69 | temenin

Tadinya, Wirya berniat datang ke acara resepsi nikahannya Milan.

Tapi meeting dadakan akhir pekan yang dikiranya bakal selesai cepat ternyata lebih molor dari perkiraan. Sebenarnya, kalau Wirya mau buru-buru pergi ke hotel tempat acara diadakan, ya masih memungkinkan untuknya hadir. Cuma, dia baru banget tiba di parkiran sewaktu ponselnya bergetar. Pas dilihat, ternyata ada chat baru dari Ryza.

ryza:
om
eh
gak jadi deng

wirya:
apa?

ryza:
gak jadi

wirya:
apa?

ryza:
salah kirim, om

wirya:
kamu gak punya temen om-om selain saya.
mau salah kirim ke siapa?

ryza:
HADEUHHHHH

wirya:
apa?

ryza:
ganggu gak?

wirya:
gak.
apa?

ryza:
om, tau kan, soal yang kemaren tuh.
tentang tips-tips om soal interview?

wirya:
iya. kenapa?

ryza:
besok saya interview lagi, om.
TBL TBL TBL TBL

wirya:
TBL apa?

ryza:
TAKUT BANGET LOCHHHHHH

wirya:
hm, kenapa mesti takut?
kan cuma interview?

ryza:
GAK CUMA TAU, OM.
SAYA DEG-DEG-AN

wirya:
ya jantung memang seharusnya deg-deg-an.
kalau gak deg-deg-an, ya mati.

ryza:
MAKSUDNYA GAK GITU.
INI DEG-DEG-ANNYA BEDA.
misal normal tuh dag dug dag dug.
ini jedug jedug jedug jedug jedug.
kayak musik disko.

wirya:
oke, terus saya bisa bantu apa?

ryza:
HEHE PEKA BANGET.
boleh gak kita latihan, om?
saya udah coba latihan sama papa saya.
eh, papa ngakak terus.

wirya:
saya ke rumah kamu ya?

ryza:
EHHHHH GAK USAH.
lewat skype atau zoom aja, om.

wirya:
kapan?

ryza:
kalo sekarang, om bisa gak?

Wirya melirik arloji di pergelangan tangannya. Sejenak, dia terdiam, seperti berpikir. Memang, kayaknya parah banget kalau dia nggak datang ke resepsinya Milan, padahal mereka berteman baik. Cuma gimana ya, Wirya bisa mengerti kecemasan Ryza.

Dia menimbang sebentar sebelum menjatuhkan pilihannya.

wirya:
45 menit dari sekarang ya.
nanti saya send link ke kamu.

ryza:
OM, MAKASIH HUHUHU
SAYANG BANGET.

wirya:
sayang sama siapa?

ryza:
SAMA OM WIRYA TT.TT
EH
EH MAKSUDNYA GAK GITU
OM

wirya:
gitu juga gapapa sih.
oke, see you in 45 mins.

Sebelum melajukan mobilnya, Wirya menyempatkan diri mengirim chat ke Milan. Mungkin akan dibaca nanti, tapi yang penting Milan tahu dululah.

wirya:
bro, sorry.
ada urusan mendadak, jadi kayaknya gue gak bisa dateng.
happy wedding ya.
salam buat istri.

*

Sesuai apa yang dibilangnya ke Ryza, empat puluh menit kemudian, Wirya telah duduk manis di depan laptopnya yang terbuka. Dia sudah mandi, sudah berganti baju ke setelan celana piyama dan kaos longgar, serta lagi sibuk mengunyah sosis siap makan yang sempat dibelinya di minimarket 24 jam yang ada di basement tadi. Masih ada lima menit lagi, jadi dia belum ngirim chat berisi link Zoom meeting mereka ke Ryza.

Lagi begitu, tiba-tiba ada chat masuk ke handphonenya.

Ternyata dari Jenar.

jenar:
lo gak dateng ke acaranya milan?

wirya:
ada urusan dadakan.
tapi gue udah kabarin si milan sih.

jenar:
beneran urusan dadakan?
bukan karena lo dapet bocoran soal acaranya kan?

wirya:
emang ada bocoran apaan?

jenar:
soal mantan lo sih.

wirya:
siapa?

jenar:
YA EMANG MANTAN LO SEBANYAK APA.
lo kan bulol.

wirya:
oiya juga.
sori, lagi bego.
kenapa sama rosie?

jenar:
dia dateng sama jaka.

wirya:
oh...

jenar:
lo kayaknya gak kaget,

wirya:
gak kaget-kaget amat sih.
sebelumnya, gue udah kena spoiler pas rosie update lagi di labuan bajo.
yaudah.

jenar:
yaudah gimana nih maksudnya?

wirya:
yaudah.
lagian, gue ngerasa emang selalu ada sesuatu diantara mereka.

jenar:
did she cheat on you?
I mean, pas kalian masih bareng.

wirya:
don't think so sih.
however, gue ngerasa mereka berdua emang punya bond yang gak gue pahami.
entah.
mungkin sebenernya gue udah tau dari lama, tapi gue memilih buta.

jenar:
bro

wirya:
did smth happen?

jenar:
gak sih, they looked happy.
jaka dapet buket bunga pengantin, terus dia kasih ke rossa.

wirya:
oh.

jenar:
ini gue nanya sebagai temen lo aja ya.
but are you sure you're okay?
patah hati itu kan gak cuma milik cewek.
kita juga bisa patah hati.
dan gue tau, patah hati karena seseorang yang bener-bener kita sayang tuh rasanya gak enak.

wirya:
of course my heart broke a little.
tapi ya cuma sedikit.
nothing major.
bisa jadi, karena gue emang udah nerima kalau cerita diantara gue sama dia cukup sampai di sana aja.

jenar:
wow

wirya:
dan lo tau sendiri, gue lagi dekat sama orang baru.
kayaknya gak adil buat rosie kalo gue antipati dengan kedekatannya sama laki-laki baru setelah gue, kalau gue sendiri udah semacam nemuin orang lain.

jenar:
masih yang kemaren?

wirya:
iya.

jenar:
you sure?

wirya:
sure apanya?

jenar:
that you think... she can be the one?

wirya:
soal masa depan, gak ada yang tau.
tapi jujur, setiap ada di dekat dia, gue ngerasa happy.
all the moments with her, so far, were glowing.

jenar:
oh, you're in love.

wirya:
tau dari mana?

jenar:
karena gue pun ngerasa begitu ke regina.
ya fine sih.
ini urusan pribadi lo ya, cuma gue mau kasih saran aja.
lo gak akan bisa memulai sesuatu yang baru dengan benar-benar lega kalau masih ada unfinished business di masa lalu.

wirya:
thanks.

jenar:
okay.

Chat dari Jenar bikin Wirya tepekur selama sejenak, hingga getaran handphonenya lagi-lagi memecah lamunannya.

Kali ini dari Ryza.

ryza:
om, udah siap beluummmmmm?

wirya:
wait, saya kirim link-nya.

Wirya mengirimkan link untuk Zoom meeting yang dimaksud pada Ryza, kemudian menunggu sebentar. Dalam waktu singkat, mereka telah terkoneksi.

"YA AMPUN, SITIKUSMINI!!!"

"Siti Kusmini siapa ya?"

"Itu yang di baju Om!" Ryza ketawa.

Refleks, Wirya melihat pada gambar di bagian depan kaos yang dia pakai. Itu kaos yang dibelinya bareng Rossa ketika mereka sempat trip bareng ke Disneyland sekitar satu setengah tahun lalu. "Siti Kusmini?"

"Iya, pacarnya Si Tikus Miki."

Wirya berpikir sejenak, terus baru paham. "Oh... maksudnya ini si Minnie?"

"Iya, Om." Ryza cengengesan. "Lucu banget deh. Gemoy! Belinya di mana?"

"Disneyland."

"Oh, kirain di Syopi." Ryza bergurau. "Om udah makan?"

Wirya meraih sepotong sosis yang tinggal tersisa sedikit dan tadi diletakkannya di atas meja laptop untuk membalas chat Jenar. "Udah. Ini lagi ngemil sosis."

"Lucunya..."

"Sosisnya?"

"Om-nya." Ryza nyengir. "Sebenarnya saya tuh rada ragu mau minta tolong Om. Soalnya kayak saya ngerepotin terus gitu loh dari awal kita ketemu. Tapi kalau nggak minta tolong sama Om, saya bingung mau minta tolong sama siapa lagi. Papa saya nggak bisa diharapkan. Apalagi teman-teman saya." Perempuan itu nyerocos tanpa henti, tapi Wirya nggak sekalipun ingin menyelanya. Dia malah menatap Ryza penuh minat. "Papa saya tuh, belum apa-apa, udah bilang, 'Rhyzoma, panggil Papa 'Presdir'!" terus saya bilang 'Lah, Pa, urusan interview calon karyawan mah bukan urusannya Presiden Direktur!' eh tapi namanya bapak-bapak menuju tua ya, banyak maunya banget. Alhasil, nggak efektif dah tuh latihan!"

Wirya nyengir.

"Eh, saya banyak omong banget ya, Om? Maaf..."

"Nggak apa-apa. Justru saya suka lihatnya."

"Suka lihat saya banyak omong. Gitu?"

Wirya mengangguk. "Em-hm. Dari semua orang yang saya kenal, cuma kamu yang paling banyak omong."

Ryza merengut. "Ngeledek ya?!"

Wirya tertawa kecil, terus jawabnya lembut. "Itu pujian, Rhyzoma."

"Walau nggak kedengaran seperti pujian, tapi okelah ya." Ryza mengangkat bahu. "Tapi beneran deh, saya nggak ganggu waktu Om ya? Atau Om memang selalu segabut ini? Kalau iya, enak banget jadi pekerja serabutan elit. Gabut-gabut, duitnya bejibun."

"Mau jawaban jujur?"

"Saya sudah cukup didustai oleh dunia, Om. Jadi Om nggak perlu bohong sama saya." Ryza menyahut, dramatis banget.

"Sebenarnya pas kamu kontak saya tadi, saya baru selesai meeting. Dadakan sih, biasanya kalau weekend, saya nggak terlalu sibuk yang gimana banget perkara kerjaan. Rencananya, habis itu saya mau datang ke resepsi nikahan teman saya."

"... terus kenapa... Om malah... sekarang Zoom meeting sama saya?"

"Soalnya kamu kayaknya lebih butuh saya." Wirya nyengir. "Skala prioritas."

Ryza terperangah, lalu kelihatan sekali, pipinya merona. Meski sebentar, Wirya nggak menyangka dia bisa melihat Ryza benar-benar tersipu kayak gitu. "Tuh kan, beneran ngerepotin."

"Nggak juga. Saya malah bersyukur."

"Kenapa?"

"Soalnya baru dapat kabar, katanya mantan saya dateng ke acara itu bareng cowok barunya."

"WADOW..."

"Iya." Wirya mengangguk, lantas mengulang ucapan Ryza. "Wadow..."

"Berarti saya penyelamat Om ya?" Ryza berkata dalam nada jahil.

"Mm-hm, kamu penyelamat saya. Coba kalau kamu nggak kontak saya minta dibantuin latihan interview, saya pasti planga-plongo sendirian di sana."

"Okelah kalau gitu. Emang ya, saya ini intuisinya kuat banget dan berbakat menjadi penyelamat." Ryza terkekeh. "Kita mulai sekarang aja ya?"

"Iya."

*

"Mama, boneka kelinci aku masih dicuci ya?"

Rei lagi membuat catatan resep pudding buah di iPad-nya ketika tanya anaknya terdengar. Refleks, dia menoleh ke asal suara, mendapati Wuje yang baru bangun tidur lagi berjalan mendekatinya. Anak itu masih mengenakan piyama. Ada sisa kantuk di matanya.

Hari ini hari Kamis, tapi karena tanggal merah, Wuje nggak perlu ke sekolah.

Boneka kelinci yang dimaksudnya adalah boneka kelinci yang sudah Wuje punya sejak dia baru bisa jalan. Rei yang memberikannya, sebagai hadiah kecil dari ibu yang happy melihat anaknya tumbuh dan berkembang dengan baik. Mulai malam pertama boneka itu ada di rumah, hingga sekarang, Wuje selalu tidur bareng bonekanya—kecuali pada hari-hari tertentu, waktu bonekanya perlu dicuci di laundry.

"Udah bangun, Sayang?"

"Mm-hm."

"Iya, kayaknya masih di laundry. Harusnya dianterin kemarin sore sih, cuma mungkin kemarin mbak-mbak laundrynya masih sibuk. Kita ambil aja sendiri nanti siang ya? Habis jemput Opa."

Wuje berhenti di dekat kursi yang Rei duduki. "Mama, mau pangku."

Tumben banget, pagi-pagi udah manja aja, Rei berpikir dalam hati, tapi dia menuruti mau Wuje dan mengangkat tubuh anak itu, terus mendudukkan Wuje di pangkuannya.

"Waduh, Wuje berat ya sekarang..."

"Kan udah gede, Ma."

"Udah gede tapi masih mau dipangku Mama?"

"Kan aku tetap anak Mama walau udah gede juga." Wuje nyengir. "Kita mau jemput Opa di mana, Ma?"

"Bandara."

"Oh... yang banyak pesawatnya ya..."

"Iya."

"Berarti Opa datang naik pesawat ya?"

"Iya."

"Opa abis dari mana sih, Ma?"

"Singapur."

"Opa ngapain di sana? Bukannya Opa tuh lagi sakit ya?"

"Iya, karena Opa lagi sakit, makanya Opa ke sana. Soalnya dokternya ada di sana."

"Loh, kan di sini juga banyak dokter, Ma. Kenapa jauh banget ke dokternya, sampai naik pesawat segala?"

"Soalnya dokter yang bisa obatin sakitnya Opa ada di sana."

"... berarti Opa sakitnya parah? Katanya kemarin batuk doang..."

Rei bingung sejenak. Dari awal pintar ngomong, Wuje selalu menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan tricky yang seringnya harus dijawab dengan amat hati-hati. Setelah bertahun-tahun pun, kayaknya selalu ada momen-momen di mana Rei dibuat terperangah sesaat karena nggak expect Wuje akan bertanya begitu.

"Iya, Opa sakitnya parah, Je." Rei membalas seraya memaksakan senyum. "Makanya Opa pergi ke dokter yang jauh."

"Mama,"

"... ya?"

"Opa bakal meninggal nggak?"

"..."

"Teman sekelas aku tuh, Brian, Opa-nya waktu itu meninggal. Terus dia nggak masuk berapa hari ya, karena Opa-nya meninggal. Kalau meninggal itu berarti pulang ke rumahnya Tuhan kan, Ma? Nggak di sini lagi? Makanya Brian sedih, soalnya katanya dia nggak bisa ketemu Opa-nya lagi." Wuje berceloteh panjang-lebar. "Kalau Opa meninggal, aku nggak akan ketemu Opa lagi ya, Ma? Bisa nggak, aku bilang ke Tuhan biar Opa nggak disuruh pulang dulu? Tuhan baik kan, Ma? Tuhan mau dengerin aku nggak? Kan aku anak baik..."

Rei menghela napas, lalu menyusuri helai rambut Wuje dengan jarinya. "Mama nggak tau, Sayang, soalnya hidup dan matinya seseorang itu... ya terserah Tuhan. Kalau Tuhan sudah suruh pulang, berarti kita harus nurut. Dan lagi ya, semua yang hidup, pasti nantinya bakal meninggal kok. Waktunya saja yang berbeda-beda. Tentu, kamu bisa berdoa dan Tuhan pasti dengerin, tapi apa Tuhan nurutin mau kamu atau nggak, itu terserah Tuhan, Sayang. Kita nggak bisa memaksa."

"Aku hidup ya, Ma? Berarti nanti aku bakal meninggal ya?"

"Mm-hm. Begitu juga Mama... Papa... Opa Botak... Oma... teman-teman kamu. Kita semua hidup."

Wuje menoleh, menatap Rei dengan wajah kaget. "Berarti Mama juga bisa meninggal?"

"Iya."

"Aku nggak mau Mama meninggal..." Ekspresi wajah Wuje berubah jadi jauh lebih mendung.

Rei menelan saliva, terus menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Duh, topik ini jelas terlalu berat dan gelap untuk dibahas bareng anak umur lima tahun. Tapi di saat yang sama, Rei tahu, Wuje nggak akan pernah bisa tenang sampai rasa penasarannya tertuntaskan. Anak itu selalu dipenuhi rasa ingin tahu.

"Gini, Nak, Mama jelasin ya..." Rei memulai. "Misalnya, ada dua ruangan. Ruangan yang satu, warna catnya biru."

"Biru gelap gitu, Ma?"

"Wuje sukanya biru apa?"

"Biru tapi yang terang, Ma, kayak warna langit..."

"Oke, ruangan yang satu, warna catnya biru langit ya. Nah, di sebelah ruangan itu, ada ruangan lain, tapi catnya beda. Cat di ruangan berikutnya itu warna putih."

"Iya, Ma."

"Terus, dua ruangan itu dihubungkan pakai satu pintu. Kayak, kalau kamu lagi di ruangan yang biru, terus kamu buka pintunya, dari pintu itu, kamu bisa pergi ke ruangan yang putih."

"Hm... kayak pintu hotel yang waktu itu nggak sih, Ma, waktu aku, Mama, Papa sama Opa Botak, Oma terus Tante Hyena jalan-jalan lihat salju?"

Pintu hotel yang dimaksud Wuje adalah pintu penghubung diantara dua kamar.

"Iya, Sayang. Kayak begitu. Sampai di sini paham?"

"Paham, Mama."

"Nah, anggap nih, ruangan yang biru itu ya tempat kita ada sekarang. Tempat di mana kita hidup. Di ruangan yang biru, Papa pergi ke kantor. Kamu pergi ke sekolah, main sama teman-teman." Rei menjelaskan. "Sedangkan ruangan yang putih itu, anggap aja rumahnya Tuhan."

"..."

"Pintu penghubungnya adalah kematian."

"..."

"Wuje pernah ke dokter kan? Atau nemenin Mama atau Papa ke dokter? Pas kita ke dokter, kadang kita harus duduk nunggu dulu kan, sampai suster manggil kita dan nyuruh kita masuk ke ruangan buat ketemu dokter?"

"Iya, Ma."

"Ruangan biru itu kayak ruang tunggu, Sayang. Kita ada di ruang biru itu sementara, sampai nama kita dipanggil untuk masuk ke ruangan putih ketika udah sampai giliran kita. Jadi, waktu seseorang meninggal, kayak Opa-nya teman kamu yang namanya Brian itu, sebenarnya karena gilirannya untuk buka pintu itu sudah sampai. Dan kita semua, mau itu Opa, Mama, Papa, kamu, Tante Hyena, atau bahkan si Meng, semuanya punya giliran masing-masing."

"Oh... gitu..." Wuje manggut-manggut. "Tapi giliran kita tuh masih lama kan, Ma?"

Rei mengusap punggung Wuje. Tentu, nggak ada yang bisa dia pastikan terkait kematian. Tapi balik lagi, topik ini terlalu berat buat Wuje, jadi Rei mengangguk saja sembari tersenyum.

"Iya, Nak. Kan jalan Wuje masih panjang. Masih jauh."

Wuje manggut-manggut. "Semoga gilirannya Opa juga masih lama!"

Rei mengangguk. "Kata Suster Anna, obat dokter yang di sana bagus. Makanya Opa sudah boleh pulang."

"Berarti Opa udah mau sembuh ya, Ma?"

"Kayaknya sih begitu."

Wuje tersenyum lebar. "Nanti jemput Opa-nya sama Papa juga?"

"Iya."

*

Dikarenakan pesawatnya landing menjelang jam setengah sebelas siang, selepas dari menjemput, mereka mampir di sebuah restoran keluarga untuk makan siang.

Tadinya, Rei sempat agak cemas kalau Wuje bakal teringat pada topik tentang kematian yang mereka omongin pagi-pagi di rumah, tapi untungnya nggak. Wuje bersikap sangat manis, meski sempat agak galak ketika dia tahu ayahnya Rei memesan minuman dingin.

Katanya, "Opa kan baru sembuh dari sakit! Nggak boleh minum yang dingin-dingin! Minumnya yang anget-anget aja!"

Saking kagetnya, ayahnya Rei sempat melongo, walau ujung-ujungnya, lelaki itu tertawa kecil sembari mengusap kepala Wuje. Mereka nggak banyak mengobrol. Lebih sering Wuje yang mendominasi percakapan, entah itu dengan berceloteh, bertanya makanan apa yang dimakan oleh kakeknya selama di Singapura, mengingatkan Rei agar ketika pulang nanti, mereka jangan sampai lupa mampir di laundry untuk mengambil boneka kelincinya, hingga menjahili Jenar dan merengek minta satu scoop ekstra buat es krimnya.

Tapi dari Suster Anna, Rei tahu kalau pengobatannya berjalan cukup baik. Obatnya berfungsi, meski tentu tak langsung menyembuhkan. Cuma keajaiban yang bisa melakukannya. Dalam waktu satu bulan, ayahnya mesti kembali terbang ke Singapura untuk memeriksa kembali respon terbaru tubuh terhadap obat yang diberikan. Selama jeda sampai waktu itu, dokternya akan memonitor kondisinya melalui telepon.

Sehabis dari restoran keluarga, mereka mampir ke laundry untuk mengambil boneka kelincinya Wuje. Wuje berseru gembira sewaktu Jenar kembali ke mobil bareng boneka kesayangannya. Boneka itu masih terbungkus plastik, tapi wanginya bisa tercium. Wuje memeluknya erat-erat, nggak melepaskannya selama perjalanan, yang bikin ayahnya Rei penasaran.

"Kamu suka banget boneka itu ya?"

"Iya. Mr. Ici selalu nemenin aku bobo dari aku masih bayi, Opa. Cuma kadang-kadang, kata Mama, dia harus dibawa ke laundry biar bisa mandi dan bersih lagi."

"Oh..."

"Mama, Mr. Ici ini Mama yang kasih kan ya?" Wuje bertanya pada Rei yang duduk di kursi depan, tepat di samping Jenar yang menyetir.

"Iya, Sayang."

"Tuh, Mama yang kasih ini ke aku. Tapi aku nggak ingat sih soalnya aku masih bayi kan waktu itu." Wuje berujar, terus ceritanya memanjang. "Aku tuh suka nggak bisa tidur kalau nggak ada Mr. Ici, harus ditemenin Mama gitu, Opa—"

"Bukannya kamu emang tiap malam ditemenin sama Mama?" Jenar nyeletuk.

"Ditemeninnya lebih lama, Pa, kalau nggak ada Mr. Ici."

"Masa sih?" Jenar meledek.

"Iya. Aku ngerasanya gitu deh."

Rei tersenyum saja.

Sisa perjalanan dilewati dalam suasana hangat, karena Wuje nggak henti berbicara. Kata ayahnya Rei, kayaknya Wuje berbakat jadi komentator bola, sebab jago cuap-cuap dan sepertinya punya energi yang melimpah. Wuje membalasnya dengan cekikikan.

Rencananya, mereka mau langsung pulang ke rumah sehabis nge-drop ayahnya Rei dan Suster Anna di depan lobi. Namun nggak disangka-sangka, ayahnya Rei meminta anaknya untuk ikut naik bersamanya. Permintaan itu nggak disampaikan olehnya sendiri, melainkan melalui Suster Anna. Rei sempat ragu sebentar, walau ujung-ujungnya mengiakan. Jenar yang masih amat protektif jelas nggak bisa mengizinkan istrinya pergi sendiri, jadi dia turut-serta naik ke unit apartemen ayahnya Rei. Wuje nggak mungkin ditinggal begitu saja, otomatis anak itu ikut.

Begitu tiba di unit apartemennya, ayahnya Rei langsung melangkah masuk kamar dan menutup pintunya. Unit apartemen itu telah ditinggal selama tiga minggu lebih sedikit, tapi masih tergolong bersih. Rei dan Jenar dibikin menunggu sebentar di ruang depan unit apartemen, hingga ayahnya Rei keluar lagi bersama sebuah kotak.

"Kamu bisa ambil ini."

Kotak itu tampaknya cukup berat, karena ayahnya Rei terlihat mengeluarkan tenaga saat mengangkatnya. Melihat itu, sebelum Rei sempat menerima kotak yang diulurkan padanya, Jenar telah lebih dulu maju dan mengambil alih.

"Kamu bisa buka kotak itu kalau sudah sampai di rumah." Ayahnya Rei berkata.

"Oh... em..." Rei bergumam, sempat bingung sejenak. "Terima kasih."

"... ya."

Lantas, laki-laki itu berbalik, melangkah menjauh dan masuk lagi ke kamarnya tanpa bilang apa-apa.

*

Sepanjang mereka berkendara menuju rumah, benak Rei dipenuhi tanda tanya.

Apa yang sebenarnya ada di dalam kotak itu?

Dia lebih banyak melamun. Sorot matanya terarah ke depan, tapi Jenar yang sesekali meliriknya tahu jika tatapan Rei tidak tertuju ke sana. Dia memilih nggak mengusik Rei, membebaskan perempuan itu tenggelam sejenak dalam apa yang ada di benaknya.

Saat mereka tiba di rumah, daripada menunda-nunda, Rei memutuskan untuk membuka kotak tersebut.

Jenar sama Wuje menemaninya. Mereka duduk bersila dengan posisi yang berdekatan di atas karpet ruang keluarga. Melihat dari tampilan kotaknya, sepertinya umurnya sudah belasan tahun. Kotak itu nggak berdebu, tetapi menguarkan bau barang lama yang khas. Sepertinya, benda tersebut telah tersimpan di dasar lemari untuk waktu yang tak sebentar.

Rei membukanya perlahan, dan dibuat terkesiap oleh apa yang pertama kali terlihat.

Itu gambar yang jelas dibuat oleh anak-anak.

Ada cukup banyak objek yang digambar di atas lembar kertas yang telah menguning. Sepertinya menggunakan spidol. Mulai dari; matahari, awan, tanah berumput, serta sebuah keluarga kecil beranggotakan tiga orang yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan sesosok anak perempuan.

Rei mengerjap berkali-kali, meraihnya perlahan dan ada yang jatuh berantakan dalam hatinya.

Jenar menatap ke arah istrinya. "... ini."

Rei menjawab dengan susah-payah. "Gambarku."

"Hm?"

"Ini gambarku. Aku nggak ingat kapan persisnya aku gambar ini, tapi ini gambarku." Rei menelan saliva.

"Mama gambar ini?" Wuje melongo, terus menunjuk pada sosok-sosok dalam gambar. "Hm, berarti ini... mamanya Mama... terus Mama... terus ini siapa?"

Ah ya, Wuje hanya tahu lelaki itu sebagai kakek-kakek yang sering memberinya permen ketika mereka ketemu di halaman depan gereja. Nggak pernah lebih dari itu.

"Ini—"

Sebelum Jenar bisa menjawab. "—papanya Mama."

Wuje mengernyit. "Papanya Mama?"

"Iya, Sayang."

"Sekarang, papanya Mama di mana? Terus kok gambar Mama waktu kecil bisa ada di Opa Permen sih?" Wuje berpikir sejenak, terus menjentikkan jari. "Ohhhh!! Aku tau!!"

Rei sama Jenar sama-sama menatap serius pada Wuje.

"Papanya Mama pasti nitipin ini ke Opa Permen ya? Makanya Opa kasihin ke Mama?"

Rei memaksakan senyum, kendati perlahan, sinar matanya melembut. "Mungkin."

"Gambar Mama lucu. Bagus, kayak gambar aku." Wuje nyengir, lalu menatap penuh minat pada apa yang berada di bawah lembar gambar yang telah Jenar ambil dan letakkan baik-baik di atas karpet, tempat di samping kotak. "Di bawahnya apa tuh..."

"Coba kita lihat bareng-bareng ya..." Rei berkata seraya meraih benda yang ada di bawahnya, yang ternyata merupakan dua album foto.

Dia tercekat sesaat, seperti bisa menebak-nebak, foto macam apa yang mungkin tersimpan di dalamnya. Jenar bergeser lebih dekat padanya, memegang bahunya dan mengusapnya pelan, memberikan dukungan.

Dan tebakannya memang terbukti benar.

Album itu memuat foto-fotonya saat masih kecil. Beberapa telah menunjukkan tanda-tanda dimakan usia, tapi mayoritas masih dalam kondisi baik. Ada banyak foto Rei di sana, dalam beragam ekspresi yang Rei sendiri nggak menyangka bisa dia tunjukkan. Ada fotonya yang lagi tersenyum, lagi main kembang api, lagi cemberut entah karena apa, dan lagi berfoto di Dufan sambil memegang tangan salah satu patung maskotnya.

"Ih, mirip Mama!"

"Ini foto Mama waktu masih kecil, Je..." Jenar yang memberitahu.

"Hah?!" Wuje terlihat shock. "BERARTI MAMA JUGA PERNAH KECIL KAYAK AKU?!!"

Rei yang tadinya hampir menangis malah tertawa. "Mama nggak mungkin langsung gede, Je. Jelas, Mama juga pernah kecil kayak kamu..."

"JADI INI FOTO-FOTO MAMA?!!"

"... iya."

"KOK NGGAK MIRIP AKU?!!"

Jenar jadi sewot. "Kamu kan mirip Papa!"

"NGGAK IH AKU MIRIP MAMA!!"

"Astaga... masih nggak percaya aja nih anak..."

"AKU MIRIP MAMA TAU!!" Wuje berpaling ke Rei. "Iya kan, Ma?"

"... duh gimana ya, kan barusan kamu sendiri yang bilang foto-foto ini nggak mirip kamu..."

"Eh... iya ya?" Wuje melongo.

"Iya."

"OKE, KALAU GITU NGGAK JADI!!" Wuje menyambar cepat. "MAMA DI SINI MIRIP AKU BANGET!! EH, NGGAK DEH, AKU YANG MIRIP MAMA SOALNYA MAMA LAHIR DULUAN KAN? IYA KAN, AKU MIRIP MAMA?!"

Saling pandang sejenak, tawa Jenar dan Rei pun pecah bersamaan.

*

Malamnya, ketika Rei masuk kamar selepas menemani Wuje hingga anak itu tertidur, dia mendapati Jenar lagi meletakkan bingkai foto baru di atas nakas.

Bingkai itu berbentuk balok, dengan tiga frame yang bisa diisi foto berderet secara vertikal. Rei mendekat, terus ternganga sebentar sewaktu dia sadar foto siapa saja yang berderet di sana; fotonya, foto Jenar dan foto Wuje. Semua foto tersebut adalah foto masa kecil mereka—milik Rei pasti adalah salah satu foto yang diambil Jenar dari album yang diberikan ayah Rei tadi siang.

"Loh, udah dipajang aja?"

Jenar menoleh, terus berseru. "Of course! Akhirnya lengkap... yah... meski dalam beberapa bulan, kayaknya aku harus beli bingkai foto baru yang punya empat frame."

"..."

"Frame tambahan untuk bocil yang baru." Jenar terkekeh. "Si Bocil udah tidur?"

"Mm-hm. Tadi agak lama, karena anaknya minta dibikinin susu hangat dulu sebelum tidur."

Rei melangkah menuju ranjang, terus naik ke kasur. Dia mengecek handphonenya untuk melihat kalau-kalau ada chat penting yang masuk. Ternyata nggak ada. Setelah memastikan benda itu berada dalam mode silent, Rei menyimpannya di sisi bantal. Jenar ikut bergabung dengannya nggak lama kemudian.

"Kayaknya, besok aku mau nelepon mamaku."

"Hm?"

"Soal album-album foto itu," Rei berujar. "Aku nggak tau apa aku udah benar-benar maafin papaku, tapi aku cukup tersentuh setelah tau kalau ternyata selama ini, dia tetap nyimpan benda-benda itu. Kupikir, saking bencinya dia sama aku, dia mungkin udah buang semuanya."

Jenar diam saja, mendengarkan ucapan istrinya.

"Aku mau benar-benar berdamai sama masa lalu. Aku anggap, masalahku sama papaku udah selesai. No more hard feelings. Tapi orang tuaku jelas punya masalah sendiri, yang mungkin masih ngegantung diantara mereka sampai sekarang. Aku cuma mau bilang ke Mama soal kenyataannya gimana, dan kalau aku udah nggak holding grudge lagi. Soal masalah mereka, itu urusan mereka dan aku nggak mau ikut campur."

"That's a good thing to do." Jenar mengangguk. "Tapi apa yang terjadi hari ini sempat bikin aku mikir... kalau misalnya dulu... kamu nggak ikut tes darah di sekolah kamu... apa mungkin akhirnya nggak kayak gini? Dari cerita kamu, kedengarannya semuanya baik-baik aja sampai kejadian itu."

"Mungkin, tapi kalau aku bisa mengulang waktu, kayaknya aku nggak akan mengubah apa-apa."

"Kenapa?"

"Soalnya, kalau ada yang berubah di masa lalu, belum tentu di masa sekarang, kamu yang ada di depanku."

Mendengar itu, tatapan Jenar yang terarah pada Rei melembut, disusul senyumnya yang merekah.

Dia nggak menjawab, tapi buat Rei, bagaimana lelaki itu menariknya mendekat disusul membenamkan wajah di lekuk lehernya sudah cukup menjelaskan perasaannya.

*

Semestinya, Wirya nggak kaget ketika dia mendengar kabar itu dalam tiga minggu sejak resepsi pernikahannya Milan digelar.

Kayak apa yang dibilangnya ke Jenar, selalu ada ikatan yang tak bisa dia pahami, yang seperti selalu menghubungkan Jaka dengan Rossa. Tapi toh dia tetap kaget. Kendati mungkin itu lebih karena Rossa nggak menghubunginya sama sekali, apalagi mengirim undangan.

Nggak seperti teman-temannya yang menerima undangan tanpa terkecuali—bahkan Milan yang pernah rude banget ke Rossa semasa kuliah, atau Johnny yang sesungguhnya sih nggak sohib-sohib amat sama Jaka.

Undangan apa yang dimaksud?

Undangan pernikahan.

Pernikahan siapa lagi?

Haruskah Wirya menjelaskannya?

Makanya, dia jelas kaget ketika grup para pria gonjang-ganjing oleh undangan digital yang mereka terima secara serentak di hari yang sama. Undangan yang penuh dengan nuansa mawar, yang kalau kata Milan sih, didesain langsung oleh Jaka. Dari tanggal yang tertera di undangan itu, pernikahannya baru akan digelar sekitar satu bulan lagi.

Namun ya kalau mereka sudah menyebar undangan, berarti keduanya sudah sama-sama yakin kan?

Wirya nggak bilang apa-apa di grup.

Meski sebenarnya, kalau harus jujur, sekalipun cuma sedikit, ada rasa frustrasi dalam hatinya.

Bukan karena dia masih mengharapkan Rossa.

Cuma, bukannya mereka masih bisa berteman walau kini berstatus jadi mantan pasangan?

Kenapa Rossa nggak mengirim undangan hanya padanya?

Apa dia pernah berbuat kesalahan yang bikin perempuan itu sakit hati?

Banyak tanya memenuhi kepala Wirya, yang akhirnya membuat dia memutuskan berpaling pada seseorang.

Siapa lagi kalau bukan Ryza?

wirya:
ryza, sibuk gak?

ryza:
OITTTTT.
ADA APA NI SAYYYYYY

wirya:
mau curhat.

ryza:
bilang gini dulu;
"mamah, curhat dong!"
gitu.

wirya:
saya serius loh, ryza.

ryza:
saya juga serius, om.
dua rius malah.

wirya:
oke.
mamah, curhat dong!

ryza:
AWOKWKWKWKWKWWKWKWK

wirya:
kok malah diketawain...

ryza:
iya, om.
maap.
oke, saya jawab ya.
IYA DONG!
mau curhat apa?

wirya:
mantan saya hari ini sebar undangan.

ryza:
o ow undangan apakah itu?
jelas gak mungkin undangan sunatan lah ya.

wirya:
undangan nikah.

ryza:
WADIDAW DIBALIK TETAP WADIDAW.
kerad juga si teteh.

wirya:
:(

ryza:
terus om galau?

wirya:
iya.

ryza:
DIH JADI BELOM MOVE ON?!
BELOM MOVE ON TAPI KOK UDAH SERING BAPERIN SAYA?!

wirya:
engga.
saya sedih bukan karena dia mau nikah.

ryza:
terus?

wirya:
sedih karena saya gak diundang...

ryza:
AWOKWKWKWWKWKWWKWK
tapi jujur deh, kenapa juga om pengen diundang?
kayak... bukannya bagus kalo gak diundang?
kan melindungi hati biar gak kenapa-napa.

wirya:
hati saya gak kenapa-napa kok.
cuma kalau gak diundang gini, ya saya jadi mikir...
apa saya udah bikin dia sakit hati?
mantanan bukan berarti harus musuhan kan?

ryza:
positive thinking, calon suami mantannya om takut kalah ganteng dari om.

wirya:
emang gantengan saya ya?

ryza:
kalo ganteng sih gak bisa di-compare, om.
kan tergantung siapa yang melihat.

wirya:
kalo di mata kamu?

ryza:
gantengan om wirya.

wirya:
saya bingung mau jawab apa.

ryza:
salting ya?

wirya:
iya.

ryza:
ya mau saya bilang gantengan cowoknya mantan om yang baru ya gak ngaruh juga buat saya sieee.
kan dia udah mau kewong.
kalo om kan masih lajang.
HEHE.

wirya:
jadi sebenernya menurut kamu gantengan siapa? :(

ryza:
OM WIRYA WKWKWKWKWKW
ih, masa digodain dikit langsung manyun sie, bray

wirya:
yaudah terus curhatan saya gimana itu :(

ryza:
kalo kata saya mah ya, coba om tanya langsung ke mantan om.

wirya:
nanya gimana?

ryza:
HE ANJING KENAPA GUE GAK DIUNDANG

ryza:
wkwkwkwk

wirya:
oke. terus?

ryza:
liat jawaban dia.
kalo jawabannya bermutu, ya coba mengerti aja.

wirya:
kalo gak bermutu?

ryza:
om sewa tiga kelompok barongsai.
kirim ke nikahannya untuk membuat kekacauan.

wirya:
edan kamu.
tapi saya setuju.
oke bentar, saya chat dulu.

Chat sama Ryza membuat Wirya dialiri oleh tekad dan semangat yang muncul begitu saja, sehingga mengikuti saran Ryza, dia nge-chat Rossa tanpa pikir panjang.

wirya:
aku udah dengar soal undangan kamu.
bukan apa-apa, tapi cuma pengen nanya.
apa kamu sesakit hati itu sama aku sampai menurut kamu, aku gak berhak tau langsung dari kamu sendiri?

BALASANNYA DATANG CEPAT BANGET!

rossa:
besok bisa ketemu?
di GI.
sekitar jam dua siang.

Wirya melongo, terus bukannya balas chat Rossa, dia malah ngirim screenshot chatnya sama Rossa ke Ryza.

wirya:
ITU GIMANA?!

ryza:
hm, si teteh memang kerad.
iyain dong, om.
jangan seperti pengecut.

wirya:

duh.

ryza:
kok malah duh?

wirya:
ragu...

ryza:
masa perlu saya temenin sih?

wirya:
IYA.
TEMENIN.

ryza:
hah?

wirya:
TEMENIN. 




to be continued. 

***

"bukannya takut, tapi bukankah berdua itu lebih baik daripada sendiri?"

"semoga tidak ada sianida diantara mereka." 

calon bapak anak dua. semoga tidak menduda ya. 


***

a/n: 

lamarannya milan nanti gue ceritain tapi kagak tau di sini apa engga wkwkwkwkwkwkwk 

anywayyyy, so sorry untuk update yang telat. belakangan ini cuaca tak menentu euy, sering ujan dan dingin gitu, jadi gue ikut-ikutan gak enak badan. 

kelyan pun jangan lupa jaga kesehatan dan taati prokes, oke oke. 

dah gitu aja dulu kali ya 

(gak bisa mikir bro wkwkwk) 

sampai ketemu di chapter selanjutnya (kayaknya sekitaran 3 chapter lagi deh). 

ciaaoooo. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top