65 | dibajak ya?
Jenar tahu, perlu keberanian yang cukup besar buat Rei untuk memutuskan menghubungi ayahnya lebih dulu. Laki-laki itu, bagaimana pun, sudah menorehkan trauma yang nggak akan pernah Rei lupakan. Jenar masih ingat, seperti apa sikap Rei di awal mereka mengenal, seluruh insecurity dan rasa nggak percayanya, juga ketakutan yang diam-diam dia simpan, bahwa suatu hari nanti, dia mungkin saja kembali sendirian.
Makanya, Jenar tetap berada di dekat Rei.
Waktu Rei terlonjak kaget karena chatnya dibalas dengan telepon, Jenar meremas pundak perempuan itu pelan, memberikan semangat untuk menguatkan.
Telepon itu adalah telepon paling kaku yang pernah Rei lakukan.
Ada banyak jeda, juga hening.
Jenar tetap diam, meski salah satu tangannya tak berhenti mengusap punggung Rei. Teleponnya singkat saja. Intinya, mereka berencana ketemu di hari Senin. Tempatnya terserah Rei untuk menentukan. Rei setuju. Terus begitulah, teleponnya selesai.
"Gimana?"
"Dia... ngajak ketemu. Tempatnya terserah aku."
"Kapan?"
"Hari Senin. Mungkin pagi, sekitar jam sepuluh atau jam sebelas."
"It's okay, Sayang." Jenar menenangkan, masih mengusap punggung Rei. "It's okay. Kamu udah sangat berjiwa besar, sangat berani karena mau ketemu sama dia. Jangan takut ya? Aku bakal selalu ada untuk support kamu. Untuk jagain kamu."
Rei menatap Jenar, lalu mengangguk.
Dia nggak lagi perlu diyakinkan untuk bisa percaya.
Malam harinya, Rei nggak bisa tidur. Mungkin karena dia terlalu gelisah, terpikirkan pertemuannya dengan ayahnya di hari Senin nanti. Atau karena benaknya terlalu aktif bekerja. Jenar ikut-ikutan terjaga. Lelaki itu menyalakan lampu besar yang bikin kamar terang benderang, terus beranjak dari kasur untuk membuka salah satu laci yang berada di bawah ranjang mereka.
Waktu dia kembali naik ke kasur, ada sebuah album foto di tangannya.
Rei mengenali album itu.
Album foto itu memuat foto-foto pernikahan mereka, mulai dari foto pre-wedding yang lalu ditutup dengan foto mereka berdua bareng Wuje yang baru lahir; Rei duduk di sofa rumah sakit dengan Wuje berada di gendongannya, dan Jenar berada di sampingnya. Mereka sama-sama tersenyum ke kamera.
Dalam sekejap, mereka sudah sibuk melihat-lihat foto-foto dalam album tersebut.
"Cantik." Jenar tersenyum ketika mereka tiba pada halaman yang memuat foto-foto solo Rei. Fokus utama dari bidikan kamera dalam foto-foto itu, tentu saja adalah si pengantin perempuan. Buket bunga yang terpegang di tangannya. Sosoknya dalam balutan gaun pengantin dan wedding veil. Sepatu indah. Jemari cantik dengan kuku yang dihias. "And you smiled a lot."
"Hari itu masih jadi hari paling bahagia nomor dua buatku."
"Hari paling bahagia nomor satunya apa?"
"Waktu Arga lahir ke dunia."
"Oh, oke. Tadinya aku tebak, hari paling bahagia nomor satu tuh hari di mana kita ngobrol buat pertama kalinya. Tapi ternyata, masih dipegang Arga. Harusnya aku udah bisa nebak."
Rei menyentuh pipi Jenar dengan telapak tangan sambil tertawa. "Tolong jangan cemburu sama anak sendiri."
Jenar manyun. "Kalau kayak gini, aku tuh suka kepikiran kepingin punya anak perempuan."
"Hm?"
"Biar kamu tau, gimana rasanya diduain sama anaknya sendiri."
Rei tertawa lagi, kali ini seraya menarik tangannya dan ganti menyandarkan kepala ke bahu Jenar. Tangan Jenar bergerak, membalik halaman album fotonya.
"But seriously, Gina. Kamu cantik banget di sini."
"Berarti hari biasa nggak ya?"
"Bukan gitu. Of course, kamu selalu cantik. Tapi di hari pernikahan kita... tau nggak, aku udah susah-payah nahan nangis begitu pintu katedral dibuka dan kamu muncul. I couldn't take my eyes off of you. Kayak... semua orang di sekelilingku menghilang. Tinggal kamu doang."
"Gombal."
"Beneran." Jenar berujar, membalik fotonya lagi. "Dari semua album foto yang kita punya, album ini masih favoritku."
"Aku juga suka album ini, walau dia ada di peringkat ketiga."
"Jangan bilang kalau peringkat pertamanya album foto Wuje jaman bayi."
"Iya. Tapi sebelum kamu ngambek, mau tau nggak, album foto apa yang ada di peringkat kedua versiku?"
"Apa?"
"Album foto kamu waktu masih kecil."
"Karena aku mirip Arga?"
"Nggak dong. Arga yang mirip kamu, soalnya kamu kan lahir duluan." Rei menyergah. "Aku suka album foto kamu waktu masih kecil, karena ya... lucu aja. Nggak kebayang, anak kecil yang nangis ngambek setelah rambutnya dipotong pakai mangkok sama bapaknya kelak bakal jadi suami aku—yah, yang masih suka ngambek juga sih sampai sekarang."
"Too bad, kita nggak punya album foto kamu waktu masih kecil."
"Iya."
"Pasti cantik."
"Nggak. Sebelum puber, aku nggak ada cakep-cakepnya sama sekali."
"Ngaco. Kamu udah cantik dari dulu." Jenar mendengus. "Jangan bilang aku nggak tau soal kamu yang dulu ya! Kita udah pernah ketemu pas kamu umur empat belas!"
"Sebelumnya, kamu bahkan nggak inget kalau itu aku."
"Lupa dikit, tapi sekarang aku tau kan kalau itu kamu?! Waktu itu kamu pake masker, tapi dari mata kamu, aku udah tau kamu pasti cantik."
Rei nyengir. "Kata ibuku, dari kecil, aku nggak suka difoto."
"Kenapa?"
"Nggak suka aja." Rei mengedikkan bahu. "Papaku yang ngotot tetap ngambil foto-foto aku ketika masih kecil. Kayaknya, cuma dia yang mungkin punya album fotoku."
"Dia masih nyimpen?"
"Nggak tau. Nggak pernah berharap juga. Kamu tau kan dia benci sama aku, walau sampai sekarang, aku nggak pernah tahu alasannya apa." Rei membalas, suaranya terkesan muram. "Mungkin udah nggak ada juga. Kayak... buat apa nyimpen album foto seseorang yang kamu benci?"
"..."
"Ada masanya dia sayang sama aku. Tapi udah lama banget. Hampir nggak bisa kuingat lagi. The worst feeling ever. Hari ini, aku ngerasa disayang. Lalu besok, dia udah nggak sayang aku lagi. Makanya, salah satu harapan yang nggak pernah berhenti kubuat, doaku tiap tahun, adalah kamu sama Arga akan selalu sayang aku."
"Pasti, Gina." Jenar merangkul bahu Rei, mengusapnya pelan. "Pasti."
"Iya, tau kok."
"Seneng, kalau kamu tau."
Rei menghela napas panjang. "Hari Senin nanti, menurut kamu... dia mau ngomongin apa?"
"Apa pun itu, kurasa dia nggak akan nyakitin kamu."
"Yakin banget?"
"Soalnya, aku nggak akan biarin itu terjadi."
*
Jenar membuktikan janjinya.
Di hari Senin pagi, lelaki itu menemani Rei menuju sebuah restoran keluarga yang lumayan privat. Tempat yang sudah mereka sepakati sebagai tempat bertemu. Tadinya, Rei menolak, bilang kalau Jenar mesti ke kantor dan dia bisa ditemani sama Hyena. Tapi namanya Jenar, kalau sudah ngotot, nggak akan bisa dilawan.
Ayahnya Rei sudah tiba di sana lebih dulu. Jenar yang mengatur reservasi, jadi begitu dia sampai, salah satu pegawai restoran langsung mengantarnya ke ruangan privat yang dimaksud. Saat telah berada di depan pintu, Rei sempat berhenti berjalan sejenak untuk menarik napas.
"It's okay. I'll be with you." Jenar berbisik, menenangkan seraya mengeratkan gandengan tangannya pada jemari Rei.
Rei mengangguk, meraih pintu geser dan melangkah masuk.
Lelaki itu sedang duduk diam di kursinya sewaktu Rei dan Jenar masuk.
"Udah lama?" Rei bertanya, tetap kaku.
"Nggak juga."
"My husband will stay here, with me. I hope you don't mind."
"How can I?"
"Great." Rei membalas. "I ordered some tea. Salah satu yang paling favorit dari menu mereka."
"Anything will do."
Rei berdeham, diam-diam mengeratkan pegangan tangannya pada tangan Jenar di bawah meja.
"Jadi—"
Kata-kata Rei seperti tertahan di tenggorokan ketika dia mendapati sepasang mata milik lelaki tua itu tengah memandangnya. Sepasang mata yang sangat mirip dengan matanya sendiri. Rei menelan saliva, menarik napas dalam-dalam seraya menegaskan pada dirinya kalau dia nggak akan menunduk atau buang muka.
Dia akan menghadapi lelaki itu dengan berani, seperti yang Jenar katakan.
"Semuanya salah saya."
Rei mengerjap. "Excuse me?"
"Semuanya salah saya." Lelaki itu mengulang dengan suara lebih keras. "Semuanya karena kebodohan saya."
Rei membisu, bingung harus bilang apa.
"Kamu ingat hari itu, waktu kamu di kelas tiga Sekolah Dasar? Mungkin nggak. Bisa jadi iya. Sehari sebelum ke sekolah, kamu nggak bisa tidur karena terlalu takut pergi ke sekolah."
"Maaf, saya nggak ingat."
"Sudah sangat lama. Wajar kalau kamu nggak ingat." Lelaki tua itu mengangguk. "Tapi saya ingat. Kamu takut ke sekolah, karena besoknya, sekolah mengadakan tes golongan darah massal buat semua siswa untuk alasan kelengkapan data."
Rei mengerutkan dahi, berusaha mengingat. Memori tentang peristiwa itu amat tumpul. Sepertinya, bukan memori yang berkesan untuknya.
"Saya meyakinkan kamu kalau kamu akan baik-baik saja. Kalau tes golongan darah itu nggak semengerikan yang kamu bayangkan dan mereka bakal mengambil sedikit saja sampel darah."
Rei tak menyahut, memutuskan sepenuhnya jadi pendengar.
"Seminggu sesudah hari itu, hasil tes golongan darahnya keluar. Golongan darah kamu B."
"Hers is A." Jenar menyela cepat.
Ayahnya Rei mengangguk. "Iya. Saya tau. Tapi surat keterangan yang dikirimkan sekolah mengatakan golongan darahnya B. Mungkin sampel atau hasil tesnya tertukar. Bodohnya saya, nggak berpikir sejauh itu."
"..."
"Saat itu, hubungan saya dan ibunya Regina—" buat Rei, rasanya aneh mendengar lelaki itu menyebut namanya lagi setelah bertahun-tahun. "—hubungan saya dan ibunya sedang nggak baik. Kami nggak cukup terbuka. Responnya yang menurut saya mengecewakan bikin saya berpikir... kalau mungkin... sebelumnya dia pernah selingkuh dengan orang lain. Golongan darah saya A dan ibunya O. Nggak mungkin, out of nowhere, kami tiba-tiba punya anak yang golongan darahnya B."
Rei tercekat, menatap lelaki di depannya dengan tatapan tak percaya.
"Jika saya bisa berpikir jernih, harusnya saya mencoba mencari tahu lebih jelas. Bisa dengan bawa kamu ke rumah sakit untuk tes sendiri dan memastikan. Tapi nggak. Ego saya terlalu besar untuk terpikirkan itu. Mulai dari sana, suasana rumah makin memburuk."
"..."
"Kalau pun Regina bukan anak kamu—" Jenar memotong dengan suara geram yang sarat penekanan. "—itu nggak bisa jadi pembenaran untuk sikap buruk kamu ke dia."
"Saya tahu. Tapi... hubungan saya dan ibunya seburuk itu. Kami nggak bisa komunikasi. Saya marah karena merasa dikhianati. Dia pun marah karena merasa dituduh dan nggak dipercayai."
Rei berujar dengan wajah pahit. "So that's why you made me your punching bag for years."
Dengan berat hati, ayahnya Rei mengangguk.
Situasinya cukup triggering, hingga membuat Rei merasa dadanya sesak dan dia mulai sulit bernapas. Untungnya, sejenak kemudian pintu geser terbuka dan seorang pegawai restoran masuk bersama nampan dengan poci dan cangkir teh di atasnya.
Jenar yang telah bisa membaca keadaan menuangkan teh untuk Rei, mengusap punggung perempuan itu dengan lembut sementara Rei meneguk tehnya untuk membantunya menenangkan diri.
"Mau udahan atau mau tetap di sini?" Jenar bertanya pada Rei setelah perempuan itu lebih tenang.
Rei mengembuskan napas pelan-pelan. "It's okay. Nggak apa-apa, Je."
Jenar menuruti keinginan Rei, tetap bergeming di tempat duduknya sementara laki-laki itu bicara lagi.
"Setiap saya lihat kamu, saya seperti diingatkan berulang kali kalau saya sudah dikhianati."
"A bit funny, cause in the end, you were the one who betrayed her." Rei menyahut, mengacu pada ibunya.
"Saya tau."
"Golongan darah saya A. Dengan rhesus negatif. Sama seperti kamu." Rei menukas.
"Dan sejak kapan kamu tau soal itu?"
Rei terdiam, teringat bahwa dia sendiri baru tau jenis pasti golongan darahnya saat dia mengalami kecelakaan parah ketika masih kuliah dulu. Sebelumnya, dia nggak pernah terluka parah maupun mengikuti donor darah yang mengharuskannya tau golongan darahnya sendiri.
"Waktu kecelakaan itu. Am I right?"
Rei menghela napas panjang. "Right."
"Saya baru tau soal itu ketika dengar kalau Ivonne yang mendonorkan darahnya untuk kamu. Dan dia punya golongan darah yang sama seperti saya."
"..."
"Saya tahu, bukan tempat saya untuk meminta maaf—" Lelaki tua itu berhenti bicara kala Rei menunduk dan ada air mata menetes di pipinya. Jenar merogoh saku jaket yang dia kenakan, mengeluarkan sehelai sapu tangan yang kemudian Rei gunakan untuk mengeringkan wajahnya. "Saya paham kalau saya nggak bisa berharap untuk dimaafkan."
Rei menelan saliva, menatap ayahnya dengan mata yang basah. "Dulu, saya pernah mikir, saya mungkin nggak akan hidup sampai ngelewatin umur dua puluh tahun."
Ganti ayahnya yang kehilangan kata-kata.
"Rumah itu harusnya jadi tempat yang aman buat saya. Tapi saya malah ngerasa takut. Takut salah. Takut dibentak. Takut dipukul. Takut dengar kata-kata orang tua saya sendiri, yang sering bilang kalau lebih baik seandainya saya nggak pernah ada."
"..."
"Tau cerita tentang katak yang direbus dalam air panas?"
Lelaki itu nggak menjawab.
"Ada cerita tentang seekor katak. Kalau dia langsung dimasukkan ke dalam panci yang penuh air mendidih, dia akan langsung melompat keluar dari panci. Tapi beda kalau katak itu dimasukkan ke dalam panci berisi air, yang pelan-pelan dipanaskan di atas kompor. Katak itu nggak akan sadar, karena dia akan menyesuaikan diri sama perubahan temperatur perlahan-lahan yang terjadi di lingkungannya, sampai airnya mendidih dan katak itu nggak sadar hingga dia mati terebus."
"..."
"Kalau saya terus-terusan ada di rumah itu, lama-lama saya akan terbiasa dimaki, dibentak, dipukul, karena itu yang saya dapat setiap hari. Ketika padahal, itu nggak bisa dibilang normal sama sekali. Kalau saya nggak pergi, saya tau saya bakal mati di sana. Bukan cuma secara fisik, tapi juga mental."
"..."
"Setelah saya nggak di rumah itu lagi pun, nggak lalu semuanya tiba-tiba jadi gampang. Apa yang kamu lakukan bikin saya mempertanyakan diri saya sendiri, bikin saya ngerasa asing sama konsep di mana ada orang yang bisa benar-benar sayang sama saya. You've ruined me."
"Saya tau."
Rei menghapus tetes-tetes air mata yang kembali berjatuhan di pipinya. "Tapi itu nggak penting lagi sekarang. Kita di sini bukan untuk itu."
"Iya."
"Soal Arga, saya sama suami saya sepakat untuk ngizinin kamu ketemu sama dia, dengan beberapa syarat." Rei berujar tegas. "Pertama, kamu bisa ketemu Arga setiap weekend, asalkan Arga setuju dan bersedia tanpa paksaan untuk ketemu kamu. Kedua, untuk itu, kamu harus ngikutin program pengobatan yang dianjurkan dokter."
"Regina—"
"Itu syarat mutlak yang nggak bisa dibantah." Rei memotong, masih dengan nada tegas.
Ayahnya pun menyerah untuk menawar. "Oke."
"Kalau gitu, udah nggak ada lagi yang mesti dibicarakan kan?" Rei beranjak, menoleh ke Jenar. "Aku mau pulang, Je."
Jenar mengangguk, melangkah menuju pintu bersama Rei dengan tangan mereka yang masih bertaut.
Namun, sesaat sebelum membuka pintu, terdengar suara ayahnya Rei berkata.
"Regina,"
Rei berhenti, tapi nggak menoleh.
"Terimakasih banyak."
Tanpa menjawab, Rei menggeser pintu, lalu melenggang pergi begitu saja.
*
Sepulang dari pertemuan itu, Jenar menghabiskan sisa waktu hingga jam makan siang untuk menemani istrinya.
Rei membisu, nggak mengatakan apa-apa. Dia nggak banyak menangis, tapi tubuhnya terasa lemas. Di saat yang sama, ada beban berat yang seperti terangkat dari dada dan pundaknya. Namun, pahit itu masih menjalar.
Bertahun-tahun yang menyiksanya, semua karena sebuah kesalah-pahaman.
Rei mencoba berbesar hati seraya mengistirahatkan kepalanya di dada Jenar, sementara lelaki itu memegang dan mengusap tangannya, meyakinkan kalau dia akan selalu ada di samping Rei.
"He is so stupid."
"... hm?"
"My father."
"Iya, Regina."
"Gimana dia bisa mikir kalau aku bukan anaknya? Mataku mirip matanya. Bentuk wajahku ngikutin dia."
"Dia sendiri yang bilang, dia terlalu bodoh dan terlalu marah buat berpikir jernih." Jenar menukas. "Tapi yang terpenting, sekarang kamu tau kan, kalau itu bukan kesalahan kamu."
"..."
"Dia berhenti sayang sama kamu bukan karena kesalahan kamu, tapi kesalahannya sendiri."
",,,"
"Jadiin reminder buat kamu ya, untuk nggak pernah nyalahin diri kamu cuma karena orang lain nggak mampu sayang sama kamu."
"Jenar,"
"... ya, Sayang?"
"Jadi apa aku kalau nggak ada kamu?"
"Jadi Regina yang cantik, berani dan selalu kuat."
"Kayaknya nggak akan bisa, kalau nggak ada kamu."
"Bisa." Jenar membantah. "Kamu jadi kamu yang sekarang bukan karena aku, tapi karena kemauan kamu sendiri. Aku cuma berusaha nemenin kamu. Itu pun bukan untuk ngubah kamu, tapi untuk nunjukkin kalau aku sayang sama kamu."
"Jenar,"
Jenar menjawab masih dengan tetap sabar. "... ya?"
"I love you more than I love the life itself."
"Me too, Gina. Me too."
*
Gara-gara tangannya Rossa terkilir, mereka berdua jadi kayak punya alasan untuk lebih sering hangout bareng.
Atau lebih tepatnya, Jaka yang jadi punya alasan lebih rajin main ke tempat Rossa sih. Tangan kanannya Rossa terkilir cukup parah, jadi cewek itu susah beraktivitas tanpa bantuan. Dia juga cuti dari kantor, karena pekerjaannya nggak akan efektif dengan cedera seperti itu.
Terus mereka ngapain aja di tempar Rossa?
Quality time bareng aja. Seringnya ya nonton series Netflix sambil ngemil. Atau nonton dokumenter tentang serial killer sambil saling bertukar komentar. Atau Jaka nemenin Rossa belanja bulanan—lebih tepatnya sih, nemenin merangkap jadi supir, tukang dorong troli, tukang bawa belanjaan dan tukang ambilin produk-produk yang ditaro di deretan rak yang tinggi. Jaka juga pernah masakkin Rossa makan malam.
Menunya simpel, mentok-mentok juga nasi goreng atau berbagai kreasi makanan instan, tapi sesuatu yang dilakukan dengan tulus, biasanya bisa nyampe ke hati kan?
"Jaka, tau nggak?" Rossa tiba-tiba bertanya pada suatu kali, sewaktu mereka lagi duduk bareng di ruang tengah apartemennya Rossa.
Sliding door menuju balkon sengaja dibiarkan terbuka, soalnya hujan lagi turun menjelang petang. Wangi hujan yang khas mewarnai udara. Suaranya yang menenangkan bikin mereka berdua jadi lebih relaks.
Sepuluh menit sebelumnya, Jaka sudah menyeduh dua cup Pop Mie untuk mereka berdua, juga bikin dua cangkir teh manis hangat. Makanan yang pas banget untuk disantap di tengah cuaca yang lagi dingin karena hujan deras seperti sore itu.
"Kenapa, Shan?"
"Rasanya kayak kembali ke masa lalu nggak sih?"
"Hmmm..."
"Kayak balik ke masa-masa gue nyusun skripsi."
Saat Rossa nyusun skripsi dulu, satu-satunya orang yang benar-benar menemaninya dari awal sampai akhir cuma Jaka. Lucunya, mereka nggak menghadiri acara wisuda satu sama lain. Rossa nggak datang ke wisudanya Jaka. Begitu juga sebaliknya, Jaka nggak datang ke wisudanya Rossa.
"Is it a bad thing or is it a good thing?" Jaka bertanya sehabis menyeruput kuah Pop Mie dari cup miliknya.
Rossa tersenyum lebar, lantas ujarnya. "A great thing."
Di hari berikutnya, gantian Rossa yang main ke tempat tinggalnya Jaka. Nggak lama setelah pulang dari Kalimantan, Jaka sempat tinggal di apartemen. Tapi setelah setahun, dia pindah ke sebuah rumah tapak berukuran kecil dengan halaman luas. Letaknya masih cukup di tengah kota, cuma sudah pasti, nggak di pinggir jalan utama.
Rossa baru sadar, itu kali pertama dia main ke rumahnya Jaka.
Rumahnya terkesan sejuk nan adem. Ada pohon mangga besar di halaman. Bangunan rumahnya nggak luas, tapi cantik dan minimalis. Sesuatu yang seharusnya bisa Rossa tebak, soalnya gitu-gitu kan Jaka lulusan Arsitektur. Halaman rumahnya penuh dengan rumpun mawar beraneka warna.
Waktu Rossa jalan melintasi jalan setapak yang menghubungkan pintu pagar depan sama pintu utama rumah, semerbak wangi bunga mawar mewarnai udara.
"Rumah lo asri banget."
"Thank you."
"Banyak banget tanaman mawarnya."
Jaka tertawa. "Gue suka tanaman."
"Tanaman mawar, maksudnya?"
"Iya."
"Nanem sendiri?"
"Mau bilang yang nanem pacar, tapi ya nggak punya pacar."
"Gue nggak nyangka lo jago berkebun." Rossa berdecak, menatap pada rumpun mawar yang kelihatan segar. Tanaman mawar itu dilindungi semacam kanopi biar nggak kena sinar matahari langsung. Terlihat subur, jadi sepertinya, Jaka merawatnya dengan baik.
"Sejak balik dari Kalimantan, gue kan gabut. Kerjaan gue lebih banyak yang remote, jadi seringnya di rumah aja."
"Terus digajinya pake dollar ya?" Rossa mencibir.
"Syukurnya, iya." Jaka tertawa. "Please, jangan bahas gaji. Gue jelas nggak ada apa-apanya dibanding lo."
"Nggak juga."
Rossa memutar bola matanya sementara Jaka memasukkan serentetan PIN dan sidik jarinya untuk membuka kunci otomatis yang melekati pintu. Rumahnya terlihat bersahaja, tapi cantik tanpa meninggalkan kesan modern. Rossa mengingatkan dirinya sendiri untuk pakai jasa Jaka ketika nanti dia memutuskan pindah dari apartemen ke rumah biasa.
"Kalau gue bikin rumah, lo yang jadi arsitek gue ya?"
"Boleh."
"Dapet diskon temen nggak?"
"Gratis juga bisa."
Rossa tergelak. "Cuma bercanda, Jaka."
"Gratis juga bisa, kalau bikin rumahnya bareng." Jaka membalas, tersenyum kalem.
"Bareng dalam artian apa dulu?"
"Menurut lo, kalau kita bikin rumah bareng, artinya apa?"
"Hm..."
Jaka terkekeh. "Cuma bercanda, Shan."
"Cuma bercanda ya?"
"Iya."
"Padahal udah mau diseriusin loh."
Jaka tergelak saja, sudah paham kalau Rossa memang suka menggodanya buat yang satu itu. Benar juga sih kalau dipikir-pikir. Mereka jadi kayak kembali ke masa lalu. Masa-masa skripsi yang Rossa jalani setelah dia kembali ke kampus pasca menyelesaikan pemulihannya di Singapura. Waktu yang nggak mudah buat dia, juga buat Jaka, tapi juga penuh memori berharga yang masih Jaka ingat sampai sekarang.
Momen-momen yang nggak pernah Wirya tahu—yang Rossa tutup rapat, karena menurutnya, cuma dia sama Jaka yang boleh berbagi momen-momen itu.
Semut di ujung pulau terlihat, sedangkan gajah di pelupuk mata tak nampak.
Ada peribahasa yang bunyinya begitu.
Quite fitting, Rossa bergumam pada dirinya sendiri.
Dia selalu terfokus pada Wirya, pada cerita mereka yang kandas sebelum dimulai, hingga dia terkecoh dan bingung di mana sebenarnya hatinya berada.
Apakah orang yang selalu dia butuhkan sebenarnya adalah Jaka?
Duh, nggak tahu deh.
Rossa belum berani berharap lebih—dan dia juga nggak ingin egois, sebab dia merasa, setelah sekian tahun, Jaka juga berhak bahagia.
Salah satu dinding ruang tengah rumah Jaka adalah rak-rak bertingkat yang menjulang sampai ke langit-langit, dan ditutupi kaca agar barang-barang yang berada di dalamnya nggak berdebu. Rossa menatapnya kagum, serasa lagi berada di galeri seni.
"Lo majang duit seratus ribuan?" Rossa menunjuk salah satu bagian dari dinding pajangan Jaka.
"Yap. Bagian dari gaji pertama gue."
"Terus yang dollar?"
"Bagian dari gaji dollar pertama gue." Jaka nyengir.
"Terus yang itu?" Rossa menunjuk salah satu kotak hitam yang dipajang, yang dihiasi pita satin berwarna perak. Dia kayak pernah melihat kotak itu, tapi lupa persisnya gimana.
"Itu... masa nggak tau?"
"Kayak pernah lihat kotaknya, tapi gue lupa persisnya di mana."
"Emang lo pernah lihat." Jaka tertawa.
"Serius?"
"Iya. Tunggu deh, gue ambilin." Jaka mendekati dinding pajangannya, menggeser penutup kacanya ke samping dan mengeluarkan kotak hitam yang dimaksud Rossa. Habis itu, dia menghampiri Rossa lagi seraya mengulurkan kotak hitam di tangannya. "Nih."
Ragu, Rossa menerimanya.
"Buka aja."
Pelan-pelan, Rossa membukanya.
Ternyata di dalamnya, tersimpan sehelai dasi hitam keluaran Salvatore Ferragamo, lengkap dengan kartu ucapan dalam sebentuk tulisan tangan yang Rossa kenali;
Happy graduation, JK. Gue kadoin ini, biar kepake begitu lo ngantor nanti. —Roshan
Itu kado yang Rossa berikan buat Jaka di hari wisudanya.
"Ini—"
"Iya, Shan. Kado dari lo."
Rossa tercekat, nggak tau kenapa, tiba-tiba merasa terharu. "Kenapa malah dijadiin pajangan? Gue kasih ini biar lo pake pas lo ngantor."
"Nggak sempat, dan lagi, kantor pertama gue juga nggak mewajibkan formal attire. Gue sangat jarang ngantor pakai kemeja apalagi yang mengharuskan gue pakai dasi."
"..."
"Terus di Kalimantan juga, beda-beda tipis. Bule-bule yang biasa kerja sama gue pun seringnya santai."
"..."
"Apalagi sekarang, ketika kerjaan gue udah lebih remote dan fleksibel." Jaka terkekeh. "Besides, itu hadiah pertama gue dari lo. Jadi sayang aja mau makenya. Makanya gue simpen."
"... belum pernah dipake sama sekali?"
Jaka menggeleng. "Belum."
"Yah... sia-sia dong gue kadoin ini kalau nggak pernah lo pake..."
"Nggak juga." Jaka menyergah. "Who knows? Mungkin bakal ada timing yang pas buat gue pake itu, suatu hari nanti."
"Contohnya?"
"Saat gue nikah."
"..."
"Atau saat lo nikah."
Rossa terdiam, terus tertawa. "Ah ya, lo benar."
"... ya kan?"
"Tapi kalau lo pake ini pas nikah, jangan bilang siapa-siapa kalau ini dari gue ya."
"... hm, emang kenapa?"
"Takut pengantin perempuannya cemburu."
Jaka tertawa keras, diam-diam menjawab dalam hati kalau sepertinya dia nggak akan pernah menikah sekiranya bukan Rossa pengantin wanitanya.
Dia sudah menetapkan itu tanpa kata, pada momen di mana dia memutuskan membuat tato itu.
Tato aksara Mandarin yang terbaca menjadi dua kata; méi gui.
Namun, Rossa nggak perlu tau soal itu.
Makanya, Jaka cuma mengacungkan jempol dan tersenyum makin lebar. "Siap!"
*
Walau awalnya sempat canggung, kesepakatan antara Rei dengan ayahnya mampu berjalan dengan baik.
Itu lebih karena Wuje sih. Bocah tersebut adalah tipe anak yang mudah bawel dan sok akrab sama siapa pun, bahkan orang yang baru dikenalnya. Makanya, Wuje kelihatan nyaman-nyaman saja, meski baik Rei maupun Jenar memutuskan untuk nggak terang-terangan bilang ke Wuje soal siapa sebenarnya lelaki tua yang sering disebutnya Opa Permen.
Dari kecil, Wuje kan tahunya dia cuma punya satu kakek. Ayahnya Jenar. Hubungannya dengan ibunya Rei nggak terlalu dekat. Bilang kalau ayahnya Rei adalah kakeknya juga hanya akan bikin anak itu bingung, terus bukan nggak mungkin, malah cerewet bertanya.
Di minggu pertama, mereka ngajak Wuje juga ayahnya Rei buat nonton operet. Operet ini tipe pertunjukkan yang nggak seserius opera atau musikal buat orang dewasa—dan memang, cerita yang dibawakan adalah salah satu cerita rakyat Indonesia. Wuje yang paling semangat nonton. Sepanjang operet berlangsung, dia terkesima sampai mangap.
Terus habis dari sana, mereka makan es krim bareng.
"Opa, waktu itu Opa kan udah beliin aku es krim ya. Sekarang gantian aku yang beliin es krim ya?"
Jenar menyambar cepat. "Emang kamu punya uang, Je?"
"... eh iya. Aku nggak punya uang." Wuje ternganga, terus tertunduk lesu.
Tingkahnya justru berhasil bikin ayahnya Rei tertawa sedikit.
Di minggu kedua, karena sesi kemoterapi lelaki itu sudah dimulai, ganti mereka yang bertandang ke tempat tinggal ayahnya Rei. Mereka yang dimaksud adalah Wuje, Rei sama Hyena. Jenar nggak ikut, karena para penghuni grup bapak-bapak ngajak dia main bowling bareng—sekalian mendengarkan Milan yang katanya mau ngasih pengumuman besar.
Itu pertama kalinya Rei melihat langsung tempat ayahnya tinggal, yang ternyata berupa sebuah apartemen dengan satu kamar tidur. Bangunannya cukup oke dengan sistem keamanan yang terjaga, tapi ruangan dalam apartemennya sepi dari perabot. Ruang tengahnya kelihatan kosong karena nggak ada televisi atau rak pajangan. Di bagian tengah, hanya ada meja berkaki rendah yang cukup besar buat bisa digunakan oleh empat orang. Kulkasnya nyaris kosong, hanya penuh botol air mineral dan kopi.
Hyena sempat melirik Rei, tetapi Rei diam saja, sementara Wuje sibuk memamerkan puzzle yang baru didapatkannya sebagai oleh-oleh dari Rossa.
Di minggu kedua, sepulangnya dari tempat tinggal ayahnya, Rei disambut oleh Jenar yang ternyata sudah lebih dulu tiba di rumah.
"Gimana?"
"It's okay." Rei mengangkat bahu, menurut saat Jenar meraihnya mendekat buat mencium pipinya. Gestur yang nggak pernah ketinggalan Jenar lakukan tiap dia berangkat dan pulang kerja, atau kalau mereka baru ketemu lagi di rumah setelah salah satunya sempat keluar.
"Seru nggak hari ini?" Jenar beralih pada Wuje yang lagi sibuk menjilati permen lolipop di tangannya.
Wuje mengangguk. "Seru! Aku main ke tempatnya Opa Permen! Tapi di rumah Opa Permen nggak ada tv loh, Pa. Opa Permen pasti nggak suka nonton Boboi Boy sama Upin-Ipin ya?"
"Opa Permen udah tua, makanya nggak suka nonton Upin-Ipin."
"Opa Botak udah tua tapi masih suka nonton Upin-Ipin dan joget Baby Shark sama aku."
"Opa Botak kan emang banyak gaya." Jenar menimpali.
"Kayak Papa ya?"
"Kayak kamu juga."
"Tapi tadi Opa Permen nangis, Pa."
"Hm?" Rei menoleh pada Wuje. "Nangis kenapa?"
"Tadi kan kita pesen mi lebar itu kan buat makan siang—"
"Kwetiaw, Sayang." Rei memberitahu.
"Iya, pesen tiaw-tiaw." Wuje mengangguk. "Terus tiaw-tiawnya masih panas, terus aku bilang ke Opa, 'Opa, kata Mama aku, kalau makanannya masih panas, ditiup dulu biar lidahnya nggak kebakar' gitu. Opa-nya diem aja, jadi aku tiupin tiaw-tiawnya, soalnya kalau makanan aku panas, Mama juga suka tiupin makanan aku kan. Terus Opa-nya nangis. Katanya kelilipan. Tapi emang iya ya, kalau makan tiaw-tiaw bisa kelilipan?" Wuje nyerocos.
"Kok Mama nggak tau?"
"Mama kan lagi teleponan pas aku makan tiaw-tiaw."
"Oh... iya juga sih..."
"This boy—" Jenar menepuk pelan puncak kepala Wuje. "Papa udah beliin Royal Canin buat kucing kamu. Tapi karena itu kucing kamu, kamu yang ngisiin dispenser makanannya ya."
"Iya, Papa. Meng aku di mana ya?"
"Tadi sih lagi main sendiri di halaman belakang."
Wuje nggak menyahut, langsung nyelonong begitu saja menuju teras belakang buat nyari kucing orennya.
Tak lama setelah Wuje berlalu, Jenar berpaling lagi pada Rei. "How was it?"
"Nggak apa-apa. Nggak jauh beda kayak waktu kita nonton operet kemarin." Rei mengedikkan bahu. "Meski aku nggak expect... kalau dia tinggal sendirian dengan... begitu."
"Begitu gimana?"
"Apartemennya kosong banget. Bukan karena dia nggak mampu, tapi... nggak tau deh. Lebih parah dari apartemen kamu waktu bujangan." Rei menjelaskan. "Aku nggak mungkin stay nemenin dia terus-terusan. Kayaknya, dia juga nggak mengharapkan itu. Kita nggak cukup nyaman saling deketan lama-lama. Makanya, aku bilang ke Kak Hyena dan kakak kamu ngasih aku nomor telepon jasa perawat lansia."
"Dia mau?"
"Jelas nggak, tapi aku maksa. Kalau nggak, aku nggak bolehin dia ketemu Arga lagi."
"..."
"Kesannya jadi power abuse banget, tapi gimana ya—"
"It's okay." Jenar menenangkan. "Toh kamu ngelakuin itu buat kebaikan dia kan?"
"Mungkin, tapi alasan utamanya adalah... buat ketenanganku sendiri."
"Sangat nggak apa-apa." Jenar mengangguk. "Terus soal susternya gimana?"
"Penyedia jasanya bakal assign satu suster. Ada masa percobaan sekitar seminggu. Kalau dia nggak cocok, mereka bakal kirim suster yang baru."
"Oke."
"How about your day, anyway? Seru main bowlingnya?"
"Seru. Tadi lumayan rame."
"Oh ya?"
"Iya." Jenar bercerita dengan penuh semangat. "Ada Wirya juga. Unexpectedly, Johnny juga ikut datang buat main bowling."
"Pertanda baik dong? I mean—"
"Semua orang perlu rehat sejenak, menurutku. Termasuk Johnny. Meski Tigra bilang, kalau sejauh yang dia tau, dari ceritanya Johnny, dia sama Gianna sepakat buat mengesampingkan ego masing-masing demi Chester."
"I am happy for them."
"Terus Milan ngabarin kalau dia udah lamar ceweknya."
Rei ternganga. "REALLY?!"
"Yes. Nggak nyangka, kan?" Jenar ketawa. "Aku juga sempat agak nggak nyangka, tapi ya, kalau Milan sampai berani traktir minum buat semua yang datang, berarti dia serius."
Rei menarik senyum lebar. "Ada banyak berita bagus hari ini."
"Dan lebih banyak berita bagus yang mungkin akan datang."
"Hopefully, Je. Hopefully."
"Anyway, kamu udah nyobain croffle yang lagi hits itu nggak? Yang waiting listnya panjang banget? Ternyata, yang punya tuh kenalannya Wirya. Terus tadi Wirya bawa croffle banyak banget karena Yuta ngeluh si Queensha nggak kedapetan mulu order croffle hits."
Akhir pekan di minggu kedua itu berakhir dengan baik, kayak minggu sebelumnya.
Di minggu ketiga, Wuje pergi jalan-jalan ke acara bazaar buku tahunan. Nggak sama Rei maupun Jenar, melainkan sama kedua orang tuanya Jenar. Ayahnya Rei ikut serta. Rei nggak tahu apa para orang tua itu bisa berbaur dengan baik, cuma ya berhubung kedua orang tuanya Jenar maupun ayahnya Rei sama-sama mau jalan sama Wuje, ya mau gimana pun itu, mereka bertiga mesti kompromi.
Untungnya sih, sepulangnya dari acara jalan-jalan tersebut, Wuje kelihatan happy-happy aja, sibuk mamerin koleksi buku cerita bergambar yang didapatnya dari bazaar buku sambil bercerita tentang apa saja yang dialaminya hari itu.
Di hari Jumat minggu keempat, ayahnya Rei telah berada di rumah sakit. Kondisi kesehatannya agak menurun menjelang jadwal kemoterapi berikutnya, jadi dokter merasa perlu memantau kondisinya sebelum memutuskan meneruskan kemoterapi atau nggak. Rei sudah bilang, mereka akan membesuk di hari Sabtu atau Minggu.
Pada hari Sabtu pagi, Rei dibuat kaget begitu dia bangun dan mendapati Jenar lagi sibuk di dapur.
"Jenar?"
"Morning, Gina." Jenar menyapa, menoleh sedikit sebelum kembali sibuk di depan kompor.
"Kamu ngapain?"
"Masak."
"Outfit kamu terlalu scandalous untuk dipake masak." Rei mengangkat bahu sambil ngisi gelas dengan air putih, terus meminumnya.
"Scandalous apanya? Aku pake celana panjang gini."
"Tapi atasannya ketekan."
"Oh, come on." Jenar meledek. "Cuma ketek."
"Ketek dan bisep."
"Cuma lengan kan?"
"Yummy hands." Rei menarik stool dan duduk di atasnya, menghadap pada Jenar yang sedang membalik omelet di atas pan. "Mana ada chef yang penampilannya begini? Bikin bingung mana yang makanannya dan mana yang masak makanannya."
"Yang masak makanannya juga boleh dimakan kok."
Rei mendelik. "Masih pagi."
"Nggak apa-apa. Si bocil masih tidur."
"Please deh." Rei berdecak. "Tapi serius deh, dalam rangka apa masak-masak gini?"
"Pengen masak buat kamu."
"Tumben."
"Kamu kan udah sering masak buat aku. Sekali-sekali gantian, nggak apa-apa dong? Walau aku nggak sejago kamu."
"Omelet kamu masih favoritku, to be honest."
"Makanya, pagi ini aku bikinnya omelet." Jenar tertawa renyah. "Mau ke rumah sakitnya besok atau hari ini?"
"Nggak tau. Wuje kemarin bilang lagi pengen ketemu monyet."
"Hah?"
"Iya. Anaknya pengen ketemu monyet."
"Random banget." Jenar berdecak sembari memindahkan omelet ke piring.
"Kayaknya kemarin dia habis nonton Curious George deh. Cerita si Monyet sama Pria Bertopi Kuning."
"Ada-ada aja."
"Namanya juga anak-anak. Walau kayaknya, dia emang pengen banget ketemu monyet, sampe-sampe pas aku lagi teleponan sama Ocha, dia nyeletuk terus nanya, 'Tante Ocha pengen liat monyet juga nggak?' gitu."
"PINTER BANGET LANGSUNG NGAJAK NGOMONG SI ROSSA!" Jenar berseru seraya geleng-geleng, sudah paham kalau Rossa nggak akan bisa menolak keinginan Wuje, nggak peduli se-absurd apa pun keinginan itu.
"Iya. Terus Rossa nawarin buat ngajak Wuje ke kebun binatang. Sekalian sama Om Jaka. Gitu katanya."
"Loh, jadi beneran pindah ke Jaka?"
"Nggak tau sih. Aku juga nggak nanya, soalnya itu urusan pribadi Rossa."
"Yah, sebenarnya kalau mau pindahan juga udah lumayan ketebak kok. Lagian, Wirya-nya udah kenalan sama yang baru."
"Siapa tuh?"
"Cewek."
"Siapa?"
"Nggak tau. Aku nggak kenal. Kata Yuta sih, anak kecil. Konon orangnya baru lulus kuliah. Yuta nyebutnya si Ayam."
"Ngaco bener Yuta kalau ngasih panggilan ke orang."
"Emang. Untung aja Wirya tuh orangnya sabar melipir ke pasrah. Kalau aku sih bakal ngamuk ya misal kamu dikasih julukan si Ayam. Orangnya cantik gini. Namanya juga cantik. Masa disebut si Ayam?!" Jenar berujar, lalu membawa piring berisi omelet yang sudah dia lengkapi dengan saos sambal dan kecap di pinggirnya pada Rei. "Silakan, omelet ala Jenar."
Rei meraih garpu, memotong omelet yang terhidang di piring dan menyuapkannya ke mulut. Jenar senyam-senyum bangga, tapi ekspresinya berubah jadi kaget sewaktu dilihatnya Rei mengerutkan dahi sambil mengunyah beberapa kali. Jenar makin melongo pas Rei beranjak dengan cepat menuju wastafel dan memuntahkan makanan dari mulutnya.
"Regina—" Jenar mengangkat alis, ikut-ikutan meraih garpu dan mencicip sedikit omelet yang dia bikin. Nggak ada yang aneh. Rasanya normal-normal saja. Memang bukan rasa masakan chef kelas bintang lima, tapi ya nggak separah itu juga hingga bisa bikin orang muntah.
Namun, Rei masih terus muntah di wastafel.
"Regina," Jenar mendekat dengan khawatir, melekatkan telapak tangannya di punggung Rei. "Masakan aku se-nggak enak itu ya? Udah kucoba, tapi nggak kok, rasanya biasa aja—"
Rei mencuci mulutnya pakai air yang mengalir dari keran. "Nggak tau. Kamu masaknya kurang mateng ya? Soalnya rada amis."
"Hah? Nggak ah. Sama aja kayak yang kubikin dulu-dulu."
"Yang kamu bikin dulu-dulu enak..."
"Emang yang itu nggak enak?"
"Amis. Aku jadi enek makannya."
Jenar cemberut.
"Je, maafin." Rei menyentuh pipi Jenar. "Mungkin lidah akunya lagi salah aja kali ya? Tapi aku seneng banget kamu bangun pagi buat bikinin aku sarapan hari ini. Maafin aku ya. Makasih effortnya. Please, jangan cemberut—"
"Yaudah, nggak apa-apa." Jenar mengembuskan napas, batal ngambek. "Eh—wait—"
"Hm?"
Jenar menyipitkan matanya, memandang perempuan di depannya sejenak, terus menggeleng.
"Nggak apa-apa, Regina."
*
Alasan kenapa Jaka menerima ajakan Milan buat main PS di apartemennya Eno hari ini adalah karena Milan bilang, dia punya berita besar buat diumumkan, yang mesti Jaka tau.
Jaka kan jadi penasaran. Apalagi ketika Eno menambahkan kalau minggu kemarin, Milan sudah ngumpulin geng bapak-bapak (ini sebutan khusus untuk teman-teman mereka yang sudah pada punya buntut) di arena bowling untuk mengumumkan kabar yang menurutnya super bombastis.
Jadi deh tuh, mereka tanding PES di apartemennya Eno. Kenapa di tempatnya Eno? Soalnya selain karena Eno punya konsol playstation terbaru yang harganya lumayan itu, juga karena apartemen Eno berada di tengah-tengah. Jadi, Milan sama Jaka nggak perlu jauh-jauh amat jalannya.
Setibanya di apartemen Eno, Jaka langsung diberondong oleh tantangan oleh Milan.
"Gue mau nikah, Ka. Kita tanding PES. Kalau lo yang menang, lo nggak usah ngado apa-apa di nikahan gue. Tapi kalau gue yang menang, lo harus jalanin dare apa pun dari gue."
Jaka melongo, terus tercekat. "Apa-apaan—"
"Kalau lo nggak berani, gue anggap lo cemen."
"IYA TAPI INI GUE BARU DATENG, TERUS LO NANTANGIN GUE GINIAN TUH APA MAKSUDNYA?"
"Sabar, bro." Eno menepuk-nepuk pundak Jaka. "Gue juga kaget, tadi begitu sampe, dia langsung nantangin gitu. Tapi untungnya gue menang."
"Lo main apa sama dia?" Jaka berpaling ke Eno.
"Guitar Hero."
"DIH, DIA DITANTANG MAIN GUITAR HERO, KENAPA PAS SAMA GUE MALAH PES?!!" Jaka protes.
"Males ngulang game yang sama. Suruh siapa lo datengnya lelet?"
"KOK GINI SIH?!"
"Kalau lo nggak mau, lo nggak usah dateng ke nikahan gue." Milan malah makin ngelunjak.
"HAH, ANJIR????!!"
Ujung-ujungnya, Jaka pasrah saja dipaksa Milan meladeninya main PES.
Gitu-gitu, Milan tergolong jago main game, termasuk PES. Makanya nggak heran kalau nggak butuh beronde-ronde buat Milan mengalahkan Jaka secara telak. Jaka tercengang, terus mendengus keras.
"Ini gue masih bingung loh..."
"Bingung atau nggak, barusan lo tetap kalah." Milan menyahut songong. "Sebagai pihak yang kalah, lo harus menjalankan dua dare dari gue."
"APANYA?! KOK DUA?!"
"Sabar, bro." lagi-lagi, Eno hanya mampu menyuarakan keprihatinannya. "Gue kena tiga dare. Lebih parah dari lo."
"UDAH GILA!!"
Milan santai saja meneruskan. "Dare pertama, buat nikahan gue, gue mengharapkan lo ngadoin mesin cuci. Kalau bisa merek Panasonic yang Washer Dryer. Mesin cuci yang front loading."
"Jangan kaget kalau udah googling harganya." Eno berbisik pada Jaka yang kehilangan kemampuan buat mingkem.
"Dare kedua, gue mau tanya, lo udah jadian sama Rossa ya?"
"Nggak!" Jaka membantah, terlupakan pada dare pertama yang diduga kuat merupakan bagian dari siasat Milan untuk morotin dia. "Kita temenan doang."
"Lebih bagus." Milan menjentikkan jari. "Dare kedua, ajakkin Rossa nge-date."
"HAH, LO SINTING YA?!"
"Emang udah gila." Eno geleng-geleng kepala. "Tadi aja dia nyuruh gue dare nelepon Gilsha. Bayangin, disuruh nelepon mantan sendiri?! Kurang brengsek apa!?"
"Justru gue ini sangat memikirkan nasib kalian berdua!" Milan membantah. "Gue suruh lo nelepon Gilsha, karena siapa tau, dari nelepon, lo bisa balikan ama tuh orang! Terus, gue suruh lo ajak Rossa nge-date, karena siapa tau, dengan bantuan gue, lo bisa jadian beneran ama dia! Gue bakal melepas masa lajang sebentar lagi. Artinya apa coba? Yak, benar, diantara orang-orang dalam circle pertemanan kita semasa kuliah, gede kemungkinan kalau kalian doang yang bakal tertinggal jadi jejaka tua!"
"Anjing, songong banget!" Jaka melotot.
"Udah, buruan!"
"Harus banget apa?"
"Eno aja berani nelepon Gilsha!! Masa lo nggak?"
"Tapi—"
"Kalau ditolak, ya bilang aja, tadi dare disuruh Milan. Nothing to lose, ya kan?"
Jaka tau, Milan sangat menikmati mempermainkannya (dan mungkin juga Eno), namun yah, mereka memang cukup sering main-main kayak gitu. Apalagi di jaman kuliah dulu. Jaka membuang napas, akhirnya mengeluarkan handphonenya. Ragu-ragu, dia membuka chatnya sama Rossa dan mulai mengertik.
Tau-tau, dia berhenti. "INI GUE HARUS NGETIK APA??!!"
"Cupu banget, udah menuju tiga puluh tapi ngajakkin cewek nge-date aja masih bingung."
"YAELAH, GUE NANYA BENERAN?!!"
"Gue jawab beneran."
Jaka mendelik, berpikir sejenak sebelum akhirnya mulai mengetik.
jaka:
shan.
jaka:
ada waktu buat nge-date?
rossa:
dibajak ya?
rossa:
tapi yaudah, dibajak atau gak, gue anggap beneran ya.
rossa:
boleh. mau ngajak ke mana?
to be continued.
***
"ternyata mau diajak nge-date????? kaget."
"susah-susah move on, ujungnya kena dare suruh telepon mantan."
"menjelang nikah, ada baiknya puas-puasin bully orang."
jenar kalo tiba-tiba bangkrut
tapi tentu mb reggy akan setia menemani dalam suka maupun duka dalam kaya maupun miskin cailahhhh wkwkwk
***
a/n:
weekend kemaren cukup sibuk, jadi baru sempet sekarang nih bro.
yak, siapakah perempuan yang milan lamar.
terus, kalau berdasar spoiler igstory sih, si rossa yang nikah lebih dulu dari wirya.
kita lihat nanti lah ya wkwkwk
menjelang akhir taun gini, jangan lupa jaga kesehatan semuanya!! stay safe juga untuk semua yang ada di sekitar semeru. semoga situasinya cepat membaik ya.
makasih sudah baca chapter ini dannnnn sampai ketemu di chapter selanjutnya.
makasieeeee.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top