66 | bukan professional
Mau tau apa yang lebih susah daripada ngelarin skripsi untuk meraih gelar sarjana?
Cari kerja.
Dulu tuh ya, tiap ada senior yang cerita, "kehidupan sesungguhnya baru dimulai di luar bangku sekolah", Ryza suka mencibir sambil bilang "jiakhhhhhhh ya deh si paling senior dan paling tau masa depan!!". Soalnya kayak lebay banget gitu loh? Padahal enak kan jadi orang dewasa, mau ngapa-ngapain bebas. Mau ke sana-ke sini bisa sendiri.
Tapi sekarang Ryza sadar, kalau kebebasan tuh nggak berarti apa-apa tanpa uang.
Uang adalah sumber kebebasan yang sebenarnya!
Kalau bisa memutar waktu, pengen deh Ryza balik ke masa lalu dan ngomelin dirinya sendiri sebelum dia dengan impulsif memutuskan cabut ke luar negeri untuk nyari pacar online yang sudah nge-ghosting dia. Buang-buang duit tabungan aja! Mana itu hasil jualan Dior Batam selama kuliah pula! Terus bodohnya, ngapain juga dia nginep di hotel bintang lima segala?!
Benar-benar BPJS.
Budget pas-pas-an, tapi jiwa sosialita.
Tapi yaudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Terus buburnya juga nggak mungkin dibikin jadi bubur ayam. Ryza cuma bisa menyemangati diri sendiri seraya membawa langkah kakinya keluar menuju pelataran depan salah satu gedung perkantoran di distrik bisnis paling bergengsi ibukota. Dia sudah dandan cantik. Sudah mencoba melakukan company research.
Eh, ujung-ujungnya, di akhir interview, hanya dapat jawaban template. "Nanti akan dikabari lagi lewat email ya."
Bukannya berburuk sangka ya, cuma kalau melihat dari ekspresi orang yang meng-interviewnya, Ryza rasa kayaknya dia masuk calon-calon pegawai yang nggak diterima deh.
Huf.
Mana siang ini lumayan panas.
Ryza mengeluarkan handphone buat ngecek jam. Dia berpikir sejenak. Haruskah dia melipir buat meredakan hausnya ke mall yang nggak terlalu jauh dari sana, atau nyari warteg terdekat. Kalau mikirin kenyamanan, kayaknya... mending warteg nggak sih?
Iya, maksud Ryza tuh kenyamanan dompet.
Oke deh, ujungnya, Ryza memutuskan berbelok ke warteg. Semoga aja nggak banyak ngabers di sana. Ryza sudah dandan super cantik begini, malang amat pasca interview yang (tampaknya bakal) berakhir apes, eh masih mesti jadi korban ngabers pula.
Ternyata, wartegnya nggak terlalu ramai. Ryza memilih duduk agak mojok. Habis pesan mi goreng pakai telur sama kornet berikut es teh manis, dia sibuk main handphone sembari sekalian nunggu pesanannya selesai dibuat.
Eh, tau-tau ada chat masuk.
wirya:
ryza, sedang ada di mana?
Ryza kepengen ngakak, tapi ditahan. Duh, kenapa ya, Wirya nih kalau nge-chat suka begitu banget, kayak aktor drama kolosal saja.
ryza:
masih di bumi sih, om.
gak tau kalo besok udah pindah.
wirya:
pindah ke mana?
ryza:
neptunus.
wirya:
karena orang di Bumi jahat-jahat?
ryza:
gak. soalnya di sana hujannya hujan berlian.
wirya:
gak usah neptunus, kalau mau liat hujan berlian, bilang saya aja.
ryza:
si tukang pamer.
wirya:
gak kok.
toko berlian saya suka bikin event hujan berlian.
ryza;
beda kelas kita, om
wirya:
emang, kan saya mulai sekolah duluan.
tapi selama hatinya masih sama, ya fine-fine aja
ryza:
JIAHHAHAHAHAHA
wirya:
kamu di mana?
ryza:
lagi makan siang
wirya:
sendiri?
ryza:
yomannnnn
wirya:
di warteg?
ryza:
KOK TAI????
**TAU
typo, om.
wirya:
berarti saya gak salah orang.
saya temenin, boleh gak?
ryza:
HAH
Balasan chat Wirya membuat Ryza mengangkat wajah dari layar handphonenya.
Dia kira Wirya nge-troll doang, tapi ternyata betulan, lelaki itu muncul dari arah pintu warteg. Matanya sempat menyapu seisi warteg sebelum berhenti sewaktu menemukan di mana Ryza duduk. Refleks, Ryza mengangkat tas yang dia pakai untuk menutupi wajahnya.
Sia-sia banget sih.
Dalam waktu singkat, terdengar suara kursi di depan Ryza ditarik, disusul sapaan ramah Wirya yang terkesan hangat.
"Rhyzoma, saya tau ini kamu."
Ryza meringis, pelan-pelan menurunkan tas dari wajahnya hingga hanya matanya yang kelihatan. "Om Wirya?"
"Em-hm."
"Kok bisa ada di sini?!"
"Tadi saya habis ketemu salah satu relasi saya. Pas keluar, kok nggak sengaja lihat kamu lagi jalan kaki sendirian. Gara-gara penasaran, saya ikutin. Cuma, saya takut salah orang. Makanya saya chat kamu dulu."
"Dunia sempit banget sih..." Ryza menggerutu sembari kembali meletakkan tasnya di atas meja. "Kolega, relasi, teman-teman Om tuh kenapa kayak ada di mana-mana ya? Jangan-jangan satu Jabodetabek kenal sama Om."
"Nggak juga."
"Kalau sama Pak Presiden, Om kenal nggak?"
"Saya berapa kali main bilyard sama anaknya."
"HANJAYYYYYYY!!!" Ryza refleks bertepuk tangan, bikin Wirya nyengir malu-malu sambil pura-pura memperbaiki sedikit rambut yang jatuh ke keningnya. "SUGHOIIII PISANNNN!!:"
"Nggak lah. Kebetulan aja kita satu circle di tempat main bilyard."
"Satu circle sama anak Presiden tuh bukan kebetulan, Om!" Ryza berdecak.
Sejenak kemudian, pesanan makanan Ryza diantarkan.
"Ini yang kamu maksud makan siang?"
"Sori nih, Om. Tapi penistaan macam apa yang barusan Om lakukan terhadap Indomie goreng telor-kornet saya yah?"
"... saya kaget aja."
"Ini tuh lebih enak dari swedish meatball pasta, tau nggak, Om?"
Wirya terkekeh. "Kamu habis ngapain, berkeliaran di sekitaran sini?"
"Memulai jadi orang dewasa, Om."
"Maksudnya?"
"Cari kerja."
"Oh... udah dapet?"
Ryza mendelik. "Om nanyanya gampang banget gitu sih?!"
"Kan cuma nanya, Rhyzoma..."
"Belom! Tadi tuh baru interview doang! Tapi saya curiganya, saya ditolak sih..."
"Kalau ditolak, tinggal cari lagi kan?"
Ryza melotot. "Kalau hanya sebatas omongan, emang gampang sih ya, Om?"
Wirya tertawa ringan. "Apply ke mana?"
"Kosmik."
"Oh, ada kolega saya—"
"Udah tau!!" Ryza memotong, terdengar agak sewot. "Om kan udah pernah bilang!"
"Saya bisa coba—"
"Nggak." Ryza menolak. "Saya ini punya mental alpha girl, Om! Saya adalah cewek mandiri yang akan menguasai dunia dengan daya dan upaya saya sendiri!"
Wirya melongo. "Oh... oke..."
"Tapi jujur, cari kerja tuh susah ya ternyata. Bodoh banget saya buang-buang uang tabungan cuma buat nyari kejelasan dari cowok kampret yang bisa-bisanya ngaku meninggal biar nggak saya hubungin lagi!" Ryza nyerocos, ngomel panjang-pendek.
"Loh, kamu sendiri kan yang bilang lebih baik mencoba daripada—"
"Kata-kata itu cuma berlaku untuk orang kaya, Om. Bukan orang kere. Mending nggak mencoba daripada kehilangan duit."
Wirya mengerjap. "Padahal saya sangat terinspirasi sama kata-kata kamu waktu itu..."
"Ye, suruh siapa terinspirasi sama cocot saya." Ryza berdecak. "Tapi ya itu, karena saya alpha girl, saya nggak akan menyerah!"
"Oke."
"..."
"However, info aja ya Rhyzoma, di next project, kayaknya saya bakal butuh extra assistant dan—"
"Om nawarin saya nih ceritanya?" Ryza ge-er.
"Iya. Kalau kamu berminat. Walau pengerjaan projectnya nggak akan di Jakarta. Kita bakal ke Pulau Muna."
"Hah, di mana tuh?"
"Sulawesi Tenggara."
"Oh, masih di Indonesia juga?"
Wirya mengangguk. "Pantainya cantik banget, by the way."
"Pengen sih, tapi nggak ah, saya nggak mau KKN."
"Korupsi, Kolusi, Nepotisme, maksud kamu?"
"Nggak. Kerja, kerja, ngebaper."
"Kenapa harus baper?" Wirya memiringkan wajah.
"Kalau bosnya secakep Om, ya nggak mungkin saya nggak baper!" Ryza mendengus. "Udah deh, intinya cita-cita saya adalah menjadi alpha girl!"
"Sip." Wirya manggut-manggut saja sembari mengacungkan jempol. "Semoga cita-cita kamu menjadi alpha girl bisa segera terwujud."
"Om nih supportive banget. Saya suka." Ryza menyuapkan segulung besar mi instan ke mulutnya. "Tapi Om, jujur deh, kayaknya sejauh ini tuh saya bermasalah mulu di perkara interview. Padahal saya udah dandan cantik, udah mencoba terlihat professional, terus kalau ngomong coba ada english-englishnya gitu kan biar kayak anak Jaksel yang gaul abieeeeesss. Eh, malah nggak keterima."
"..."
"Kurang saya tuh apa, Om?"
Wirya berpikir sebentar. "Sebenarnya, ketika interview, kamu harus terlihat yakin, tegas dan memang mau kerja di tempat tersebut sih. Kamu juga harus yakin dan paham, sebagai calon pegawai, apa yang kira-kira bisa kamu offer kalau kamu kerja di sana. Jadi bukan sebatas terlihat cantik doang."
"Gimana tuh biar terlihat yakin dan tegas, Om?"
"Alpha girl masa nggak tau?" Wirya menggoda sedikit, terdengar separuh bercanda.
"Saya nih alpha girl yang baru netas, Om. Masih alpha girl versi anak bawang." Ryza ngeles.
"Saya mau tau deh, apa aja yang kamu lakukan ketika interview kerja."
"Jawab pertanyaan."
"Selain itu?"
"Bernapas."
Wirya meringis. "Maksud saya, begitu kamu masuk ruangan, apa kamu langsung nyapa interviewer kamu atau—"
"Langsung nyapa, Om."
"Gimana nyapanya?"
"Yo, what's up, bro, balik lagi dengan gue di channel Youtube—" melihat ekspresi takjub di wajah Wirya, tawa keras Ryza langsung pecah. "Bercanda, Om. Udah gila kali kalau saya begitu. Saya sapa kayak biasa aja, macem selamat pagi, Pak, gitu. Nggak mungkin juga kan interviewernya saya sapa pake 'horas, Bah!', nanti dia kaget."
"Terus?"
"Saya duduk."
"Duduknya ketika udah disuruh atau belum?"
"Hah, emang harus nunggu disuruh dulu?"
"Ada beberapa interviewer yang nilai kesopanan dan attitude kamu dengan melihat, kamu duduk sebelum disuruh atau setelah disuruh."
"Idih, amit-amit, senioritas macam apa itu?!" Ryza bergidik.
"Persepsi orang kan beda-beda, Rhyzoma." Wirya memberi pengertian. "Jadi sekarang tau ya, kalau bisa jangan duduk dulu sampai kamu disuruh duduk."
"Oke sip." Ryza mengiakan, terus menyuap lagi mi goreng kornetnya. "Ada saran lagi?"
"Ketika jabat tangan sama interviewnya, usahain genggaman kamu mantap dan ada eye contact. Itu nunjukkin kalau kamu pede dan yakin sama diri kamu sendiri."
"Kalau interviewernya baper karena ada eye contact, gimana tuh, Om?"
"Mereka nggak akan baper, Ryza. Kan professional."
"Genggaman yang mantap tuh kayak gimana, Om?"
"Yang penuh keyakinan, yang firm."
"Gimana tuh?"
"Nih, saya contohin." Wirya mengulurkan tangannya. "Mana tangan kamu?"
"Ini, Om."
"Jabat tangan saya."
"Oke." Ryza meraih tangan Wirya.
"Begini—" Wirya menjabat tangan Ryza dengan firm, sembari menatap perempuan di depannya tepat di mata. "—gitu."
"Waduh."
"Kenapa waduh?"
"Barusan itu Om ganteng banget."
"..."
"Saya baper dikit nggak apa-apa lah ya?"
"..."
"Kan saya bukan professional. Hehe."
"... Rhyzoma,"
"... ya, Om?"
"Saya juga bukan professional."
*
Menjelang siang, Jenar dan Rei membawa Wuje untuk berkunjung ke rumah orang tuanya Jenar.
Hyena baru ngasih tau kalau kemarin, ayahnya Jenar pergi mancing dengan beberapa temannya. Saking ambisiusnya, jadi ikan yang dipancing banyak banget. Daripada dibiarkan lama-lama dalam freezer, kakeknya Wuje memutuskan buat bikin acara bakar ikan dadakan. Jadi deh, mereka berencana makan siang di sana aja. Keinginan Wuje bertemu monyet terpaksa diundur ke esok hari—dan sepertinya, dia bakal pergi ke kebun binatang bareng Rossa, karena kedua orang tuanya mesti ke rumah sakit untuk memastikan keadaan ayahnya Rei.
Nggak jauh beda kayak Jenar, ayahnya juga punya halaman belakang yang cukup luas, meski tanpa hutan mini serimbun halaman belakang rumah Jenar.
Rei rasa, itu selera turunan deh. Ada banyak kesamaan preferensi antara Jenar dengan ayahnya, selain tampilan muka yang memang mirip. Kalau sudah lihat ayahnya Jenar, Jenar dan Wuje di satu tempat, rasanya kayak lihat satu orang yang sama di tiga generasi yang berbeda.
Sementara para pria sibuk bakar-bakar ikan, Rei berada di dapur bersama ibu mertuanya dan Hyena. Hyena lagi motong-motong cabe dan bawang untuk sambal kecap pendamping ikan bakar, sedangkan Rei mempersiapkan nata de coco dan memotong jelly untuk es buah.
"Mama dengar dari Jeje, katanya ayah kamu masuk rumah sakit ya, Regina?"
Rei menoleh, agak kaget karena ibu mertuanya tiba-tiba bertanya soal ayahnya, namun dia tetap menjawab. "Oh, iya, Ma. Baru masuk kemarin sore. Aku belum sempat ke sana, mungkin besok."
"Em-hm, padahal minggu kemarin kelihatannya masih fine-fine aja." Mamanya Jenar menanggapi. "But yah, cancer is one hell of a sickness. Hari ini seseorang bisa kelihatan baik-baik aja, lalu besoknya drop drastis. Nggak bisa ditebak."
"Iya, Ma."
"Tapi jujur, waktu Jeje bilang soal kamu yang mau nemuin ayah kamu lagi, Mama agak kaget."
"..."
"You're so brave, and kind for doing that."
"Terlalu baik." Hyena mengangkat bahu. "Kalau aku jadi kamu sih, males banget ya."
"Mama nggak heran ya, soalnya dari kecil, kamu emang pendendam." Mamanya Jenar berkelakar, bikin Hyena cemberut seraya terus memotong cabe rawit. "Jangan lupa pisahin sambal kecap yang nggak dikasih cabe rawit, Arga mana kuat makan sambal kecap dengan cabe rawit sebanyak itu!"
"Iya, Mama. Nggak perlu dikasih tau. Aku tantenya, aku udah hapal banget."
Rei tertawa, terus menjawab. "To be honest, kalau dibilang terlalu baik, mungkin nggak tepat juga. Aku begitu buat ketenangan diriku sendiri. Kayak... daripada aku kepikiran, terus bingung atau ngerasa bersalah, mending aku coba berdamai sama masa lalu."
"Dan kamu ngerasa begitu, karena kamu orang baik." Mamanya Jenar menimpali. "Waktu kita jalan sama Arga kemarin, ayah kamu pendiam banget. Meski kayaknya, dia memang sayang banget sama Arga. Dia cuma bicara panjang atau senyum kalau Arga yang ngajak ngomong."
"Tapi nggak ada masalah apa-apa kan, Ma? Waktu jalan kemarin, maksudku."
"Oh, nggak kok. Kita bisa berbaur dengan baik—walau buat Mama sih agak susah ya, terutama kalau Mama inget gimana dia dulu ke kamu. Tapi ya sudahlah. Kalau kamu yang paling berhak untuk sakit hati aja bisa berjiwa besar, masa Mama mau terus-terusan menghakimi?" mamanya Jenar menyahut. "Ah ya, wait. Kayaknya cake dalam oven mesti dicek. Regina, kalau nggak repot, tolong potongin alpukatnya juga ya. Arga suka alpukat kan?"
"Oke, Ma."
Rei baru saja beralih meraih satu buah alpukat berukuran besar ketika Jenar muncul dari pintu belakang rumah yang terhubung dengan dapur.
Ketika mereka baru datang, penampilannya masih rapi banget. Tapi sekarang, lengan bajunya sudah digulung sampai sebatas pundak, menunjukkan lengan yang liat oleh otot. Rambutnya yang agak gondrong dikuncir setengah, biar nggak menutupi keningnya. Wajahnya merah, kayaknya karena cukup lama berada di bawah sinar matahari dan kena asap grill.
"Ya ampun segernyaaaaaa..." Jenar berkomentar seraya berdendang genit.
"Apanya yang seger?" Hyena mengangkat alis.
"Es buahnya."
"Idih." Hyena mencibir.
"Yang lagi motongin buahnya juga nyegerin sih." Jenar mengerling.
Rei tertawa, agak malu, soalnya lagi ada Hyena di sana. Belum lagi ibu mertuanya yang pasti bisa mendengar kata-kata Jenar barusan. "Je, tolong deh ya..."
"Loh, kenapa? Emang faktanya kamu nyegerin." Jenar bersiul.
"Kalau lo ke sini mau gombal doang, mending balik sono ke halaman belakang, bantuin Papa sama Arga bakar ikan!"
"Ye, gue justru ke sini disuruh si Bocil!" Jenar mendengus. "Papa bilang ada susu kotak banyak di kulkas. Wuje kepengen. Terus gue disuruh ngambilin—ini langsung ambil aja kali ya—oh wow, bau kuenya enak banget, Ma!"
"Siapa dulu dong yang bikin kuenya?" Mamanya Jenar menyahut dari arah depan oven besar yang ditempatkan di sisi lain dapur.
Jenar tertawa sembari membuka kulkas, terus mengeluarkan dua kotak susu dingin dari sana. Dia baru berniat kembali ke halaman belakang ketika pekik lirih Rei membuat kepalanya tertoleh cepat secara refleks. Sepertinya, Rei kurang hati-hati, jadi secara nggak sengaja, ada jarinya yang teriris sewaktu dia memotong alpukat.
"Kamu kenapa—astaga—" Jenar batal berjalan menuju pintu, malah memutar arah langkahnya. Dia meraih lengan Rei, membawanya ke depan wastafel dan mengguyur lukanya pakai air yang mengalir dari keran. Goresannya pendek, tapi cukup dalam. Makanya, darah yang keluar lumayan banyak.
"Kenapa?" Hyena ikut-ikutan cemas, soalnya respon Jenar terkesan serius banget.
"Nggak apa-apa, Kak. Cuma keiris dikit." Rei menenangkan. "Je, nggak apa-apa, cuma keiris dikit—"
"Keiris dikit apaan? Kamu berdarah!"
"Iya, tapi please, jangan lebay gitu. Kak Hyena sama Mama jadi ikut-ikutan kaget, padahal keirisnya dikit banget." Rei membuang napas.
"Ini nggak lebay, oke?" Jenar berdecak, berpaling pada ibunya. "Kotak P3K masih di tempat biasa kan, Ma?"
"Masih kok."
"Obatin dulu lukanya. Lagian, mana bisa kamu lanjut motongin buah kalau lukanya belum ditutup?"
"Iya, nggak apa-apa. Lukanya dibersihin sama diobatin dulu aja." Mamanya Jenar tampak paham.
"Duh, padahal lukanya kecil..." Rei jadi agak malu, namun Jenar telah menariknya menuju ruang makan yang bersebelahan dengan dapur.
Lelaki itu menyuruhnya duduk di salah satu kursi makan. Terus dia menghilang sejenak dan kembali lagi bersama kotak P3K di tangan. Dengan amat hati-hati dan telaten, Jenar membersihkan lukanya pakai kapas berlumur alkohol.
Rei mengernyit sedikit sewaktu perih mulai menjalar.
"Perih?"
"Dikit, tapi sekarang udah nggak kok."
"Okay." Jenar beralih pada botol obat merah dan meneteskan sedikit di atas luka Rei. Saat obatnya telah meresap dan mulai mengering, baru dia membalut bagian jari Rei yang teriris menggunakan plester. "There you go."
Rei masih merasa kalau reaksi Jenar tuh berlebihan. Tapi di sisi lain, dia paham kalau itu adalah salah satu cara Jenar menunjukkan perhatiannya. Dan dia merasa harus menghargai itu.
"Thank you, Je."
"Next time, tolong hati-hati ya?"
"Mm-hm."
"Hadeh, lebay banget nih laki..." Hyena yang lewat sengaja melempar komentar jahil pada adiknya.
"Bodo amat, lebay-lebay juga yang penting sama bini gue, bukan bini orang!"
"Lah, emang situ bukan orang?"
"Lo paham konteks nggak sih, Kak?" Jenar mendelik.
Hyena ngakak, puas karena ledekannya berhasil bikin Jenar sewot. Sesaat kemudian, keriuhan di area ruang makan-dapur nggak surut begitu saja, karena terdengar suara langkah cepat Wuje yang berlari melewati pintu belakang rumah.
"Oma, Oma, Oma!!"
Seruannya kencang banget, hingga terdengar sampai ke ruang makan tempat Rei dan Jenar berada.
"Iya, Arga?"
"Ini ikannya aku yang bakar, Oma coba cicipin deh, enak apa nggak. Tapi jangan semua ya, soalnya aku mau minta Tante Hyena sama Mama cicipin juga."
"Oke."
"Oma jongkok dong, biar akunya sampe terus bisa nyuapin!"
Rei mendengar ibu mertuanya tertawa, lalu kayaknya sih, perempuan itu menuruti kemauan Wuje, soalnya nggak lama setelahnya, Wuje berceloteh lagi.
"Enak nggak?"
"Enak banget!"
"Yey! Berarti aku jago bakar ikannya!!" Wuje berseru dengan penuh bangga. "Tante Hyena sama Mama aku mana, Oma?"
"Kayaknya ada di ruang makan deh."
"Oke sip!"
Benar saja, dalam waktu singkat, Wuje telah muncul di ruang makan. "Dih, Papa kok malah ngumpet di sini sih?! Tadi kan aku minta tolong Papa untuk ambilin aku susu!!"
"Oiya, lupa."
"Itu kotak apa?! Siapa yang sakit?!" Wuje melongo ketika melihat kotak P3K di atas meja makan.
"Tadi Mama luka. Tapi dikit doang kok. Udah diobatin Papa." Rei memberitahu.
"MANA YANG LUKA!!? MAMA LUKA DI MANA?!"
Oh ya, Rei sempat lupa kalau Wuje tuh bisa jauh lebih dramatis daripada Jenar.
"Di jari, Sayang. Tapi udah nggak apa-apa. Tuh lihat..." Rei menunjukkan jarinya yang terbalut plester pada Wuje.
"Sakit, Ma?"
"Sedikit doang, kok."
"Mau aku doain nggak lukanya, biar cepet sembuh?"
Rei terkekeh, agak geli tapi di saat yang sama, merasa tersentuh juga. "Boleh."
Wuje mendekat bersama mangkuk berisi potongan ikan bakar yang dia bawa. Dia menunduk sedikit ketika tiba di dekat Rei. Matanya terpejam sewaktu dia berdoa dengan serius, yang lalu ditutup dengan mencium sekilas jemari Rei yang terluka.
Tingkah-lakunya persis seperti apa yang kerap Rei lakukan buat menghibur Wuje kalau anak itu lagi sakit atau lagi luka. Rei bakal berdoa, terus mengecup bagian yang sakit. Memang lebih ke sugesti sih, namun Wuje percaya banget, kalau lukanya jadi nggak sakit lagi dan lebih cepat sembuh kalau sudah didoain dan dikecup mamanya.
"Udah, Ma."
"Makasih ya, Sayang."
Wuje mengangguk, terus teringat pada potongan ikan bakar di mangkuk yang dia pegang. "Mama, cobain deh ikannya! Ini aku yang bakar! Tadi diajarin sama Opa, tapi yang kipas-kipasin aku loh!"
"Mm-hm, mana coba—" Rei ganti berjongkok di depan Wuje biar tinggi mereka sejajar, terus membuka mulut, menerima potongan ikan tanpa tulang yang Wuje suapkan.
"Enak nggak, Ma?"
"Enak banget." Rei mengacungkan jempol.
Wuje melirik Jenar, tampak agak songong. "Enakan mana, ikan bakar aku apa ikan bakar Papa?"
"Ikan bakar kamu."
"Idih." Jenar mencibir.
"Papa nggak usah idih-idih." Wuje menjulurkan lidahnya pada Jenar. "Papa mau coba juga nggak nih, ikan bakar yang kata Mama lebih enak dari ikan bakar Papa?"
Jenar ikut-ikutan bangun dari kursi makan untuk berjongkok di depan Wuje, tepat di sebelah Rei.
"Mana, suapin."
"Nih, aaa—PAPA!! PAPA YANG DIMAKAN IKANNYA AJA DONG, MASA TANGAN AKU IKUT-IKUTAN DI-HAP?!!! PAPA!!!"
*
Akhirnya, setelah tetunda sehari, keinginan Wuje bertemu monyet pun bisa terealisasi.
Dia pergi ke kebun binatang bersama Rossa dan Jaka sih, Kedua orang tuanya nggak ikut, karena ada urusan lain yang mesti diselesaikan. Wuje happy-happy saja, soalnya dia juga sangat dekat sama Rossa dan nggak ada masalah bersikap sok akrab ke Jaka.
"Nanti jangan nakal ya. Nurut sama Om Jaka dan Tante Ocha. Oke?"
Wuje yang sudah mengenakan cap warna kuning—tadinya mau topi fedora kayak Pria Bertopi Kuning, tapi ternyata Wuje nggak punya topi jenis itu—langsung menghormat sigap. "Siap, Mama!"
"Oke." Rei memperbaiki letak cap di atas kepala Wuje, kemudian menepuk kedua bahu anaknya pelan. "Have fun ya, Sayang."
"Siap, Mama!!"
Terus begitu deh, tak lama usai Jaka sama Rossa tiba, mereka langsung berkendara menuju kebun binatang. Jaka yang menyetir. Rossa duduk di sampingnya. Sedangkan Wuje duduk di car seatnya yang ditempatkan di jok belakang, lengkap dengan sabuk pengaman yang telah terpasang rapi.
"Om Jaka,"
"... ya?" Jaka melirik ke Wuje melalui rear-view mirror.
"Kenapa monyet makannya pisang?"
Jaka tertawa kecil. "Soalnya dia suka pisang."
"Kenapa sukanya pisang? Kenapa nggak es krim? Kenapa nggak macarons? Kenapa nggak cokelat?"
Waduh. Jaka langsung mikir. "Hng..."
Rossa yang sudah hapal banget sama rasa penasaran Wuje yang sering tumpah-tumpah hingga bikin orang dewasa di sekitarnya memeras otak pun tertawa.
"Mungkin karena di alam bebas, makanan yang paling monyet suka tuh pisang, Argan. Kan di hutan nggak ada es krim, nggak ada macarons dan nggak ada cokelat."
Wuje manggut-manggut. "Benar juga ya..."
"Phew." Jaka mengembuskan napas lega. "Anak kecil tuh emang kalau udah kepo, bisa bikin kaget ya."
"Aku bukan anak kecil, Om Jaka. Tahun depan aku masuk SD!" Wuje membantah.
"Waduh, ternyata kedengaran ya sama yang di belakang." Jaka meledek.
"Iya dong, kan aku ada telinga! Tapi kalau Om mau ngomong sama Tante Ocha, pake bahasa Inggris aja. Aku belum mulai les Kumon, jadi belum ngerti bahasa Inggris. Papa sama Mama kalau mau rahasia-rahasiaan dari aku, pasti ngomongnya pakai bahasa Inggris." Wuje nyerocos. "Eh ya, Tante Ocha kenapa sekarang ngajak jalan-jalannya bareng Om Jaka?"
"..."
"Biasanya sama Om Wirya. Tante Ocha lagi musuhan ya sama Om Wirya?"
"Hm..."
"Om Wirya nakal ya, makanya sekarang Tante Ocha mainnya sama Om Jaka?"
Rossa tertawa renyah. "Tante Ocha udah putus dari Om Wirya, Argan."
"Putus tuh apa ya?"
"... hm, putus tuh—" Rossa bingung sejenak, sibuk mencari padanan kata yang bisa dipahami Wuje.
"Marahan, terus berpisah." Jaka memberitahu.
"Berarti aku sama Kwinsa putus tiap hari dong?!" Wuje tercekat. "Tapi kalau baikan lagi, nggak jadi putus dong? Kayak Mama kalau lagi nakal ke Papa atau Papa lagi nakal ke Mama, terus mereka bobonya beda kamar. Itu berarti putus? Tapi kan habis itu Mama sama Papa maaf-maafan lagi—duh, gimana sih? Aku pusing." Wuje memegangi kepalanya sendiri.
"Jadi sebelumnya, Tante Ocha sama Om Wirya kan pacaran ya. Argan tau nggak pacaran tuh apa?"
"Tau." Wuje mengangguk. "Kayak Papa sama Mama, tapi nggak pake cincin."
Rossa mengangguk. "Terus, Tante Ocha sama Om Wirya nggak pacaran lagi. Bukan marahan atau saling benci. Cuma, ya emang udah nggak pacaran lagi. Jadinya temenan."
"Kayak aku sama Kwinsa ya? Aku sama Kwinsa kan temenan. Bukan pacaran."
"Iya."
"Terus sekarang Tante Ocha pacarannya sama Om Jaka?"
"Hng..."
Nggak ada satu pun dari Rossa dan Jaka yang membantah. Mereka malah saling pandang selama sepersekian detik, sebelum pada akhirnya sama-sama salah tingkah. Keduanya kompak buang muka ke arah yang berbeda, menyembunyikan wajah mereka yang kini terasa panas.
"Om Jaka sama Tante Ocha diem aja, berarti iya." Wuje mengusap dagunya.
"Hehe, maunya Om Jaka sih begitu."
"Berarti pacaran yah?"
"Nggak, Arga. Kalau mau pacaran, dua-duanya harus setuju buat pacaran. Bukan cuma salah satu."
"Oh, berarti Tante Ocha nggak mau pacaran sama Om Jaka?"
"Argan, pengen stik cokelat nggak sih? Tadi Tante Ocha sempat beli—"
"Orang gede tuh suka gitu ya, kalau aku lagi nanya terus mereka nggak mau jawab, pasti akunya mau dibikin lupa." Wuje geleng-geleng kepala. "Tapi nggak apa-apa deh, soalnya aku juga pengen mam stik cokelat. Hehe."
*
Acara Wuje jalan-jalan ke kebun binatang berlangsung lancar tanpa hambatan.
Meski masih lajang, tapi Rossa sudah dekat banget sama Wuje sejak bertahun-tahun lalu—lebih tepatnya, kedekatan mereka mulai terjalin ketika Rossa datang ke acara perayaaan ulang tahun Wuje yang kedua. Sedangkan Jaka memang pandai membawa diri di sekitar anak kecil. Jadi deh, Wuje nggak merasa canggung sedikit pun, terlihat nyaman-nyaman saja dengan Jaka dan Rossa yang mengantarnya menuju kandang monyet.
Mereka bergandengan tangan sepanjang jalan ke kandang monyet. Rossa memegang tangan Wuje yang kiri, sedangkan Jaka memegang tangan Wuje yang kanan. Khas anak kecil, saat berjalan, Wuje mengayun kedua tangannya.
Dari jauh, mereka kelihatan kayak keluarga kecil yang bahagia.
Sesampainya di kandang monyet, sempat terjadi insiden. Tadinya, Wuje kepingin ngasih makan monyetnya. Tapi ternyata, pihak manajemen kebun binatang nggak mengizinkan satwa diberi makan oleh pengunjung. Alhasil, Wuje hanya bisa mepet jeruji sambil teriak-teriak.
"George! George! Aku bawa pisang, tapi katanya aku nggak boleh kasih ke kamu!! Maafin ya, George!!"
"George?" Rossa mengerutkan dahi.
"Namanya George, Tante. Yang itu tuh—" Wuje menunjuk satu monyet yang kini menatap ke arahnya. "George suka pisang."
Jaka terkekeh, sibuk mendokumentasikan keuwuan Wuje dalam bentuk video menggunakan handphonenya. Gayanya sudah persis bapak-bapak yang lagi antusias melihat kelucuan tumbuh-kembang si kecil.
Monyet yang awalnya hanya melihat Wuje akhirnya tertarik mendekat, berbeda dengan monyet-monyet lainnya yang tampak seperti menjaga jarak dari para pengunjung. Si George menghampiri Wuje yang kini lagi sibuk menunggu Rossa membukakan satu kemasan stik cokelat untuknya.
"Nih," Rossa menyodorkan stik cokelat yang sudah dibuka dari plastik kemasannya.
"Makasih ya, Tante." Wuje tersenyum lebar sembari menerima stik cokelat dari Rossa.
Wuje baru saja mau menggigit stik cokelatnya sewaktu si monyet yang telah berada di dekat jeruji mengulurkan tangan melewati jeruji, terus menyambar stik cokelat di tangan Wuje.
Wuje mengerjap, melongo, sementara si George melangkah mundur sambil mengendus-endus stik cokelat yang dicurinya dari Wuje.
"George!!" Wuje berseru nggak percaya, kayak baru saja dikhianati. "George, kenapa kamu ambil stik cokelat aku!!"
"Kenapa—astaga, tapi kamu nggak apa-apa kan?" Rossa jadi cemas, sontak memeriksa pipi dan tangan Wuje, takutnya luka karena mungkin kena goresan cakar si monyet atau sejenisnya.
Wuje cemberut. "George ambil stik cokelat aku tapi nggak bilang-bilang!!"
Jaka berhenti merekam, ikutan mendekat. "Ada yang luka?"
"Om!" Wuje menoleh ke Jaka, menengadah dengan mata yang kini telah berkaca-kaca. "George ambil stik cokelat aku! Harusnya kalau kepengen, George bilang dong!! Jangan main ambil aja!!"
"Mungkin George belum diajarin sama Papa-Mamanya kalau nggak boleh main ambil makanan orang lain, Arga." Jaka berusaha menghibur.
"George nakal, padahal aku ke sini mau ketemu dia!" Wuje cemberut. Wajahnya memerah, terus perlahan, air matanya berjatuhan. "George nakal!"
"Waduh..." Rossa melongo melihat Wuje yang mulai menangis.
Jaka bergerak cepat, buru-buru mengantungi handphonenya, terus berjongkok di depan Wuje biar tatapan mereka bisa sejajar. Lelaki itu menghapus air mata di pipi Wuje.
"Nggak apa-apa. George, George," Jaka memanggil si monyet yang tentu saja nggak paham apa maksudnya. "George, sini! Minta maaf dulu ke Arga!"
Bukannya nurut, George malah melipir kabur untuk bergabung sama kawanannya.
Wuje makin sedih, merasa dikhianati oleh ekspektasinya. Jaka segera memeluk anak itu, yang bikin Wuje balik memeluknya dan menjatuhkan wajah di pundaknya.
Usai kejadian itu, Wuje jadi lebih gloomy. Maunya digendong terus. Untungnya, Jaka nggak keberatan. Dia berusaha menghibur Wuje sampai anaknya nggak terlalu bete lagi. Mereka sempat berkeliling lebih jauh untuk melihat ular dan aneka reptil, sebelum akhirnya Wuje yang kelelahan jatuh tertidur di gendongannya Jaka.
"Berat nggak? Kalau lo capek, gue aja yang gendong." Rossa menawarkan.
"Nggak kok." Jaka menyahut.
"Abis ini maunya ke mana? Mampir bakery langganan gue dulu kali ya? Sekalian beli macarons buat Argan."
"Boleh."
"Eh, tapi kita belum take foto bertiga loh dari tadi." Rossa berseru, baru teringat. Dari awal mereka tiba di kebun binatang, mereka memang sudah mengambil banyak foto dan video. Tapi nggak pernah benar-benar komplit bertiga dalam satu frame. Seringnya sih foto Wuje doang, atau foto Wuje bersama Jaka atau foto Wuje bersama Rossa.
"Oh iya, ya? Tapi Arga-nya udah tidur. Mana kayaknya nyenyak banget bobonya." Jaka menunduk sedikit untuk melihat wajah Wuje yang lagi terlelap. Pipi gembil anak itu melekat ke bahunya.
"Nggak apa-apa, biarin aja dia tidur. Kan yang penting ada foto bertiga." Rossa berkata, terus sambungnya. "Oke, bentar, aku minta tolong orang untuk fotoin kita—"
Rossa meminta tolong pada orang yang kebetulan lagi lewat di dekat mereka. Orang itu setuju-setuju saja mengambilkan foto. Jaka tetap berdiri sambil menggendong Wuje yang menyandarkan kepala dengan pasrah di pundaknya. Kedua lengan mungilnya berada di sekitar leher Jaka. Rossa buru-buru berpose.
"Kak, kayaknya bagus kalau rada mepet lagi deh," orang asing yang bersedia mengambilkan foto mereka tiba-tiba berkata.
"Oh—hng—" Jaka tercekat, lalu pipinya merona.
Rossa mengernyit, terus ujarnya, "Begini?" seraya meraih salah satu lengan Jaka, separuh merangkulnya hingga jarak diantara mereka benar-benar nyaris lenyap.
"Iya, Kak."
"JK," Rossa berbisik lirih sembari menatap dan tersenyum ke arah kamera.
"... ya?" Jaka menoleh ke Rossa yang nggak lagi menatap ke arahnya.
"Jangan tegang. Senyum."
"Oh—hng—iya." Jaka beralih lagi, menatap ke kamera dan saat dia menarik senyum manis, dia bisa merasakan perlahan, Rossa menyandarkan kepala ke salah satu pundaknya yang tidak disandari Wuje.
Hatinya terasa nyaris meledak seketika.
*
Keesokan harinya, usai melepas Wuje yang semangat banget pergi ke kebun binatang bareng Rossa dan Jaka, Rei dan Jenar bertolak ke rumah sakit.
Rencananya, mereka bukan hanya membesuk, tapi juga mendengarkan keterangan lebih lanjut dari dokter yang telah memantau perkembangan kesehatan ayahnya Rei selama satu bulan belakangan. Melihat dari menurunnya kondisi ayahnya yang mengharuskan lelaki itu berada di rumah sakit, juga dokter yang ingin bicara dengannya, Rei mempersiapkan diri buat mendengarkan yang terburuk.
Tapi nyatanya, dia tak benar-benar siap ketika serentetan keterangan meluncur dari mulut dokter.
"Melihat dari penurunan kondisi yang terjadi pasca kemoterapi dan pertimbangan usia pasien, saya menyarankan pasien untuk mencoba metode terapi target. Kemoterapi bersifat mengeliminasi semua sel, baik yang terkena kanker maupun yang sehat, sehingga efek sampingnya cukup terasa. Sedangkan terapi target hanya menyerang sel kanker atau sel yang mengalami pembelahan tidak terkendali. Sebelumnya, akan diperlukan pemeriksaan profil genetik untuk menentukan obat yang sesuai. Sudah ada rumah sakit yang mampu melakukannya di Indonesia, tapi kalau dari opini pribadi saya, saya lebih menyarankan untuk meneruskan pengobatan di Singapura atau Penang."
Selama sejenak, Rei terperangah. Dia butuh waktu untuk memproses segalanya. Untungnya, Jenar yang berada di sampingnya cepat menguasai situasi. Lelaki itu yang menjawab keterangan dokter dengan ucapan terimakasih, berikut kata-kata kalau keluarga akan mempertimbangkan opsi-opsi yang bisa diambil.
Sehabis itu, mereka dipersilakkan keluar dari ruangan dan menemui ayahnya Rei yang berada di salah satu kamar perawatan.
"Regina, you okay?" Jenar bertanya sambil mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Rei.
Rei terdiam sebentar, terus mengangguk. "Aku... cuma kaget."
"Nggak apa-apa. Wajar kok."
Rei menelan saliva.
"Mau ketemu sama Papa kamu sekarang?"
Rei mengangguk. "Lebih cepat lebih baik. Lagian, aku juga perlu ngasih info dan opsi yang dianjurkan dokter, kan?"
"Mau ngomong berdua aja apa aku temenin?"
"Temenin. Please?"
"As you wish, Regina."
Suster yang Rei pilihkan untuk menemani dan mengurus ayahnya masih berada di dalam ruangan perawatan ketika Rei tiba. Mereka berdua sama-sama diam. Ayahnya Rei sedang duduk dengan kaki diluruskan di atas ranjang perawatan. Matanya menatap ke luar jendela.
Rei menyapa suster tersebut dengan ramah, lalu secara sopan, meminta suster itu untuk meninggalkan mereka bertiga saja di dalam ruang perawatan.
Senyap sebentar, hingga ayahnya Rei memecah kesunyian menggunakan tanya.
"Arga nggak ikut ya?"
"Anaknya lagi kepingin jalan-jalan ke kebun binatang. Tapi saya akan telepon video ke Suster Anna nanti sore." Rei memberitahu.
Ayahnya tampak agak kecewa. "Oh... oke..."
"Saya mau ngomong, sekaligus menyampaikan pendapat dokter."
"Dari wajah kamu, saya tebak ada kabar buruk?"
Rei menyahut gamang. "Mungkin iya. Tapi masih ada harapan."
"Saya nggak expect hidup lama. Saya kan sudah bilang sebelumnya, saya cuma mau dikasih kesempatan ketemu Arga. Itu aja."
"Terus mau apa? Langsung nyerah?"
"..."
"Mau gimana pun juga, saya nggak bisa biarin ayah saya mati gitu aja tanpa mengusahakan apa-apa." Rei menggigit bibirnya, benci karena suaranya mulai bergetar. "Seenggaknya, jangan sepasrah itu. Saya nggak mau nantinya bakal ada rasa bersalah yang terus mengganggu saya."
Lelaki itu menatap Rei sejenak, terus menghela napas panjang. "Oke. Apa kata dokter?"
"Metode kemoterapi dianggap punya efek samping yang terlalu harsh, jadi dokter menyarankan nyoba metode terapi target."
"Oke. Terus?"
"Personally, dokter nyaranin untuk lanjutin pengobatan di Singapura atau Penang."
Ayahnya Rei sontak membantah tegas. "No."
"Bukan berarti untuk stay di sana secara permanen, atau dalam waktu yang lama." Rei membantah. "Kamu hanya akan ke sana dalam setiap periode waktu, untuk pengecekan, dan untuk lanjut terapi. Mostly, pengobatan bakal diberikan dalam bentuk obat. Itu yang saya tau dari dokter."
"Kalau saya pergi, saya akan jauh dari Arga." Ayahnya Rei membalas. "Besides, you don't have to do this."
"I am not doing this for you. I am doing this for me." Rei menyergah, untuk kesekian kali, mereguk salivanya. "Kalau memungkinkan, saya sama Arga bisa aja ikut mengantar—"
Jenar yang sedari tadi diam sontak membantah cepat. "No."
Rei menoleh pada suaminya. "Je—"
"You are not flying anywhere."
"Jenar—"
Jenar merasa kata-katanya agak salah, jadi dia buru-buru mengoreksi. "Nggak dalam waktu dekat ini, maksudku."
"Kenapa?"
Jenar menghela napas panjang. Dia punya kecurigaan akan sesuatu, tapi dia merasa nggak akan bijak kalau dia langsung menyuarakan kecurigaan tersebut tanpa pikir panjang. Bukan karena dia egois, namun karena dia khawatir kalau dia salah bertindak, dia cuma akan bikin Rei sedih atau malah overthinking.
Jenar nggak menginginkan itu terjadi.
"Nggak apa-apa."
"Kalau saya harus memilih mati di negara orang atau di sini tapi bisa tetap dekat sama cucu saya, saya memilih tetap di sini." Ayahnya Rei menegaskan.
"For God's sake, kenapa harus egois banget sih?!" Rei mulai emosi.
"Bukan egois. Tapi main concern saya memang bukan lagi hidup sepanjang-panjangnya. Saya—" Lelaki itu mengangkat salah satu alisnya, menatap Rei yang kini wajahnya memerah. "—bisa kita bicara soal ini lain kali? Ketika kita sama-sama nggak lagi emosi dan bisa ngomong pakai kepala dingin? Kamu kelihatan nggak baik-baik aja."
Rei nggak menyahut, justru beranjak dari duduknya dan melangkah keluar ruang perawatan tanpa mengatakan apa-apa. Jenar mengikuti keluar ruangan, mengejar Rei yang berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Dia meraih lengan Rei.
"Regina, Gina, slow down—Regina—" Jenar memaksa Rei berhenti berjalan dan ganti menghadapnya agar dia bisa menatap perempuan itu tepat di mata. "Regina, it's okay. Jangan emosi dulu. Tarik napas pelan-pelan, right, just like that. Buang pelan-pelan—" Jenar mengulang instruksinya, tampak lebih lega ketika Rei nggak lagi setegang sebelumnya. "—feeling better?"
Rei mengangguk. "Iya. Thanks."
"It's okay. Kamu dan dia sama-sama emosi tadi." Jenar menenangkan. "Nggak apa-apa. Aku bakal coba tanya-tanya kenalanku, terutama yang emang dokter atau berpengalaman sama situasi kayak gini. Mungkin mereka bisa sharing atau kasih pertimbangan opsi lain. Untuk saat ini, benar kata Papa kamu, kayaknya kalian berdua harus sama-sama tenangin diri dulu."
"Tapi—"
"Regina, diskusi pakai kepala panas nggak akan ada titik temunya. Kita pernah begitu. Dan ujung-ujungnya bukannya dapat solusi, malah suasananya jadi makin nggak enak kan?"
Rei mengangguk.
"Nggak apa-apa. Toh untuk sekarang, ada suster yang jagain Papa kamu. You have to take care of yourself too. Okay?"
"Okay."
"Sekarang mau ke mana? Aku temenin."
"Pulang aja."
"Oke. Kita pulang ya?"
"Iya."
*
Sepanjang perjalanan dari rumah sakit ke rumah, Rei lebih banyak diam, tertenggelamkan oleh pikirannya sendiri.
Jenar sengaja memberi perempuan itu ruang, nggak mau mendesak sebab situasi yang sekarang sedang mereka hadapi pasti cukup menguras emosi buat Rei.
Sekalipun Rei sudah bilang berkali-kali jika dia melakukan ini untuk ketenangan batinnya sendiri, tapi Jenar tahu, jauh di dalam hatinya, Rei masih punya kepedulian untuk ayahnya. Meski hanya sedikit, dan sekalipun Rei nggak benar-benar mengakuinya secara terang-terangan.
Wuje masih jalan ke kebun binatang sama Rossa dan Jaka, jadi praktis di rumah hanya ada mereka berdua. Sehabis menyantap sandwich hasil Go-food sebagai menu makan siang—karena kata Rei, dia nggak selera makan makanan berat, mereka tidur siang bareng.
Nggak di kamar mereka, melainkan di kamarnya Wuje.
Ukuran kasur Wuje yang lebih kecil daripada ranjang di kamar mereka membuat mereka jadi lebih berdekatan hingga bisa dibilang separuh berpelukan. Jenis kedekatan fisik yang Jenar sukai. Nggak ada niat terselubung. Tanpa sentuhan napsu. Hanya kulit saling bersentuhan dengan kulit, dan ritme debar jantung bertemu ritme debar jantung. Jenar selalu suka merasakan Rei bernapas dalam pelukannya setiap kali dia merangkul perempuan itu.
Relax dan santai, seakan-akan dunia bersedia melambat selama sesaat, hanya untuk mereka.
Jenar baru terbangun menjelang sore, ketika telapak tangan Rei yang terasa dingin menyentuh dahinya.
"Jenar, badan kamu rada anget deh."
"Hm?" Jenar mengerang samar dengan suara parau khas orang baru bangun tidur. "... hm?"
"Badan kamu rada anget. Kayaknya kamu nggak enak badan. Pusing nggak?"
"... dikit."
"Aku buat—eh pesen aja kali ya, soalnya kalau bikin takutnya kelamaan. Makan bubur deh ya? Habis itu minum parasetamol. Kalau suhunya nggak turun juga, nanti malam kita ke dokter. Ya?"
"Mm-hm." Jenar hanya bergumam.
Rei meraih handphonenya untuk memesan bubur dari restoran langganan. Jarak restoran itu nggak terlalu jauh dari rumah mereka, jadi dia nggak perlu menunggu terlalu lama. Begitu pesanan makanannya tiba, Rei beranjak, meninggalkan Jenar yang masih terbaring di kasur. Setelahnya, dia balik lagi bersama bubur yang telah ditempatkan ke mangkuk, segelas air dan satu strip paracetamol.
"Je, bangun. Makan dulu."
"... nggak laper, Gina."
"Nah kan, kayaknya sakit beneran." Rei berdecak. "Harus makan. Mumpung buburnya masih anget juga. Aku suapin ya?"
Jenar membuka matanya yang sedari tadi lebih banyak terpejam, menatap Rei sayu. "Disuapin?"
"Iya."
"Yaudah mau."
"Oke, jangan tiduran. Duduk, biar nggak keselek."
Agak malas-malasan, Jenar menukar posisi berbaringnya dengan duduk. Sebenarnya, saat bangun pagi hari ini, Jenar memang merasa agak lemas sih. Tapi ya dia nggak berpikir macam-macam. Mungkin cuma karena dia kurang tidur karena semalam begadang nonton siaran pertandingan bola.
Walau yah, sekarang, badannya memang terasa jauh lebih lemas. Sepertinya dia kecapekan. Ditambah kurang tidur. Klop sudah.
"Pusing nggak?"
"Dikit."
"Kok senyam-senyum?"
"Udah lama nggak disuapin kamu." Jenar nyengir. "Kalau kayak gini, jadi pengen sakit tiap hari deh."
"Ngomongnya jangan gitu, dong! Masa kepengennya sakit?"
"Kan disuapin."
"Still, nggak boleh ngomong aneh-aneh. Omongan adalah doa."
"Iya, Regina. Maaf."
"Suapan terakhir, oke?" Rei mengisi sendok dengan sisa bubur dalam mangkuk, terlihat lega karena akhirnya Jenar menghabiskan makanannya.
"Oke!" Jenar menerima suapan bubur dari Rei dengan penuh antusias. Kalau bukan karena suhu tubuhnya yang agak hangat dan wajahnya yang lebih pucat dari biasanya, sepertinya Rei nggak akan percaya kalau Jenar lagi nggak enak badan.
Tapi yah, tumbenan juga?
Soalnya setahu Rei, Jenar tuh punya imun tubuh yang lumayan bandel. Pernah suatu kali, Wuje pilek karena bandel jajan es sembarangan di luar sekolah. Besoknya, Rei langsung ketularan. Cuma Jenar yang nggak tertular, padahal lelaki itu tetap menjalankan rutinitas hariannya mencium pipi Rei setiap mau berangkat dan pulang kerja.
Usai memastikan Jenar minum obat, Rei mengukur suhu tubuhnya. Demamnya masih tergolong ringan, bukan demam tinggi yang mengkhawatirkan. Rei berharap nanti malam, demamnya Jenar sudah turun.
"Mau cuci kepala?"
Jenar menggeleng.
"Maunya apa?"
"Cuddling."
"Yailah."
"Nggak boleh?"
"Boleh."
Jadi deh, mereka kelonan lagi. Masih di atas kasur Wuje, disaksikan oleh boneka kelinci yang telah jadi teman tidur Wuje dari bayi. Meongnya Wuje berada di ruangan lain, yang memang Jenar khususkan buat menampung si kucing ketika Wuje lagi nggak berada di rumah. Kadang, Jenar melepas kucing oren tersebut untuk main-main sendiri di halaman belakang.
"Je,"
"Iya, Gina?" Jenar balik bertanya sambil mengusap lengan atas Rei menggunakan telapak tangannya.
"Aku masih penasaran soal reaksi kamu yang tadi."
"Reaksi yang mana?"
"Waktu di kamar perawatannya ayahku. Pas aku bilang, aku mungkin nganter dia ke Penang atau Singapura—"
"Oh... itu..."
"Kenapa aku nggak boleh terbang?"
Jenar mengembuskan napas. "Aku mau ngomong tentang sesuatu dari hari Jumat kemarin sebenarnya. Tapi sengaja aku tahan-tahan, takutnya kamu malah mikir yang aneh-aneh dan overthinking sendiri."
Rei menengadah untuk menatap Jenar, yang memicu suaminya menunduk, sehingga pandangan mata mereka bertemu.
"Apa?"
"Disclaimer dulu ya—"
Rei menepuk pelan dada Jenar, bikin Jenar pura-pura mengerang kesakitan. "Disclaimer segala, kayak apa aja!"
"Yah... aku kasih tau di awal aja, biar jadi antisipasi supaya kamu nggak overthinking yang gimana banget. Aku ngomong gini, purely kecurigaan aja. Belum pasti banget. Cuma aku mau kamu tau, bukan berarti aku mengharapkan ada anak lagi secepatnya. Aku nggak mau membebani kamu. Buat aku, yang paling penting kamu sehat dan happy."
"Hah, maksudnya apa sih?"
"Regina, bulan ini kamu belum datang bulan kan?"
Rei mengerjap. "Hah—oh!"
"Kamu muntahin omelet buatanku Jumat kemarin, padahal rasanya sama aja dengan omelet yang sebelum-sebelumnya aku bikinin buat kamu. Kemarin juga, kamu nyisihin alpukat dari es buah kamu. Padahal biasanya kamu suka-suka aja makan alpukat. Emang sih, kamu nggak gampang ketiduran kayak awal-awal hamil Wuje dulu, tapi kata Dhaka, beda bayi, biasanya beda bawaannya."
"... iya juga, sih. Tapi aku mikirnya, mungkin aja siklusku belum normal lagi abis kejadian kemarin—"
"Tapi sebelumnya kamu udah pernah datang bulan kan? Abis kejadian kemarin, maksudku."
Rei mengangguk.
"Dan fine-fine aja?"
"So far... iya sih. Terakhir aku check up juga dokternya bilang kalau aku udah baik-baik aja."
Jenar membawa salah satu telapak tangannya ke perut Rei, meletakkannya di sana. "Kalau gitu... mungkin aja, kan?"
Rei terdiam, malah menyembunyikan wajahnya ke leher Jenar.
"Aku paham, kalau mungkin sebaiknya kita nggak berekspektasi yang gimana banget dulu. Kayak... kalau kita udah excited dan ngira ini-itu, tapi ternyata sebenarnya nggak, pasti kita kecewa. Aku juga nggak mau kamu sedih, makanya aku memilih nggak bilang apa-apa dulu sampai semuanya benar-benar pasti."
"..."
"Tapi kalau kamu berniat nganter Papa kamu ke luar negeri dalam waktu dekat ini, aku nggak bisa izinin, Regina."
"..."
"Kamu paham kan maksudku? Bukan karena aku nggak suka atau mau halangin kamu anter Papa kamu."
Rei mengangguk. "Paham."
"Makasih karena udah ngerti concern aku ya." Jenar berkata.
"Terus... soal ini... maunya kamu gimana?"
"Gimana apanya?"
"Kamu mau aku tes pakai testpack atau—"
"Terserah kamu. Mau coba pakai testpack, atau tunggu sampai semuanya lebih pasti. Aku nggak akan maksa. Tapi balik lagi, aku juga nggak mau kita berekspektasi yang gimana banget, terus kalau ternyata nggak sesuai ekspektasi, kamu jadi sedih." Jenar menjawab dengan suara halus. "Sure, aku bakal sangat happy kalau ada pendatang baru di keluarga kita. Tapi kalau pun nggak, ya nggak apa-apa. Aku tetap happy. Kamu dan Arga udah cukup banget buatku."
"Kalau misalnya dugaan kamu bener gimana?"
"Berarti dia ada di dalam sana sekarang, dan lagi dengerin kita."
Rei tertawa kecil. "Dia nguping dong?"
"Iya. Dan kalau dia denger, aku cuma mau bilang... kalau bisa... terlahir jadi anak perempuan ya. Biar nggak terus-terusan aku yang dibikin cemburu di rumah ini."
Rei menarik senyum lebar, terus katanya. "Okay. Let's find out."
"Hm?"
"Kita coba cari tau pake testpack, dia beneran ada di dalam apa nggak."
"Are you sure?"
"Sure."
"Sekarang?"
Rei mengangguk. "Nggak ada testpack di rumah. Pake ojol aja kali ya, buat beliin testpack di apotek?"
"Mm-hm."
"Tapi kamu yang liatin hasilnya." Rei meringis. "Kayaknya aku terlalu deg-deg-an buat liat."
"Iya, Regina."
Terus begitu deh, Rei menggunakan jasa abang ojol buat belanja di apotek. Mereka menunggu hingga satpam cluster yang mengantarkan pesanan ke rumah mereka. Jenar masih agak lemas, tapi setelah Rei cek lagi, demamnya mulai turun. Sementara Rei memakai testpacknya di toilet, Jenar duduk menunggu di luar.
"Udah?" Jenar mengangkat alis ketika Rei keluar. Kentara banget, perempuan itu gugup.
"Udah."
"Kamu grogi banget kelihatannya."
"Iya."
Jenar mengulurkan tangannya, yang lalu diraih Rei. Lelaki itu menarik istrinya mendekat, membuat Rei berdiri di depannya yang masih duduk.
"Kan aku udah bilang, apa pun hasilnya, ya aku fine-fine aja."
Rei meringis. "But still..."
"Harus ditunggu berapa menit sih?"
"Tiga menit, mungkin? Atau lima menit?"
"Lima menit aja kali ya?" Jenar berkata dengan kedua lengan yang kini telah melingkari pinggang Rei.
"Mm-hm." Rei mengiakan, lalu menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh di kening Jenar. Terus, dia menempelkan telapak tangannya di sana. "Demamnya udah mulai turun. Nggak seanget tadi."
Jenar nggak menjawab, malah menyandarkan kepalanya di perut Rei. Rei membiarkannya, memindahkan telapak tangannya dari dahi Jenar ke kepala Jenar. Menenggelamkan jari-jarinya diantara helai rambut lelaki itu.
Tak ada kata-kata yang terlontar, seperti gestur yang mereka tunjukkan sudah cukup untuk keduanya.
"Alright, kayaknya udah lima menit deh." Jenar menegakkan punggung. "Aku yang cek nih?"
"Iya. Aku tunggu di sini."
"Oke."
Rei bergeming di tempatnya sementara Jenar berjalan melewatinya menuju kamar mandi. Rasanya, waktu berjalan sangat lambat. Dia menatap harap-harap cemas pada pintu hingga Jenar muncul lagi dari sana. Ada alat testpack terpegang di tangannya.
"Gimana?"
Jenar melangkah menghampiri Rei, lantas menariknya ke dalam pelukan erat. Pelukan besar yang membuat Rei mesti berjinjit, karena Jenar merangkulnya kelewat erat dan dengan kekuatan penuh sampai-sampai dia hampir benar-benar terangkat dari lantai.
"Je—" tanya Rei terputus oleh kecupan-kecupan yang Jenar jatuhkan di pelipisnya, juga puncak kepalanya. "—how—"
"Another baby is on the way, love."
to be continued.
***
"perkara mengirim bayi, saya lebih gercep dari sicepat."
"duh gimana ya, bukan professional."
hadeuh brur
***
a/n:
yak, begitulah adanya, cyin.
mabok gak lu sama MAMA hari ini wkwkwkwk
dah gitu aja ya selamat malam minggu
nikmatilah segala bagian yang masih penuh kebahagiaan ini.
ciao.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top