58 | scrunchie
Sebenarnya, Wuje nggak berniat untuk nyasar.
Waktu lihat Rei beranjak, dia iseng saja ikut-ikutan bangun. Jenar terlalu sibuk dengan ponselnya sendiri sampai-sampai nggak sadar. Wuje mencoba mengejar langkah ibunya, tapi sedang ada cukup banyak orang yang lalu-lalang di mall kala it. Jadi tahu-tahu, sosok Rei telah lenyap begitu saja, nggak terlihat lagi.
Wuje cemberut, soalnya dia kepingin beli boba juga, meski belum tau mau beli boba rasa apa. Cuma, karena ibunya sudah menghilang dan Wuje juga nggak ingat-ingat banget outlet boba langganan kedua orang tuanya berada di sebelah mana, dia memutuskan berbalik.
Tadinya, Wuje bermaksud kembali ke food court, pada Jenar yang pasti masih berada di sana.
Akan tetapi, di perjalanan, perhatian Wuje tersita oleh anak kecil yang lagi naik kuda-kudaan mengitari area selantai mall. Kudanya berjalan mandiri, diikuti oleh seorang petugas yang memegang remot. Wuje kepo banget karena warna kudanya yang nggak umum. Jadi deh, dia tergerai mengikuti kuda-kudaan tersebut.
"Om, ini kuda apa?" dengan sok akrab, Wuje mengajak bicara petugas yang mengendalikan kuda tersebut seraya berjalan dari belakang.
"Ini bukan kuda, Dek. Ini namanya alpaca."
"Alpaca itu apa, Om?"
"Wah, nggak tau ya. Mungkin sejenis kuda-kudaan."
"Tadi katanya bukan kuda?" Wuje bersikap kritis.
"Iya, bentuknya nggak kayak kuda."
"Terus alpaca itu apa?"
Petugas tersebut tampak kesulitan membagi perhatian antara Wuje yang berjalan di sebelahnya dan anak kecil yang mesti dia awasi selama berkeliling mall menggunakan kuda-kudaan tersebut. Tapi Wuje cuek saja, melangkah mengikuti, tetap menuntut jawaban.
"Alpaca yang kayak gitu."
"Alpaca ada di kebun binatang nggak, Om?"
"Kurang tau, tapi kayaknya di Ragunan belum ada, deh."
"Apa jangan-jangan alpaca dari luar negeri ya?"
"Mungkin sih."
"Dari mana, Om?"
"..."
"Terus dia ke sini naik apa?"
"..."
"Naik pesawat juga nggak ya? Berarti dia bawa koper dong!"
Sang petugas makin bingung, akhirnya memegang lehernya dengan rikuh seraya tertawa nervous. "Adek mau naik kuda-kudaannya?"
"Mau!"
"Tapi harus bayar, Dek. Coba bilang dulu ke Papa atau Mama-nya yaaa."
"Bayar berarti pake uang, Om?"
"Iya."
"Kenapa nggak pake rumput aja, Om? Eh, alpaca makannya apa sih?"
Petugas tersebut meringis. "Saya juga kurang tau, Dek, alpaca makannya apa..."
Wuje melipat tangan di dada sembari cemberut, merasa kurang puas dengan jawaban yang diberikan. Namun beruntung bagi petugas tersebut, perhatian Wuje berpindah lagi pada sesuatu yang lain ketika mereka melintasi toko mainan. Action figure yang dipajang di etalase depan toko adalah penyebabnya. Secepat kilat, Wuje melupakan soal kuda-kudaan yang tadi menarik perhatiannya. Anak itu menempelkan wajah di kaca, melihat pada action figure tersebut dengan kekaguman yang kentara.
"WUAHHHHH!!! BAGUS BANGET!!!" Wuje berseru, bikin salah satu pegawai toko yang kebetulan melihatnya langsung tertawa kecil. "Kira-kira Papa bakal beliin nggak ya kalau aku minta... eh tapi kan kata Mama kalau mau mainan baru—"
"Ini baru loh, Dek." Kata si pegawai toko seraya mendekat.
"Iya, aku tau kok, Om. Kan masih dikotakin!"
"Maksudnya, baru banget keluar. Keren ya?"
"Iya!" Wuje mengangguk berkali-kali. "Aku pengen beli, tapi nggak tau deh..."
"Kenapa nggak tau?"
"Kata Mama aku, kalau aku beli mainan baru, berarti harus ada satu mainan lama yang dikeluarin dari kotak mainan aku yang di rumah. Nah, aku nggak mau, soalnya kasian mainan aku, takutnya sedih kayak mainannya Andy."
"Andy?"
"Itu loh! Andy yang punya Buzz sama Woody!"
"Oh... yang dari film Toy Story itu?"
Wuje manggut-manggut. "Iya."
"Papa sama Mama kamu mana?"
"Hng..." Wuje baru teringat kalau dia pergi tanpa bilang-bilang pada kedua orang tuanya. Bocah itu celingak-celinguk, terus bingung sendiri. "Hng... Papa sama Mama aku tadi di mana ya..."
"Waduh... kamu jalan sendiri ke sini?"
"Nggak, tadi ngikutin alpaca."
"Alpaca?"
"Katanya alpaca itu kuda dari luar negeri, Om!"
Pegawai toko mainan itu sempat meringis bingung, meski pada akhirnya dia terpikir untuk membawa Wuje ke pusat informasi. Soalnya dilihat dari gelagatnya, kayaknya nih anak 'hilang' betulan. Tapi belum sempat dia menawari Wuje untuk diantar ke pusat informasi, sebuah suara lain sudah lebih dulu menyela.
"Bocah Bebek?"
Wuje menoleh, sontak ternganga. "Opa permen?!"
"Ah, Bapak kenal adek ini?" Pegawai toko mainan di dekat Wuje langsung bertanya. "Kayaknya adeknya hilang, kepisah dari orang tuanya. Cuma untung anaknya nggak panik. Pintar juga. Tapi pas saya tanya Papa sama Mama-nya di mana, dia malah bingung sendiri. Makanya, baru mau saya ajak ke pusat informasi."
"Kenal. Saya sama orang tuanya satu gereja." Lelaki itu menjawab singkat, terus beralih pada Wuje. "Papa sama Mama kamu di mana?"
"Mama lagi beli boba, tapi aku nggak tau beli boba-nya di mana."
"..."
"Terus Papa..." Wuje menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "Hng... Papa di mana ya..."
"Adek kenal sama Opa ini?" Pegawai toko mainan tersebut merasa perlu memastikan.
Wuje mengangguk. "Opa-nya suka kasih aku permen kalau baru selesai gereja!"
Pegawai toko mainan yang Wuje ajak bicara manggut-manggut. Hanya saja, sebelum benar-benar melepas Wuje untuk pergi bersama lelaki tua yang katanya suka memberi permen itu, dia menyempatkan mencatat nomor telepon dan melihat kartu identitas dari lelaki tersebut. Bukan apa-apa sih, hanya jaga-jaga saja. Jaman sekarang kan orang jahat ada di mana-mana. Walau ya, kelihatannya Wuje nyaman-nyaman saja berada di dekat lelaki itu.
"Aku ke sini mau nonton film paus sama Papa sama Mama!" Wuje berceloteh sementara mereka berjalan menuju sebuah kedai es krim sebelum nantinya bakal bertolak ke pusat informasi. "Opa ke sini mau nonton film paus juga?"
"Nggak."
"Terus mau ngapain?"
"Jalan-jalan."
"Oh..."
"Tapi mungkin nanti nonton film paus juga."
"Teman aku ada yang udah nonton! Namanya Lila! Katanya filmnya bagus banget, terus pausnya gede! Aku nggak sabar banget mau lihat!"
"Begitu ya?"
"Iya."
Setibanya di kedai es krim, Wuje langsung berjinjit sambil berpegangan pada tepi meja kasir, berusaha untuk melihat gambar menu-menu es krim yang tersedia. Tapi tetap saja, dia masih terlalu pendek kalau dibandingkan sama tinggi mejanya. Maka, setelah berpikir sejenak, walau sempat terlihat ragu, lelaki tua itu meraup tubuh mungil anak laki-laki tersebut, menggendongnya biar Wuje bisa melihat gambar-gambar es krim pada buku menu.
"Es krimnya take away aja ya. Takutnya orang tua kamu nyariin."
Wuje mengangguk. "Tapi Opa, aku berat nggak? Opa kuat nggak gendong aku?"
"Kamu lumayan berat, tapi ya nggak masalah."
"Soalnya Opa botak pernah kumat sakit pinggangnya gara-gara gendong aku kelamaan. Takutnya Opa ikut-ikutan sakit pinggang. Hehe."
"Opa botak?"
"Papanya Papa aku."
"Oh..."
"Aku mau yang rasa stroberi! Tapi pake choco chips yang banyak! Boleh nggak? Soalnya Opa yang beliin kan, aku nggak punya uang. Hehe."
"Boleh."
Sehabis membeli es krim, saat mereka baru saja keluar dari lift, terdengar pengumuman dari pusat informasi yang mengabarkan hilangnya seorang anak kecil dengan ciri-ciri seperti Wuje.
"Kayaknya Papa sama Mama kamu udah duluan ada di pusat informasi, deh."
"Masa sih?" Wuje menjilat es krimnya, ada yang melekat ke sudut dan bagian atas bibir, yang kemudian Wuje bersihkan dengan lidahnya. "Berarti kita harus cepat-cepat, Opa! Soalnya Mama aku pasti lagi khawatir banget sekarang!"
"Begitu ya?"
Wuje manggut-manggut. "Jangan bilang-bilang ya, tapi Mama aku tuh orangnya gampang khawatir, terus kalau udah khawatir, jadi cengeng banget deh. Makanya Papa suka bilang biar aku jadi anak baik, biar Mama nggak khawatir dan nggak sering nangis gara-gara aku nakal. Yah, aku juga nggak suka sih lihat Mama aku nangis."
"..."
"Es krimnya enak loh! Mau coba?"
"Nggak usah."
"Udah kenyang ya?"
"Iya."
Mereka tiba di pusat informasi yang dimaksud tidak lama kemudian. Lelaki itu sudah menebak kalau Rei dan Jenar pasti akan terkejut ketika melihatnya, tapi toh dia sendiri tetap kaget. Selama sejenak, mereka saling bertatapan. Ada hening yang mencekik, meski suasana mall tengah cukup ramai. Keheningan itu baru terpecah ketika Wuje berlari ke arah ibunya.
"Mama!!" Wuje melangkah cepat sambil masih memegang satu es krim di tangan, terus dia heran sendiri ketika tiba di dekat Rei yang telah berjongkok untuk memeluknya. "Mama, kok nggak nangis sih? Kan aku ilang..."
Rei menghela napas, lalu meraup tubuh Wuje ke dalam gendongannya. Bocah itu lanjut saja makan es krim, seperti tanpa beban. "Mama udah mau nangis, cuma untungnya kamu muncul. Abis dari mana sih?"
"Tadi abis lihat alpaca."
"Alpaca?"
"Kuda dari luar negeri, Ma."
"Kok gitu sih, Je? Mama sama Papa kan cemas nyariin kamu!"
"Tadi tuh aku mau ikut Mama, soalnya pengen boba juga! Tapi banyak orang, terus Mama-nya ngilang. Terus aku pusing, banyak orang mondar-mandir. Eh, ada alpaca! Aku ikutin aja! Abis itu di depan toko mainan, aku ketemu Opa ini! Opa-nya kayaknya tau aku lagi ilang, terus aku ditawarin beli es krim!" Wuje menyorongkan es krimnya ke arah Rei. "Mama mau coba? Enak loh, Ma!"
Rei terbengong sejenak, lalu melirik pada ayahnya yang masih berdiri berjarak dari mereka. Situasinya jadi canggung lagi. Rei juga nggak tau dia harus berkata apa. Tapi pada akhirnya, Jenar yang berinisiatif mengendalikan situasi. Lelaki itu memegang bahu Rei.
"Kamu tunggu aja dulu di depan Mekdi."
"Tapi—"
"Tunggu di depan Mekdi, Regina. Biar aku yang ngomong."
Nada tegas dalam suara Jenar terkesan tak terbantahkan. Lagipula, kalau Rei tetap berkeras ada di sana, dia juga nggak tau mau ngomong apa. Mereka sudah putus komunikasi selama bertahun-tahun. Bahkan ketika Rei menikah dengan Jenar, dia nggak mengabari ayahnya sama sekali.
Tapi Wuje yang berada di gendongan Rei justru jadi bingung bercampur heran.
"Eh, kenapa kita langsung pergi? Mama, aku kan belum bilang makasih udah dikasih es krim!"
"Papa yang bakal bilang makasih, Arga."
"Tapi Mama—"
"Papa aja yang bilang. Kali ini, dengerin Mama ya?"
Wuje mengerucutkan bibir, terlihat kecewa, namun dia memilih menuruti kata-kata Rei dan hanya diam sembari terus menjilati es krimnya.
*
wirya:
eh, menurut lo gue tuh om-om bukan sih?
Setelah memastikan kalau anak dan istrinya sudah duduk dengan nyaman di dalam studio bioskop, Jenar keluar lagi buat mengecek sejumlah chat WhatsApp yang belum sempat dia buka sejak semalam. Bukannya sok sibuk atau gimana, namun semalam dia sengaja tidur lebih awal, sekalian melepas rindu dengan kelonan sama Rei. Terus dari pagi sampai sore, ada banyak meeting yang mesti dia buka dan hadiri, makanya Jenar baru sempat mengecek chat-chat yang nggak berkaitan dengan pekerjaan sekrang.
jenar:
ngapa deh tiba-tiba nanya gitu?
wirya:
YA AMPUN BARU DIBALES SEKARANG.
jenar:
gue sibuk, coy.
wirya:
sibuk ngapain lo.
jenar:
sibuk menjadi kepala rumah tangga yang baik.
mencari nafkah dan memberi perhatian ke anak-istri.
wirya:
iya sih yang punya istri.
jenar:
serius, ngapa tiba-tiba nanya gitu?
wirya:
jawab aja.
gue kayak om-om gak?
jenar:
gak.
wirya:
beneran?
jenar:
wirya, kita tuh seumuran.
kalo lo om-om, berarti gue juga.
which is sangat salah ya.
gue bukan om-om.
lo pun bukan.
wirya:
ok.
jenar:
clear?
wirya:
clear.
jenar:
eh, btw lo sama pacar lo gimana?
wirya:
rosie, maksudnya?
jenar:
ya emang pacar lo ada berapa, bos?
wirya:
kayaknya kita putus.
jenar:
LAH?
wirya:
idk, man
gue ngerasa, selama ini dalam hubungan kita, yang jalan tuh gue doang.
dan sekarang gue keabisan bensin.
jenar:
gih ke pertamina
wirya:
yailah.
jenar:
terus lo mau lepas gitu aja dari rossa?
wirya:
bertahan juga kayak gak ada gunanya.
jenar:
kenapa?
wirya:
I think you said it years ago.
that it's mandatory for us to get frustrated when we aren't being loved in the way we want to be loved.
jenar:
ouch, man.
wirya:
yes, ouch.
somehow, kejadian kemaren-kemaren bikin mata gue kebuka.
terus gue sadar, kalau mencintai tanpa balik dicintai itu bikin capek.
jenar:
well, gotta say I agree.
dulu pun ada masanya gue gitu kok.
wirya:
tapi gak ada jaminan cerita semua orang bisa berakhir kayak cerita lo, je.
mungkin cara gue mencintai dia juga gak cukup untuk bikin dia mau balik bikin gue ngerasa dicintai, like you did to your wife.
my love wasn't enough to save her from herself.
jenar:
nah, I think you're wrong.
wirya:
maksudnya?
jenar:
it wasn't my love that saved regina from herself.
she's what she is now cos of herself.
gue cuma nemenin dia doang.
tapi kalau dia jadi seseorang yang lebih baik, itu ya karena dirinya sendiri. bukan gue.
wirya:
but you can feel her love, right?
gue gak.
jenar:
sorry to hear that, wirya.
wirya:
it's okay.
lagipula, ada sesuatu yang nanti mau gue ceritain ke lo.
jenar:
sesuatu?
wirya:
yes, sesuatu.
tapi nanti.
jenar:
kenapa gak sekarang?
wirya:
karena gue perlu bikin semuanya pasti dulu.
*
Keesokan harinya, Wirya bangun kesiangan.
Tumben-tumbenan bisa begitu. Biasanya, nggak peduli semalam apa pun dia tidur, dia akan terbangun menjelang jam tujuh pagi. Itu juga sudah paling lambat. Makanya, Wirya sempat kaget ketika dia mengecek jam digital di atas nakas samping tempat tidurnya dan mendapati kalau sekarang sudah jam sebelas siang.
Dengan malas, Wirya beranjak dari kasur. Dia mandi dan bercukur. Ada banyak tumpukan pekerjaan yang mesti dia selesaikan, sebenarnya. Sudah lama juga sejak terakhir kali dia menginjakkan kaki di treadmill atau pergi ke gym. Tapi, Wirya nggak lagi ingin melakukan apa pun selain makan ramen siang ini—koreksi, makan ramen dan mengontak Ryza, maksudnya.
Namun, Wirya sempat ragu.
Bakal freak nggak sih kalau dia mengontak Ryza saban hari tanpa alasan yang jelas?
Lelaki itu masih disibukkan dengan isi kepalanya sendiri bahkan ketika ramen pesanannya sudah diantarkan. Dia memang sengaja makan ramen di restoran mall yang jaraknya nggak jauh-jauh amat dari apartemennya. Lelaki itu menatap ke mangkuk, terus melongo sendiri tatkala melihat seiris fish cake yang berbentuk itik. Warnanya kuning, bikin itik tersebut kelihatan makin lucu.
Terus, Wirya senyam-senyum sendiri.
Seenggaknya, dia jadi punya alasan buat nge-chat Ryza.
Maka, Wirya mengeluarkan ponselnya. Dia menjempit fish cake tersbeut menggunakan sumpit dan memotretnya. Bodo amat deh, sekalipun pengunjung restoran lain mau memandangnya aneh; kayak, sudah makan sendirian, foto-foto fish cake, habis itu malah senyam-senyum sendiri. Kalau bukan gila, apa namanya?
Tapi mungkin nih ya... mungkin... Wirya memang lagi dalam proses menuju gila.
Iya, gila karena Ryza.
Wirya sendiri nggak paham kenapa dia bisa begitu.
Sambil makan, Wirya pun menjalankan aksinya mengirim chat ke Ryza.
wirya:
ryza, selamat siang.
ryza:
astaga.
siang.
wirya:
sudah makan siang?
ryza:
om, nanyanya bisa biasa aja gak?
wirya:
ini udah biasa, kan?
biasa yang gimana lagi maksud kamu?
ryza:
nanyanya gini;
ryza, udah makan belom?
wirya:
kan tadi saya nanyanya gitu.
ryza:
engga, ketikan om kayak bule baru belajar bahasa indonesia.
wirya:
ok
wirya:
ryza, udah makan?
ryza:
udah
wirya:
oh
ryza:
iya, om.
wirya:
kok kamu gak tanya balik sih?
ryza:
tanya apa, om?
wirya:
tanya saya udah makan atau belum.
ryza:
mau banget ditanya?
wirya:
mau
ryza:
hadeh.
wirya:
tanya dong.
ryza:
om, udah makan belom?
wirya:
tadi saya makan itu.
lucu banget, saya jadi inget gantungan tas kamu.
ada gantungan itiknya.
ryza:
om, itu penguin, bukan itik
wirya:
masa sih?
bukan deh, ryza.
itu itik.
ryza:
penguin, om.
wirya:
itik, ryza.
penguin warnanya gak kuning.
ryza:
yaudah, sebahagia om aja.
wirya:
bahagia saya?
simpel kok.
ryza:
HADEH JANGAN MULAI.
wirya:
kapan kita nge-boba, ryza?
ryza:
nomor yang anda chat, sedang berada di luar jangkauan.
cobalah beberapa saat lagi.
wirya:
beberapa saat lagi tuh berapa lama ya?
biar saya pasang alarm.
ryza:
gak tau, om.
coba chat lagi besok.
wirya:
oke.
Ternyata betulan, keesokan harinya Wirya kembali nge-chat Ryza. Kebetulan banget, Ryza lagi mantengin handphone, soalnya sedang menunggu-nunggu balasan dari salah satu dosen pengujinya. Untuk revisi skripsinya, dia mesti meminta persetujuan dari semua dosen penguji dan dosen pembimbing. Sayangnya, salah satu diantara mereka tuh susah banget dihubungi. Mentok-mentok, chat Ryza cuma dibaca doang.
Makanya, ketika ponselnya bergetar, Ryza sudah excited banget. Kirain dari ibu dosen penguji. Tapi ternyata dia salah. Chat tersebut dari Wirya.
wirya:
selamat siang, rhyzoma.
ryza:
astaga, kenapa lagi, om?
wirya:
apa nomor kamu sudah gak berada di luar jangkauan?
ryza:
ck, si om.
wirya:
sepertinya sudah gak berada di luar jangkauan ya.
ryza:
typing-nya biasa aja dong, om!
saya bukan kolega bisnis yang mau om ajak meeting.
wirya:
ini sudah biasa loh, rhyzoma.
wirya:
kamu sibuk gak hari ini?
ryza:
sibuk.
wirya:
sibuk apa?
ryza:
bentar deh, saya mau nanya.
jadi orang dewasa tuh emangnya sekaku ini ya, om?
wirya:
emang kenapa?
ryza:
kalo iya, saya males dewasa deh jadinya.
wirya:
rhyzoma, kamu udah dewasa.
ryza:
ya Tuhan... berasa chat sama google.
wirya:
kamu belum jawab saya.
sibuk apa?
ryza:
ngurus revisian, om.
sebel banget nih si marlena kagak bales-bales chat saya!
padahal saya cuma butuh ttd-nya doang!
wirya:
kamu kuliah di kampus mana sih?
ryza:
kapok, om.
wirya:
kapok?
ryza:
kampus depok.
wirya:
bentar, ini dosen yang kamu maksud tuh marlena aristanti bukan ya?
ryza:
ANJAYYYYYYYY
kok bisa tau?!!!
wirya:
beliau pernah jadi narasumber untuk salah satu dokumentari saya, tentang pencemaran lingkungan.
ryza:
OM KENAL?!!
wirya:
iya.
wirya:
saya bisa bantu kamu, kalo kamu mau.
ryza:
GILA KALI KALO SAYA GAK MAU.
ryza:
eh tapi kok mencurigakan ya?
wirya:
hehe.
ryza:
nah kan, om pasti mau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan!!
wirya:
gak, rhyzoma.
ini namanya barter.
ryza:
YAUDAH BURUAN OM MAU APA?!!
ryza:
revisi saya kudu buru-buru kelar nih, biar bisa cepet-cepet daftar wisuda!
wirya:
kapan kamu senggang?
biar kita bisa nge-boba bareng.
ryza:
EDAN.
wirya:
come on, zhoma.
ryza:
APAAN JAMA JOMA
ck, om sepengen itu nge-boba sama saya?!
wirya:
iya.
ryza:
KENAPA COBA?!!
wirya:
saya juga gak tau kenapa.
mungkin karena kamu menyenangkan diajak ngobrol.
dan kamu lucu.
ryza:
ck, yaudah, abis saya dapet ttd si marlena dah.
wirya:
mau ke kampus hari ini?
saya bisa hubungi bu marlena.
ryza:
walah, privilege ini...
wirya:
nanti sekalian saya temani.
ryza:
HAH, GAK USAH!!
wirya:
loh, emangnya kenapa?
ryza:
SAYA GAK MAU KELIHATAN LAGI JALAN AMA OM-OM DI KAMPUS!
wirya:
ryza, kata teman saya, saya bukan om-om.
lagian saya gak setua itu.
dan saya juga gak jelek, kan?
oh ya, karena kamu belum pernah megang, saya sekalian kasih tau kalau perut saya gak buncit lho.
bisa buktikan sendiri kalau gak percaya!
ryza:
walau om ganteng, om tetap om-om!
udah punya anak lagi!
wirya:
arga bukan anak asli saya, ryza
ryza:
terus dia anak palsu, gitu?
wirya:
haduh
wirya:
masalahnya, mau beralasan seperti apa ke bu marlena kalau saya gak temani kamu nemuin beliau di kampus?
ryza:
bilang kalau saya ponakannya om!
wirya:
ponakan ketemu gede?
bu marlena tau kalau ponakan saya tuh cuma arga.
kan saya anak tunggal.
ryza:
HADUHHHHHHHH
Ryza rada khawatir, tapi di sisi lain, dia agak skeptis juga. Masa iya seorang Wirya bisa menaklukan Marlena, dosennya yang memang punya hobi rahasia mengusili dan mempersulit hidup para mahasiswanya itu. Tapi ternyata, nggak sampai satu jam kemudian, chat baru dari Wirya sudah masuk.
wirya:
bu marlena setuju ketemu sehabis jam makan siang.
kamu siap-siap ya, kita makan siang dulu sebelum ke kampus kamu.
saya otw jemput kamu.
Memang, privilege-nya kencang.
ryza:
jemput ke mane?!
wirya:
ke rumah kamu.
ryza:
beneran otw?
wirya:
hari ini saya bawa bentley
saya harap kamu gak keberatan.
Melihat gambar yang Wirya kirim, Ryza hampir terjungkal dari kasurnya. Sontak saja, dia buru-buru bersiap-siap. Mandi juga hanya jebar-jebur. Tak lupa, dia juga nyiapin apa-apa yang mesti dibawa menghadap si Marlena. Ryza baru banget selesai menyisir rambut saat kedengaran suara jeritan ibunya dari depan.
"JOMA!! HEI, JOMA!! KAMU ADA TAMU YA?!! NIH ADA TEMANMU BERMOBIL BAGUS—LOH, NAK WIRYA?!!"
Ryza mendelik, sebab bisa-bisanya Wirya menunjukkan wajah di depan ibunya. Mana di teras rumahnya lagi ada beberapa mamak-mamak tetangga pula. Para ibu-ibu yang sudah dibikin terpukau sama mobilnya Wirya kian dibikin tercengang ketika lelaki itu muncul dari mobilnya. Beneran kayak pangeran baru turun dari kuda putih.
"Rhyzoma! Kok kamu nggak bilang Mama kalau kamu mau jalan sama Wirya?!"
"Nggak jalan, Ma. Udah ya, aku sibuk! Hayuk, Om!"
Tanpa memberi kesempatan pada ibunya untuk mepet-mepet Wirya, Ryza telah lebih dulu menarik lengan lelaki itu, memaksanya masuk ke dalam mobil.
"Padahal saya mau menyapa Mama kamu dulu."
"Nggak usah! Nanti malah lama!" Ryza sewot.
"Ryza,"
"Apa?"
"Kamu selalu ketemu Bu Marlena dengan penampilan seperti ini?"
"Emangnya apa yang salah sama penampilan saya?!" Ryza jadi defensif.
"Kayaknya benar ya tebakan saya?" Wirya tertawa kecil, terus mengulurkan tangan dan mengeluarkan sebuah scrunchie biru muda beraroma bunga dari laci dashboard. "Bu Marlena paling nggak suka kalau orang yang ditemuinya nggak berdandan rapi."
"..."
"Sini."
"Om—"
"Sini, rada deketan ke saya."
Ryza agak ragu, tapi pada akhirnya tetap mendekat dan setelah dia cukup dekat, Wirya mengumpulkan rambut Ryza ke dalam sebuah kunciran, lalu mengikatnya.
"Begini lebih rapi."
"... thanks."
Tapi Wirya malah tertawa kecil. "Mau tau sesuatu yang lucu nggak?"
"Apa?"
"Terakhir kali saya mengikat rambut seseorang pakai scrunchie itu, dia berhasil bikin saya jatuh cinta. Apa setelah ini... kamu juga bakal melakukan yang sama?"
*
Semalam, sepulang dari mall, Rei dan Jenar belum sempat bicara apa-apa soal pertemuan tak terduga mereka dengan ayah Rei. Mungkin karena dua-duanya sama-sama lelah, makanya setelah Wuje tertidur, tak berapa lama, Rei dan Jenar pun ikut tertidur. Barulah keesokan paginya, sewaktu Jenar bangun lebih dulu dari Wuje dan Rei sedang sibuk menyiapkan sarapan, mereka punya waktu berdua saja di dapur.
"Bocil belum bangun?"
Rei menoleh sedikit, otomatis menarik senyum pada Jenar yang berada di ambang pintu dapur, sibuk menguap. "Morning! And yes, anaknya masih tidur. Nggak apa-apa sih, kata wali kelasnya, semalam ada maling yang menyelinap masuk ke sekolahnya Wuje dan mecahin beberapa kaca jendela. Jadi untuk hari ini, anak-anak diliburkan. Mungkin Wuje capek dan makan lumayan banyak semalam, makanya belum bangun."
"Mm-hm." Jenar mendekati Rei, merengkuh pinggangnya kemudian mencium bahu dan pipi Rei dari belakang.
"What are you doing?" Rei terkekeh. "Mending kamu mandi dan siap-siap, nanti telat ke kantor!"
"Emang rencananya mau telat."
"Serius dong, Je..."
"Serius." Jenar mencium sisi leher Rei sekali lagi sebelum melepaskan tangannya yang semula melingkar di pinggang Rei. Dia mengambil gelas, mengisinya dengan air putih dan minum.
"Anyway, soal yang kemarin—" Rei memulai sembari membalik pancake di atas teflon. "—kamu ngomong apa sama Papa aku?"
"Nothing special." Jenar mengedikkan bahu. "Aku sempat nanya, dia ngapain di sana—"
"Pasti nanyanya sewot."
"Of course. Aku nggak suka dia dekat-dekat kamu. Atau Wuje."
"Tapi kayaknya dia baik sama Wuje. He bought him ice cream."
"Still, setelah apa yang dia lakuin, aku nggak mau dia dekat-dekat kamu atau Wuje." Jenar mengernyit. "Dia bilang dia habis ketemu sama temannya, terus nggak sengaja ketemu Wuje di depan toko mainan. Aku tetap bilang makasih, karena gimana pun juga, dia bawa Wuje dalam keadaan baik-baik aja. Dia nggak jawab, langsung pergi."
"Oh..."
"Are you okay, tho?"
"Aku cuma kaget." Rei memindahkan pancake ke piring, lalu membuat beberapa pancake lainnya. Dua untuk Jenar. Dua untuk Wuje. Dua untuk dirinya sendiri. Wuje paling suka pancake dengan whip cream dan potongan buah. "Tapi yaudah. Mungkin dia juga, karena aku nggak pernah komunikasi sama dia. Kita juga nggak bilang apa-apa ketika kita nikah—"
"Actually, I did."
"What?"
"Aku nyamperin dia waktu aku mau nikahin kamu."
"What—but why?"
"Ngerasa perlu ngasih tau dia aja. Tapi ya aku nggak minta izin dia buat nikahin kamu kok."
Rei mengembuskan napas. "It's okay. The past is in the past."
"Tapi jujur ya, gimana perasaan kamu ketemu dia lagi?"
"Just a pity, maybe?" Rei mengangkat bahu, membalik pancake berikutnya. "Kayak... di masa lalu, mungkin segalanya kerasa beda. Aku ngerasa marah, benci, takut, kalau ketemu dia. Tapi sekarang nggak lagi. Bisa jadi karena aku udah nerima semuanya. Apa yang udah, ya udahlah. Seenggaknya sekarang, aku udah cukup paham gimana caranya jadi seseorang yang lebih bahagia. Aku nggak pernah meniatkan maafin dia, atau move on. Tapi mungkin, karena aku udah menerima dan ikhlas buat semuanya, ya move on dan pemaafan itu datang dengan sendirinya."
"Then why pity?"
"Soalnya, Wuje kelihatan nyaman ada di dekat dia. Nggak tahu deh. Bisa aja, kalau situasinya berbeda, Wuje bisa punya dua kakek yang sayang sama dia. Tapi balik lagi, dalam hidup ini, walau terkadang kita mikir ada yang kurang, kalau Tuhan udah bilang 'cukup segitu', ya kita harus terima. Kita nggak boleh greedy."
"I am happy to see the kind of person you've become."
"Hm?"
"You're happier, and healthier, both physically and mentally. Aku senang."
"Because I fell in love." Rei tertawa, lalu mematikan kompor. "And I am in love with the right person, because falling in love with him turns me into the best version of myself."
"Jiahhhh, in love dengan siapa tuh?"
"Nggak tau. Tigra kali ya?" Rei membalas jahil.
Senyum kepedean Jenar lenyap seketika, terganti oleh seruan bete. "REGINA, KOK JAWABNYA GITU SIH?!!"
*
Are we just bent or already broken beyond repair?
Itu pertanyaan Gia yang nggak bisa Johnny jawab. Sebagai gantinya, lelaki itu justru membantu Gia berdiri, kemudian mengajaknya pergi tidur. Gia menangis, memicu Johnny berinisiatif memeluk perempuan itu nyaris sepanjang malam. Ada bagian hatinya yang dilingkupi rasa bersalah. Keadaan ini berat untuknya, itu sudah pasti. Tapi keadaan ini juga berat untuk Gia.
Pagi harinya, Johnny jadi yang pertama terbangun. Dia sempat terdiam sejenak, menatap Gia yang masih tidur, lalu merapikan selimut Gia yang agak tersingkap sebelum turun dari tempat tidur dan berjalan ke luar kamar.
Suasana rumah sepi. Sejak awal, rumah ini memang terlalu besar hanya untuk ditempati oleh mereka bertiga. Tentu, ada asisten rumah tangga yang kerap menginap di paviliun. Namun tetap saja, ada terlalu banyak ruang kosong hanya untuk diisi tiga orang. Apalagi, Gia lebih sering nggak berada di rumah.
Tapi setidaknya, kehadiran Chester bikin rumah ini jadi jauh lebih berwarna.
Johnny menghela napas panjang, membawa langkahnya menuju dapur. Sewaktu dia membuka pintu cabinet dan melihat beberapa bungkus mi instan tersimpan di dalamnya, sebuah ide melintasi benaknya.
Sekitar setengah jam kemudian, Gia terbangun oleh bau harum bumbu mi instan yang terseduh ke dalam air mendidih.
Perempuan itu mengernyit, turut bergerak ke luar kamar dan di ruang tengah, dia disambut Johnny yang sedang duduk lesehan menghadapi meja berkaki rendah.
"Morning." Johnny menyapa.
Gia memiringkan wajah, menatap kompor listrik di tengah meja dengan sebuah panci berukuran sedang tertumpang di atasnya. Panci itu terbuka, berisi air mendidih dan mi instan yang terebus bersama sejumlah bahan pelengkap; sosis, bakso, telur dan entah apa lagi.
"Kamu... ngapain?"
"Bikin sarapan."
"..."
"Kamu bisa join, kalau mau. Gratis kok. Lagipula, kayaknya aku salah memperhitungkan porsinya. Mi segini terlalu banyak buat aku."
Salah memperhitungkan porsi, katanya.
Gia berdecak. Tentu saja bukan itu maksud sebenarnya. Johnny ingin mengajaknya sarapan bersama. Sesuatu yang tak bisa dia ujarkan secara terang-terangan.
Gia mengembuskan napas. Dia sempat terlihat agak nggak yakin, tapi pada akhirnya tetap berjalan mendekat dan duduk di depan Johnny.
"This feels like déjà vu."
Johnny mengangguk seraya mengaduk mi dalam panci menggunakan sumpit. "And I know why."
"Mm-hm."
"The night we spent together for the first time, I still remember it." Johnny berujar. "Di tempatku. Hujannya deras dan ada kabar kalau banyak titik-titik banjir. Aku nggak bisa ngebiarin kamu pulang dalam kondisi kayak gitu, dan kamu nggak perlu dipaksa buat nginap di tempatku."
"Mm-hm."
"Then, kita bikin mi juga, sama kayak gini." Johnny mematikan kompor. "Pakai kompor listrik. Ditempatin di tengah meja. Kamu bilang, kamu nggak biasanya makan mi instan malam-malam, karena bisa bikin gendut."
"Makanya kenapa sekarang kamu ngajak aku makan mi instan pagi-pagi?"
"Menurut kamu?"
"Katanya, makan mi instan pagi-pagi bisa bikin sakit perut."
"Really? Jaman aku kuliah, aku pernah berapa kali makan mi instan pagi-pagi. Nggak pernah sakit perut tuh." Johnny menyendok sebagian mi instan ke dalam mangkuk kecil. Tak lupa menambahkan kuahnya. Gia hanya memperhatikan saat Johnny meniup sejenak mi instan yang masih berasap karena masih panas, namun salah satu alisnya terangkat heran sewaktu Johnny mengulurkan mangkuk tersebut padanya. "Nih."
"Buatku?"
"Iya."
"Tapi kenapa—"
"Kenapa apanya?"
"Kamu tadi tiupin mi-nya."
"Oh iya, ya?" Johnny berdeham. "Mungkin karena udah kebiasaan. Tiap kita makan bareng, kalau makanannya terlalu panas, kamu suka nggak sabar. Makanya, aku jadi kebiasaan tiupin makanan kamu dulu, biar makanannya nggak bikin mulut kamu kebakar."
"..."
"Gitu ya?"
"Bisa jadi kamu lupa, karena udah lama banget sejak terakhir kali kita makan bareng."
"..."
"Kapan terakhir kali kita makan bareng ya, Gianna?"
Gia tertunduk, tapi tetap menerima mangkuk berisi mi instan yang Johnny berikan. Dia menggulung mi-nya pakai sumpit, kemudian menyuapkannya. Mi-nya hangat. Matanya berkaca-kaca dan dalam sekejap, pandangannya memburam oleh air mata.
"... maaf."
"What?"
"Maaf... karena... aku terlalu sibuk..."
"Gianna—"
Gia mengangkat wajah, menyeka bawah matanya pakai punggung tangan. "Pertanyaanku yang semalam, kamu bisa jawab nggak?"
Johnny batal mengisi mangkuknya, justru menarik napas dalam-dalam. "Aku nggak tau, Gia. Aku tau, keadaan ini bikin kita capek. Aku ada rasa kecewa sama kamu. Kamu ada rasa kecewa sama aku. Tapi itu nggak berarti aku mau pisah dari kamu."
"..."
"Aku nggak tau apa aku berhasil bikin kamu ngerasain itu atau nggak, tapi Gia, aku sayang kamu. Bukan cuma karena kamu istri aku. Bukan juga karena kamu ibunya anak aku. Tapi karena kamu... ya kamu. Jujur, aku marah sama kamu, namun apa marah berarti aku benci sama kamu dan nggak mau lihat kamu lagi? Nggak sama sekali."
Gia mereguk saliva. "Terus... kita harus gimana?"
"Mungkin kita bisa coba perbaiki apa yang tertinggal dari kita."
"... dan kalau nggak berhasil?"
"Then sadly, maybe... we have to let go of each other."
to be continued.
***
si tampan yang siap untuk jatuh cinta lagi (kayanya)
semakin gencar kayanya proses persiapannya
bapak-bapak suka asal selip aja
***
a/n:
ya... begitulah...
duh, gue gak tau nih bakal ending di chapter berapa, tapi udah mayan mendekati puncak kesedihan.
jiahhhhhh.
yaudahlah sampe ketemu di chapter selanjutnya, beb.
makasie.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top