?"

"That this little one will be a she?"

"Aku ngikut kamu aja." Rei nyengir. "Tapi gimana ya..."

"Gimana apanya?"

"Nggak lama lagi, aku pasti bakal menggendut."

"Terus kenapa?"

"Nggak apa-apa?"

"Justru kalau kamu tambah gembul, jadi makin enak dipeluk nggak sih?"

Jenar menoleh pada Rei, bersamaan dengan perempuan itu ikut menatap padanya.

Senyum lebar mereka terkembang dalam hitungan sepersekian detik, dan selama sejenak, segalanya terlihat terlalu sempurna.

"Why are you staring at me like that?" Rei tersipu malu.

"Nggak boleh?"

"It's been years. Udah sepuluh tahun lebih sejak kita bener-bener ngobrol waktu itu..." Rei mengenang. "Kenapa kamu masih suka ngelihatin aku dengan pandangan yang kayak gitu?"

"Nggak boleh?"

"Nggak bosen?"

"Kenapa harus bosen?"

"Karena udah sepuluh tahun lebih yang kamu lihat aku lagi-aku lagi."

Jenar menggeleng. "Aku selalu butuh lihat kamu lama-lama."

"Hm..."

"Untuk yakinin diri sendiri kalau aku nggak lagi mimpi."

"..."

"Kalau kamu benar-benar di sini."

"..."

"Dan kamu punyaku."

*

Jika ada yang paling sakit hati sama pernikahannya Rossa dan Jaka, bisa dipastikan, orang itu bukan Wirya.

Terus siapa?

Wuje.

Kayaknya, itu karena Wuje sudah terlalu "terbiasa" melihat Rossa sama Wirya bersama. Apalagi, Wirya hampir selalu lagi ada di tempatnya Rossa setiap kali dia main ke tempat perempuan itu, maupun sebaliknya. Dalam kepala Wuje, di mana ada Rossa, ya di sana semestinya ada Wirya. Pasangannya Wirya... ya cuma Rossa. Seperti gimana dia memandang kedua orang tuanya,

Jadi, berakhirnya hubungan Rossa dengan Wirya adalah sesuatu yang masih susah diterima oleh pikiran bocil Wuje.

Rasa "sakit hati" itu tercermin jelas sewaktu Wuje bertemu Ryza untuk pertama kalinya.

Gimana ceritanya tuh?

Sebenarnya sih nggak sengaja. Jadi, sekitar seminggu setelah Rossa sama Wirya bicara empat mata—nggak deng, sebenarnya diam-diam Ryza pun ikut nguping dari meja terdekat dalam penyamaran yang bisa langsung Rossa ketahui dengan sekali lihat—tibalah jadwal kunjungan pertama Rei ke dokter kandungan..

Kunjungan itu hanya untuk pemeriksaan biasa. Nggak ada keperluan khusus. Sejauh ini, kehamilannya berlangsung baik-baik saja tanpa keluhan berarti. Berbeda dengan kehamilan sebelumnya, Rei nggak mengalami morning sickness. Paling hanya lebih gampang capek, tapi juga nggak separah ketika dia mengandung Wuje. Sebagai gantinya, malah Jenar yang sempat dibikin rewel perkara makanan selama setidaknya satu bulan penuh—lalu untungnya, lama-lama mual yang lelaki itu alami berkurang terus berangsur hilang.

Nah, pada sehari sebelum mereka janjian mau ketemu Dokter Natya, Wuje menunjukkan gejala flu. Hyena yang menjemputnya dari sekolah langsung mengajaknya mampir ke dokter. Benar saja, anak itu memang terserang batuk-pilek dan agak kurang fit.

Di hari berikutnya, Rei sempat bimbang. Dia terpikir buat re-schedule jadwal pemeriksaan rutin sama obgynnya, karena Wuje pasti bakal terlalu rewel untuk diajak ikut serta ke rumah sakit. Namun, Jenar berkeras mereka tetap pergi periksa. Terus, karena kedua orang tuanya Jenar lagi nggak di Jakarta, Hyena sedang sibuk dan menitipkan Wuje di tempat ayahnya Rei tampak nggak mungkin, Jenar pun beralih menghubungi Wirya.

Soalnya kan nggak mungkin juga mereka minta tolong sama Rossa yang sepertinya lagi sibuk melakukan serangkaian persiapan untuk menyambut hari bahagianya.

Jenar nge-chat Wirya tuh.

jenar:
bro

wirya:
apa?

jenar:
hari ini gue mesti nganter bini gue check-up

wirya:
hah, bini lo sakit apa?

jenar:
gak sih, check rutin aja ke dokter kandungannya.

wirya:
oh, terus?

jenar:
boleh minta tolong titip si bocil bentar gak?
bokap-nyokap gue lagi gak di jkt dan kakak gue lagi sibuk

jenar:
nih anaknya lagi rada pilek, pasti rewel kalau dibawa ikut ke rumah sakit

wirya:
hah

wirya:
waduh.

jenar:
kok waduh sih?

wirya:
ini bukan apa-apa ya, tapi seringnya selama ini tuh kalo arga ke tempat gue, selalu pas ada rossa juga.
lo kan tau, gue sama rossa udah end.

jenar:
ya terus kenapa?
arga juga seneng ada di dekat lo, kan.

wirya:
gue terlalu kaku gak sih megang anak kecil sendiri?

jenar:
gak lah
you're his godfather juga.

wirya:
kalo dia nanyain rosie gimana?

jenar:
jawab apa deh gitu.
tapi jangan bilang kalo kalian udah putus.

wirya:
emang kenapa?

jenar:
NANTI ANAKNYA MENTAL BREAKDOWN WKWKWK
lo tau sendirilah
buat dia, lo sama rossa itu kayak orang tua kedua

wirya:
haduh

jenar:
tapi lo sama si ayam aman kan?
eh, sori gue sebut si ayam.
kebawa atuy, anjir wkwkwkwkwk
siapa sih namanya?

wirya:
rhyzoma

jenar:
emang paling gampang disebut ayam aja sih ya

wirya:
masih aman.

jenar:
lancar gak?

wirya:
sejauh ini gitu.

jenar:
yaudah, suruh dia ke tempat lo aja.
kalo memungkinkan.
biar arga juga bisa kenal sama dia.

wirya:
ok, I'll try.
bawa aja arga ke sini.

jenar:
TBL TBL TBL TBL

wirya:
takut banget loh?
gue tau itu dari ryza.

jenar:
tengkyu banget loh
wkwkwk.

Wirya baru saja mau beralih menelepon Ryza ketika chat dari yang bersangkutan masuk lebih dulu.

Koneksi jodoh kali ya?

Wirya merasa rada konyol, soalnya dia kan bukan lagi dewasa muda awal dua puluhan yang baru pertama kali di-chat cewek, tapi ya... nggak bisa dipungkiri kalau senyumnya tak tertahan ketika dia membuka chat dari Ryza.

Barusan itu, Ryza mengirimkan screenshot sebuah produk yang dijual di Syopi.

ryza:
ommmmmm, ini ada kaos disneyyyy
kalo beli dua, diskon 20k
om mau engga???
kalo mau, pilih mau yang mana gambarnyaaa
ada yang elsa, olaf sama anna

wirya:
itu kaos original?

ryza:
ori, om

wirya:
wah, bisa murah gitu ya

ryza:
ORI SINGAPORE MAKSUDNYA AWOKWKWKWWKWK
udah sih om kan buat kaos bobo ini
pilih

wirya:
pilihin.

ryza:
ok, karena saya gak mau om tidur dengan wanita lain, saya pilihin yang olaf

wirya:
emang olaf udah fix bukan wanita ya?

ryza:
bukan, dia wortel

wirya:
bukannya olaf tuh snowman?

ryza:
EH IYA YA?
TAPI IDUNGNYA KAN DARI WORTEL
sama aja.

wirya:
ok

ryza:
transfer ke syopipay saya, om
sesuai harga satuan tapi dikurangi 10k
jadi diskonnya kita bagi dua

wirya:
ya, sebentar.
kirimin kode virtual account syopipay kamu.

ryza:
eh, gak usah transfer deng
nanti aja pas kita ketemu, om
kalo lewat transfer, ngeriyyyyy

wirya:
ngeri kenapa?

ryza:
takut setengah isi bank negara pindah ke akun syopipay saya wkwkwkwkwk

wirya:
eh ya, barusan kamu ngomongin ketemuan
sekarang lagi free gak?

ryza:
NGE-GAS BANGET SIE, OM.
BELAKANGAN INI KAN KITA SERING KETEMU!!

wirya:
ya emang kenapa kalo sering ketemu?

ryza:
nanti saya makin menjiwai jadi wanita penghibur

wirya:

WANITA PENGHIBUR

ryza:
JIAH BISA NGE-GAS JUGA WKWKWKWKWWK
wanita penghibur hati om-om yang lagi lara hatinya maksudnya

wirya:
yailah

ryza:
lagian, galau melulu,
udah saya bilang, kirim barongsai.

wirya:
ide kamu tuh terlalu ekstrem :)

ryza:
daripada kita kirim singa ragunan, masih mending barongsai

wirya:
haduh.
ini bukan soal rosie.

ryza:
soal apa dong kalo gituuuuu?

wirya:
bisa ke sini gak?
temenin saya jagain arga.

ryza:
arga tuh siapa ya?

wirya:
anak kecil yang waktu itu fotonya kamu lihat di lockscreen saya.

ryza:
OH ANAK GANTENG BINTANG IKLAN SUSU ITU

wirya:
dia bukan bintang iklan susu

ryza:
ya buat saya dia ganteng dan cocok jadi bintang iklan susu

wirya:
hari ini ortunya mau ke rumah sakit.
dianya lagi agak flu, takut rewel misalnya mesti nunggu.
jadi mau dititipin ke tempat saya.
selama ini, seringnya tuh kalo dia main ke tempat saya, ya selalu ada mantan saya yang mau nikah itu... :(

ryza:
DIH SENGAJA YA JUAL CERITA SEDIH BIAR SAYA MAU NENENIN?!
**NEMENIN
amsyong banget typo di saat yang tidak tepat

wirya:
saya gak jual cerita sedih :(

ryza:
ITU EMOTNYA APAAN

wirya:
ini gak sedih kok

ryza:
yaudah, by the way on the buswayyyyy

wirya:
on the way ke sini?

ryza:
gak, on the way kamar mandi
saya belom mandi
sekalian mau pupi dulu

wirya:
oke, hati-hati.

ryza:
hati-hati apanya?

wirya:
mandi dan pupinya.

ryza:
btw, saya mau dateng karena dedeknya ganteng yaaaa
bukan karena om wirya

wirya:
iya.

Jadilah, Ryza datang ke tempatnya Wirya.

Begitu Ryza tiba di tempatnya Wirya, ternyata si bocil sampai duluan. Anaknya lagi sibuk joget-joget di depan layar lengkung televisi Wirya yang menayangkan salah satu episode sebuah kartun musikal. Ryza yang melihatnya langsung dibikin gemas pada pandangan pertama.

Ya ampun, ternyata lebih gemoy daripada fotonya...

Kira-kira begitu yang terlintas dalam pikiran Ryza.

Sejenak setelah pintu dibuka dan Ryza masuk, Wuje langsung berhenti berjoget. Matanya menyipit, menatap penuh curiga Ryza yang nyengir ramah seraya melambaikan tangan. Dia masih nggak bicara, seperti lagi menebak-nebak, siapa sosok kakak-kakak yang ada di depannya.

"Waduh, udah sampai aja nih degan!"

"Degan apaan?" Wirya yang bertanya.

"Dedek ganteng." Ryza menyahut, terus tertawa. "Loh, kenapa berhenti joget, Dek? Joget aja lagi, nggak apa-apa!"

"Iya, tadi orang tuanya yang anterin ke sini." Wirya menanggapi karena Wuje nggak kunjung menjawab, sebelum suasananya jadi canggung. Dia bisa merasakan sepercik rasa tidak suka Wuje akan kehadiran Ryza.

"Yah... tau gitu saya dateng lebih cepat..."

"Emang kenapa?" Wirya mengangkat alis.

"Pengen lihat bapak ama ibunya si dedek! Secakep apa sih kalau dedeknya ganteng kayak gini? Hehe."

"Nggak usah ganjen." Wirya berdecak, terdengar agak sewot. "Bapaknya nggak akan mau sama kamu."

"Dih, kok marrrah?" Ryza meledek.

"Siapa yang marah?" Wirya manyun, lantas mendengus. "Nggak marah tuh! Lihat nih muka saya! Emangnya kayak orang marah?"

"Om Wirya," suara Wuje yang tiba-tiba menyela berhasil membuat Ryza dan Wirya menoleh padanya. Dengan lagak seperti orang dewasa, bocah itu melipat tangan di dada. "Om Wirya kenapa marah-marah sih?"

"Noh kan, Om!" Ryza merasa dapat dukungan. "Nih bocil aja tau kalau mukanya Om Wirya kayak yang lagi marrrrraaaaah!!"

"Aku bukan bocil!" Wuje membantah keras. "Aku Wuje!"

"Wuje?" Ryza memiringkan kepala, tampak agak heran. "Kamu tuh masa ganteng-ganteng namanya Wuje sih?"

Wuje melongo, lalu melotot dengan kedua pipi menggembung kesal. "EMANG KENAPA KALAU NAMA AKU WUJE?! MAMA AKU PANGGIL AKU WUJE!! PAPA AKU PANGGIL AKU WUJE?!! TERUS KENAPA?!!"

"Itu nama uwu dari orang tuanya." Wirya menyela sekalian jadi penengah. "Jangan diledek, nanti dia ngamuk. Tapi kalau namanya sih...Arga. Kayak yang udah saya bilang ke kamu sebelumnya."

Wuje manggut-manggut dengan penuh tenaga. "Nama aku emang ada banyak."

"Ih, bawel. Lucunyaaaaaa..." rasanya Ryza kepingin uwel-uwel pipi Wuje, tapi dia menahan diri. "Kamu suka permen nggak?"

"Suka."

"Mau permen nggak?" Ryza bertanya sembari mengeluarkan sebatang lolipop.

"Mau."

"IH, GEMES BANGET!!" Ryza berseru girang. "Jadi pengen cubit pipinya!!"

"Aku nggak suka dicubit-cubit, jadi nggak boleh!"

"Yah..."

Wuje berpaling pada Wirya. "Om Wirya, dia siapa sih?! Kenapa sih yang ke sini kok dia? Tante Ocha mana?!"

Jujur, Wirya sempat agak keringetan dikit.

"Tante Ocha itu mantan Om Wirya kan ya?" Ryza ikut-ikutan nanya ke Wirya.

Wuje tercengang, melongo hingga mulutnya membentuk huruf O besar. "Mantan itu apa?"

"Mantan itu tuh orang yang dulunya pacaran, terus putus."

"Putus?" Wuje makin bingung.

"Pisah. Nggak sama-sama lagi." Ryza memperjelas dengan bahasa paling sederhana yang terpikirkan olehnya.

"HAH?!" Wuje tampak syok. "OM WIRYA SEKARANG ENGGA SAMA-SAMA TANTE OCHA LAGI?!!! TAPI KENAPA?! TUNGGU, APA KARENA ITU, WAKTU ITU YANG NEMENIN TANTE OCHA ANTER AKU KETEMU GEORGE TUH OM JAKA?!"

"Arga—"

"KOK GITU SIHHHHH?!!" Wuje kelihatan amat terpukul, seperti tidak siap menerima kenyataan. "KAN OM WIRYA SAMA TANTE OCHA SELALU SAMA-SAMA..." Wuje betulan lemas, hingga dengan lebay-nya, dia jatuh terduduk ke lantai berlapis vinyl ruang tengah apartemen Wirya. "Kalau nggak sama Om Wirya... nanti... Tante Ocha sama siapa..."

Wirya sama Ryza saling pandang.

"Saya nggak ikut-ikut ya, Om..." Ryza berbisik pada Wirya yang kontan terpicu mengusap pelipisnya.

Kalau dipikir lagi, ya kok bisa dia gugup menghadapi anak umur lima tahun...

"Apa Om Wirya nggak sama-sama Tante Ocha lagi gara-gara dia?!" Wuje ganti menatap Ryza dengan pandangan menuduh.

"Arga..."

"Kalau Om Wirya nggak sama-sama Tante Ocha lagi karena dia, aku nggak mau permennya!!!" Wuje buang muka, seperti ogah melihat Ryza lama-lama.

"Arga..." Wirya mendekati Wuje sambil bicara dalam nada lembut. "Masa gitu sih sama Tante Ryza?"

"APAAN SIH, OM?! SAYA BELUM PANTES DIPANGGIL TANTE-TANTE YA!!" Ryza sontak protes.

"Kakaknya nakal!" Wuje menimpali. "Aku nggak suka kakaknya!"

Wuje manyun banget. Sempat terlintas di otak mungilnya yang penuh drama untuk berlari ke kamar, seperti yang kerap dia lakukan kalau lagi ngambek ke orang tuanya di rumah. Dia bahkan sudah sempat berdiri dan berniat berlari. Tapi setelah dipikir lagi, dia jadi bingung sendiri.

Mau kabur ke kamar juga ke kamarnya siapa coba?

Ini bukan rumahnya.

Kamarnya nggak ada di sini.

"Hng..."

"Haduh, nih bocil satu..." Ryza geleng-geleng kepala.

"Arga, memangnya kamu belum tau ya dari Tante Ocha?"

Wuje beralih ke Wirya. "Tau apa, Om?"

"Tante Ocha kan mau nikah."

"Nikahnya sama Om Wirya?"

"Bukan..."

"Hah?!" Wuje melotot kaget, lagi-lagi dibikin terkejut untuk yang kesekian kalinya. "... terus kalau nggak sama Om Wirya, Tante Ocha mau nikah sama siapa?!"

Ditanya seperti itu, Wirya hanya bisa meringis.

Memang, butuh waktu baginya untuk membujuk Wuje. Apalagi, anak itu sepertinya sudah anti duluan sama Ryza. Sepertinya, anak kecil tersebut punya prasangkanya sendiri. Namun untunglah, kesabaran Wirya dan keahlian Ryza bikin jagung rebus campur mentega, susu dan keju cukup mampu mengambil hati Wuje. Jadi, anak itu happy-happy saja sampai kedua orang tuanya datang menjemput.

Apa hanya Wirya yang dibuat mati kutu karena respon Wuje terkait kondisi hubungan terbarunya sama Rossa?

Jelas nggak.

Wuje juga berhasil membuat Rossa bingung kehabisan kata-kata di hari pernikahan perempuan itu.

Jadi, setelah menimbang hubungan Wuje sama Rossa yang bisa dibilang sangat dekat, Rei sama Jenar memutuskan mengajak Wuje menghadiri acara resepsi pernikahannya Rossa. Acaranya sendiri diadakan di sebuah hall yang cukup luas, dengan dekorasi cantik super niat. Tamu-tamu yang diundang nggak sebanyak tamu di pernikahan Milan, dan mayoritas adalah orang-orang terdekat dari kedua mempelai.

Begitu tiba di hall tempat acara resepsi diadakan, tingkah Wuje masih tipikal kelakuan bocil. Dia sibuk ngacir ke mana-mana, berlarian tanpa henti, lalu dibuat "uwaw" "uwow" berkali-kali gara-gara objek yang menurutnya menarik, seperti misalnya air mancur cokelat yang tinggi menjulang hingga pahatan es berbentuk angsa.

Saking takjubnya habis melihat angsa, Wuje berlari kembali ke Jenar, terus mengulurkan kedua tangannya pada lelaki itu.

"Papa, gendong."

Biasanya sih, Wuje lebih demen minta gendong ke Rei. Tapi sebelumnya, Jenar sudah memberitahu anak itu kalau untuk sementara waktu, kalau minta gendong, sebaiknya Wuje nggak minta digendong mamanya dulu. Soalnya gitu-gitu kan, Wuje tergolong cukup berat dan gembul.

"Hah, kan kamu udah gede, Je. Masa mau minta gendong?"

"Mau megang angsa."

Wuje memang tergolong jarang diajak kedua orang tuanya menghadiri acara pernikahan, selain pernikahan orang-orang yang anak itu kenal dekat.

Maklum, Wuje suka bete tiap kali dikelilingi orang-orang asing, yang kebanyakan suka nggak bisa menahan gemas, terus hobi menjawil-jawil atau uwel-uwel pipinya.

"Angsa mana?"

"Angsa itu..." Wuje menunjuk pada pahatan es di sisi lain ruangan.

"Nggak boleh dipegang itu, Je. Nanti Tante Ocha ngamuk loh..."

"Masa Tante Ocha ngamuk sama aku sihhhh? Kayaknya nggak mungkin deh, Papa!"

"Angsanya cuma bisa dilihat, Sayang. Nggak boleh dipegang." Rei turut mencoba memberitahu.

"Yaudah, ayo kita lihat, Mama! Aku mau lihat angsa!"

"Yailah, Cil." Jenar berdecak. "Kamu ke sini mau ngapain coba?"

"Tadinya nggak tau mau ngapain, kan Papa sama Mama yang ajak. Tapi sekarang aku tau aku mau ngapain!! Aku mau lihat angsa!!"

"Iya, iya," Rei menenangkan. "Tapi lihat angsanya nanti ya? Kita kan ke sini mau dateng ke acaranya Tante Ocha. Nah, sekarang ketemu sama Tante Ocha dulu yaa?" Rei menyambung lagi, berusaha membujuk anaknya baik-baik.

"Tapi janji ya, Ma, abis itu kita lihat angsa?"

"Iya, Sayang."

"Iya kalau angsanya nggak keburu meleleh." Jenar terpicu untuk meledek.

Wuje tercekat kaget. "MAMA?! ANGSANYA BISA MELELEH?!"

"Nggak, Je. Nanti juga angsanya bakal tetap ada kok. Kan itu dingin..." Rei meringis, tapi suaranya masih tetap terkesan teduh dan lembut, walau setelahnya, dia melotot ke arah Jenar dengan penuh peringatan. "Jenar, anaknya jangan diledekkin!!"

Jenar ngakak. "Maap..."

Tak berapa lama, mereka pun mendekati pelaminan untuk menemui kedua pengantin yang sedang berbahagia.

Sebetulnya, wajar saja kalau pernikahan ini terasa mendadak, karena setahu Rei, Rossa pun nggak menduganya.

Sure, memang telah terlihat sinyal-sinyal tersendiri diantara mereka berdua sewaktu menghadiri resepsinya Milan, namun menggelar pesta pernikahan itu pasti butuh waktu dan perencanaan yang matang. Hanya saja, sekitar seminggu setelah Jaka, secara random, mengajak Rossa hidup bersama sebagai pasangan sah di mata negara, ada salah satu koleganya yang menyebar chat broadcast di WhatsApp.

Jadi, koleganya Jaka ini berencana menikah dalam sekitar satu bulan setelah. Sudah sewa venue, sudah ada makeup artist, sudah sempat fitting baju. Kasarnya, sekitar 80% dari keseluruhan persiapan sudah dilakukan. Terus mendadak, calon pengantin wanitanya membatalkan pernikahan karena merasa belum siap menikah.

Alhasil, untuk meminimalisir kerugian materiil, di tengah kondisi hati yang porak-poranda, koleganya Jaka tersebut menawarkan, kalau-kalau ada yang mau ambil alih meneruskan persiapan pernikahan yang sudah 80% rampung.

Awalnya, Jaka agak nggak yakin, tapi dengan mudahnya, Rossa bilang...

"Kalau kita aja yang take, menurut lo gimana?"

Bukan cuma Jaka yang kaget, Rei sama Jella juga kaget.

Jella bahkan sempat berusaha memastikan ke Rossa. Khawatirnya, Rossa bersikap impulsif dan mengambil keputusan karena mendengar Wirya sudah jalan sama cewek yang baru.

Namun jawabnya Rossa...

"Gue sudah ketemu sama orang tuanya Jaka. Pertemuan singkat. Cuma makan siang. Tapi mereka baik banget dan... gue ngerasa mereka tulus. Mereka sepenuhnya terbuka dan ngebebasin Jaka ambil keputusannya sendiri. Dan... gue nggak tau... gue ngerasa... kayaknya gue emang ingin seterusnya sama Jaka."

Kalau yang terlontar adalah sahutan macam itu, tentu Rei, Jella dan teman-teman Rossa yang lain hanya bisa menghormati keputusannya.

Wedding venue-nya cantik, dengan banyak elemen dekorasi yang unik. Nggak mengherankan buat Rei. Jaka itu lulusan arsitektur, dan Rossa punya sense of aesthetics yang bagus. Pesta mereka terkesan humble, indah tapi sarat makna personal—seperti misalnya, ornamen mawar yang tersebar di mana-mana.

Bahkan suvenir pernikahannya saja adalah scented candle berbentuk mawar yang menguarkan aroma mawar.

"Tante Ocha!" Wuje memanggil seraya melangkah antusias menapaki tangga menuju panggung pelaminan.

"Argan!" Rossa berseru senang seraya tersenyum lebar saat melihat Wuje, tapi ekspresi wajahnya berubah geli ketika dia menyadari kehadiran Rei dan Jenar yang mengekor di belakang Wuje. Keduanya mengenakan baju yang sama-sama berwarna hitam. Rei memakai terusan, sedangkan Jenar memadukan kemeja hitam yang lengannya digulung sampai ke siku dan celana jeans berwarna senada. "Astaga, beneran deh, Argan ini a ray of sunshine around pitch-black darkness."

Jenar nyeplos saja. "Maap. Sengaja ini item-item buat tribute ke Wirya yang nggak diundang."

"Jenar, kok ngomongnya gitu sih?!" Rei menyikut suaminya, namun baik Rossa maupun Jaka kelihatan santai-santai saja. Mereka bahkan tertawa.

"Gue mempersilakkan dia untuk datang, by the way. Tapi ya kalau dia nggak mau datang, gue juga nggak bisa memaksa kan?" Rossa tertawa kecil. "Mungkin, kita berdua perlu begini, biar sama-sama membuka lembaran baru."

"Membuka lembaran baru ya apus aja file-file yang nggak perlu. Nggak mesti sampai install ulang semua file juga kali ya..."

"Je," Rei menyela.

"Wajar lah Jenar begitu. Kan sahabatnya." Rossa nyengir, terus membungkuk untuk menyapa Wuje yang tampak tertarik pada sulaman payet di gaunnya. "Argan, ganteng banget hari ini!"

"Tante Ocha juga cantik!!"

"Makasih, Sayang."

"Tapi lebih cantik lagi kalau nikahnya sama Om Wirya."

Jenar ngakak puas, sedangkan Rei refleks menutup mulut anaknya pakai telapak tangan.

"Aduh, anak ini..."

Rossa terkekeh. "Nggak apa-apa. It's okay. By the way, Argan udah lihat belum air mancur cokelat yang di sana?"

"Udah!"

"Ada cracker favorit Argan loh. Sengaja Om Jaka sama Tante Ocha siapin buat Argan, jadi Argan bisa celupin ke cokelatnya."

"BENERAN, TANTE?!"

"Iya! Itu idenya Om Jaka sih, biar kamu bisa mam makanan kesukaan kamu sepuasnya di sini..."

"Oh, nggak jadi deng."

"Hm?"

"Tante Ocha tetap cantik, walau nggak nikah sama Om Wirya. Hehe." Lalu anak itu menengadah pada ibunya. "Mama! Ayo! Aku mau mam cracker!"

Yah.

Ternyata sogokannya Wuje murah.

*

Di hari pernikahannya Rossa, Wirya sudah berencana untuk nggak membuka media sosialnya selama sehari penuh.

Kesannya kayak petty banget, seolah-olah dia yang paling terluka, walau sebenarnya, ya situasinya nggak semengenaskan itu juga. Cuma, ya pahamlah. Gitu-gitu kan mereka pernah saling mencintai. Makanya, sejak hari baru dimulai, Wirya sudah meniatkan, mau main game saja. Sebenarnya sempat terpikir mau nge-chat Ryza, tapi dia mengurungkan niat.

Takut nanti Ryza ngeledek dia lagi mencari pelarian di kala galau.

Padahal mah, jauh di dalam hatinya, Wirya sudah cukup berjiwa besar dan menerima segala yang telah terjadi kok.

Eh, malah Ryza yang nge-chat dia duluan.

ryza:
MANTAN OM CAKEP BANGETTTTTTTT
GAUNNYA CANTIK DEH KAYAKNYA BAWAHNYA BENTUK MAWAR-MAWAR GITU
TERUS RAMBUTNYA GAK DIGERAI, OM
UPDO GITU, MANTAN OM JADI KAYAK PRINCESS
EH, QUEEN DENG YA?

Bela-belain nggak buka medsos, malah dapat live report.

wirya:
kok kamu tau?
emang kamu datang?
eh tapi kan kamu gak diundang...

ryza:
tau dari jejak si gondrong wkwkwkwwkk.

wirya:
si gondrong?

ryza:
temennya om yang waktu itu nge-gap kita di kafe boba.

ryza:
EH KOK NGE-GAP SIH

ryza:
emangnya kita mas aris ama si lidya apa ya pake ke-gap segala

wirya:
yuta?

ryza:
NAH ITU LAH SI YUTAKOYAKI
saya tau dari following om
terus pas saya kepoin, eh dia lagi live
karena gak ada kerjaan, saya kepoin aja

wirya:
oh

ryza:
cakep deh om nikahannya
jadi pengen

wirya:
pengen nikah?
yuk, besok.

ryza:
IDIH NGE-GAS AMAT

wirya:
kan kamu yang mancing.

ryza:
om, apa-apa tuh ada urutannya.
kayak makan aja kan, ada appetizer, main course, dessert.

wirya:
tergantung makanannya.
kamu kalo makan di warteg gak pake main course-main course san.

ryza:
YEU
maksud saya, dalam hubungan juga gitu.
ada yang namanya pedekate > pacaran > tunangan > nikah

wirya:
kita lagi di tahap yang mana nih btw?

ryza:
pedekate kali ya?

wirya:
yaudah, besok kita naik level

ryza:
IH EMANG BENERAN SUKA NGASAL NIH OM NIH WKWKWKWK

ryza:
om kok gak nongol sih dari pagi???
padahal saya udah stand-by loh.

wirya:
stand-by ngapain?

ryza:
stand-by kalau-kalau om butuh wanita penghibur

wirya:
PLEASE.

ryza:
makanya saya chat nih, takutnya om nelen sunlight saking gak kuatnya menghadapi kenyataan

wirya:
YA GAK GITU JUGA

ryza:
wkwkwkwkwk
om di mana sekarang?

wirya:
apartemen lah, mana mungkin juga saya lagi di acara pernikahan.

ryza:
WKWKWWKWWK SALTY-NYA JANGAN KE SAYA DONG AH

wirya:
lagian, kamu tuh nanyanya ya.

ryza:
om butuh dihibur gak?
kalau butuh, saya siap kembali menjadi wanita penghibur anda

wirya:
boleh.

ryza:
om perlu apa biar bisa kehibur?

wirya:
pacar baru.

ryza:
yaudah
yuk pacaran
hari ini aja tapi ya. 





to be continued. 

***

penganten

tamu penebar garam

papa



***

a/n: 

NI GUE TAU PASTI BANYAK YANG MO CHAPTER EXTRA NIKAHAN JAKA-ROSSA VERSI DETAIL SAMA LAMARAN BOMBASTIS MILAN WKWKWKWK 

tar ya ((you'll see it when you see it)) ((wkwkwkw))

kalo storyline ini udah fixed kkeuttttt tamat 

tinggal dua chapter lagi siee. 

tapi ini secara resmi jadi chapter terakhir yang diposting di tahun 2021 wkwkwkwwkwwk 

dan kayaknya paling panjang yha. 

sebelumnya, gue mau mengucapkan terimakasih banyak untuk semua pembaca yang udah ngikutin tulisan-tulisan gue sepanjang tahun ini. semoga tahun depan lebih baik untuk semuanya. tetap sehat-sehat dan rezeki dilancarkan aamiinnnnnnnn 

sampai ketemu lagi di chapter berikutnya.... tahun depan. 

((ini pada overthinking soal rei ya hm tapi yha begitu deh, akhirnya 'beban' dia selama ini terlepas sepenuhnya juga kan wkwkwk)) 

ciaoooooo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top