59 | molenaar
Pasca kepulangan Jella dari liburannya bersama para ciwi, perempuan itu belum pernah sekalipun menyinggung soal pertengkaran yang terjadi antara dia dan ibunya Tigra.
Awalnya, Tigra mencoba memaklumi. Nggak menutup kemungkinan, Jella masih kesal. Ada beberapa hal yang sebaiknya tidak dibicarakan ketika kepala masih panas, jadi Tigra sengaja nggak mencoba membahasnya untuk memberi waktu pada Jella. Tapi setelah beberapa hari, Jella masih juga bungkam. Tigra jadi merasa nggak enak hati, terutama karena sikap Jella juga jadi agak dingin dan terkesan seperti menjauh.
Makanya, pagi ini, Tigra sengaja bangun lebih awal dari biasanya. Dia paham banget karakter Jella itu kayak gimana. Konfrontasi langsung tak akan membuatnya mau bicara. Oleh karena itu, Tigra mencoba menggunakan cara yang lebih 'smooth'.
Lelaki itu baru mengeluarkan blender dari salah satu cabinet dan memasangnya agar siap digunakan ketika Jella yang masih berpiyama muncul di ambang pintu dapur.
"Morning, Your Majesty."
Mau nggak mau, Jella ketawa. "Jangan sampai deh Mama kamu dengar kamu ngomong gitu. Bisa-bisa aku makin disangka memperbudak kamu."
Tigra tahu maksudnya Jella bercanda, namun dia jelas bisa mendengar nada dongkol yang tersirat dalam suara istrinya.
"Kamu ngapain?"
"Bikin smoothies." Tigra meraih sebuah pisang, membukanya dan mulai memotongnya menggunakan pisau.
Jella mendekat, kelihatan kaget. "But you hate cutting fruits and—sejak kapan juga kamu suka minum smoothies daripada kopi? Apalagi pagi-pagi begini."
"Emang bukan buat aku. Tapi buat kamu."
"Hah?"
"Aku dapet resep smoothies ini dari Kun. Dia kan tiap abis jogging hobinya minum smoothies."
Saat Jella sudah benar-benar tiba di depan konter marmer dapur tempat Tigra bekerja, barulah dia bisa melihat jelas apa-apa saja yang tergeletak di dekat blender. Selain sebuah pisang yang telah selesai Tigra iris dan masukkan ke dalam blender, terdapat dua cangkir buah cherry beku yang bijinya sudah dibuang. Ada juga susu kacang almond, yoghurt rendah lemak dan madu.
"Kamu yang buang biji cherrynya?"
"Mm-hm."
"Cuma buat bikinin aku smoothies?"
"Mm-hm."
"Come on..." Jella mengerang.
Tigra tertawa. "Apanya yang come on?"
"Kamu pasti mau ngomongin sesuatu. Makanya bela-belain sampai segininya."
"Loh, masa aku nggak boleh bikinin smoothies buat istriku sendiri?"
Jella menarik stool dan duduk menghadap ke arah Tigra. Dia meraih sebutir cherry beku, terus mengunyahnya. Buah itu terasa agak keras dan dingin ketika dikunyah.
"You don't like fruits."
"But you love them."
"Kamu lihat buah aja males. Ini bela-belain ngupas."
"Kan buat kamu." Tigra memasukkan semua bahan ke dalam blender, lalu memastikan tutupnya sudah terpasang dengan baik sebelum kemudian mencincang semua yang ada dalam blender jadi satu. Begitu semuanya sudah tercampur rata, Tigra menambahkan madu sebagai pemanis. Habis itu, dia menuang isi blender ke gelas. "Buat kamu."
Jella meraihnya, meminum beberapa teguk.
"Enak?"
"Enak."
"Bagus deh. Siapa dulu yang bikin!"
Jella terkekeh. "Kalau aku bilang nggak enak, gimana?"
"Salahin Kun. Ini resepnya dia."
Tawa Jella kembali meledak. "Kamu mau ngomongin apa?"
"Kira-kira kamu siap nggak diajak ngomongin sesuatu yang mau aku omongin ini?"
"Pasti sensitif."
"Iya."
"Tentang Mama kamu ya?"
"Iya."
"Aku udah nunggu kamu ngajak aku ngebahas ini, sejujurnya."
"Really?" Tigra mengerjap. "Aku malah nunggu kamu yang coba bahas duluan."
"Why?"
"Aku ngerasa kamu masih sebal. Apalagi, kalau dari gimana kamu cerita ke aku malam itu, kamu sempat nangis. Aku nggak mau bahas-bahas sesuatu yang kemungkinan besar udah bikin kamu sakit hati sebelum kamu benar-benar siap."
"Damn, Man."
"Kenapa kamu malah nunggu aku yang ngomong?"
"Sekesal-kesalnya aku sama Mama kamu, beliau tetap Mama kamu. Aku tahu, pasti nggak akan nyaman buat kamu ngomongin sesuatu yang buruk tentang Mama kamu. She's your mother, no matter what. Beliau yang jaga kamu dari kecil, jadi aku sadar, beliau pasti penting juga buat kamu. Terus aku ngerasa, ya mungkin dibahas nanti aja, kalau kamu emang udah siap mau bahas."
"Then, can we talk about her now?"
"Mm-hm." Jella meletakkan gelas smoothiesnya yang masih terisi setengah, menggesernya pada Tigra. "Enak, by the way. Just in case kamu mau coba."
"Aku bisa coba nanti." Tigra nyengir. "Soal Mama, aku tahu banget, Mama aku udah keterlaluan."
"Look, aku paham banget kenapa Mama kamu nggak suka sama aku. Pertama, aku bukan perempuan yang dia pilih untuk jadi pendamping hidup anaknya—"
"—sejujurnya, bukan haknya juga milih siapa pendamping hidupku. Aku maunya kamu. End of the story."
"Ya, ya, I know very well that I am Tigra's pick." Jella mencibir.
"Aku mau kamu tau kalau sikap Mamaku itu bukan karena kamu salah atau kamu kurang."
"Udah tau." Jella menukas penuh percaya diri.
Tigra geleng-geleng kepala. "Tsk—you and your attitude—"
"Loh, kan memang faktanya begitu? Coba kasih tau aku, kurangnya aku apa? Cantik, checklist. Pintar, checklist. Bodynya bagus, checklist—"
"Nggak bisa bantah sih buat yang tiga itu."
"Ye, dasar laki-laki! Belum kelar nih ngomongnya!"
"Oke, Yang Mulia. Silakan diteruskan." Tigra mengacungkan jempol.
"Aku punya karir sebelum aku nikah sama kamu, tapi aku sukarela nekan egoku sendiri dan tetap stay di rumah aja buat ngurus kamu sama Cherish. Aku nggak matre—"
"Mama mungkin mikirnya beda setelah tahu baju sama sepatu kamu banyak yang branded."
"Salahin anaknya lah! Ngasih duit bulanan kok banyak banget, jadi bingung kan ngabisinnya! Biar simpel, aku beliin Prada sama Louis Vuitton aja. Lagian kan kapan-kapan bisa dijual lagi. Atau diwarisin ke Cherry." Jella menyambar. "Jago masak, checklist. Bisa jadi tempat curhat yang baik, checklist. Kayak, selama ini tuh anaknya happy-happy aja sama aku loh, kenapa beliau ngerasa hidup kamu tuh sengsara banget karena punya istri kayak aku?! Oh ya, satu lagi, aku mau-maunya ya bunting sembilan bulan dan kontraksi berjam-jam buat mrojolin anak kamu!! Masih kurang di mananya coba?"
"Iya, Jella. Kamu nggak ada kurangnya."
"Nah itu. Makanya aku suka bingung tuh, salahnya aku di bagian mana sih? Gara-gara itu, selama beberapa hari ini, aku bersemedi dan melakukan riset."
"Riset apaan?"
Jella berdeham. "Berdasarkan sains ya, Ti, katanya sangat wajar kalau ibu mertua dan menantu perempuannya itu nggak akur."
"Oh ya?"
"Ada beberapa penyebabnya," Jella mulai berteori. "Pertama, bisa jadi karena aku bukan calon yang dia pilih buat anaknya. Aku rasa ini bisa jadi alasan sih. Soalnya nggak munafik ya, pemikiran generasi kita sama generasi Mama kamu tuh berbeda. Kayak buat kita, kalau cari pasangan hidup, ya kita biasanya lebih dulu melihat ke sesuatu yang ada di orang itu, misalnya kayak fisiknya, pintarnya, selera humornya. Gitu-gitu. Sedangkan orang tua tuh bisa jadi lebih melihat ke latar belakang keluarganya bagus apa nggak, kondisi finansialnya gimana, agamanya gimana, atau latar belakang sukunya gimana. Mungkin dari sisi latar belakang, buat Mama kamu, aku nggak pantas buat kamu."
"Ah, oke. Aku ngerti."
"Kedua—"
"Masih ada lagi?"
"Iya dong!"
Tigra serasa kayak lagi kuliah dadakan. Tapi nggak apa-apa. Dia selalu suka melihat Jella kalau sudah ngomong panjang-lebar dengan wajah excited seperti itu. Mendengar gimana Jella sampai bilang kalau dia melakukan riset terkait masalah ini bikin Tigra ngerasa kalau Jella pun sebenarnya pengen punya hubungan baik dengan ibu mertuanya. Bukan karena dia merasa butuh, tetapi karena dia tahu, seorang ibu itu selamanya akan selalu penting buat anak laki-lakinya.
Dia begitu karena dia peduli sama Tigra.
"Teori kedua, aku terlalu cakep. Jadi Mama kamu takut aku selingkuh."
Tigra tertawa. "Oke, teori yang kedua ini masuk akal juga."
"Ketiga, Mama kamu ngerasa bersaing sama aku sebagai perempuan yang sama-sama ada di hidup kamu. Mungkin Mama kamu takut perhatian kamu bakal berkurang dan kamu lebih sering sama aku, yang sebenarnya sih bisa dipahami. Soalnya kamu kan bukan milik Mama kamu. Akan ada waktunya kamu punya kehidupan kamu sendiri dan itu bukan berarti kamu melupakan Mama kamu. Cuma, kurasa Mama kamu belum paham soal yang itu."
"Aku juga ngerasanya begitu."
"I think your Mom still sees you as a child. Seseorang yang nggak bisa bikin keputusan sendiri, yang mudah dipengaruhi. Makanya beliau ngerasanya tiap tindakan kamu itu pasti karena aku yang suruh."
"..."
"Aku udah coba ngertiin Mama kamu. Sebisa aku. Aku udah berusaha tunjukkin kalau aku sayang sama kamu, sayang sama Cherish. Udah berusaha juga dekat sama beliau. Tapi hasilnya nihil terus. So sorry, tapi aku juga nggak tahan kalau begini terus. Aku capek. Makanya aku balik marah sampai nangis kemarin."
"Mamaku udah coba hubungin kamu lagi?"
"Sempat sih, tapi setelah aku lama matiin handphone, beliau nggak coba-coba kontak aku lagi."
"Okay, I'll talk to her."
"Nggak harus kok. Aku bisa pura-pura anggap yang kemarin itu nggak terjadi—"
"No, Jella. Aku harus ngomong sama Mama aku."
"..."
"That's the very least thing I can do to protect your feelings. Terus terang, aku juga capek liat Mama diskredit apa yang kamu lakukan, seolah-olah semuanya salah."
"Kamu yakin?"
Tigra mengangguk. "Aku respect Mama sebagai ibuku, tapi karena aku juga udah berkomitmen sama kamu dan rumah tangga kita ya milik kita, ada batas-batas yang harus ditegasin ke Mama. Batas-batas yang nggak boleh dilewati, juga urusan-urusan yang semestinya nggak dicampuri."
"..."
"Sekalian aku ngasih tau Mama kalau aku ini udah gede dan udah bisa ambil keputusan sendiri."
"Tapi sejujurnya, aku nggak mau kamu berantem sama Mama kamu sendiri."
"Nggak akan berantem, kok. Aku bakal ngomong pelan-pelan."
"Kalau Mama masih nggak bisa terima?"
"Aku akan tetap tegasin batas itu, dan terang-terangan bilang ke Mama kalau aku nggak suka kamu diperlakukan kayak gitu."
"Sama aja, ujungnya berantem. Atau gini aja—"
"Nggak, kamu nggak perlu ngelakuin apa pun lagi. Semua yang selama ini kamu lakuin udah cukup. Sekarang bagianku yang ngomong. Kalau Mama masih nggak mau dengar dan respect keputusanku, yaudah."
"Still—"
"Aku tau kamu bukan tipe perempuan yang mesti dilindungi, tapi kali ini, sebagai suami kamu, biarin aku lindungi kamu ya?"
Jella batal mendebat Tigra, malah protes. "IH, KENAPA MANIS BANGET SIH OMONGANNYA?!!! NGAKU, KAMU ABIS KURSUS DI RAWA MANA?!!"
"Nggak kursus, Jella. Itu ungkapan dari hati."
"Gemes banget deh dengernya!!" Jella mengerang. "Jadi pengen cium, kan!"
"Sini."
"Idih, masih pagi ya, Pak Tigra!"
"Terus kenapa? Mumpung Cherish belum bangun juga."
"Di dapur? Nggak ah!!"
"Terus maunya di mana?" Tigra meledek.
"Kamar mandi aja, biar nggak kena tanggung."
*
Di luar terkaan Ryza, ternyata Bu Marlena hanya memeriksa sekilas hasil revisinya, terus membubuhkan tanda tangan.
Gampang banget, kayak menelan air putih. Padahal nih dosen susaaahhhhhhh banget dihubungi, apalagi ditemui. Ryza sudah pernah mendengar cerita-cerita sumbang tentang Bu Marlena dan komentar-komentar kejamnya kalau lagi memeriksa draft skripsi mahasiswa. Memang, yang Ryza minta itu tanda tangan buat hasil revisi skripsinya selepas sidang, tapi ya, tumben saja Bu Marlena nggak menggunakan kesempatan tersebut untuk menggaraminya sampai jadi asinan.
Ryza sih curiga, itu karena hadirnya Wirya yang ternyata cukup mampu mejinakkan si buas Marlena.
"Saya baru tau kalau kamu kenal sama Wirya." Bu Marlena bicara pada Ryza yang langsung gelagapan.
"Hng—iya, Bu. Hehe."
"Kenal di mana?"
"Kita nggak sengaja ketemu di—"
"—waktu itu Ryza magang di tempat teman saya, Bu." Wirya menyambar sembari tersenyum manis. Bohongnya lancar banget, bikin Ryza curiga kalau Wirya tuh sudah terlatih perkara berdusta. "Ryza ini pinter banget, hasil kerjanya juga bagus. Makanya saya notice. Terus kita jadi lumayan sering diskusi."
"Oh ya?"
"Iya."
"Tapi ada bagusnya ya Rhyzoma ini berteman sama kamu." Bu Marlena berkata. "Sekarang penampilannya jadi jauh lebih rapi. Dulu sih nggak."
Duh, mulai deh.
Ryza malas banget kalau penampilannya disindir-sindir kayak gitu.
Memangnya apa salahnya sih tampil berbeda? Lagipula, menurut Ryza, penampilan seorang pelajar tuh semestinya nggak perlu dipermasalahkan, apalagi untuk ukuran anak kuliahan. Memangnya pakai eyeliner hitam di bawah bikin seseorang jadi lebih bodoh? Kan nggak.
Semuannya cuma urusan preferensi.
Sudah bukan jamannya menilai kemampuan seorang siswa dari penampilannya.
Tapi kalau Ryza meneriakkan itu keras-keras, yakin deh minimal ada setidaknya selusin dosen di departemennya yang bakal menentang sekaligus menantangnya berdebat empat jam penuh.
"Emang penampilan saya kenapa, Bu?"
"Urakan gitu, loh. Nggak rapi. Kalau yang sekarang, ya lumayan rapi."
Ryza berusaha keras menahan diri buat nggak memutar bola matannya.
Tak berapa lama, mereka pamit. Ryza baru terang-terangan mendengus saat dia sama Wirya sudah berjalan bersisian melintasi koridor. Wirya tampak menahan senyum, tapi di saat yang sama, dia kayak mengerti kenapa Ryza merasa kesal.
"Jangan lama-lama monyongnya, nanti bibirnya nggak balik lagi lho..."
"Bodo! Abisnya, nyebelin banget!"
"Namanya juga orang tua. Walau jujur, style kamu tuh suka rada unik. Ketika pertama kali lihat kamu juga, saya sempat takjub sama dandanan kamu."
"Emang dandanan saya kenapa?!"
"Kayak cewek komik."
"Emang gitu tujuannya!"
Wirya ngakak.
"Apa sih, Om?! Lucu!" Ryza mendelik galak. "Om jangan dekat-dekat saya deh! Nanti kita disangka pacaran!"
"Emang kenapa kalau kita disangka pacaran?"
"Ada yang keberatan!"
"Hm, tapi saya nggak keberatan."
"IYA! SAYA YANG KEBERATAN!" Ryza meraung, yang justru memicu pecahnya tawa Wirya.
"Teriak-teriak gitu bikin haus nggak sih? Tapi untungnya, habis ini kita lanjut nge-boba bareng ya..."
Ryza menyipitkan matanya. "Beneran langsung banget nih, Om?"
"Iya, dong. Kamu kan udah janji."
"Kalau gitu, kita ke tempat boba yang ada di mall aja, Om! Biar saya sekalian mampir toko buku!"
"Mau ngapain di toko buku?"
"Ngising!"
Wirya ngakak lagi.
"IDIH, BISA-BISANYA NGAKAK SAMA SAHUTAN JAYUS KAYAK GITU?!!"
"Abisnya kamu lucu."
"Bukan sayanya yang lucu, emang selera humornya Om aja yang memprihatinkan—eits, jaga jarak!! Jangan mepet-mepet sama saya, saya nggak mau dikira pacaran sama om-om!"
"Masih tetap kayak om-om ya? Padahal saya sudah berusaha tampil kayak fresh graduate hari ini."
"Mana ada fresh graduate bawa Bentley?!"
"Sori ya. Soalnya Audi saya yang biasa saya pakai lagi di-cek rutin. Makanya saya bawa Bentley."
"SAMA AJA, OM!! Nggak ada fresh graduate yang bawa Audi!!"
"Oh ya? Dulu saya pas masih kuliah udah suka bawa Audi kok."
Oh ya, Ryza lupa kalau Wirya ini berbeda kasta dengannya.
"Oke, saya ralat pertanyaannya. Kamu ke toko buku mau beli buku apa?"
"Nggak beli buku. Mau beli drawing pen."
"Oh, suka gambar?"
"Lumayan."
"Suka gambar apa?"
"Komik homo. Saya fujoshi."
"Fujoshi itu apa?"
"Fandom yang suka konten yaoi, cerita romance homo."
"Tapi kamu nggak suka cewek kan?"
"Saya suka ngelihatin cewek cantik sih."
"Rhyzoma—"
"Tapi saya bukan lesbi kok, Om. Buktinya saya di-ghostingnya sama cowok, kan?"
"Oh." Wirya manggut-manggut. "Kapan-kapan saya mau baca komik kamu deh."
"Komiknya komik homo."
"Terus kenapa?"
"Nggak ilfeel?"
"Saya punya beberapa kolega dan kenalan yang gay kok. Saya juga pernah bikin dokumentari tentang gay di Indonesia dan—"
Omongan Wirya nggak terteruskan karena mereka sudah sampai di parkiran. Ryza sempat heran karena Wirya ikut-ikutan berjalan ke sisi passenger seat, tapi wajahnya memanas begitu dia sadar Wirya begitu supaya bisa membukakan pintu mobil untuknya.
"OM—"
"Apa?"
"Ini modus ya?!"
"Hng?"
"Om bukain pintu mobil buat saya!"
"Oh ya? Hm, mungkin karena kebiasaan. Sama mantan saya yang sebelumnya, saya juga selalu begitu."
"Idih, bucin."
"Saya tuh kalau mencintai nggak setengah-setengah, Ryza."
"Ah, masa sih?"
"Beneran."
"Mau bukti?"
"Boleh."
"Oke, kasih saya izin untuk cintai kamu."
"KOK JADI CINTAI SAYA?!!"
"Kan untuk membuktikan kalau saya nggak setengah-setengah dalam mencintai. Gimana kamu bisa tau itu benar apa nggak kalau nggak dicintai sama saya?"
"Nggak deh, makasih." Ryza berujar seraya masuk ke mobil, terus menutup pintunya.
Sesuai permintaan Ryza, mereka bertandang ke sebuah mall untuk nge-boba sekalian mampir di Gramedia. Keduanya memilih buat nge-boba dulu, karena belanja-belanja di Gramedia bisa dilakukan sesaat sebelum pulang.
Usai menerima boba pesanan masing-masing, mereka berdua memilih duduk di salah satu meja yang berada di dekat pintu. Mall ini cukup jauh dari lingkungan kampus Ryza, jadi Ryza nggak terlalu cemas kalau dia bakal ketemu orang yang dia kenal di sini.
"Om sering ke sini ya?"
"Nggak juga."
"Lah, kok pegawainya pada kenal sama Om?"
"Oh... yang punya outlet ini salah satu kenalan saya."
Ryza berhenti menyedot minumannya. "Astaga, Om tuh punya berapa banyak kenalan sih?!"
"Lumayan banyak." Wirya nyengir. "Boleh saya tanya sesuatu?"
"Tanya aja, asal jangan tanya will you marry me, soalnya Om pasti udah tau apa jawabannya."
Wirya tertawa kecil. "Sehabis ini rencana kamu apa?"
"Rencana apa?"
"Kamu kan udah lulus. Otomatis, hidup kamu bakal berpindah ke fase yang berbeda. Rencana kamu apa?"
"Buset, sekalinya nge-date udah nanya masa depan aja!"
"Oh, jadi kita ini lagi nge-date ya hitungannya?"
Ryza melongo, terus pipinya memanas.
Duh, keceplosan... rutuknya dalam hati, memaki pada dirinya sendiir karena mulutnya yang nggak bisa dijaga.
"Bukan nge-date! Nge-boba!" Ryza ngeles. "Nggak tau. Pasti kerja, soalnya Mama saya nggak akan ngasih saya uang jajan lagi begitu saya udah betulan lulus! Kepikiran sih, pengen mau terusin jualan Dior Batam, tapi sekarang barang yang dari Batam bakal kena pajak juga kayaknya. Jadi jatohnya harganya sama aja."
"Daripada jualan Dior Batam, kenapa nggak jualan Dior beneran?"
"YA MENURUT ANDAAAAA DOMPET SAYA MAMPU?!!"
"Oh..." Wirya manggut-manggut, membuat Ryza memutar bola matanya.
"Atau nggak tau, mungkin coba ngelamar ke Kosmik."
"Kosmik yang kantor konsultan itu?"
"Iya."
"Saya bisa bantu sih. Kebetulan direkturnya salah satu kolega—"
"Anjrit, kayaknya semua orang penting di negara ini tuh koleganya Om Wirya ya?!"
Wirya terkekeh. "Cuma kebetulan pernah kerja sama. Terus istrinya juga pelanggan setia salah satu toko berlian saya."
"Edan." Ryza geleng-geleng kepala. "Om tuh kerja apa sih sebenarnya?"
"Serabutan."
"SERABUTAN ELIT." Ryza berdecak. "Mana ada pekerja serabutan biasa yang nyetir Bentley?"
Wirya tergelak. "Saya bilang serabutan, karena apa yang saya kerjain nggak tentu. Meski lebih seringnya, saya kerja di dunia film. Mostly, film dokumenter."
"Kenapa film dokumenter?"
"Soalnya itu yang saya suka, walau saya pernah juga jadi produser film fiksi satu-dua kali. Film dokumenter itu berbeda. Kalau film fiksi biasanya lebih mengarah ke hiburan yang bisa juga mengandung kritik sosial, kalau film dokumenter lebih kepada menyoroti fakta yang ada atau menceritakan kembali suatu kejadian nyata."
"Film dokumenter banyak ngehasilin duit nggak, Om?"
"Nggak sih, kecuali udah di-take sama platform streaming besar. Biasanya mereka ikut nanggung pendanaan. Tapi di luar itu ya kebanyakan pendanaan saya yang nanggung, atau kerja sama dengan produser lain. Apalagi dari urusan popularitas, biasanya film fiksi tuh lebih populer dan banyak penontonnya."
"Terus kenapa bikin film dokumenter?"
"Hobi kali ya?"
"Buset, Om pasti udah kebanyakan duit!"
Wirya tertawa lagi. "Keluarga saya itu pebisnis dari dulu. Waktu saya lahir, kedua orang tua saya kasih saya hadiah beberapa toko sembako sama toko emas. Terus ya, hasil dari toko itu yang dipakai buat biaya hidup saya. Untungnya, bisnisnya tetap berjalan bagus sih. Terus dari sana, saya ekspansi sendiri ke jenis bisnis yang lain."
"Jadi passive income Om Wirya tuh banyak banget ya?"
"Kurang lebihnya begitu. Saking passivenya, saya jadi bingung mau ngapain. Makanya... yaudah, bikin film aja. Daripada saya bengong doang nggak ada kerjaan."
"Yang gini-gini nih, rentan memicu iri-dengki!" Ryza berseru. "Tapi kalau Om setajir ini, kenapa ya mantan Om ninggalin Om gitu aja?"
"Bukan ditinggalin sih."
"Terus apa?"
"Saya rasa, lebih pas kalau disebut, kita berdua sama-sama saling merelakan."
"Loh, kok gitu?"
Wirya mengedikkan bahu. "Cerita saya sama mantan saya sepuluh tahun yang lalu itu nggak berakhir bagus. Menggantung, tanpa ada penutupnya. Makanya selama bertahun-tahun, saya masih terus mikirin dia, masih terus berusaha dekat lagi sama dia. Bahkan saya sampai bilang, saya rela nggak dicintai selama bisa sama-sama dia. Obviously, lebih gampang dikatakan daripada dijalankan."
"..."
"Sama aja kayak alasan kenapa kamu nekat pergi ke luar negeri buat dapetin penutup yang nggak menggantung sama mantan kamu, kan? Saya juga sama. Sebelum saya ke luar negeri, ada kejadian yang cukup bikin saya marah, yang setelah saya pikir beberapa lama, cukup buka mata saya. Bikin saya jadi tahu."
"... tahu apa?"
"Saya nggak mau menganggap seseorang segalanya, tapi dia hanya menganggap saya seperlunya."
"EDANNNNN!!!" Ryza buru-buru mengeluarkan ponselnya, terus mencatat. "Kutipan ini bakal saya masukkin ke komik homo saya!"
Wirya nyengir, walau tak bertahan lama karena cengiran itu terganti oleh rasa kaget sewaktu dia mendengar suara seseorang memanggilnya.
"Loh, Wirya?!"
Wirya menoleh ke asal suara, hanya untuk mendapati Yuta sedang menatapnya kaget sembari menggendong Kwinsa di pelukannya.
*
"Ya ampun, di luar udah siang!"
Itu reaksi pertama Wuje begitu dia terbangun dan melihat terangnya langit dari jendela kamar yang sudah dibuka. Secepat kilat, anak itu beranjak dari kasur. Saking buru-burunya, dia hampir keserimpet dan terjatuh karena ada bagian selimut yang melilit kakinya. Tapi untunglah, Wuje tangkas menjaga keseimbangan tubuhnya. Tak berapa lama, dia berlari keluar dengan agak panik.
"Mamaaaaa!! Mamaaaaa!! Ini udah siang yaaaa?!! Mamaaaaaa!! Mama, kok akunya nggak dibangunin sih, aku kan mau ke sekolah!! Maaaaaa!! Ihhhh kok nggak ada orang sih?!!"
Wuje bolak-balik dapur dan ruang keluarga seraya terus memanggil-manggil Rei dengan suara keras hingga Rei muncul dari arah kamar tidur.
"Iya, Wuje, kenapa?"
"Mama, ini udah siang! Kok Mama nggak bangunin aku?! Aku kan harus ke sekolah, terus—HAH KOK PAPA DI RUMAH SIH?!! PAPA NGGAK KERJA?!! ATAU JANGAN-JANGAN... PAPA DIPECAT?!!"
"Mana bisa dipecat, yang punya perusahaan kakek kamu!" Jenar bersungut-sungut.
"Terus Papa nggak ke kantor. Gitu?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Lagi males."
"IH, AKU BILANGIN KE OPA BOTAK!!"
"Bilangin aja." Jenar mencibir.
"Mama, kenapa aku nggak dibangunin buat ke sekolah? Apa jangan-jangan sekolah aku juga udah jadi punyanya Opa botak, makanya nggak apa-apa aku nggak ke sekolah hari ini?"
Rei meringis. "Nggak gitu ceritanya, Je."
"Terus ceritanya gimana, Mama?"
"Sekolah kamu diliburin hari ini, soalnya semalam ada maling membobol masuk ke gedung sekolah. Jadinya ada beberapa kaca yang pecah, pas banget di ruang kelas anak-anak. Baru ketauan sama Bu Guru kamu pagi ini. Takutnya nanti bahayain anak-anak, makanya katanya sekolahnya sekalian diliburin aja satu hari."
"Oh... gitu..." Wuje manggut-manggut. "Berarti sekolah aku belum jadi punyanya Opa botak, kan?"
"Belom." Rei meringis. "Lapar nggak? Mama udah bikinin pancake. Nanti dikasih whip cream sama buah-buahan yang kamu suka."
"Lapar! Hehe." Wuje nyengir. "Eh, tapi kata Tante Hyena, kalau baru bangun, harus minum air putih dulu! Aku minum air putih dulu ya kalau gitu—"
Masih dengan lincahnya, Wuje ganti berlari ke dapur. Dia menarik salah satu laci terbawah dari kitchen counter tempat gelas dan cangkir miliknya tersimpan. Ada beberapa cangkir dengan berbagai warna dan bentuk lucu di sana. Tapi buat pagi ini, Wuje lagi pengen minum dari cangkir bergambar gajah.
Anak itu beralih menuju dispenser, namun tidak lama kemudian, seruannya terdengar lagi.
"Mamaaaaa!! Airnya abis!!"
"Oh ya, air galonnya habis. Mama lupa pesan kemarin, tapi pagi ini udah pesan kok—wait—" Rei berhenti di ambang pintu dapur untuk mengeluarkan ponselnya. "Oh ya, Mamang Galon udah ada di depan rumah. Mama ambil bentar ya."
Jenar santai saja, soalnya dia mikirnya Mamang Galon langganan mereka yang bakal bawa masuk galonnya ke dalam rumah seperti biasa. Tapi lelaki itu dibuat ternganga ketika yang muncul sembari mengangkat galon tersebut adalah Rei.
"HAH, KOK KAMU YANG ANGKAT!!!?"
"Iya, kasian Mang Rohim lagi sibuk banget banyak pesanan galon. Makanya aku aja yang angkat—"
"Taro, Regina."
"Nggak apa-apa, Je. Galon segini sih—"
"Regina, taro. Biar aku yang angkat."
Menilik ekspresi wajah Jenar sekarang, Rei merasa bakal lebih mudah kalau dia menurut. Makanya, itu yang dia lakukan. Dia meletakkan galon tersebut ke lantai. Terus Jenar mendekat dan mengangkatnya.
"WUUUUUU, OTOT PAPA KEREN AMAT!! TANGANNYA KAYAK ADA BUAH APELNYA!!" Wuje melongo, berdiri takjub seraya memegang cangkir gajahnya yang masih kosong.
"Iya dong, itulah gunanya laki-laki!" Jenar menurunkan galonnya di dekat dispenser, terus dia membersihkan bagian leher galon dengan tisu antiseptik sebelum memasangnya ke dispenser, menggantikan galon yang sudah kosong. "Nah tuh, kalau mau minum."
"Makasih, Papa."
"Sip."
Rei hanya nyengir saja, terus melangkah mendekat untuk membimbing anaknya supaya duduk sebelum menenggak habis air putih dari cangkir. Sehabis itu, Rei sibuk menyemprotkan whip cream di atas pancakenya Wuje. Jenar baru mau bergabung sama mereka ketika ponselnya bergetar.
Ternyata dari grup.
Pejantan Tangguh Repackaged (7)
yuta: BBBBBEEERRRIIIITTTAAAAA BBBBEEESSSAAAARRRR
milan: demi Tuhan gue bacanya gagap kayak si Azis
tigra: apaan nih
kun: tobatlah wahai sahabat
lanang: eyo
lanang: salam dari binjai
milan: sono cari pohon pisang @lanang
kun: ghibah itu dosa
yuta: yaudah kalo gak mau ikutan, gue kick ya @kun
kun: tapi kalau udah kepalang basah, ya gapapa nyebur sekalian
tigra: YE SI KAMPRET WKWKWKWK
milan: berita apa nih
dhaka: ini apaan repackage segala
jenar: eh, kok membernya ilang satu
jenar: siapa neh yang gak ada di sini
lanang: bang joni nih
lanang: waduh, ini mau ngapain
lanang: kalau mau surprise-in bang johnny, bukannya ulang tahun bang johnny masih lama?
yuta: ini mau berita yang mana dulu nih
milan: ya paling OH WOW TAHUKAH ANDA
yuta: dua-duanya OH WOW TAHUKAH ANDA
kun: yang johnny dulu deh
tigra: bener
tigra: pasti beritanya lumayan sadis, makanya lo sampe bikin grup baru
kun: EH BENTAR
kun: ada titipan nih @jenar
jenar: apa?
kun: departemen kita mau bikin reunian
jenar: wah, itu akal-akalan kampus gak sih
jenar: ngumpulin alumni sekaligus membuka kesempatan untuk donatur
kun: dateng gak?
jenar: gampanglah
yuta: maap, bisa gak kalian anak mesin gak bikin forum dalam forum?
kun: oiya, saya kembalikan kepada tuan rumah @yuta
kun: maaf
yuta: attitudenya dipake ya, kak
yuta: tolong @kun
lanang: GUA JUGA ANAK MESIN
lanang: GUANYA KAGAK DIAJAKKIN? :( @kun
kun: oh ya, maap
kun: gue kira lo youtuber, bukan alumni
milan: lama, bangsat
milan: buruan apaan
yuta: KATANYA JOHNNY MAU CERAI
tigra: ...
tigra: I honestly saw this coming
tigra: walau gue masih berharap kalau in the end, mereka bisa perbaiki semuanya sih
jenar: LO TAU DARI MANA? @yuta
yuta: temen gue gak sengaja liat johnny sama istrinya dateng ke psikolog pernikahan
yuta: itu tuh psikolog yang biasa didatengin artis-artis
yuta: biasanya sih gak lama dari sana, pada cerai
yuta: walau ada juga yang jadinya rujuk
kun: masih spekulasi dong kalo gitu
tigra: tapi itu artinya, johnny sama istrinya kayak masih berusaha mempertahankan rumah tangga mereka dong
jenar: mestinya sih ya, kalo udah dewasa, sama-sama nekan ego lah
jenar: kasian tuh chesnut
jenar: udah sakit, masa kudu lihat ortunya pisah
lanang: CHESTER BANG CHESTER
lanang: LO NGOMONG SYAHDU JADINYA KAGAK SYAHDU LAGI
jenar: hah
jenar: AUTOCORRECT YE KAMPRET
kun: berdoa yang terbaik buat johnny aja deh
kun: yuk, gaes, Alfatihah
dhaka: dia mau cere, bukan meninggal @kun
lanang: WKWKWKWK KACAO
milan: terus yang sensasional lainnya apa, njrit?
yuta: oh, yang ini info spesial alias gue saksikan dengan mata kepala gue sendiri!
kun: ya masa mata kepala orang
yuta: lo sekali lagi sok asik, gue kick beneran ya lo @kun
kun: ampun
lanang: galak amat bang atuy
yuta: ABIS
yuta: ini teh bukan sembarang teh
yuta: emak-emak aja pada belom tau!!!
milan: IYE APA BURUAN KAMPRET
yuta: WIRYA PUNYA SUGAR BABI
tigra: hah
yuta: *sugar baby
yuta: maap, ketikan lelaki setengah Sunda
jenar: wait, lo tau dari mana?
yuta: kan hari ini gue ke mall yah
yuta: mumpung sekolahnya si kwinsa libur
yuta: anaknya udah ngerengek aja minta nonton film paus
yuta: sambil nunggu, si kwinsa minta boba
yuta: banyak maunya tuh anak
milan: YE LO YANG BIKIN LO YANG CURHAT
yuta: nah terus tuh gue ketemu wirya lagi nongkrong sama cewek
yuta: CAKEP
yuta: tapi muda banget
dhaka: emang dia udah gak sama rossa ya?
jenar: katanya sih mau putus
yuta: mau dia masih sama rossa atau gak sama rossa ya
yuta: TETEP LAH AJGGGGGG
yuta: dia punya sugar baby
yuta: mentang-mentang duit banyak dan cewek ngantre
milan: siapa tau ponakannya
yuta: KAGAK YE, GESTURNYA BEDA
tigra: emang gesturnya wirya kayak gimana?
yuta: KAYAK ORANG JATUH CINTA
yuta: ya hak dia sih mau punya sugar baby
yuta: cuma sebage bapak yang baik dan family man, gue rada aneh aja liatnya
milan: AH ELU SIH GAK PUNYA SUGAR BABY BUKAN KARENA GAK MAU
milan: TAPI KARENA GAK MAMPU
milan: AWOKWKWKWKKWKWKWKWKWKWKWK
Yuta removed Milan from the group.
yuta: tidak ada yang boleh menghinaku di grup ini
yuta: sekalipun hinaan itu benar
lanang: gimana, bang @jenar
jenar: KOK GUE
lanang: ya siapa tau terinspirasi untuk punya sugar baby juga
dhaka: silakan aja kalau berani
jenar: KAGAK YA ANJRIT @dhaka
Jenar lagi proses mengetik balasan-balasan selanjutnya buat Dhaka saat ponselnya berdering karena ada telepon yang masuk. Ternyata dari salah satu adik ibunya yang kini bekerja di sebuah rumah sakit khusus kanker di Jakarta.
"Halo."
"Halo, Tante. Ada yang bisa aku bantu?"
"Ah, nggak, Jenar. Tante hanya mau nanya tentang sesuatu."
"Iya?"
"Your wife's surname is Molenaar, right?"
"Iya, Tante."
"Jadi, sekitar dua minggu yang lalu, ada seorang pasien yang datang ke rumah sakit tempat Tante praktek. Katanya dapat rujukan dari dokternya untuk biopsi. Kayaknya perawat yang mengecek forms data kurang memperhatikan, karena nomor kontak pribadi dan nomor kontak keluarga yang bisa dihubungi sama. Nah, hasil biopsinya sudah keluar tiga hari yang lalu, cuma dari pihak rumah sakit nggak bisa reach pasien yang bersangkutan karena teleponnya nggak pernah diangkat. Tante coba telepon kamu, just in case, mungkin pasien ini masih keluarga istri kamu, karena surname Molenaar tergolong jarang Tante dengar."
"Pasiennya laki-laki atau perempuan, Tante?"
"Laki-laki. Sudah tua, mungkin beberapa tahun lebih muda dari Papa kamu."
"... namanya?"
"Juan Felipe Molenaar."
Oh. Benar orang itu, Jenar berpikir.
"Emang hasil biopsinya gimana, Tante?"
"That patient has cancer."
Jenar terdiam, lantas dengan telepon masih melekat ke telinga, tatapannya terarah pada Rei yang sedang mendengarkan Wuje ngomong di sela-sela anak itu mengunyah pancakenya. Sadar diperhatikan, Rei balik menatap Jenar.
"Kenapa, Je?"
Jenar nggak bisa menjawab.
***
cangkir gajah
papa cherry yang akan segera pasang badan buat jella untuk melindungi dari mama mertua
"itu tuh bukan sugar baby, tapi calon pacar."
bau-bau mulai angst
***
a/n:
yak akhirnya aku berhasil buka wetpet.
dari tadi statusnya gangguan melulu.
iya, beb, rei punya surname, tapi gak pernah dipake selain untuk dokumen resmi dan tau sendirilah ya kenapa.
terus apa ya kayaknya abis ini kita bakal mulai masuk bagian angst.
((tapi kalo jenar nantinya beneran berduka, pas banget gak sie udah ada gambarannya dari teaser favorite wkwkwk))
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top