63 | seribu tahun lagi
"Minum dulu."
Setelah Rei sudah jauh lebih tenang, Jenar berinisiatif bikinin perempuan itu secangkir teh manis beraroma melati. Salah satu kebiasaan kecil dalam keluarga mereka yang Rei mulai sekaligus sesuatu yang Indonesia banget; apa pun masalahnya, teh manis hangat will always come to the rescue.
"Regina," Jenar memanggil sewaktu dilihatnya Rei tetap saja melamun. "Minum dulu, atau harus aku bantuin minum tehnya."
"Iya, aku minum."
Sementara Rei menyesap tegukan pertama tehnya, Jenar melirik jam yang tersemat di dinding dapur. Jarum pendek jam sedang merambat menuju angka satu. Dia menghela napas, kembali memandang pada Rei sewaktu perempuan itu meletakkan cangkir tehnya yang masih terisi ke atas meja.
"Better?"
"Tehnya asin."
"HAH?!" Jenar terperanjat. "Perasaan tadi aku udah masukkin gula deh, bukannya garam! Tapi oke, aku bikin lagi—" ucapan Jenar nggak terteruskan karena Rei tertawa kecil. Itu malah bikin Jenar memiringkan wajah dengan mata menyipit. "Kenapa kamu malah ketawa?"
"Cuma bercanda. Tehnya manis kok."
Jenar mendengus. "Regina!"
"Iseng aja, tapi muka kaget kamu barusan priceless banget." Rei terkekeh.
Jenar cemberut, walau tak lama, dia terlihat lega. "Aku bete kamu kerjain, tapi nggak apa-apa, seenggaknya bisa bikin kamu ketawa lagi."
Rei menarik senyum, lalu katanya. "Makasih ya. Maaf, tadi itu aku emosional banget."
"Jangan minta maaf, Regina. Sedih, kesal, frustrasi, itu wajar banget. Kamu manusia dan kamu punya perasaan. Aku nggak suka lihat kamu nangis atau sedih, tapi daripada kamu pendam sendiri, lebih mending kamu keluarin."
"It's just..." Rei termenung sebentar, seperti lagi memilah isi pikirannya. "Di satu sisi, aku kaget karena udah lama nggak lihat dia. Well, kita sempat ketemu di mall, tapi dia nggak bilang apa-apa. Kamu juga langsung nyuruh aku ngejauh bareng Arga. Selama ini, aku ngerasa aku udah baik-baik aja. Tapi ternyata, lukanya masih ada."
"Mm-hm." Jenar mendengarkan Rei, kentara sekali tengah memberi perhatian penuh.
"Aku pengen anggap dia stranger. Dia udah nyakitin aku. Dia udah bikin aku salah persepsi ke diriku sendiri. Tapi saat dengar dia bilang dia peduli sama Arga... rasanya sakit, soalnya itu berarti sebenarnya dia bisa punya rasa peduli—" Rei membuang napas. "—intinya begitu deh."
"Regina, aku yakin kamu udah pernah dengar aku ngomong ini, tapi just in case kamu lupa, aku kasih tau lagi ya, kamu nggak bisa mengendalikan gimana perasaan dan perlakuan orang lain terhadap kamu. Termasuk gimana perasaan dan perlakuan orang tua kamu. Sure, menurutku, sebagai orang tua, mereka harusnya sayang sama anaknya, bisa jadi safe place yang didatangi oleh anaknya, sebab kalau bukan mereka, siapa lagi yang diharapkan oleh seorang anak buat jadi tempat berlindung? Tapi perlu diingat juga, kalau nggak semua orang tua pantas jadi orang tua. Orang tua kamu adalah bagian dari yang menurutku nggak pantas itu." Jenar menerangkan. "Don't take it personal. Terkadang, seseorang nyakitin kita itu bukan karena salah kita, tapi karena merekanya aja yang punya penyakit hati. Lagi-lagi, kita nggak bisa kontrol hati mereka, kan? Kita cuma bisa berusaha jaga hati kita sendiri. Jangan sampai, karena mereka nyakitin kita dan kita anggap itu personal, kita jadi ikut-ikutan punya penyakit hati. That will be a never-ending hurt cycle."
Rei menggigit bibir, meneguk salivanya, lalu mengangguk. "Je, makasih banyak ya."
"Anytime, Regina." Jenar mengangguk, terus menarik senyum. "Tapi aku boleh nanya nggak?"
"Nanya apa?"
"Apa ini artinya, kamu udah nggak marah lagi sama aku?"
"Sebenarnya masih, tapi tinggal sedikit." Rei manyun. "Aku tetap nggak suka kamu ngumpetin fakta itu dari aku!"
"Iya, aku tau."
"Dulu kita udah sepakat."
"Iya, aku salah. Maaf, Regina. Next time, kalau kita ada di situasi ini lagi, aku bakal kasih tau kamu. Maaf ya. Walau jujur, bukannya maksudku membela diri, tapi aku cuma nggak mau kamu sakit hati, atau kepikiran."
"..."
"Udah cukup bertahun-tahun kamu sakit hati. Aku maunya kamu happy terus, nggak khawatir perkara orang-orang yang sepatutnya nggak lagi mesti kamu cemaskan. Tapi caraku salah. Nggak seharusnya aku ngerasa aku boleh egois ambil keputusan buat kamu tanpa ngasih tau kamu soal situasinya secara terang-terangan."
Rei menggeser kursinya jadi lebih dekat ke kursi Jenar yang berada tepat di sebelahnya, terus merunduk dan sekali lagi, memeluk suaminya seraya masih tetap duduk. Kedua lengannya melingkari pinggang Jenar. Kepalanya rebah di dada Jenar. Jenar balik mengusap lengan atas Rei beberapa kali.
Nggak ada diantara mereka yang berbicara, sebab tanpa memerlukan kata-kata, gestur yang terlihat telah cukup menjelaskan segalanya.
*
wirya:
rhyzoma, wisuda kamu jadinya besok ya?
Ryza baru saja memasang sheet-mask di wajahnya ketika handphonenya bergetar karena ada chat baru.
ryza:
dandannya gak usah aneh-aneh, om.
gak usah sok ganteng juga.
wirya:
emangnya saya sok ganteng ya?
ini serius nanya.
ryza:
gak, sih itu warning aja.
saya bilang gak usah sok ganteng.
soalnya emang udah ganteng.
jiakhhhhhhhhh.
wirya:
makasih, rhyzoma.
ryza:
makasih buat apa?
wirya:
udah bilang saya ganteng.
ryza:
om gak usah bersikap seakan-akan gak pernah ada yg bilang om ganteng, deh.
wirya:
hehe.
ryza:
oiya, soal wisuda besok, om gak usah jemput ke rumah.
jangan nungguin saya di parkiran juga.
saya malu nantinya.
wirya:
gak kok.
saya mau tanya pendapat kamu.
jadi unfortunately, salah satu tamu kehormatan buat acara wisuda kamu besok itu berhalangan hadir karena kecelakaan.
ryza:
widih, siapa tuh.
wirya:
bapak lukman firdaus.
ryza:
ok, gak kenal.
bukan bestie saya berarti.
wirya:
ya aneh juga kalo kamu bestie sama bapak-bapak sih.
ryza:
saya bestie sama om-om.
wirya:
siapa?
ryza:
punten, di rumah ada kaca kan om?
wirya:
jadi saya bestie kamu ya?
ryza:
iya, om.
wirya:
puji Tuhan...
ryza:
WKWKWKWKWWKK
wirya:
drpd gak sama sekali
ryza:
hopeless banget si om nih
yaoda, balik bahas pak lukfir
wirya:
gara-gara itu, bu marlena barusan telepon saya.
nanya, bisa gak saya dateng sebagai tamu kehormatan.
sekalian ngasih pidato.
ryza:
EDAN
wirya:
kamu ada saran gak saya harus ngomongin apa?
ryza:
apa aja.
wirya:
serius, rhyzoma.
ryza:
om tuh ganteng
om diem di depan, napas doang pun hadirin pasti betah-betah aja.
wirya:
haduh
ryza:
WKWKWKWWK
ya pidato apa aja gapapa sih om.
asal jangan kelamaan dan jangan sebut nama saya.
wirya:
emang kenapa?
ryza:
ya bakal aneh aja kalau om sebut nama saya dalam pidato om.
wirya:
kalau sebut nama kamu dalam wedding vow, aneh gak?
ryza:
om, jangan nge-gas.
ingat, kita hanya bestie.
wirya:
hehe.
oke, ryza, makasih untuk jawabannya.
sampai ketemu besok ya.
ryza:
yomannnnnn
Seharusnya Ryza kaget ya, tapi setelah melihat segimana powerfulnya Wirya hingga membuatnya bisa mendapatkan tanda tangan dosen paling bawel dan paling killer di departemennya dengan sangat mudah, ya Ryza merasa fakta kalau Wirya bakal datang ke wisudanya dan berpidato sebagai salah satu tamu kehormatan adalah sesuatu yang wajar-wajar saja.
Kalau Ryza renungkan lagi, Wirya tuh sebenarnya all-rounder banget nggak sih?
Kayak, Tuhan pasti lagi happy banget sewaktu menciptakan Wirya deh. Tampang oke? Ceklis. Postur tinggi bak model? Ceklis. Keluarga kaya-raya? Ceklis.
Dunia ini bikin heran banget. Ketika lelaki macam Kiwil bisa santai kawin-cerai dan kakek-kakek random di internet yang mengaku sebagai coach professional di bidang perpoligamian bisa punya istri berderet lebih dari satu, lelaki yang kayak Wirya malah dibikin galau dan stuck sama satu perempuan selama satu dekade.
(Meski jujur ya, seandainya jadi laki-laki, Ryza pun bakal stuck selama sepuluh tahun sih kalau perempuannya macam mantannya Wirya yang cakep, keren dan terlihat smart, soft tapi tetap punya aura mengintimidasi itu).
Ryza melanjutkan maskeran sambil nonton serial Netflix. Nggak sambil ngemil, soalnya susah banget mangap dan ngunyah dalam kondisi muka tertempeli sheet-mask. Habis mencuci wajah pasca maskeran, terdengar teriakan mamanya dari lantai bawah...
"RHYZOMAAAA!!! TIDUR LEBIH AWAL YA!!! BIAR BESOK TIDAK KESIANGAN DAN MUKAMU CANTIK!!!"
"MUKA AKU EMANG UDAH CANTIK, MA!!!"
"BANYAK OMONG SAJA!! MAMA BISA SIMPAN BAYI KANGGURU DI KANTUNG MATAMU ITU!!"
"KALIAN DEBATNYA ONLINE LEWAT WHATSAPP AJA!! BERISIK!! PAPA LAGI SERU NIH NONTON BAYU SKAK JADI PEMIMPIN SEKTE!!!" papanya Ryza menyela.
"BAYU SKAK SIAPA?!!!"
"ADA NIH PILEM KOREA!! BAYU SKAK YANG MAIN!!"
Ryza nggak paham papanya nonton film Korea cabang mana, sampai-sampai ada Bayu Skak-nya segala.
Tapi yaudalah ya.
Dia pun menarik selimut, terus tidur.
*
Keesokan harinya, Ryza dibangunkan pagi-pagi buta sama ibunya buat cabut ke salon dekat kampus untuk mulai di-make up.
Pada momen-momen seperti itulah, Ryza menyesal kenapa dia nggak terlahir sebagai anak laki-laki. Bukannya apa-apa ya, tapi jadi anak cowok enak banget nggak sih? Kalau mau wisuda, ya sudah, tinggal style rambut yang benar—yang mana umumnya mereka lakukan berbekal tangan sendiri, sama hair powder atau pomade—terus pakai kemeja, dasi, jas dan sepatu pantofel mengilap.
Sedangkan cewek? Sudah pusing mikirin kebaya, terus kudu ngantre untuk di-make up, hair-do, mesti betah-betahin pakai high-heels. Duh, dibayangin saja ribet, apalagi dijalani.
Tapi terkutulah Ryza oleh mamanya jika dia sampai datang ke acara wisuda hanya dengan kemeja dan celana panjang atau nggak berdandan sama sekali, sebab mamanya sudah bilang kemarin-kemarin;
"Wisuda kamu kali ini kemungkinan besar jadi momen sekali seumur hidup! Harus ada dokumentasi yang cantik! Mama ragu kalau kamu akan ada kesemoatan wisuda lagi!"
Kesannya kayak meremehkan, tapi ya iya sih... Ryza nggak berpikir kalau dia ini tipe orang ambis yang rajin belajar dan punya niatan melanjutkan pendidikan sampai S2.
Habis di-make up (yang kebanyakan Ryza isi dengan menguap sekaligus menahan kantuk), rambut Ryza ditata dalam hair-do sanggul ala wanita Indonesia yang menonjolkan sisi kalem dan anggun. Mamanya tampak puas sewaktu Ryza tampil di depannya usai berdandan lengkap.
"Sudah kayak Cinderella saja anak Mama ini!"
"Cantik, Ma?"
"Iya, tapi sehari-harinya jelek."
"Idih."
"The power of makeup ini namanya."
"Nggak lah! Akunya juga cantik!" Ryza berujar dengan segenap rasa percaya diri.
Mamanya hanya geleng-geleng kepala. Dari salon, mereka bertolak menuju gedung kampus tempat acara wisuda digelar. Papanya santai saja menyetir sambil bernyanyi mengikuti lirik lagunya Bon Jovi.
"Ryza, tahu nggak—"
"Nggak."
"Ya ampun, anak ini! Mama tuh mau cerita—"
"Abisnya Mama nanya tau apa nggak, ya aku jawab nggak."
"Sudah, diam dulu! Mama mau cerita!" mamanya Ryza mendengus. "Jadi dulu, Mama jatuh cinta sama Papa karena Papa nge-gitarin lagu ini buat Mama. Sambil nyanyi gitu."
"Oke, aku jadi makin yakin kalau selain cinta itu buta, cinta itu juga tuli."
"Loh, apa maksudnya itu, Rhyzoma?!" mamanya protes.
"Suara Papa kayak gitu tapi bisa bikin Mama so called jatuh cinta."
"Hei, dulu suara Papa kamu itu ganteng ya!"
"Emang sekarang nggak, Ma?"
"Nggak. Sudah tuwir soalnya."
"Ya, ya—" papanya Ryza menyahut sekenanya saja, terus lanjut menyanyi mengikuti lirik, nggak peduli pada penilaian anak dan istrinya soal suaranya.
"Tapi suaranya Wirya ganteng ya, Ryza."
Ryza batuk-batuk. "KOK JADI BAHAS OM WIRYA?!"
"Nggak apa-apa. Suka-suka Mama dong mau bahas apa!" mamanya Ryza membalas seenaknya. "Kenapa juga kamu masih panggil-panggil dia 'om'?!"
"Dia lebih tua dari aku, Ma."
"Sembilan tahun saja, kan?"
"Nggak saja ya, tolong!" Ryza mengerang. "Pas dia lagi mabok-mabokan, aku masih jajan es Teh Sisri rasa gula batu di depan SD, Ma!"
"Memang aneh kalau kamu pikirnya begitu, tapi kan kamu bukan anak SD yang jajan es teh di depan SD lagi, Rhyzoma! Lagian, tampangnya Wirya juga nggak seperti om-om. Dia nggak buncit—eh malah kayaknya atletis tidak sih si Wirya itu? Bahunya tegap banget, kayak Papa waktu muda dulu."
"Semua laki-laki yang ganteng pasti Mama bilang mirip Papa waktu muda dulu."
"Memang nyatanya begitu!"
"Sudah, sudah. Ribut melulu. Kita sudah sampai nih!"
Begitu mobil sudah sepenuhnya berhenti, Ryza cepat-cepat turun. Parkiran sudah lumayan ramai. Ryza melangkah duluan menuju pintu masuk gedung, agak rikuh karena nggak tau kenapa, dia merasa perhatian banyak orang tertuju padanya.
Ryza tahu dia cantik hari ini—dengan kebaya peach sesuai pilihannya Wirya—eh, nggak deng! Ryza memang suka warna peach kok! Jadi bukan gara-gara Wirya bilang dia cocok pakai warna peach makanya dia pakai ya!
Tapi yaudah, biasa saja kaliiiiii!
Kayak pada nggak pernah lihat cewek cantik saja!
"Rhyzoma! Rhyzoma, tunggu Mama dong! Aduh!"
Ryza mengabaikan seruan mamanya yang berusaha menyusul dari belakang. Dia berjalan cepat. Bodohnya, saat dia hampir tiba di depan anak tangga pelataran depan gedung, hak salah satu sepatunya terperosok ke cekungan paving block yang nggak rata. Alhasil, Ryza kehilangan keseimbangan dan...
... jatuh beneran.
Sakit, tapi malunya lebih parah!
"Astaga! Ryza! Waduh, anak ini memang benar-benar!"
Ryza merengut, menahan sakit di kedua telapak tangannya yang berciuman sama permukaan keras paving block. Dia berusaha bangun, tapi sebelum dia sempat benar-benar beranjak, sebuah tangan telah terulur di depannya.
Macam adegan sinetron, Ryza menengadah, sejenak terperangah, soalnya wow... kok ganteng banget ya orang yang kini berdiri di depannya?!
"Kamu baik-baik aja?"
"..."
"Kamu bisa bangun nggak?"
"..."
"Atau butuh saya gendong?"
Ryza mengerjap. "Nggak! Saya nggak baik-baik aja!!"
Wirya memiringkan wajah. "Kok marah?"
"Nggak marah! Cuma kesal!"
"Kenapa kesal?"
"Om nggak tahu ya segimana malunya saya jatuh kayak gini di depan banyak orang?!" Ryza menggeram bete.
"Jadi kamu kesal atau marah?"
"Om, lama-lama saya lempar juga nih pakai high-heels!"
Wirya terkekeh, dengan tangan masih terulur di depan Ryza. "Ayo, bangun. Bisa bangun, kan?"
"Bisa!" Ryza memutar bola matanya, walau dia tetap menyambut uluran tangan Wirya. Wirya menariknya, membantunya berdiri lagi. Kakinya agak sakit, namun untungnya, nggak ada tanda-tanda kalau dia terkilir atau keseleo.
"Ya ampun, Rhyzoma!" mamanya Ryza menghampiri, disusul oleh papanya yang terlihat bersiaga, mungkin jaga-jaga kalau mamanya Ryza ikut-ikutan jatuh seperti anaknya. "Hati-hati dong! Inilah akibatnya kalau kamu ninggalin Mama—eh, Nak Wirya! Ya ampun, ganteng sekali pakai jas seperti ini!"
Ryza mendelik pada mamanya yang sibuk cari perhatian ke Wirya.
"Ada apa kiranya ke sini, Nak Wirya?"
"Saya diundang oleh pihak kampus untuk jadi tamu di acara wisuda ini, Tante."
"Ya ampun, hebatnya! Bawa bunga juga! Buat siapa tuhhhhhh?"
"Oh," Wirya tertawa kecil, lalu memberikan buket bunga di tangannya pada Ryza. "Sengaja saya bawakan untuk Ryza."
Ryza melongo, lalu refleks tersipu. Bisa-bisanya Wirya sesantai itu memberikannya bunga, bukan hanya di depan orang tuanya, tapi di depan para peserta wisuda yang baru tiba. Perlahan, Ryza menerima buket yang Wirya berikan.
"Makasih..."
"Manisnyaaaaaa..." mamanya Ryza memberi sound effect. "Ya sudah, yuk kita masuk! Eh, Nak Wirya, tolong dong Rhyzoma dibantu ketika naik tangga, takutnya jatuh lagi kayak tadi. Ini anak memang kurang cewek, jadinya gampang jatuh kalau pakai sepatu hak tinggi!"
Pada saat-saat seperti inilah, Ryza sering menyesali kenapa dia punya mama yang bawelnya luar biasa.
*
Rangkaian acara wisuda Ryza selesai menjelang pukul setengah sebelas siang.
Terus kayak sudah menjadi tradisi tersendiri, usai wisuda, biasanya dilanjut sesi foto studio untuk dokumentasi bersama keluarga. Ryza pun begitu. Dia sudah booking sesi tersendiri untuk foto di studio yang terkenal punya hasil foto bagus nan cantik, meskipun harganya lumayan mahal kalau di-commpare sama jasa serupa dari kebanyakan studio foto.
Tak disangka-sangka, mamanya Ryza ngajak Wirya ikut.
Ryza ingin menolak, soalnya di studio foto tersebut bakal ada teman-temannya juga—yang kebanyakan membooking sesi yang berdekatan dengannya. Nanti apa kata mereka coba kalau lihat dia foto studio sama om-om?
Mereka pasti mikir yang macam-macam!
Cuma, titah ibunda ibarat titah paduka, maka sangat wajar jika Ryza tak kuas dan hanya bisa ikut-ikut saja.
Sewaktu sampai di studio foto tersebut, mereka nggak langsung berfoto kan. Ada waktu antre selama lima belas menit. Ryza tadinya berdiri, karena ruang tunggu lumayan sesak oleh orang. Hingga tahu-tahu, terdengar suara seseorang menyapa...
"Loh, Koh Wirya?!"
Wirya berpaling, tersenyum lebar pada seorang laki-laki berkaos oblong dan bercelana pendek yang sedang melangkah mendekat. Dandanannya kayak om-om lagi nyantai di rumah, tapi menilik Rolez yang melingkari salah satu pergelangan tangannya, Ryza tahu nih orang pasti bukan orang sembarangan.
"Astaga, nggak nyangka ketemu di sini! Jangan bilang kalau ini studio foto kamu?"
"Iya, Koh. Ini baruuuuu banget buka. Baru sekitar setahunan lah. Biasa, pasarnya buat anak-anak kuliahan dan yang butuh jasa foto di sekitar sini." Lelaki itu tertawa renyah. "Kokoh ke sini anter adek? Mau foto atau gimana?"
"Hng, nggak, saya ke sini anter—"
"—pacar." Mamanya Ryza menyambar, bikin Ryza dan Wirya terperangah sebentar. Wirya meringis, sedangkan Ryza melotot ke mamanya. Tapi perempuan itu cuek saja. "Ini, pacarnya baru saja wisuda. Namanya Ryza."
"Oh..." lelaki itu tersenyum ramah pada Ryza, yang mau nggak mau membalas senyumnya, walau agak kaku. "Cantiknya, Koh. Berarti Koh Wirya sudah nggak sama Ci Ocha ya?"
Wirya membalas sekenanya. "Iya. Sudah putus. Mungkin memang nggak jodoh."
"Tapi agak mirip loh, Koh, Dik Ryza sama Ci Ocha."
"Oh ya? Saya bahkan nggak nyadar—"
Lelaki itu tertawa kecil, terus sibuk memanggil karyawannya. "Rusli! Rusli, tolong ambilkan kursi cadangan di belakang! Ini loh, masa Koh Wirya sama keluarga pacarnya berdiri begini! Iya! Buruan ya!"
Terus ya, dalam waktu kurang dari semenit, Wirya, Ryza dan kedua orang tuanya Ryza sudah diberikan tempat duduk tambahan.
"Om tuh kayaknya kenal orang se-Jabodetabek ya?"
Wirya terkekeh. "Kebetulan aja, Rhyzoma."
Ryza mendelik, berpaling ke mamanya yang asyik kipas-kipas ala ibu-ibu pejabat. "Mama juga! Ngapain ngaku-ngaku!"
"Biar cepat saja, Ryza. Toh ujungnya, kita jadi kebagian tempat duduk, kan?"
"Nggak enak tau sama Om Wirya!"
Mamanya Ryza beralih ke Wirya. "Kamu keberatan dengan omongan Tante yang tadi nggak, Nak Wirya?"
"Oh... nggak kok, Tante."
"Nah kan! Nak Wirya saja nggak keberatan kok!"
Kalau sudah begini, Ryza tahu lebih mending jika dia diam sih, soalnya ya nggak akan menang juga mendebat sang Mama.
Saat giliran Ryza foto-foto, mereka pun dipanggil masuk ke studio. Di sana, pengarah gaya dan fotografernya sudah siap. Ternyata, fotografernya juga kenal Wirya. Makanya, nggak heran kalau sikap mereka jadi terkesan lebih professional dari biasanya. Sepanjang Ryza mengambil foto bersama kedua orang tuanya, Wirya menunggu di belakang kamera sembari mengobrol bareng beberapa pegawai studio foto.
Lalu, tiba-tiba fotografernya berujar. "Koh Wirya, masuk juga atuh! Join foto bareng calon mertua!"
"Woiya, bener! Masuk sini Nak Wirya!"
"Hah—"
"Hayuuuuk, nggak usah malu-malu!"
Rasanya Ryza ingin tepuk jidat ketika Wirya mendekat, terus berdiri di sebelahnya. Duh. Ini sih bukan foto wisuda, tapi hawa-hawa foto orang baru kelar tukar cincin pas lamaran. Mana ada orang tuanya Ryza segala.
Pipi Ryza amat panas, kayak lagi ditempeli setrika. Dia yakin, wajahnya pasti sudah memerah sekarang. Cuma ya gimana? This too shall pass. Yang harus Ryza lakukan adalah menyabarkan diri.
Hingga terdengar lagi mamanya Ryza bicara. "Nah, sekarang waktunya kelen ini foto berdua!"
"HAH?!"
"Sip—"
"Ma, jatah shootnya udah habis! Aku booking cuma untuk—"
"Nggak apa-apa, untuk pacarnya Koh Wirya, ada bonus!" fotografer yang masih memegang kamera menyambar, bikin Ryza mati kutu.
Jadi deh, mereka dipaksa berduaan dalam frame.
"It's okay." Wirya berbisik. "Jangan kaku. Relaks aja. Kamu kan lagi foto sama saya, bukan sama orang lain."
Bener juga sih, Ryza membatin. Om Wirya bukan orang lain.
EH, TUNGGU BENTAR!
Kalau bukan orang lain, terus apa coba?!
Ryza jadi gagal fokus, dan itu berpengaruh sama tampilan mereka pada hasil jepretan. Kayaknya, Wirya menyadari kecanggungan dan rasa malu Ryza. Makanya, pada suatu momen, dia memanggil nama cewek itu dalam suara halus yang terkesan penuh pengertian.
"Rhyzoma,"
"Hm?" Ryza menoleh ke Wirya, freezing sejenak sebab dia disambut oleh seulas senyum.
Wirya memang ganteng, tapi Wirya yang lagi tersenyum tipis seperti itu jauh lebih ganteng lagi. Dia terkesan hangat, tapi lebih berwibawa. Belum lagi didukung oleh styling rambutnya dan setelan jas resmi yang dia kenakan...
"Seperti yang saya duga, kamu kelihatan manis banget dengan kebaya warna peach."
Ryza ternganga, sejenak kehilangan kata-kata.
"Happy graduation, Rhyzoma."
Ucapan Wirya bikin Ryza agak tertunduk untuk menyembunyikan semu merah di pipinya, sedangkan Wirya masih menatapnya dengan senyum yang sama. Nggak ada satu pun dari mereka yang memandang ke kamera.
"Waduh, jiga pre-wedd kieu pose-na!" Fotografernya berseru girang usai menekan shutter kamera.
"AAMIINNNNN PALING SERIUS!!" mamanya Ryza berseru kencang.
"Mama, apaan sih?!"
"Loh, kenapa? Itu kan judulnya lagu si Nadin-Nadin itu!"
"Hilih!"
"Tapi ya kalau dianggap aminin kamu nantinya pre-wedd sama Wirya, nggak apa-apa juga sih!"
"MAMA!!"
*
Esok siangnya, kayak biasa, Wuje pulang dari sekolah TK diantar oleh jemputan.
Kalau lupa, sekolahnya Wuje memang menyediakan fasilitas antar-jemput menggunakan Alphard. Namun, kalau ada orang tua yang ingin mengantar atau menjemput anaknya sendiri ke dan dari sekolah, pihak sekolah membebaskan. Terkadang, Jenar atau Rei menjemput Wuje untuk momen-momen khusus, seperti kalau mereka mau makan siang di luar bareng, atau saat Rei lagi di rumah sakit dan perempuan itu nggak ingin anaknya pulang ke rumah yang kosong. Tapi selebihnya, Wuje lumayan sering juga pergi-pulang sekolah menggunakan fasilitas jemputan.
Begitu mobil jemputannya berhenti di depan rumah, sebelum turun, Wuje menyempatkan diri salim sama supirnya, terus dadah-dadah ke beberapa teman yang semobil, baru deh dia turun.
Kondisi rumah sedang sepi, karena Jenar masih berada di kantor. Rei lagi sibuk dengan dirinya di studio, biasanya baru kembali ke rumah utama menjelang tengah hari, tepat pada jam-jam Wuje pulang sekolah. Wuje agak lega sih, karena ketika dia masuk rumah, mamanya masih di studio.
Seraya memeluk tasnya erat-erat, Wuje berjalan masuk ke kamarnya. Terus dia buru-buru membuka baju seragamnya, menyisakan hanya kaos dalam dan sempak motif bola. Anak itu menggulung asal setelan seragam sekolahnya, lalu menyembunyikannya di balik pintu kamar. Setelahnya, Wuje duduk di atas karpet seraya berpikir keras.
Wuje masih mikir sewaktu terdengar suara ibunya memanggil dari luar kamar.
"Je?"
Wuje tersentak.
"Argaaaa? Sudah pulang sekolah, Nak?"
Wuje kian panik seiring dengan suara Rei yang terdengar makin mendekat.
"Je?" Rei berhenti di depan pintu kamar Wuje yang terbuka sedikit. "Sudah pulang ya? Kok tumben, nggak langsung nyamperin Mama ke studio?"
"Hng... aku capek, Ma..."
"Lah, kamu pakai kaos dalam sama sempak doang?"
"Iya, Ma. Panas."
Rei melangkah masuk kamar anaknya, meraih remot ac dari slot yang disediakan di tembok, lalu menyalakan air conditioner kamar Wuje. "Kalau panas, nyalain aja ac-nya."
"... iya, Ma."
"Seragam kamu mana? Biar Mama rapiin. Kotor ya? Main apa aja di sekolah hari ini, hmm?"
"Hng..." Wuje makin nggak berani bergerak.
"Kamu kenapa, Je?" Rei jadi heran sama sikap anaknya yang nggak seperti biasanya. Perempuan itu menutup pintu kamar pelan-pelan, yang berujung padanya menemukan tumpukan kusut setelan seragam Wuje di balik pintunya. "Astaga, Arganata, kok bajunya ditaro di sini? Mama sudah pernah bilang kan, kalau ganti baju, bajunya dirapikan ya—HAH—" Rei tercekat tatkala mendapati ada rembesan merah di salah satu bagian kemeja seragam Wuje. "Ini kenapa bajunya merah-merah? Kotor juga! Kamu berdarah?!" Rei berpaling pada Wuje, mendekat dengan wajah cemas dan mulai memeriksa badan si bocil. "Kamu luka di mana, Arga?!"
"Merah-merah itu darah, Ma—"
"Ya ampun!"
"Bukan darah aku, Mama." Wuje buru-buru menambahkan, tahu kalau ibunya sudah sangat khawatir.
Rei mengembuskan napas pelan. "Terus itu darah siapa?"
Wuje bingung harus jawab apa, dan dalam jeda hening sebelum sahutannya terlontar, terdengar suara 'meong' lirih dari tasnya yang tergeletak di atas karpet.
"Wuje, itu suara apa?!" Rei terperangah.
Wuje kalut, refleks meraih tasnya dan menyembunyikannya di belakang punggung. "SUARA PERUT AKU, MA!"
"Mana ada perut suaranya 'meong'..."
"Nggak tau, Ma, mungkin cacing di perut aku udah ganti jadi kucing! Atau mereka lupa kalau mereka cacing, bukannya kucing!"
"Wuje, jujur sama Mama."
"..."
"Arganata,"
Wuje menunduk dengan bibir maju, lantas dengan takut-takut, dia mulai berterus terang.
Jadi ternyata, sepulang sekolah, saat dia dan beberapa teman sekelasnya lagi menunggu mobil jemputan mereka siap, dia menemukan seekor anak kucing di tepi jalan, persis di muka pagar depan sekolahnya. Kaki kucing itu luka dan berdarah. Kayaknya, lukanya masih baru sebab darahnya merah dan belum ada infeksi lanjutan yang tampak serius. Akhirnya, Wuje memungut kucing itu dan menggendongnya sebelum buru-buru dimasukkan ke tas sekolah.
"Wuje,"
"Meongnya luka, Ma..." Wuje memandang Rei dengan mata berkaca-kaca. "Kalau meongnya kenapa-napa, gimana? Aku mau obatin, tapi di sekolah nggak ada obat buat meong. Terus udah disuruh Bu Guru naik ke mobil jemputan..."
Rei ternganga, disusul oleh sorot matanya yang melembut. Dia paham kenapa Wuje bersikap seperti itu, juga kenapa Wuje merasa agak takut-takut. Sebelumnya, saat usianya tiga setengah tahun, Wuje pernah bilang ke Rei dan Jenar kalau dia juga ingin punya kucing peliharaan seperti Cherry. Jenar memberitahu itu nggak mungkin, karena Rei punya alergi terhadap bulu kucing. Di saat yang sama, Jenar sempat menawari Wuje untuk mengadopsi puppy, tetapi Wuje menolak.
"Boleh nggak, Ma, meongnya di sini sampai sembuh?" Wuje bertanya, wajahnya memelas.
"Hm... Mama sih nggak apa-apa, Je. Tapi nggak tau kalau Papa. Ini kan rumahnya Papa. Nanti kalau Papa pulang, kamu tanya sendiri ya? Untuk sekarang, meongnya dikeluarin dulu dari tas. Kasihan, takutnya nggak bisa napas..."
Begitu deh. Anak kucing yang Wuje pungut pun dikeluarkan dari dalam tas. Tubuhnya agak dekil. Wajar banget, mengingat anak kucing tersebut dipungut dari jalanan. Berhubung Rei nggak bisa menyentuh anak kucing itu, dia memberi arahan pada Wuje untuk mengobati luka di kaki si anak kucing. Perkara memandikannya... nanti deh, tunggu yang professional sekalian.
Sebenarnya ya, Wuje agak gentar saat Rei berkata dia harus minta izin ke Jenar. Tetapi, demi si anak kucing, Wuje memberanikan diri. Begitu Jenar pulang, bocil itu langsung menghampiri bapaknya, terus memeluk paha Jenar yang berdiri di depannya sembari melonggarkan dasi.
"Lah, napa nih anak tiba-tiba clingy? Jenar heran.
"Lagi ada maunya." Rei berjalan mendekati Jenar untuk membantu melepaskan dasi dari leher suaminya.
"Papa..." Wuje memanggil dalam suara sarat permohonan. "Boleh nggak aku piara meong?"
Jenar sempat melongo. "Hah?! Kok tiba-tiba meong sih?!"
"Ada meong sakit di depan sekolahku, Pa..."
"Terus?"
"Aku bawa pulang..."
"Arganata—"
"Papa, kasian meongnya kalau nggak diobatin... terus kalau dibiarin di jalan abis itu meongnya keujanan gimana? Meongnya sendirian, Pa. Meongnya juga masih kecil kayak aku. Meongnya nggak punya papa-mama..." Wuje menengadah, melancarkan jurus mata berkaca-kaca ala puppy eyesnya yang ampuh.
"Duh..." Jenar bingung, sebab dia tahu kalau istrinya punya alergi sama bulu kucing. "Tanya Mama deh."
"Kata Mama nggak apa-apa... aku disuruh tanya Papa..."
Jenar melotot ke Rei yang cuma bisa nyengir.
"Wuje, Mama kamu kan ada alergi—et dah, Cil, jangan mewek dulu! Ini Papa masih ngomong loh..."
"Nggak nangis, Pa..."
"Itu air matanya udah mau keluar!"
"Nggak..."
"Regina," Jenar puyeng berat, berpaling ke Rei. "Ini gimana?"
Rei mengedikkan bahu. "Terserah kamu."
"KAN YANG PUNYA ALERGI TUH KAMU!!"
"Menurut kamu, aku tega nolak kalau anaknya udah gini?"
"Papa tega nolak kalau anaknya udah gini?" Wuje turut membeo.
"Hadeh! Ck, yaudah!"
*
Wuje happy banget saat bapaknya mengizinkannya membiarkan si anak kucing stay di rumah, walau sambil memijat ujung hidungnya karena diserang migrain mendadak.
Jenar nggak mau ada kucing di rumah, sebab Rei punya alergi, tetapi di saat yang sama, serupa dengan Rei, dia nggak tega menolak keinginan Wuje.
Sedangkan Rei kelihatan tenang-tenang saja. Dia sih mikirnya, rumah mereka lumayan besar. Terus ya, mungkin mereka bisa membatasi wilayah mainnya si kucing, kayak, ya kucingnya dibiarkan punya area sendiri yang bersinggungan dengan area di mana Rei biasa beraktivitas saat di rumah. Selama Rei nggak menyentuhnya atau menghirup bulunya, harusnya semuanya baik-baik saja, kan?
Perempuan itu lalu menelepon Tigra, selaku pakar perkucingan. Tigra memutuskan untuk datang langsung, sekalian mandiin si anak kucing, soalnya Jenar strict banget dan nggak mengizinkan anak kucing itu berkeliaran bebas di rumah kalau belum dimandikan.
Jenar menunggu Rei selesai bertelepon dengan Tigra sambil ngopi, sekaligus memicingkan mata pada bocilnya yang sudah sibuk-sibuk elus punggung anak kucing—yang sekarang lagi makan dry food dari mangkok.
"Meng, kamu sabar ya, Meng—Meng, jangan takut! Bapak-bapak yang jelek itu tuh Papa aku. Meskipun jelek, tapi hatinya baik kok, Meng!"
Jenar manyun, bertepatan dengan Rei menyudahi percakapan telepon.
"Apa kata Tigra?"
"Dia mau ke sini, sekalian mandiin si Meng."
"SI MENG?! ANAK KUCING ITU UDAH PUNYA NAMA?!" Jenar tercengang menyaksikan betapa cepatnya keluarga ini menerima kehadiran anak kucing baru.
"Iya. Kata Wuje, namanya Meng." Rei menyahut. "Tigra juga sekalian bawain shampo kucing, sama tempat bobo buat si kucing. Dia kan udah pengalaman ngurus kucing, Je. Nanti kalau kucingnya perlu dibawa ke vet terkait lukanya, Tigra siap nganter ke vet langganannya."
"Astaga..."
"Asikkkkkkkkk!!!" Wuje berseru senang. "Meng, jangan khawatir ya. Kamu bakal dimandiin sama Om Tigra. Om Tigra tuh papanya Cherry, Meng. Nanti kamu aku kenalin sama Cherry. Tenang aja, Om Tigra jago banget kok, Meng. Pasti seru dimandiin sama Om Tigra!"
Jenar jadi pengen salty deh bawaannya.
Nggak sampai setengah jam kemudian, Tigra tiba di kediaman keluarganya Jenar. Dia sendirian. Wuje sempat kecewa, soalnya dia ngira Tigra akan datang bareng Cherry, yang Tigra tanggapi dengan senyum penuh pengertian sambil bilang,
"Cherry lagi sibuk main congklak sama Mommynya tadi."
"Papa, congklak itu apa?!"
"Mainan."
"Mau—"
"Fokus ke Meng kamu dulu deh."
"Oiya..."
Tigra mengecek luka di kaki anak kucing tersebut, yang ternyata nggak dalam.
"Ini siapa yang obatin lukanya?"
"Aku! Mama yang ngasih tau ngobatinnya gimana, tapi aku yang obatin, Om, soalnya Mama nggak bisa pegang kucingnya!" Wuje menerangkan secara menggebu-gebu.
"Bagus." Tigra menepuk pelan puncak kepala Wuje. "Meng-nya lumayan kotor, jadi kita mandiin dulu ya. Kamu mau ikut?"
"Mau!"
Tigra beranjak membawa si anak kucing ke kamar mandi, diikuti oleh Wuje. Namun Wuje otomatis bereaksi tatkala dia menyadari ayahnya turut mengekor.
"Papa mau ngapain?"
"Mau ikut mandiin."
"Hah, emang bisa?!"
"BISA!"
Berujung Meng dimandiin oleh tiga pria; Tigra, Jenar dan Wuje.
Sudah bisa dipastikan, yang kerja paling banyak adalah Tigra, karena Jenar dan Wuje malah sibuk debat, kayak...
"PAPA, JANGAN SENTUH MENG-NYA KAYAK GITU!! PAPA KASAR BANGET!! MENG-NYA MASIH KECIL, PAPA, DIPEGANGNYA HARUS LEMBUT!!"
Terus dibalas Jenar, "Berisik deh, Cil."
Rei yang mendengar huru-hara dalam kamar mandi dari luar dibikin tertawa kecil. Terus dia berpindah ke dapur untuk bikinin minum buat Jenar, Tigra dan Wuje.
Kelar dengan urusan memandikan, Tigra mengeringkan bulu anak kucingnya pakai hairdryer.
Saat itulah, Jenar mendadak memegang pundak Wuje dari belakang.
"Arga,"
"... iya, Pa?" Wuje menoleh, rada kaget.
"Waktunya kita berbicara selayaknya laki-laki."
Dalam pikiran Wuje; INI KENAPA PAPA JADI SERIUS BANGET GINI OMG TAKUT BANGET LOCH?!!
"Tapi Meng—"
"Meng udah diurus Om Tigra."
Wuje deg-deg-an, super ketar-ketir. Namun dia menurut. Anak itu berjalan di belakang Jenar yang ternyata membawanya ke teras belakang. Habis itu, Jenar nggak langsung bicara. Wuje makin resah, tanpa sadar, uwel-uwel dan menggenggam bagian depan bajunya dengan erat.
"Papa izinin kamu miara si kucing dengan beberapa syarat."
"... syarat apa, Papa?" Wuje harap-harap cemas.
"Pertama, kalau di dalam rumah, Meng-nya nggak boleh main ke ruang keluarga, ke dapur, di kamar kamu—pokoknya di tempat-tempat yang sering dipakai Mama. Kalau bulunya rontok, kamu harus langsung rapiin. Oke?"
"Iya, Papa..."
"Kedua, kamu harus bantu Papa ajarin Meng-nya biar nggak ee sembarangan."
"... iya, Papa."
"Ketiga..."
"Ketiganya apa, Papa?"
"Kalau kamu nakal, Meng-nya Papa jual."
"Jangan, Papa!!"
"Yaudah, makanya jangan nakal."
"Kalau nakal dikiiiiiiiiiiiit aja, boleh nggak?"
"Nggak."
"Tapi aku kan masih kecil, Pa. Katanya anak kecil emang suka nakal. Nggak apa-apa, asal nakalnya dikiiiiiiiit aja."
"Kata siapa?"
"Kata Tante Hyena."
"Tante Hyena tuh sesat! Jangan didengerin!"
"Sesat itu apa, Pa?"
"Nggak lurus, Je."
"Bukannya nggak lurus tuh bengkok ya, Pa?"
Waduh, Jenar beneran salah bicara.
*
Jenar nggak paham kenapa dia bisa tiba-tiba berada dalam sebuah ruangan luas berlangit-langit tinggi.
Jika dia nggak salah ingat, ruangan itu adalah bagian dari katedral tempatnya meneteskan air mata sekian tahun lalu, saat dia benar-benar membawa Rei ke dalam perlindungannya, dan berjanji sehidup-semati bahwa apa pun yang terjadi, dia akan selalu menjaga perempuan itu.
Bedanya, ruangan itu kini kosong-melompong. Dindingnya yang pucat jadi menambah kesan dinginnya suasana. Ragu-ragu, Jenar mendekat pada satu-satunya benda di tengah ruangan yang menarik perhatiannya; sebuah peti tanpa penutup.
Semakin dekat langkahnya membawanya ke sana, horor yang menyelinap masuk ke dalam benaknya terasa makin nyata. Tatkala melihat apa yang berada dalam peti, suaranya tertahan di tenggorokan. Napasnya tercekat. Jantungnya seperti berhenti berdetak selama beberapa saat.
Di dalam sana, terbaring salah satu perempuan yang paling dia kasihi sepanjang eksistensinya.
Perempuan itu secantik biasanya, hanya lebih pucat. Rambutnya yang panjang dan hitam tergerai dan disir dengan rapi. Di sekeliling kepalanya, kuntum-kuntum mawar berwarna putih berjejalan, serasi dengan setelan yang membalut tubuhnya. Kedua tangannya berada di atas perut, menampilkan jari manisnya yang dilingkari cincin.
Jenar mengenali cincin itu.
Itu cincin yang dipasangkan olehnya bertahun-tahun lampau, sebagai tanda bahwa mereka telah terikat pada satu sama lain, atas persetujuan Tuhan, untuk seumur hidup.
Tangan Jenar telah bergetar karena tremor parah sewaktu dia mengulurkan tangan untuk menyentuh perempuan itu.
Tolong jangan...
Kulit perempuan itu dingin.
"Regina..." setetes air mata jatuh di pipi Jenar tanpa dia sadari.
Apa sebenarnya ini?
Kenapa dia tiba-tiba berada di sini?
Dan apa yang terjadi pada perempuan itu?
Ke mana semua orang?
"Regina,"
Panggilan Jenar dijawab hampa, dan pada detik, itu tangisnya mengeras.
"Jenar?"
Jenar membuka mata, disambut oleh langit-langit kamar tidurnya yang temaram sebab hanya diterangi lampu tidur. Wajahnya basah. Dia menoleh panik ke sampingnya. Rei tengah berbaring menghadap ke arahnya, menatap khawatir.
"Jenar, kenapa? Mimpi buruk lagi?"
Kelegaan mengaliri perasaan Jenar bersamaan dengan tangannya terulur, menarik Rei ke dalam dekapannya. Dia memeluk perempuan itu kencang, membuat Rei heran. Namun, Rei bisa merasakan gemuruh keras degup jantung Jenar yang tak seperti biasanya. Juga sepasang lengan Jenar yang gemetar, dan jejak air mata yang mengalir menuju dagunya.
"Je?"
Jenar masih mendekapnya.
"Mimpi buruk ya?"
Jenar mengatur napas, masih tak kuasa menjawab. Rei mengerti, membiarkan Jenar menenangkan diri. Dia mengusap lengan Jenar yang memeluknya beberapa kali, dalam sentuhan lembut yang menenangkan.
Perlu seenggaknya sepuluh menit bagi Jenar untuk mengatur napas, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sepanjang sisa malam ini, sebelum dia tertidur dan dihantui oleh mimpi buruk barusan.
Ah ya, Tigra datang ke rumah mereka untuk mengecek anak kucing yang baru Wuje bawa pulang tadi siang. Selesai dengan urusan anak kucing, Jenar dan Tigra sempat ngobrol sambil ngopi bareng. Terus menjelang jam sembilan, Tigra pamit pulang. Jenar mengambil alih tugas menidurkan Wuje setelahnya. Dia kembali ke kamar begitu Wuje tidur, disambut oleh Rei yang ketiduran dalam posisi nggak beraturan di atas kasur, dengan macbook terbuka yang tergeletak di dekatnya.
Jenar sempet mengecek apa yang tertampil di layar macbook Rei; sebuah artikel yang intinya memberikan penjelasan tentang seberapa besar tingkat kesembuhan pasien kanker paru-paru?
Mereka belum bicara lagi tentang situasi yang dihadapi oleh ayahnya Rei, tetapi, Jenar tahu, Regina adalah Regina.
Jauh di dalam hatinya, perempuan itu adalah seseorang yang penuh kasih, pribadi yang sebenarnya nggak menuntut banyak selain disayangi dan nggak dibiarkan sendiri.
Dia merapikan macbook tersebut, mematikannya dan meletakkannya di atas nakas samping tempat tidur, lantas beralih sedikit menggendong Rei untuk memperbaiki posisi tidur perempuan itu, sebelum dia sendiri berbaring di sebelah Rei.
Lalu mimpi itu mendatanginya, membuatnya terbangun dan di sini lah dia berada sekarang.
Sentuhan telapak tangan Rei di lengan Jenar membuatnya kembali ke kenyataan, sekaligus membikin perasaannya jadi jauh lebih baik.
"Aku tadi mimpi buruk."
"Mm-hm, mimpi apa?"
"Kamu... nggak ada..."
Bahkan membayangkannya lagi nyaris membuat air mata Jenar kembali jatuh.
"... kamu, ninggalin aku dan—"
Rei bisa merasakan debar jantung Jenar yang kembali menguat. Dia menengadah, bergeser sedikit untuk menatap Jenar sebentar lalu menjatuhkan kecup lembut di dagu lelaki itu.
"Aku di sini, Jenar. Aku nggak ke mana-mana."
"Aku takut." Rangkulan Jenar mengerat. "Aku takut kamu pergi—"
"Itu cuma mimpi. See? Aku ada di sini." Rei menyentuh salah satu pipi Jenar. "Bisa rasain kan, aku ada di sini?"
Jenar memandang pada perempuan di dekatnya sembari menggigit bibir, walau pada akhirnya, tangisnya kembali pecah. Tangis yang keras, seperti anak kecil. Air mata berdesakan, berebut keluar melewati pelupuk matanya. Rei terperangah, nggak menyangka Jenar akan menangis lagi.
"Sshhh—Sayang, ini beneran aku. Aku di sini—"
"Dalam mimpiku, kamu nggak ada." Jenar terisak.
"Jangan khawatir. Itu cuma mimpi. Here—" Rei membawa salah satu tangan Jenar ke pipinya. "You feel me? Aku ada di sini. Di dekat kamu. Nggak ke mana-mana."
Jenar masih menangis.
"It's okay. It's just a bad dream." Rei menenangkan Jenar sambil menghapus air mata di wajah laki-laki itu menggunakan jemarinya. "Ssshh—nggak apa-apa. It's okay, Je. It's okay."
Rei memberi Jenar waktu, menunggu sampai lelaki itu kembali tenang sebelum dia bicara lagi.
"Mau aku buatin teh hangat?"
Jenar menggeleng. "Nggak. Aku mau kamu di sini."
"Okay. Tidur lagi ya?"
Jenar menggeleng. "Nggak."
"Jenar—"
"Aku nggak mau ke tempat itu lagi."
"Tidur lagi aja. Nggak apa-apa. Mimpi buruknya nggak akan lanjut, kok."
"Nggak."
Rei menghela napas seraya merapikan rambut di kening Jenar. "Terus kalau nggak mau tidur lagi, maunya apa?"
"Lihatin kamu."
"Aku di sini. Nggak akan ke mana-mana."
"Biarin. Aku mau lihatin kamu."
"Kamu perlu istirahat loh, Je."
Jenar tetap diam, membuat Rei akhirnya merunduk sedikit untuk mengecup sekilas bibir Jenar yang tertutup.
"A good night kiss, to scare your nightmares away."
"Cuma satu. Emang cukup?"
Rei nggak bisa menahan senyum gelinya. "Loh, emang harusnya berapa?"
"Banyak."
"Oke, sekali lagi—" Rei kembali merunduk untuk memberikan kecupan kedua. "—udah dua."
"Kurang."
"Mm-hm—" Rei menjatuhkan kecupan berikutnya, namun sepertinya, Jenar punya rencana lain.
Tanpa aba-aba, laki-laki itu menangkup salah satu sisi wajah Rei, menahan Rei agar tak bisa menjauh sekaligus mengambil kesempatan untuk memperdalam apa yang mulanya hanya sebatas kecupan. Rei agak terkejut, namun dia membiarkan Jenar melakukan apa yang lelaki itu inginkan.
Satu ciuman berlanjut ke sesuatu yang lebih serius, dan begitu saja, satu-persatu pakaian mereka tertanggalkan. Bedanya, malam ini tempo yang Jenar pilih amat lambat. Seperti lelaki itu sengaja berlama-lama karena ingin mengambil waktu sebanyak yang dia mau, seperti tengah meyakinkan dirinya sendiri kalau perempuan yang sedang terbaring di bawahnya itu benar-benar nyata, dan nggak akan pergi ke mana-mana.
Usai meraih utopia yang sebelumnya dia kejar, Jenar menjatuhkan tubuhnya di atas Rei. Wajahnya berada di lekuk leher perempuan itu, bernapas di sana, menghirup sebanyak-banyaknya wangi tubuh yang familiar, yang tak ditemukannya pada siapa pun selain Rei. Dalam kondisi kulit bertemu kulit, tanpa penghalang apa pun, Rei tahu ada gemuruh yang tak kunjung reda dalam dada Jenar.
Jemari halusnya menyentuh pada rambut halus di belakang kepala Jenar.
Dia menikmati kedekatan ini, sesuatu yang lebih intim daripada seks itu sendiri; saat hangat tubuhnya beradu dengan hangat tubuh Jenar, polos dan apa adanya, tanpa penghalang. Embus napas lelaki itu di lehernya.
Lalu ciuman-ciuman kecil yang tak pernah lupa Jenar sebarkan di wajahnya, di lehernya, di bahunya, diikuti bisikan yang sepertinya tak pernah lelah Jenar ucapkan selama bertahun-tahun; I love you.
Tapi lama-lama, bernapas jadi makin sulit, sebab kini, bobot tubuh Jenar sepenuhnya terbeban pada tubuhnya.
"Je—"
"... ya, Sayang?" tangan Jenar membelai sisi wajah Rei.
"Aku nggak bisa napas."
Jenar tersentak, refleks mengangkat tubuhnya dengan bertumpu pada kedua siku. "Kenapa?! Kamu sakit—"
"Nggak. Tadi kamu nindihin aku."
"Oh—maaf—" Jenar tergugu, terus bergeser ke samping dan berbaring menghadap ke arah Rei. Rei menarik selimut sampai ke garis dadanya, bukan karena malu gara-gara telanjang, tapi karena terpa angin dingin dari ac ruangan. "—sekarang, udah bisa?"
Rei mengangguk. "Udah."
Jenar tersenyum lega. "Maaf."
"Mimpi apa sih?"
Jenar menggeleng. "Mimpi jelek, tapi aku nggak mau cerita."
"Kenapa?"
"Katanya, mimpi kalau diceritain, bisa jadi nyata."
"Okay. Jangan cerita kalau gitu." Rei mengikuti keinginan Jenar. "Apa pun itu, pasti mimpinya serius banget, karena aku bisa rasain, kamu emang sesedih itu."
"..."
"Tapi aku di sini kok." Rei meraih tangan Jenar, mengecup ruas jemarinya yang berada dekat dengan cincin kawin. "Aku di sini, nggak ke mana-mana. Itu juga cuma mimpi. Jangan terlalu dipikirin."
"... iya."
"Kamu kayaknya sedih banget. Kalau kamu sedih, aku ikut sedih."
"Iya, Regina. Nggak. Kamu jangan ikut-ikutan sedih." Jenar bergeser sedikit supaya dia bisa mencium dahi Rei. "Aku udah ngerasa lebih baik."
"Udah cukup?"
"Hm?" Jenar mengangkat alis.
"Fun timenya udah cukup?"
Jenar tertawa kecil. "Udah."
"Good."
"Regina,"
"Hm..."
"Aku mau sama-sama kamu sampai seribu tahun lagi."
Rei tergelak. "Aku juga. Jadi kita sepakat ya?"
"Sepakat?"
Rei mengulurkan jari kelingkingnya. "Sepakat untuk sama-sama sampai seribu tahun lagi?"
Jenar tersenyum, menautkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Rei. "Sepakat."
to be continued.
***
bayu skak
bayu skak pas jadi pemimpin sekte
kelar wisuda, makan siang dulu
saranghe tto saranghe
sedang memeluk foto istri
***
a/n:
yak sis akhirnya part 63 mengudara
mayan deket menuju akhir sie wkwkwwk
btw senangnya untuk urusan pengiriman po teknik udah selesai wkwk semoga keseluruhan project bisa finish dengan baik (cailah)
terus apa ya, chapter kemaren lumayan sedih ya
untung chapter ini rada mendingan dan akhirnya wuje punya kocheng wkwkwkwkwk
oke, so far segitu dulu. sampai ketemu di chapter selanjutnya.
ciao!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top