68 | wedding

"Jadi, ini masih date atau udah bisa dibilang honeymoon?"

Itu yang pertama kali terlontar dari Rossa setelah ciuman mereka akhirnya tersudahi. Jaka mengerjap, agak nge-bug sedikit. Responnya bikin Rossa tersenyum jahil, sebelum akhirnya melepas tawa.

"Are you okay?"

Lelaki itu mengedipkan kedua matanya beberapa kali. "Well... I am okay... but at the same time... feels not okay?"

"Ciuman sama gue seburuk itu ya?"

"NO, NO, NO, OF COURSE NOT! You're a good—oh, you're kind of a great kisser anddamn it, kenapa omongan gue jadi belibet gini ya?" Jaka meremas rambutnya sendiri. Wajahnya memerah. Lehernya juga merona. Tapi di saat yang sama, dia tampak frustrasi.

"Then, let me give you some more—"

"Bentar, Shan."

"Hm, kenapa?"

"Nyawa gue belum ngumpul."

Rossa tertawa keras lagi, tapi kali ini, dia menepuk-nepuk bahu Jaka dengan penuh simpati.

"Sori. Sekaget itukah?"

"Daripada kaget, gue lebih ke nggak percaya."

"Nggak percayanya di bagian mana?"

"Was it real?"

"Ciumannya?"

"Iya."

Rossa mengulurkan tangan, menepuk pipi Jaka agak keras. "Kerasa nggak?"

"Kerasa."

"Berarti bukan mimpi." Perempuan itu menyunggingkan senyum lebar. "Dan ya, beneran. I just kissed you."

Jaka terperangah sebentar. Berarti yang barusan itu adalah ciuman pertama mereka. Yah, ciuman pertama yang dilakukan saat keduanya sama-sama sadar, maksudnya.

"... astaga—"

"Nggak suka ya?" senyum di wajah Rossa mulai memudar. "Sori, gue nggak minta izin dulu. Sori juga, kalau ternyata—"

"Nggak. Suka kok. Serius. Asli. Nggak bohong." Jaka menukas cepat.

Rossa terkekeh lagi. "Oke, karena kayaknya sekarang lo udah mulai bisa diajak ngomong, gue ulangin lagi pertanyaan gue yang sebelumnya. Jadi, ini kita masih date atau udah bisa dibilang honeymoon?"

"Shan, yang kita lakuin barusan itu ciuman, bukan berjanji sehidup-semati di depan altar."

Rossa cemberut. "Berarti ini masih date?"

Jaka mengangguk. "Masih date."

"Berarti nanti malam, kita tetap tidur sendiri-sendiri?"

"Iya. Lagian sayang kan, gue udah booking dua kamar. Masa yang dipake cuma satu?"

"Lo serius?"

"Serius."

Rossa membuang napas, agak meniup sejumput rambut yang jatuh di keningnya. Terus dia merebahkan tubuh di atas kasur kamarnya Jaka. Matanya menatap langit-langit ruangan.

Jaka menoleh padanya, sempat tertawa kecil.

"Ngetawain apa?"

"Nggak apa-apa."

"Pasti ngetawain gue."

"Iya. Tapi bukan cuma ngetawain lo sih. Gue juga ngetawain diri gue sendiri."

"Hm, kenapa?"

Jaka ikut-ikutan menjatuhkan badan ke kasur, berbaring di sebelah Rossa.

"Bukan hanya lo yang bodoh. Gue juga bodoh kok."

"Lo nggak sebodoh gue."

"Mm-hm. Gue nggak sebodoh lo."

"IH, SEBEL BANGET DIBILANG BODOH!!" Rossa terbelalak.

"... kan lo duluan yang bilang lo bodoh."

"Dibantah dong! Bilang kek, 'nggak, Shan, lo nggak sebodoh itu kok. Gue juga bodoh. Tapi ya mau gimana lagi?'. Gitu!"

Jaka tergelak. "Oke, sori. Gue yang paling bodoh."

"Gue kepingin minta maaf sama Wirya."

"Mm-hm?"

"Soalnya kebodohan gue, dan kebingungan gue yang bikin dia menderita selama bertahun-tahun. Kayak... sejak lulus kuliah, katanya dia nggak pernah jalan sama perempuan mana pun. Habis kita ketemu di acara ulang tahunnya Argan waktu itu pun, dia masih mengejar gue. Gue sudah coba nolak dia, tapi dia tetap ngotot." Rossa beralih posisi dari yang semula telentang jadi miring, menghadap ke Jaka yang ikut-ikutan berbaring miring dan balik menghadap ke arahnya.

"Kenapa lo nolak dia? You loved him at that time, right?"

"I thought I love him." Rossa mengoreksi. "Balik lagi, kebingungan gue yang tolol ini yang bikin situasinya jadi memburuk. Tapi yah, pada waktu itu, gue mengira gue sayang sama dia. Dia baik. Dia pernah bikin gue ngerasa sangat disayangi. Alasan kenapa gue nolak dia? Karena gue takut."

"Takut apa?"

"Banyak. Takut nggak bisa memenuhi ekspektasinya. Takut nggak bisa berbaur dengan keluarganya. Di society tempat gue, tempat kita berada sekarang, nikah sebatas karena cinta dan cuma pengen sama-sama doang adalah sesuatu yang susah dimengerti banyak orang. Kayak... masih banyak kan orang yang beranggapan 'buat apa nikah kalau nggak punya anak?' atau 'tujuannya nikah ya mau punya anak'. Nggak sedikit juga laki-laki yang di-push keluarganya buat nikah lagi karena istrinya dianggap nggak bisa ngasih anak."

Jaka nggak menyahut, tapi dari ekspresi wajahnya, kentara sekali dia mendengarkan Rossa dengan baik.

"Kalau ada orang yang nikah dengan alasan 'kita nikah ya karena mau sama-sama terus. Mau saling jadi teman hidup buat satu sama lain', biasanya jadi omongan. Ada perempuan yang kepingin childfree buat dirinya sendiri aja bisa bikin orang asing ikut-ikutan ngedebat. Padahal ya, itu urusan pribadi. Gue percaya Wirya nggak gitu. Tapi gue ragu sama orang tuanya. Sama keluarganya. Apalagi dia anak cowok satu-satunya."

"Bisa dimengerti."

"Tapi Wirya tetap berkeras, nekat ngajak gue pacaran. Katanya, dia nggak butuh apa-apa selain gue tetap ada. Gue sayang sama dia, jadi gue luluh. Dan kita memutuskan untuk mulai jalan bareng. Gotta admit, di awal, gue happy banget. Rasanya kayak sesuatu yang lama hilang dari hidup gue balik lagi, dengan cara yang nggak ketebak."

"..."

"Meski begitu, lama-lama, kerasa kalau hubungan kita stagnan. Dia berusaha jaga perasaan gue, to the point gue berpikir kalau dia cuma mengatakan apa yang mau gue dengar, dan menunjukkan apa yang mau gue lihat. It felt like... dia nahan diri dan selalu mengalah. Di sisi lain, gue merasa dia nggak bisa memahami gue sepenuhnya."

"..."

"Tapi lo bisa, karena untuk apa yang terjadi dulu... kita... gue pikir... kita patah hati dan berduka untuk sesuatu yang sama. Belum lagi tentang email-email itu... terus saat lo nemenin gue ngerjain skripsi gue..."

"Gue paham, Shan."

Rossa menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Semuanya salah gue."

"Minta maaf aja sama Wirya."

"Kalau nggak dimaafin?"

"Itu terserah dia mau maafin apa nggak, yang penting lo udah coba minta maaf. Itu nunjukkin kalau lo sadar apa yang lo lakuin itu salah."

"Oke."

"Gue juga ada salah sih sama dia."

"Hah, salah apa?"

"Gue ajak lo ke bukit waktu itu tanpa minta izin dulu sama dia."

"Oh ya..."

"Baru nyadar pas udah kejadian." Jaka berujar. "Tapi ya, penyesalan kalau datangnya di depan, bukan penyesalan lagi kan namanya?"

"Iya sih..."

"Tentang apa yang lo bilang tadi, rasa takut lo... gue ngerti kok. Walau gitu, jujur, kalau urusannya udah sama lo, gue nggak punya ekspektasi sama sekali."

"Hm?"

"Gue sayang sama lo, Shan." Jaka berterus terang. "Kalau gue pikir-pikir lagi, sayang itu nggak pernah berhenti. Orang tua gue suka nanya, kenapa gue nggak pernah kelihatan punya gandengan. Kenapa nggak pernah ngenalin atau bawa perempuan ke rumah. Nyokap gue bahkan sempat nge-set gue untuk blind date sama anak salah satu temannya. Tapi ya, gue tolak."

"Kenapa?"

"Kan udah gue bilang. Gue sayangnya sama lo."

"..."

"Gue tau apa yang gue inginkan. Gue mau lo. Of course, gue nggak bisa memaksa lo untuk memenuhi keinginan gue. Namun di luar itu, ya gue udah tau apa yang gue inginkan. Buat apa coba-coba cari yang lain, saat gue udah tau apa yang gue mau? Yang ada malah gue bakal coba ngeyakinin diri sendiri kalau gue bisa menerima yang lain, yang sebenarnya bukan yang gue mau. Iya kalau bisa yakin. Kalau nggak? Gue bakal nyakitin hati orang lain yang nggak salah apa-apa."

"..."

"Gue nggak bisa ngasih rasa seperlunya untuk orang yang sayang gue sepenuhnya."

"..."

"Makanya gue bilang ke orang tua gue, kalau gue sayang sama lo. Dan bahwa buat gue, pilihannya adalah lo, atau nggak sama sekali."

"Terus respon mereka gimana?"

"Kontra sih awalnya. Wajar lah ya. Cuma pada akhirnya, mereka mengalah. Katanya, apa pun yang bikin gue bahagia, mereka akan ikut bahagia. Mereka sangat berbesar hati untuk itu, dan gue sangat berterimakasih."

"..."

"Nggak akan ada ekspektasi apa pun dari orang tua gue untuk lo. For real. Tapi tentu, finalnya gue serahkan ke lo. Lo yang berhak memutuskan."

"Jaka,"

"... ya?"

"Gimana bisa gue baru sadar sekarang... kalau gue... sebenarnya sayang sama lo?"

"Absence makes the hearts grow fonder. Seringnya, absence yang bikin kita sadar apa yang benar-benar kita mau, atau kita inginkan dalam hidup. Karena kita ngerasa hidup kita nggak lengkap setelah apa yang kita inginkan itu nggak lagi ada dalam hidup kita."

"Jaka,"

"... ya?"

"Can I kiss you again?"

"No."

"... okay."

"This time, it's my turn, Roshan."

*

Malamnya, Jaka sama Rossa tetap tidur di kamar masing-masing.

Menjelang dinihari, keduanya masih terjaga. Terus mereka ngapain? Ngobrol. Nggak secara langsung, melainkan lewat telepon. Rossa bertelepon sambil berbaring di kasurnya, dengan earphone terpasang di telinga. Jaka juga tiduran menyamping di ranjangnya, bedanya tanpa memakai earphone. Dia meletakkan langsung handphonenya di atas telinga.

"Masih belum berubah pikiran?"

"Mm..." Jaka bergumam dalam suara raspy yang rendah. Rossa merasakan pipinya memanas, seakan-akan laki-laki itu barusan berbisik di telinganya. "Berubah pikiran gimana ya maksudnya?"

"Soal date dan honeymoon."

"Ini date, Roshan." Jaka tertawa.

"Kamar kita sebelahan dan kita ngobrol lewat telepon."

"Iya. Lalu masalahnya apa?"

"Aneh banget nggak sih?"

"Nggak."

"Masa?"

"Aneh dan nggak aneh itu masalah perspektif aja. Apa yang aneh menurut kita, belum tentu aneh menurut orang lain. Apa yang aneh menurut orang lain, nggak mesti juga aneh menurut kita." Jaka berujar. "Dan sekarang, menurut gue, kita nggak aneh."

"Kamarnya sepi banget."

"Udah lewat tengah malam. Malah serem nggak sih kalau rame?"

"Ye, bukan itu maksud gue."

"Terus?"

Rossa meledek, berujar dalam suara yang dia bikin terkesan manja. Maksudnya bercanda, tentu saja. "Takut nih tidur sendirian."

"Ini kan lagi gue temenin."

"Lewat telepon?"

"Iya. Lewat telepon."

"Huf."

"Udah dinihari. Tidur deh."

"..."

"Besok kan kita mau jalan-jalan."

"Jalan-jalan ke mana?"

"Anywhere you want? Asal jangan ke Bulan." Jaka terkekeh.

"Kenapa nggak boleh ke Bulan?"

"Soalnya..."

"... ya?"

"Roketnya belum jadi."

Rossa memutar bola matanya, tapi ujung-ujungnya, dia tetap nggak bisa menahan tawa. "Nggak bisa tidur tau."

"Kenapa?"

"Mungkin karena realita gue akhirnya jauh lebih indah dari mimpi? Makanya gue jadi nggak ingin tidur?"

"Tetap harus tidur."

"..."

"Nanti sakit."

"..."

"Kasian dong sama gue. Masa pertama kali nge-date sama gue, lo langsung sakit?"

Rossa tertawa pelan, namun tetap manis. "Make me."

"Hm?"

"Bikin gue tidur."

"Mau dinyanyiin Roshan Bobo?"

Rossa tertawa, untuk yang kesekian kalinya. "Apaan tuh Roshan Bobo?"

"Versi custom dari Nina Bobo. Kan gue nyanyiinnya untuk Roshan, bukan untuk Nina."

"Boleh."

"Nyanyi Roshan Bobo?"

"Ada yang lain nggak? Kalau lo nyanyiinnya Roshan Bobo, kayaknya bukannya ngantuk, gue malah bakal sakit perut."

"Suara gue nggak sejelek itu, Shan."

"Bukan karena suara lo jelek."

"Terus karena apa?"

"Karena gue sibuk ngakak. Makanya sampai sakit perut."

"Sama aja. Gue bukan badut loh."

"Iya. Makanya, jangan nyanyi Roshan Bobo."

"Oke." Jeda sejenak, karena Jaka mengambil waktunya untuk berpikir beberapa lama. "Hm... let me start—"

Rossa nggak menyahut, namun menunggu.

"The moon looks lonely..."

"..."

"Like it's crying in the bright night sky."

"..."

"Even though I always know the morning will come."

"..."

"I want to stay in your sky like a star."

"..."

"Oke, sekian dan terimakasih."

"Lagu apa tuh?"

"Ada deh."

"Ck."

"Udah ya, tidur sekarang."

"Jaka,"

"... ya?"

"Makasih ya."

"... untuk?"

"Untuk nggak pernah menyerah sama gue."

*

Salah satu yang membuat Rei lega adalah mereka hanya butuh waktu yang relatif singkat untuk menerbangkan ayahnya buat melanjutkan pengobatan di luar negeri.

Dokumen-dokumen pribadi ayahnya yang lengkap dan masih aktif serta rujukan langsung dari dokter yang merawatnya di Jakarta sangat membantu. Tadinya, Jenar ingin menawarkan laki-laki itu agar terbang menggunakan private jet, sebagai "kompensasi" karena kondisi Rei yang nggak memungkinkan untuk mengantar, namun ayahnya Rei menolak. Katanya, lelaki itu lebih memilih terbang menggunakan penerbangan biasa, dan hanya ditemani oleh Suster Anna.

Beruntung, Suster Anna adalah tipikal orang yang telaten, mudah diajak berkomunikasi dan rajin memberi kabar pada Rei. Selama beberapa minggu yang dihabiskan ayahnya di sebuah rumah sakit ternama di Singapura, mereka sering sekali bertukar kabar lewat chat maupun telepon.

Nyaris saban malam, Rei menyempatkan diri membiarkan Wuje mengobrol dengan ayahnya lewat video call. Karena basicnya Wuje sudah cerewet dari sananya, ya obrolan mereka nggak pernah terasa canggung. Jika dipikir lagi, Wuje memang kayak bapaknya. Dia gampang berbaur dengan orang lain, beda sama Rei yang paling nggak bisa bersikap sok akrab atau sok asyik.

Oh ya, tentang sakitnya Jenar, ternyata memang benar, dia muntah-muntah, pusing dan merasa kurang fit karena bawaan bayi.

Muntah-muntah Jenar tetap berlanjut hingga dua-tiga hari berikutnya, yang bikin Rei khawatir. Akhirnya, dia berkonsultasi secara online dengan salah satu dokter kandungan. Di sana, dia bercerita soal situasinya.

Dan betulan seperti yang dibilang Jella, couvade syndrome memang benar-benar ada.

Jenar sempat terperanjat ketika Rei memberitahunya soal syndrome tersebut.

"Masa sih?!"

Rei mengangguk. "Iya. Waktu konsultasi tadi, dokternya bilang begitu. Kayaknya itu salah satu penjelasan yang masuk akal nggak sih? Kamu kan udah berobat ke dokter, dan dokternya bilang kalau nggak ada masalah apa-apa. Secara fisik, kamu baik-baik aja."

"Mungkin ada penjelasan lain kali, Gina..."

"Contohnya?"

"Ada yang ngirim santet ke aku."

Rei nggak bisa menahan tawanya. "Mau minta pendapat Kak Hyena?"

"Boleh deh tanya dia. Gitu-gitu, dia kayaknya paham soal santet-menyantet."

"Tau dari mana?"

"Dulu, Kak Hyena pernah hampir kena pelet cowok yang pernah dia tolak perasaannya."

"Ada-ada aja."

"Serius!"

"Tapi itu berarti, kita harus kasih tau Kak Hyena dong? About my pregnancy, I mean."

Jenar mengerti banget, kalau masih ada sedikit trauma yang tersisa pada Rei. Di kehamilan sebelumnya, mereka langsung memberitahu orang-orang terdekat kalau Rei tengah mengandung. Terus nggak lama dari sana, dia keguguran. Penjelasan medisnya memang ada, tapi kalau menurut kepercayaan orang Indonesia kebanyakan, biasanya memang kurang baik memberitahu soal kehamilan sebelum... kondisi ibu dan bayinya benar-benar stabil dan pasti.

Gitu deh.

"Nggak apa-apa. Kak Hyena pasti bisa jaga rahasia. Apalagi kalau kita terus terang kenapa kita belum kasih tau banyak orang, termasuk Papa sama Mama."

"Oke."

Mereka pun menelepon Hyena, terus ngobrol berdua dengan loudspeaker yang dihidupkan. Di dekat mereka, Wuje sempat melirik. Tapi cuma sekilas, soalnya anak itu lebih tertarik nonton lanjut nonton Upin & Ipin yang lagi ditayangkan layar televisi—Wuje masih ngambek sama George setelah kejadian di kebun binatang, jadi anak itu bertekad kalau dia nggak akan menonton petualangan George dan Pria Bertopi Kuning untuk sementara waktu.

Hyena menjawab teleponnya dalam dua kali deringan.

"Halo, Regina?"

"Halo, Kak. Sori, aku ganggu nggak ya?"

"Nggak kok. Kenapa? Eh ya, Papa kamu jadinya berangkat ke Singapura kan? I've heard."

"Iya. Udah semingguan ini di sana, Kak. So far so good."

"Semoga lancar ya, dan segera diberi kesembuhan."

"Amin, Kak." Rei mengamini. "Eh ya, ini aku sama Jenar mau nanya pendapat Kakak deh."

"Loh, ada si Kunyuk juga?"

"GILIRAN ADEKNYA AJA DIPANGGIL KUNYUK!!!" Jenar protes.

Wuje menoleh. "Papa, kunyuk itu apa?"

"Nggak apa-apa, Je." Rei meringis. "Lanjut nonton aja ya?"

"Oh... ini pasti urusan orang gede." Wuje berkata, tapi anak itu menurut dan lanjut menonton aksi Upin yang lagi melahap ayam goreng. Dalam hati, dia mengingatkan dirinya sendiri buat nanti bilang ke Rei kalau besok, dia kepingin makan ayam goreng, tapi yang bentuknya kayak ayam gorengnya Upin.

"Mau nanya apa nih?"

"Sebelumnya, jangan bilang siapa-siapa ya, Kak? Jadi... awal bulan ini, Jeje baru sadar kalau aku telat dapet, terus—"

"HAH, UDAH NGISI LAGI?!!"

"Hehe. Kalau dari hasil testpack sih gitu, Kak. Tapi jangan bilang ke siapa-siapa dulu ya? Aku sama Jeje sepakat mau nunggu beberapa lama, sampai lebih stabil dan pasti. Takutnya kayak kemarin, nanti terlanjur bikin banyak orang berharap terus ujung-ujungnya kecewa..."

"Dari kejadian kemarin, belum ada jeda tiga bulan ya?"

"... belum sih."

"Bisa jadi agak beresiko, kalau setahu aku. Kamu harus hati-hati ya. Jangan banyak capek, apalagi stress." Hyena memberitahu. "Tapi sejauh ini, ada keluhan atau sakit nggak?"

"Aku sih nggak."

"Syukurlah kalau gitu."

"Yang ada keluhan malah Jeje, Kak."

"Tuh orang mah emang hobinya ngeluh dari jaman bocah."

"Kak, etdah, di-roasting melulu nih gue!!" Jenar protes lagi.

"Kenapa sama si Jenar?" Hyena mengabaikan Jenar.

"Yang nunjukkin gejala kayak orang hamil malah dia. Lemes, suka pusing, muntah-muntah, nggak napsu makan, pengennya makan yang asem-asem sama yang pedes-pedes, aku sempat tanya sih, dadanya sakit apa nggak. Ternyata nggak—" Rei nyengir ketika dilihatnya Jenar manyun. "Udah ke dokter, tapi kata dokter nggak ada masalah."

"Oh..."

"Menurut Kak Hyena, itu mungkin nggak? Soalnya Jeje curiga dia lagi dapet kiriman santet."

"Ngaco!" tawa Hyena meledak di seberang sana. "Kalau beneran kena santet, yang ada lo muntah paku! Bukan muntah-muntah terus craving makanan yang asem-asem!!"

"Tuh kan..." Rei bergumam pada Jenar.

"Tapi apa yang begituan tuh ada? Maksud gue, nyata ya, bukan sebatas jokes yang sering dipake." Jenar bertanya.

"Ada lah! Rekan kerja gue juga ada yang pernah gitu. Parah banget sih, dia sampai dehidrasi saking seringnya muntah-muntah. Untung nggak sampai masuk rumah sakit..."

"... bisa gitu ya." Jenar melongo.

"Mitosnya, kalau yang mual-mual dan ngidam malah bapaknya, biasanya itu karena bapaknya sayang banget sama ibunya."

"... yah, pantesan."

"Pantesan apa?" Rei mengangkat alis.

"Kok masih nanya sih, Regina? Aku kan emang sesayang itu sama kamu!"

"Oh. Hehe..."

Jenar bertanya lagi ke Hyena. "Kira-kira, ini bakal ilang kapan ya? Sumpah, nggak enak banget..."

"Kalau teman gue sih... baru 'sembuh' setelah bininya lahiran."

"... astaga."

"Tapi jangan khawatir, muntah-muntah tuh biasanya di trimester awal aja. Iya kan, Rei?"

"Iya, Kak."

"Kalau udah nggak muntah-muntah, paling sakit pinggang dan pegal-pegalnya yang ngikut." Hyena meledek.

"HAH??!!"

"Iya, Je. Kalau orang udah hamil tua, berarti kan beban yang dibawa makin berat. Jadi nggak heran kalau sakit pinggang atau pegal-pegal. Terutama di kaki sama punggung." Rei memberitahu.

"Ya ampun..."

"Malah ada loh, yang ikut-ikutan ngerasa sakit pas lahirannya." Hyena menambahkan.

"HAH?!!!" Jenar memasang ekspresi horor, yang bikin Rei menahan tawa.

"Nggak usah hah hoh hah hoh lo!!" Hyena berseru geli. "Hamil emang nggak segampang itu. Makanya, gue selalu bilang, wajar kalau ibu hamil sensitif. Dan sebagai bapak dari si bayi, lo mesti ngerti, juga memperlakukan bini lo sebaik-baiknya."

"..."

"Lagian, bukannya waktu Regina hamil Arga, lo sendiri yang bilang, kalau bisa tukeran tempat, lo bersedia nanggung sakitnya Regina?"

"... iya sih. Tapi wow—"

"Sabar. Baru muntah-muntah doang. Bulan-bulan besok, bisa aja lebih buruk."

"Kak!!"

"Oke, Kak." Rei tergelak. "Makasih ya udah mau direpotin sama pertanyaan nggak penting kita."

"It's okay. Congrats ya, both of you. Semuanya take care. Jaga kesehatan yang benar."

"Iya, Kak."

Telepon disudahi, dan Rei langsung disambut oleh pertanyaan dari Wuje.

"Mama kenapa waktu hamil aku?"

"Haduh, nguping nih bocil!" Jenar geleng-geleng.

"Nggak nguping, Papa. Kedengeran..." Wuje membantah, lantas berpaling ke ibunya. "Mama kenapa waktu hamil aku? Mama sakit?"

"Nggak apa-apa kok, Je. Cuma di awal-awal, Mama suka muntah dan mual aja. Terus jadi lebih gampang capek. Mama jadi sering ketiduran di mana-mana." Rei menjelaskan.

"Aku yang bikin Mama sakit ya?"

"Nggak kok." Rei membantah. "Memang reaksi tubuhnya begitu, tapi bukan karena kamu. Malah karena kamu, Mama maksa biar tetap makan, terus istirahat yang cukup. Biar kamu baik-baik aja waktu di dalam perut, terus Mama bisa ketemu kamu."

"Oh... gitu..."

"Iya."

"Berarti sekarang... Papa lagi hamil?"

Jenar keselek. "Je, nggak gitu—"

"Di dalam perut Papa ada bayinya?"

"Nggak gitu—"

"Nggak, Sayang." Rei meringis, terus tertawa geli. "Sekarang, yang hamil masih Mama. Tapi yang muntah sama pusing-pusing... ternyata Papa."

Wuje terdiam, nggak bereaksi sama sekali.

"Arga, kenapa? Kok tiba-tiba diam?"

"Di dalam perut Mama ada bayinya?"

"Iya. Tapi masih kecil banget—loh, kenapa kok ekspresi muka kamu jadi begitu? Kamu nggak senang ya?"

"Mama bakal sakit lagi kayak kemarin nggak?"

"..."

"Kalau Mama sakit lagi, aku nggak mau ada bayi."

Rei terperangah, kemudian mendekati Wuje dan pelan-pelan, meraih anak itu ke dalam pelukannya.

"Nggak kok. Mama udah baik-baik aja. Mama nggak akan sakit lagi. Mama janji. Arga percaya kan sama Mama?"

"... bener ya, Ma?"

"Iya."

"..."

"Jadi nggak apa-apa kan, ada adik bayi?"

"Nggak apa-apa, asal adik bayinya nggak bikin Mama sakit. Kalau bikin Mama sakit, aku nggak mau."

"Iya, nggak akan kok." Rei mengiakan sambil mengusap punggung Wuje yang balik memeluk lehernya.

*

Di akhir pekan berikutnya, pesta pernikahannya Milan digelar.

Rei sudah minta izin di grup, kalau dia nggak mampu menghadiri prosesi akad dan bantu Sakura mengurusi tetek-bengek per-pengantin-an sejak pagi seperti yang dilakukan para penghuni grup teh lainnya, soalnya beberapa hari sebelumnya, dia sama Jenar akhirnya pergi mengunjungi Dokter Katya—masih obgyn yang sama, yang dulu menangani Wuje dari awal kehamilan sampai dia lahir.

Dokter Katya bilang, kandungannya berada dalam kondisi yang relatif baik dan nggak bermasalah, tapi menimbang kalau jarak antara keguguran sebelumnya dan kehamilan baru belum ada tiga bulan, Rei dianjurkan untuk banyak beristirahat dan jangan sampai kecapekan. Jadi terang saja, Jenar nggak akan mengizinkannya sekalipun dia memaksa datang dari pagi.

Para penghuni grup teh yang lain menganggap itu bukan masalah sih, sehingga tanggapan mereka santai-santai saja.

Sorenya, baru deh Rei datang ke resepsi yang diadakan di ballroom sebuah hotel ternama yang memang sudah terkenal sebagai tempat diadakannya resepsi pesta pernikahan bagi mereka yang berdompet tebal. Tamu undangannya terbatas dan kebanyakan adalah teman-teman dari kedua mempelai. Wuje nggak ikut, soalnya sudah janjian sama kakek-neneknya untuk makan ayam goreng ala Korea pakai saus keju yang bisa ditarik sampai melar-melar.

Mereka lagi di jalan ketika handphone Rei bergetar berkali-kali karena notifikasi yang masuk secara beruntun.

Terdorong penasaran, Rei mengeceknya.

teh tumpah reguler (7)

yumna: GEGERRRRRRR SE-BALLROOM

jella: lo doang yang geger wkwkwkwkwkwk

harsya: anjretttttt malah pada gosip wkwkwkwkwwk

rei: apa yang geger?

rei: ada apa?

yumna: MAKANYA JANGAN LAMA-LAMA KE SININYA ;P

rei: maafin :(

rei: tadi jeje lupa naro sepatunya di mana

rei: jadi kita nyari dulu

rei: belum lagi kudu nganterin arga ke rumah opa-omanya

harsya: yah sayang banget bocil ganteng gak ikut

rei: udah janjian sama opa-omanya mau mukbang ayam korea

jella: WKWKWKKWKWK KE SINI AJA LU

rei: lagi otw

yumna: yaudah, ntar juga tau apa yang edan

rei: penasaran :(

jinny; bumil jangan dibikin penasaran atuh, teh

jinny: ntar anaknya ileran, kumaha hayoh?

yumna: ITU MAH NGIDAM BUKAN PENASARAN

rei: ada apa emangnya sih, jin?

jinny: **jinny

jinny: tong dipotong-potong atuhlah, teteh mah :(

rei: iya, emang ada apa?

jella: ada tamu undangan tidak terduga di resepsinya sakura

rei: ALFA?

rei: DEMI APA?

yumna: GUE NGAREPNYA SIH GITU WKWKKWKWK

yumna: PASTI MAKIN HEBOH

harsya: gak mungkin juga sih tuh orang dateng

harsya: in spite of history dia sama sakura

jinny: emang kenapa gitu, teh?

harsya: denger-denger, baru punya bayi

rei: DEMI APA???!!!!

jella: kaget terus si dodol ini @rei

rei: sumpah, gue baru tau kalo kak alfa udah punya bayi?

rei: masih sama istrinya yang itu?

harsya: kurang tau, say

rei: oke wait

rei: lo pada belom jawab pertanyaan gue

rei: siapa tamu nggak terduganya?

jinny: sebenarnya sih terduga gak sie?

yumna: iya juga ya??

jella: iya sih

jella: gak terduga, karena mereka dateng bareng

jella: terus pake baju couple

rei: pake kaos I LOVE HIM I LOVE HER gitu???

yumna: KAGAK YAILAHHHHH WKWKWKWWKWK

yumna: lo kira mereka bocil tiktok yang baru fall in love apa?

jella: maksudnya baju kondangan yang cowok-cewek setema gitu

jella: kayak gue ama laki gue atau lo sama laki lo kalo kondangan aja.

jella: mereka bajunya samaan

jella: dan rangkulan tangan

rei: SIAPA

rei: YA TUHAN SUMPAH SIH GUE PENASARAN BANGET DARI TADI

yumna: kasih tau gak yaaaaaaaaa

rei: yaudah gak usah :(

yumna: jiahhhhh ngambek wkwkwkwk

yumna: bayi kedua cewek nih kayaknya

rei: :(

jinny: teh ocha sama a jaka

jinny: mereka dateng bareng

jinny: salaman ke pelaminan bareng, sakura ampe melongo

jinny: terus terpantau sampe sekarang, masih gandengan tangan terus

"Regina, kamu kenapa? Kok frowning gitu?" tanya dari Jenar yang duduk menyetir di sebelahnya memicu Rei mengalihkan pandang dari layar handphone dan ganti menatap suaminya.

"Agak kaget."

"Kenapa?"

"Rossa datang ke resepsinya Milan sama Sakura bareng Jaka."

"... mereka janjian kali? Mungkin gara-gara tempat tinggal mereka searah? Atau—"

"Mereka pakai baju couple. Maksudku, baju kondangan tapi yang satu tema. Kayak kita gini."

"..."

"Terus gandengan tangan."

"Waduh, berarti liburan di Labuan Bajo kemarin-kemarin bukan setting-an ya." Jenar berdecak. "Kasian juga si Wirya."

"Menurut kamu, Wirya dateng nggak?"

"Kalau nggak ada problem, harusnya dateng sih. Tapi nggak tau juga kalau dia mendadak sibuk, atau tiba-tiba meriang, atau tau-tau disedot portal Doctor Strange terus diajak menyelamatkan dunia."

"Kalau Wirya dateng, perasaan Wirya gimana ya..." Rei bergumam.

"Nggak tau juga, soalnya Wirya pun udah dekat sama orang baru sih." Jenar menyahut.

"Iya juga ya..."

Untuk yang kesekian kalinya, Rei kembali tersadar, bahwa urusan hati, biasanya memang penuh misteri.

*

Spoiler dari grup teh ternyata memang bukan kaleng-kaleng.

Rossa beneran datang bareng Jaka dan mereka terlihat seperti... pasangan. Rei memang sudah lihat beberapa postingan feeds Instagram Rossa berhari-hari yang lalu, dan ada satu foto yang memuat sosok berpostur mirip Jaka yang dipotret dari belakang. Cuma, Rei nggak menyangka kalau mereka benar-benar... serius?

Hidup ini memang penuh kejutan.

Sebenarnya, nggak apa-apa sih. Itu kan hak Rossa. Apa pun yang terjadi antara Rossa, Wirya dan Jaka adalah urusan pribadi mereka yang tak berhak Rei campuri. Hanya saja, Rei berharap, nggak ada lagi temannya yang mesti terlibat hubungan rumit atau bahkan melakukan sesuatu yang nggak baik kayak berselingkuh.

Rei masih anti sama yang namanya perselingkuhan. Makanya, waktu jaman-jaman Sakura masih jadi selingkuhannya Alfa, Rei sempat merasa sangat sulit tetap bersikap netral dan pura-pura nggak tau. Perselingkuhan, siapa pun yang melakukan, adalah momok menakutkan buatnya.

Amit-amit banget, tapi kalau dia sampai jadi korban perselingkuhan, kayaknya dia nggak akan pernah sanggup recover.

Dia pasti akan terhancurkan sampai ke dalam, hingga nggak ada lagi yang tersisa darinya.

Namun demikian... ya nggak tau juga.

Rei sudah beberapa kali dengar dari Jenar, atau dari ghibah-ghibah kecil di grup kalau katanya Wirya juga lagi dekat sama cewek yang kerap dipanggil Ryza itu.

Bisa saja kan, Wirya sama Rossa sudah berpisah sebelum mereka mulai dengan orang baru? Walau Rei nggak tau juga, mereka pisah dengan baik-baik atau nggak.

Balik lagi, Rei hanya bisa berharap yang terbaik buat teman-temannya, dan berdoa semoga saja, nggak ada perselingkuhan maupun kecurangan yang terlibat.

Soalnya, Rei percaya banget, cara kita 'mendapatkan' seseorang akan sama dengan cara kita 'kehilangan' orang tersebut. Jika kita 'mendapatkan' seseorang dengan cara yang nggak baik, maka kita akan 'kehilangan' orang itu dengan cara yang nggak baik pula.

Begitu tiba, dia dan Jenar langsung bergerak menuju pelaminan untuk bersalaman dengan kedua mempelai yang sedang berbahagia. Milan terlihat happy banget, juga ganteng dalam balutan setelan jas hitam dan sekuntum mawar merah di saku jasnya. Sakura juga amat cantik. Dari ekspresi wajahnya, Rei tahu, perempuan itu juga sedang diliputi oleh rasa senang yang sama.

Kalau dulu ada yang bilang Jella bakal berakhir sama Tigra dan Milan malah berujung sama Sakura, sepertinya, kecil kemungkinan Rei bakal percaya.

Tapi yah... dia sendiri juga berakhir sama Jenar kan?

Lagipula, jika dipikir-pikir, menilik dari seberapa besar effort yang Milan keluarkan untuk menciptakan sesi lamaran paling spektakuler tahun ini khusus buat Sakura, keduanya tampak benar-benar saling menyayangi—meski tetap saja, buat Milan, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih.

Lamaran spektakuler yang direncanakannya gagal total, berakhir Milan malah ngelamar Sakura di kantor polisi.

(Dan gara-gara itu, bisa dipastikan, Milan lagi-lagi jadi korban roasting para bapak).

Di pojokan pelaminan, terdapat sejumlah sign yang memuat barcode-barcode besar.

Tadinya, Jenar mau nyelonong saja buat salaman sama kedua mempelai, tapi Milan buru-buru menghampirinya, merangkulnya dan membimbingnya ke pojok.

"Scan dulu, Ganteng."

"Scan apaan?"

"Itulah, buat amplopnya. Ada banyak pilihan, mau lewat OVO, QRIS—"

"HEH, GUE UDAH PESEN SOFA DUA PULUH JUTA BUAT LO YE!!" Jenar sewot.

Milan nyengir. "Itu kan hadiah, Ganteng. Bukan amplopnya."

Rei tertawa kecil, geleng-geleng kepala melihat perdebatan kedua lelaki di depannya. Dia mengeluaran ponsel, terus scan salah satu barcode. Habis memasukkan nominal, Rei mengonfirmasinya dan pembayaran pun tuntas.

"Udah kok."

"Hadeh, Regina. Mau-maunya."

"Nggak apa-apa. Kan bantuin Milan biar bisa manjain istrinya."

"Benar banget!" Milan mengacungkan jempol, terus ganti memeluk Jenar sembari menepuk-nepuk pundaknya. "Thanks, bro, udah dateng!"

"Nggak usah bra-bro-bra-bro lo!" Jenar mendelik, walau dengan cepat bermuka manis sewaktu dia menyalami kedua orang tuanya Milan.

"Hehe." Milan nyengir, lalu katanya jahil. "Lo mau dipeluk juga nggak, Rei?"

"Besok-besok, tuh mulut bakal gue jebret pake karet nasi uduk!" Jenar mendesis, tapi cepat meraih lengan Rei yang tertawa geli. Mereka lanjut menyalami Sakura, juga kedua orang tuanya Sakura. Waktu salaman sama Sakura, Rei sempat cipika-cipiki, terus memeluk Sakura lumayan lama.

"Gue seneng banget karena akhirnya lo bisa nemuin bahagia lo sendiri tanpa nyakitin orang lain. Semoga seterusnya, lo selalu bahagia dan diberkati ya." Rei berbisik, yang dibalas Sakura dengan anggukan, diikuti senyum lebar.

"Lo juga, Kak. Sehat-sehat terus ya. Buat lo, buat dedeknya Arga juga."

"Thank you."

Mereka tetap di pelaminan untuk menjepret foto bersama, habis itu, baru Rei dan Jenar turun.

"Mau makan apa?"

"Di sini ada asinan nggak sih? Atau apa kek gitu yang bikin segar? Yang ada asem-asemnya." Jenar nanya. "Yang lain kayaknya lumayan berlemak. Aku enek duluan lihatnya."

"Aduh, Pakmil ini..." Rei mengusap lengan suaminya.

"Kamu nggak ada rasa enek atau mual atau gimana gitu?"

"Nggak sih. Aku pengen tekwan deh."

"Oke, kita ambil tekwan dulu, baru ambil asinan."

Rei mengangguk dan sembari bergandengan, mereka bergantian mendatangi stand makanan yang dimaksud.

Resepsinya berjalan menyenangkan, mungkin karena banyak dari tamu yang datang telah mereka kenal. Well, Jenar kenal hampir semuanya sih kayaknya. No wonder, dia memang social butterfly di kampus dulu. Berbeda sama Rei—walau dari sekian banyak tamu yang kenal Jenar, tampak mengenali Rei juga.

Usai acara bersalam-salaman selesai, kedua mempelai turun dari pelaminan, dan memulai sesi first dance mereka bersama, sebagai suami-istri.

"Loh, nggak ada sesi dansa sama mantan ya?" Rei berkata, yang tanpa sengaja terdengar oleh Jella yang berdiri nggak jauh darinya. Di dekat perempuan itu juga ada Tigra.

"Nggak ada." Jella menjawab, yang memicu Rei dan Jenar kompak menoleh.

"Eh—"

"Nggak diizinin sama Tigra?" Jenar mencibir.

"Nggak. Tigra ngizinin kok!" Jella menukas sebelum Tigra sempat menjawab. "Cuma gue yang nggak mau aja."

"Takut baper?" Jenar masih nggak berhenti meledek.

"Sebagai couple, sejarah gue sama Milan nggak bagus-bagus amat." Jella meringis.

Rei mengangguk. "Cherish ikut nggak?"

"Anaknya lebih milih les piano." Tigra membalas.

"Waduh, udah les piano?"

"Iya, emang suka main piano anaknya." Jella mengiakan. "Arga suka main piano juga nggak? Siapa tau bisa barengan."

"Arga lebih suka makan daripada main musik." Rei nyengir. "But it sounds good. Kapan-kapan deh, gue ajak anaknya main piano. Kalau emang tertarik, ya dia bisa ikutan les piano sama Cherish."

Obrolan mereka terputus ketika musik berganti, yang menandakan kalau momen di mana para hadirin dipersilakkan ikut berdansa di lantai dansa telah tiba.

Jenar menatap Rei. "Shall we?"

"Mm-hm." Rei mengiakan, menyambut uluran tangan suaminya.

Bisa dibilang, mereka nggak berdansa secara proper. Lebih ke slow dancing. Satu tangan Rei di pundak Jenar. Satu tangan Jenar di pinggang Rei. Tangan mereka yang lain saling bertaut. Di bawah alunan musik lambat, Rei menunduk lebih dekat, membuat wangi parfum Jenar memenuhi indra penciumannya.

"Gina,"

"... yes?"

"Tahun depan nikah lagi yuk. Mau nggak?"

Rei tertawa. "Tapi kan kita udah nikah. Masa nikahnya mau diulang?"

"Pemberkatannya nggak usah diulang. Resepsi giniannya aja yang diulang."

"..."

"Tiba-tiba kangen lihat kamu pakai gaun pengantin." Jenar nyengir.

"Aku kan udah jadi ibu-ibu sekarang."

"Terus kenapa? Emangnya ibu-ibu nggak boleh pakai gaun pengantin?" Jenar membalas. "Lagian, nggak ada bedanya juga kok. Kamu selalu cantik."

"Kurang-kurangin, Je."

"Kurang-kurangin apa?"

"Ngomong manis gitu. Nanti aku makin sayang sama kamu."

"Loh, kan memang itu tujuannya."

"..."

"Biar kamu bersedia kejebak sama aku selamanya. Hehe."

*

Rei sama Jenar bukan satu-satunya pasangan yang menikmati waktu mereka di lantai dansa malam itu.

Rossa dan Jaka juga, sekalipun berkali-kali Jaka mengatakan kalau dia bukan pedansa yang baik dan mereka kelihatan konyol dibanding kebanyakan pasangan yang sudah tau caranya berdansa yang proper itu gimana.

"Gue nggak peduli. Kalau bukan lo, buat apa punya partner dansa jago?" Rossa mengerling.

"Oh, please." Jaka tertawa, lalu teringat sesuatu. "Anyway, gue belum lihat Wirya dari tadi."

"Mungkin dia ada urusan mendadak, makanya nggak dateng? Atau datengnya telat. Dia punya lumayan banyak urusan yang mesti diurusi. Jadi nggak heran sih."

"Kayaknya paham banget ya?"

"Gue pernah jadi pacarnya selama dua tahun, Jaka. Of course, gue paham."

"Mm-hm. Ah ya, gue udah bilang belum kalau lo cantik banget malam ini?"

"Udah. Mungkin... sekitar sembilan belas kali?"

"Lo cantik banget malam ini." Jaka berkata manis, dengan wajah sumringah. "There, gue genapkan jadi dua puluh."

Rossa terkekeh, tapi di saat yang sama, pipinya dirambati oleh rona. Dengan salah tingkah, dia membenamkan wajahnya di dada Jaka, yang otomatis membuat dansa mereka terhenti. Jaka mengusap punggungnya seraya tertawa keras.

Rossa tahu, mereka telah jadi menarik perhatian banyak orang hanya sesaat setelah mereka menginjakkan kaki di venue resepsi, namun Rossa nggak peduli.

Sama Jaka... entahlah... kehadiran lelaki itu saja sudah lebih dari cukup.

Dia nggak peduli dunia mau berkata apa, atau mau menilainya bagaimana.

Nggak lama kemudian, sesi dansa itu berakhir, dan berpindah ke rangkaian acara berikutnya, yang kayaknya telah ditunggu-tunggu oleh banyak tamu perempuan; bagian pelemparan bunga.

"Gue ke depan deh ya..." Rossa berkata.

"Loh, pengen dapet bunganya?"

"Iya."

"Tumben. Kenapa? Mau ngejar mitos kalau dia yang dapat buket bunga pengantin bakal cepat nyusul nikah?" Jaka bergurau.

"Nggak tau. Pengen aja. Soalnya kelihatannya seru dan gue belum pernah berpartisipasi di game kayak gini sebelumnya." Rossa nyengir.

"Okay, Roshan. Gue nunggu di belakang aja ya."

"Okay."

Rossa bergerak menuju depan pelaminan, di mana Sakura telah membalikkan badan membelakangi kerumunan para hadirin yang berharap bisa mendapatkan buket bunganya. Pengantin perempuannya sengaja menunggu, dan baru melempar buket bunga di tangannya mengikuti aba-aba dari MC acara—yang nggak lain dan nggak bukan, adalah Lanang beserta Delta.

3... 2... 1...

Buket itu terlempar, melayang di udara. Agaknya, lemparan Sakura kelewat bertenaga, karena buket itu melambung jauh melewati kerumunan para gadis dan... berakhir di tangan Jaka yang mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi pada detik-detik terakhir setelah dia melihat buket tersebut meluncur ke arahnya.

Ada desah kecewa dari beberapa perempuan melihat buket itu berakhir di tangan laki-laki yang bahkan nggak terlihat antusias untuk ikut berpartisipasi.

Jaka tercengang sebentar, yang ditutup dengan cengiran lebar.

Lalu, dia melangkah dari tempatnya berdiri untuk menghampiri Rossa dan begitu saja, disaksikan oleh banyak pasang mata, Jaka mengulurkan buket di tangannya seraya berucap..

"Mungkin ini tanda kalau habis ini, gue harus nikahin lo kali ya?"

Rossa tersenyum lebar, dan jawabnya lembut. "Kalau begitu, itu bakal jadi sebuah kemungkinan, yang ingin gue semogakan." 





to be continued. 

***

manten (akhirnya). 


***

a/n:

AKHIRNYA DILANJOTTTTTTT WKWKWWKWK 

scene kopi wirya-rossa berarti di chapter berikutnya kali ya (semoga tanpa sianida) terus of korsssss, ryza pasti akan hadir sebage wanita penghibur untuk om yang sedang lara ((jiahhhhh)) 

terus hm, masih ada sedikit scene-scene terakhir antara rei dengan papanya. 

gitu deh. 

intinya, semua yang ada di sini berperan sesuai porsinya masing-masing wkwkwkwkwk 

((oiya, mungkin kelen suka nemu ya, ada komen pembaca gue yang gak kalian gak paham, soalnya ya emang, untuk universe ini, ada detail-detail soal tokoh sampingan atau spoiler yang biasanya gue share lewat ig gue. kayak detail yang gak penting-penting amat untuk diceritakan sie sebenernya)) ((nah itu followers ig gue doang yang tau biasanya :D gitu aja siee)) 

terus apa lagi ya hm sejauh ini itu dulu deh. 

sampai ketemu di chapter selanjutnya. 

ciaooooooo. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top