57 | anak hilang

"Kalian berdua kelihatan benar-benar kacau. Mami rasa, kamu sama Gia perlu pulang dulu. Istirahat yang benar-benar istirahat. Makan yang cukup dan sehat. Buat sementara, Mami yang akan jaga Chester di rumah sakit."

"Tapi, Mi—"

"Johnny, salah satu tindakan terbaik yang bisa kamu dan Gianna lakukan buat Chester sekarang adalah tetap sehat. Kalau kalian terus-terusan gini dan nggak taking a break, tinggal menunggu waktu fisik kalian tumbang. Jangan membantah. Kalian pulang dulu. Kalau ada update dari dokter terkait kondisi Chester, Mami akan langsung kabarin kamu dan istrimu."

Johnny nggak meneruskan membantah, memutuskan menurut meski cukup berat buatnya meninggalkan sisi tempat tidur anak laki-lakinya. Gia tampak enggan, tetapi kantung matanya yang makin tegas sudah cukup menjelaskan kalau apa yang dibilang sama ibu mertuanya itu memang benar.

Mereka berjalan menyusuri koridor rumah sakit bersebelahan. Suasananya sepi, karena sudah lewat tengah malam. Hanya petugas medis berseragam putih sesekali hilir-mudik. Keduanya masih diam, hingga mereka tiba di depan rumah sakit dan Gia justru berbelok ke arah yang berbeda.

"Kamu mau ke mana?"

"Pulang."

"Aku juga mau pulang."

"Aku naik taksi aja."

"No. Pulang sama aku."

"Johnny,"

"Gianna, aku tahu hubungan kita lagi nggak baik, but there's no way aku biarin kamu pulang jam segini naik taksi. Apalagi tujuan kita sama. Jangan konyol."

Gia menatap Johnny, lalu akhirnya mengalah karena dia terlalu capek untuk berdebat. Perjalanan dari rumah sakit menuju rumah mereka dilalui dalam kesenyapan yang terasa cukup tegang nan mencekik. Sambil menyetir, Johnny bertanya-tanya, apa hubungannya dan Gia benar-benar sudah nggak bisa diselamatkan lagi?

Mungkinkah tinggal menunggu waktu sampai mereka berujung pada kata pisah?

Johnny menelan saliva. Dia nggak menginginkan itu. Di luar kesibukan Gia dan semua ambisinya yang membuat dia agak melupakan Chester, Johnny tetap menyayangi Gia. Kalau nggak, dia tak akan nekat melamar perempuan itu bertahun lalu di red carpet saat premiere salah satu film Gia yang paling populer digelar.

Johnny menghela napas, melirik pada perempuan yang duduk di sampingnya. Alisnya terangkat satu ketika dia menyadari kalau Gia telah ketiduran. Rasa lelah telah mencapai poin terbaik dirinya.

Lelaki itu terdiam sejenak, sebelum menurunkan sandaran jok yang Gia duduki, membuatnya lebih rendah supaya Gia merasa lebih nyaman.

Malam membuat jalanan yang biasanya ramai jadi jauh lebih sepi. Nggak heran kalau mereka memerlukan waktu yang lebih singkat untuk sampai di rumah. Gia masih saja terlelap, bahkan saat Johnny sudah menghentikan mobil di depan garasi.

Johnny nggak langsung turun dari mobil. Dia menyempatkan diri menatap Gia beberapa lama. Pada rambutnya yang digelung asal-asalan. Pada bayangan hitam di bawah matanya. Pada kulit wajahnya yang pucat. Pada kuteksnya yang nggak terawat dan telah terkelupas di beberapa bagian.

Belum pernah Johnny melihat Gia seberantakan ini sebelumnya.

Dari awal mereka mengenal, Gia telah memiliki karir yang solid di dunia perfilman. Dia dihormati dan dihargai, selalu presentable, well-groomed dan rapi. Gia mencintai pekerjaannya, menikmati berada di dunia yang membesarkan namanya. Dia amat passionate, dan itu adalah salah satu alasan kenapa Johnny jatuh cinta padanya.

Apa mesti passion yang sama juga jadi alasan kenapa mereka memutuskan berpisah untuk seterusnya?

Untuk yang kesekian kalinya, Johnny menghela napas panjang, lalu dia menyentuh bahu Gia pelan.

"Gianna..."

Tidak ada reaksi.

"Gianna, kita udah sampai di rumah."

Kerut muncul diantara kedua alis Gia, disusul matanya yang terbuka. "... what?"

"Kita udah sampai di rumah."

"Oh, damn it." Gia memijat batang hidungnya sebab kepalanya terasa pening. "Aku lama nggak bangun ya?"

"Nggak. Kita baru aja sampai."

"Oke."

"Bisa jalan ke dalam?"

"Of course, I can." Gia meraih kenop pintu mobil, lalu lanjutnya sebelum dia keluar, "Lagian, it's not like kamu mau gendong aku kalau aku nggak bisa jalan, kan?"

Wrong, Johnny bergumam dalam hati.

Usai memastikan mobilnya sudah terkunci, keduanya masuk ke rumah. Gia memilih langsung masuk kamar. Tak berapa lama, Johnny mendengar bunyi air mengalir dari shower. Lelaki itu beralih ke dapur untuk membuat kopi.

Johnny baru saja menyesap dua teguk kopinya ketika dia mendengar suara tangis dari arah kamar. Suaranya samar, namun karena suasana rumah sangat sunyi, Johnny bisa mendengarnya dengan cukup jelas.

Lelaki itu meletakkan gelas kopinya di atas konter marmer, lantas berjalan menuju kamar tidurnya. Pintunya agak sedikit terbuka, jadi Johnny langsung masuk. Dia tercengang tatkala mendapati Gia sedang terduduk di lantai, di depan stop kontak dan sebuah hairdryer yang belum tercolok. Perempuan itu terisak, masih mengenakan bathrobe. Rambutnya masih basah dan belum disisir.

"Gianna—Jesus, what's wrong—" Johnny buru-buru menghampiri Gia, terus duduk di depannya. "Gianna, kenapa?"

Gia masih saja terisak.

"Gianna, look at me, what's wrong?"

"Hairdryernya..." Gia tersedu. "—hairdryernya nggak mau nyolok."

Johnny mengerjap, tercengang sebab lagi-lagi, dia belum pernah melihat sisi Gia yang seperti ini. Perempuan itu nyaris nggak pernah merengek. Kalau pun menangis, itu biasanya karena alasan yang serius, bukan alasan sesepele hairdryer yang sulit dicolokkan ke stop kontak.

"Aku bantu ya." Johnny berkata seraya mengambil alih hairdryer dari tangan Gia, lantas mencolokkannya dengan mudah ke stop kontak. Gia masih tetap terisak, jadi Johnny berinisiatif membantu perempuan itu mengeringkan rambutnya.

Sejenak, tak ada seorang pun diantara mereka yang bicara. Satu-satunya suara yang terdengar adalah deru halus dari hairdryer yang menyala sementara jemari Johnny memisahkan sejumput demi sejumput rambut Gia, memastikannya kering secara merata.

Kemudian, setelah rambut Gia kering, sempat ada kesunyian yang mengambang diantara mereka beberapa lama.

Lalu, Johnny berdeham.

"Gianna,"

"... ya?" Gia menyahut masih dalam posisi memunggungi Johnny.

"Aku minta maaf."

"..."

"Buat semua yang kukatakan sejak kamu pulang, karena pasti ada yang menyinggung kamu. Kamu punya kesalahan. Aku juga. Aku minta maaf untuk salah yang sudah kubuat. Jujur, aku nggak pernah ingin nyakitin kamu."

"... John,"

"... ya?"

"Are we just bent or already broken beyond repair?"

*

Jenar sedang melamun sambil duduk di tepi ranjang ketika Rei masuk kamar sehabis menidurkan Wuje. Malam ini, dia perlu waktu cukup lama untuk bikin Wuje benar-benar terlelap. Bahkan saat sudah tidur pun, Wuje tetap memegang tangan ibunya dengan erat, membuat Rei mesti sangat pelan-pelan melepaskannya biar dia bisa kembali ke kamarnya tanpa membangun anak laki-lakinya.

"Si bocil clingy banget malam ini." Rei berujar geli sembari mendekati kasur.

Jenar tetap diam saja, nggak kunjung menyahut.

"Jenar?"

Jenar tersentak, sontak menatap pada kedua kaki istrinya.

Oke, yang ini napak. Berarti asli, Jenar membatin lega sebelum menarik senyum lebar yang terkesan salah tingkah.

"Si bocil udah bobo?"

"Kamu melamun ya?"

"... nggak, kok."

"Jelas-jelas kamu melamun." Rei duduk di samping Jenar, sama-sama di tepi tempat tidur. "Kenapa?"

"Nggak apa-apa."

"Waktu aku baru datang tadi siang juga, kamu melamun. There's something wrong, aku bisa rasain. Kenapa, hm?"

Jenar menghela napas, sempat melirik pada jendela besar kamar mereka yang terselubungi tirai tipis, lalu merinding sesaat kala teringat cerita Wuje tentang sosok berambut panjang yang dilihatnya terbang dari pohon mangga ke pohon mangga.

"Menurut kamu, rumah ini gimana, Gina?"

"Gimana apanya?"

"Gimana penilaian kamu? Apa rumah ini nyaman, atau—"

"Je, kita udah tinggal di sini lebih dari empat tahun. Masa kamu tiba-tiba nanyain ini sekarang?"

"Aku mau tau aja, penilaian kamu gimana." Jenar ngeles.

"Rumah ini nyaman kok. Too big for my liking, karena kita cuma tinggal bertiga, tapi ya di sisi lain, karena spacious, kita nggak pusing kalau ada banyak tamu yang mau nginep, atau gampang kalau mau bikin acara apa-apa. Wuje juga punya tempat main yang luas. Terus halaman belakang kita—"

"Kenapa sama halaman belakang?"

"Aku suka. Asri dan adem gitu kalau dilihat. Ijo-ijo, banyak bunga yang kusuka juga. Wuje bisa lari-lari bebas dan makan buah dari pohon punya kita sendiri. Apalagi, dari dulu kamu kan emang udah selalu bilang ke aku kalau kamu pengen punya rumah yang halaman belakangnya luas banget."

"Oh..."

"Mm-hm, ada lagi?"

"Selama tinggal di sini, kamu pernah punya pengalaman serem nggak?"

"... something happened?"

"..."

"Yuta ngelihat kuntilanak lag—"

Rei belum menyelesaikan pertanyaannya ketika tiba-tiba, Jenar menutup mulutnya menggunakan telapak tangan.

"Please, jangan disebut."

Rei menurunkan telapak tangan Jenar dari mulutnya. "Beneran ya, something happened?"

Pada akhirnya, Jenar mengangguk.

"Yuta ketemu si Mbak lagi?"

"Bukan Yuta yang ketemu, tapi aku."

"What?!"

"Ternyata beneran, Regina. Di rumah kita ada hantunya." Jenar berkisah. "Awalnya Wuje yang ngaku kalau dia lihat orang terbang. Habis itu semalam... aku yang disamperin."

Rei malah semangat. "Gimana disamperinnya?!"

"Kok kamu justru excited gini sih?!"

"Aku belum pernah lihat setan."

"Amit-amit, jangan sampe!" Jenar berseru. "Absurd banget. Nggak jelas gitu mukanya."

"Terus kamu takut?"

"Kaget, sih. Soalnya males banget lihatnya. Cuma... waktu dia ganti wujud, baru aku takut."

"Ganti wujud gimana?"

"Dia ganti wujud jadi... kamu..."

Rei ternganga. "Wah, kok bisa gitu?!"

"..."

"Apa jangan-jangan si Mbak tuh sejenis shapeshifter ya? Kayak Jacob Black di Twilight?!"

"Regina, masa malah connectnya ke Twilight sih?!" Jenar protes.

"Sori." Rei nyengir. "Kepikirannya itu. Terus gimana? Kamu peluk si Mbak atau gimana? Atau kamu kelonin dia? Makanya kamu kelihatan diam banget seharian ini, bahkan sampai lupa peluk aku ketika aku baru nyampe rumah tadi?"

"Nggak. Dia cuma senyumin aku. Aku tau lah kalau dia bukan kamu!"

"... terus?"

"Tapi aku jadi takut nggak bisa bedain kamu sama si Mbak..."

"Oh... pantesan hari ini kamu sering banget lihatin kaki aku. Kirain kenapa..."

"Gimana ya? Jujur, aku takut banget kalau aku salah cium atau salah kelon. Lagian, nyebelin banget, masa dia mirip-miripin diri sama kamu sih?!"

"Mungkin si Mbak naksir kamu kali, Je."

"AMIT-AMIT!!" Jenar tersentak. "Jangan gitu dong, Regina!!"

Rei tertawa. "Hm... aku juga bingung kalau gini caranya..."

"Kamu nggak takut, gitu?"

"Dulu gosipnya, kosan Sadewo juga banyak setannya kok." Rei membalas. "Cuma ya, aku nggak ambil pusing. Hal-hal kayak gitu pasti ada, Je. Tapi selama dia nggak ganggu aku, ya terserah. Kita juga baru pindah ke sini empat tahunan yang lalu, kan? Sebelumnya, rumah ini udah ada sejak Papa kamu masih muda. Mungkin Mbak-nya emang udah tinggal di sini duluan? Kalau gitu ceritanya, ya kita saling menghargai aja."

"Tapi ya apa si Mbak nggak kasihan sama aku? Males banget kalau aku pengennya ngelon kamu, eh malah kelonan sama si Mbak!"

"Loh, harusnya kamu senang, dong! Berarti kamu beneran buaya professional, sampai-sampai cewek yang ghaib aja pernah kamu kelonin..." Rei meledek.

"Regina, ngomongnya jangan gitu, dong! Aku beneran takut nih!"

"Atau gini aja deh—I'll try to ask Jella about how to get a priest to bless our home."

"Loh, sejak kapan Jella alim?!"

"Gitu-gitu, Jella sama Tigra tuh dekat sama Tuhan tau!" Rei nyengir. "Jella pernah cerita, waktu wedding anniversary, Tigra pernah hadiahin dia rosario yang udah diberkati di gereja."

"... anjrit, yang kayak gituan dijadiin kado anniv?!"

"It's a love language ya, kalau menurut aku. Kan Tigra ngasih itu dengan harapan istrinya bakal selalu diberkati dan dilindungi."

"Terus maksud kamu, aku nggak punya harapan biar istri aku selalu diberkati dan dilindungi gitu?"

"Loh, kok kamu nyimpulinnya gitu!" Rei tertawa. "Tapi ya kan emang nyatanya kamu nggak pernah hadiahin aku rosario. Mentok-mentok juga Tiffany & Co kalau nggak Cartier."

Jenar cemberut.

"Jangan cemberut dong, Je." Rei membujuk Jenar supaya nggak ngambek. "Untuk sementara ini, kamu rajin-rajin berdoa aja biar si Mbak nggak jahil berubah wujud jadi aku."

"Regina—"

Kata-kata Jenar terputus saat tiba-tiba, Rei memeluknya. Lelaki itu mengernyit, meski akhirnya dia membuang napas sembari mengelus belakang kepala Rei.

"Kenapa, kok tiba-tiba meluk?"

"Kangen."

"Tumben ngaku kangen duluan."

"Nggak apa-apa, mending aku ngaku kangen ke suami sendiri daripada ngaku kangen ke suami orang."

"Jangan coba-coba kalau kamu nggak mau aku kesurupan." Jenar tertawa kecil. "But how was the short escape, tho?"

"Aku happy banget, meski sempat ada sedikit kejadian nggak enak antara Jella sama ibu mertuanya."

"Ah ya, Jella sama ibu mertuanya beneran berantem ya?"

Rei mengangguk. "Mm-hm. Di telepon. Jujur, kata-kata mama mertuanya jahat banget. Kalau aku jadi Jella, aku pasti bakal sakit hati banget."

"..."

"Aku jadi kayak diingatkan buat nggak taking my in-laws for granted. Kayak... keluarga kamu baik banget dan terima aku dengan tangan terbuka sejak awal. So, I am grateful, for having you as my husband, and your family as my in-laws."

"..."

"Semoga aku juga bikin kamu ngerasa beruntung ya, Je."

"Udah kok, Regina. Aku selalu ngerasa beruntung setiap aku bangun pagi dan lihat kamu yang ada di sebelah aku."

"Cheesy." Rei menarik diri dari pelukan Jenar. "Anyway, selama liburan kemarin, aku sempet mikir lagi."

"Mikirin apa?"

"If you don't mind, I would love to try again later."

"Try again for what?"

"Second--ah no, I mean, third child.

Jenar tergelak. "I would be glad to comply with that, Regina. Tapi kesehatan kamu tetap prioritas utama aku. So, let's wait for a few months before we start trying again, okay?"

"Okay."

*

Dalam hidup, bakal selalu ada situasi di mana kita hanya bisa bilang "yaudalah ya" lalu move on.

Buat Rossa, situasinya dengan Wirya saat ini adalah salah satunya. Tadinya, dia sempat terpikir untuk mempertimbangkan keinginan Wirya. Bisa jadi, dia memang terlalu dekat dengan Jaka dan kecemburuan Wirya itu valit. Namun setelah melihat Wirya check-out dan memutuskan pulang bersama gadis muda yang Rossa nggak tau Wirya temukan di mana itu, rasa dongkolnya malah kembali memuncak.

Mungkin apa yang dia pikirkan dulu itu benar. Mereka seharusnya tetap seperti dulu, sibuk dengan hidup masing-masing dan nggak memaksa menjadikan sesuatu yang nggak ditakdirkan untuk menjadi. Tapi ya sudahlah. Rossa masih punya banyak deretan pekerjaan yang mesti dia selesaikan selama sisa tiga hari waktunya berada di sini.

Sehabis menyelesaikan satu bagian pekerjaannya, Rossa yang merasa bosan beralih meraih ponselnya dan membuka Instagram. Nggak ada unggahan baru dari Wirya. Sebaliknya, unggahan baru Jaka berada di paling kiri.

Tanpa pikir panjang, Rossa meng-klik lingkaran foto profil Jaka. Ternyata isinya Jaka yang sedang berada di rumah Jenar. Rossa bisa mengenali halaman belakang rumah Jenar yang luas. Kebanyakan isinya didominasi video-video yang memuat tingkah lucu para bocah—terutama Wuje yang aktif banget nyengir ke arah kamera.

Melihat senyum Wuje, Rossa ikut-ikutan tersenyum, lantas dia mengetik reply.

lavienrossa: astaga, argan lucu banget <3

lavienrossa: bagi videonya dong!

jakatfitrah: loh, masih bangun?

lavienrossa: baru nyelesein kerjaan

jakatfitrah: jangan terlalu memforsir diri

jakatfitrah: nanti sakit

lavienrossa: gak ada yang peduli ini

jakatfitrah: lo mau gue jawab kalo gue peduli, gak?

lavienrossa: oh, please

jakatfitrah: jangan bilang kalau lo masih marahan sama wirya?

lavienrossa: dibilang marahan pun gak tepat

jakatfitrah: maaf...

lavienrossa: jangan mulai lagi, dong

jakatfitrah: ya gue ngerasa gue salah

jakatfitrah: walau gue gak menyesal sudah bawa lo ke bukit itu

jakatfitrah: kalo waktu bisa diulang, gue tetap bakal melakukan itu

lavienrossa: dan kalaupun waktu bisa diulang, gue tetap bakal ikut lo ke bukit itu

jakatfitrah: ah ya, videonya arga gue kirim lewat whatsapp aja ya

lavienrossa: thankyou

jakatfitrah: he's truly a bunch of joy, isn't he?

lavienrossa: yes

lavienrossa: sometimes I envy his mother lol

lavienrossa: soalnya gue pengen punya yang kayak argan juga

jakatfitrah: ikr, that kid is sooooo lovable

lavienrossa: his parents raised him well, I think

lavienrossa: makanya walau gue pengen punya yang kayak argan, gue juga tau diri

jakatfitrah: tau diri gimana?

lavienrossa: ya gue bukan rei atau jenar yang capable ngebesarin anak mereka dengan baik sampai bisa jadi kayak argan

jakatfitrah: don't say that

jakatfitrah: I think you have a talent to be a good mother

jakatfitrah: wirya juga orangnya bisa handle anak kecil kan

lavienrossa: jaka

jakatfitrah: yaaa?

lavienrossa: I am thinking about breaking up with wirya

jakatfitrah: loh, kenapa?

lavienrossa: gue ngerasa kita berdua udah sama-sama terlalu capek

lavienrossa: dia balik ke indo bareng cewek yang kemaren gue ceritain

jakatfitrah: mungkin itu cuma temannya

jakatfitrah: kayak gimana kita temenan aja, cha

lavienrossa: no, it seems different

lavienrossa: tapi yaudahlah, maybe it's better to let go

lavienrossa: ada beberapa hal yang gak peduli mau sekeras apa pun lo berusaha, tetap gak bisa

lavienrossa: dan sebagai pacarnya, kayaknya gue juga udah gagal memenuhi ekspektasi dia

jakatfitrah: cha

lavienrossa: santai aja

lavienrossa: gue gak ngerasa sedih atau sakit hati, sebenernya

jakatfitrah: then how are you feeling?

lavienrossa: empty

jakatfitrah: I am sorry

lavienrossa: jaka

jakatfitrah: ... ya?

lavienrossa: dosa gak kalau gue bilang, somehow, gue kangen lo?

*

Kalau ada ungkapan yang bilang seburuk-buruknya gejolak neraka, tetap nggak lebih buruk dari amarah seorang wanita, Wirya sepenuhnya setuju.

Mamanya Ryza seram banget saat ngamuk. Cuma untungnya sih ya, Wirya mampu menenangkan perempuan itu dan mengajaknya duduk bersama di sebuah restoran cepat saji yang berada di bandara. Di sana, bertemankan kentang goreng dan soda, Wirya menjelaskan apa yang terjadi pada mamanya Ryza, termasuk fakta kalau Ryza kabur ke luar negeri buat mencari kabar soal pacar online yang sudah nge-ghosting dia.

Wirya sudah menebak, mamanya Ryza pasti bakal muntab lagi ketika tau alasan anak perempuannya nekat cabut ke luar negeri. Makanya, ketika perempuan itu menunjukkan ancang-ancang mau menggaplok Ryza lagi, Wirya buru-buru pasang badan, menjadikan punggungnya sebagai tameng untuk melindungi Ryza.

Kenapa begitu?

Wirya sendiri nggak tahu.

Pembicaraan mereka di bandara ditutup oleh permintaan maaf mamanya Ryza ke Wirya.

"Maaf ya, Nak Wirya, habisnya begitu dengar kalau yang ngangkat telepon anak saya laki-laki, apalagi Ryza manggilnya pakai 'om', terus terang pikiran saya jadi ke mana-mana."

"..."

"Saya kira Nak Wirya tuh om-om buncit jenggotan yang hobi macarin anak di bawah umur. Tapi ternyata saya salah."

"..."

"Nak Wirya ganteng, kayak aktor Cina. Ehe."

Wirya hanya bisa tersenyum sambil menahan meringis. Walau bisa dibilang, dia cukup lega karena kesalah-pahaman yang terjadi bisa diluruskan dengan baik. Mereka berpisah di bandara. Ryza pulang bersama ibunya, sedangkan Wirya memilih menggunakan taksi.

Menjelang sore hari, ada chat masuk ke ponsel Wirya.

ryza:
om, makasih banyak ya udah bantuin saya.
maaf juga udah merepotkan.
mama bilang, kalau om berkenan, mama mau ganti biaya tiket pesawat sama hotel yang udah om keluarkan untuk saya.
minta nomor rekening ya, om.
makasih.

wirya:
tumben sopan banget...

ryza:
isi chatnya didikte sama mama saya, om.

wirya:
oh, pantes.

ryza:
minta nomor rekening, om.

wirya:
jadi nama kamu tuh rhyzoma sastragala?

ryza:
om, kok gak nyambung sih?

wirya:
jawab dulu.

ryza:
iya.

wirya:
cantik.

ryza:
EMANG.
bagi rekening, om.

wirya:
gak apa-apa.
gak usah diganti.

ryza:
om, jangan gitu.
saya tau duit segitu cuma recehan buat om.
tapi ya jangan gitu.

wirya:
nah, tuh tau kalo duit segitu cuma recehan buat saya.

ryza:
om, saya udah cukup hutang budi sama om
masa harus hutang duit juga?

wirya:
umur kamu 22 tahun ya?

ryza:
iya, om.

wirya:
udah legal dong buat saya ajak ngopi?

ryza:
OM

wirya:
gini deh.
lupain soal uang buat flight sama hotel.

ryza:
terus?

wirya:
ngopi sama saya.

ryza:
yah, gimana ya

wirya:
gimana apanya?

ryza:
saya gak suka kopi, om

wirya:
sukanya apa?

ryza:
kamu.

wirya: 
jangan dulu. 
saya belum suka kamu soalnya. 

rryza: 
CANDA OM. 
saya sukanya boba. 

wirya:
yaudah, yuk nge-boba sama saya.

ryza:
emang om suka boba?

wirya:
gak sih.
tapi kalo kamu suka, saya bisa mengondisikan diri.

ryza:
ANJRITTTT BAHASANYE WKWKWKWK
((mengondisikan diri))

wirya:
salahnya di mana, rhyzoma?

ryza:
BUSET LENGKAP AMAT

wirya:
rhyzoma sastragala.
nama kamu unik.
saya suka ngetiknya.

ryza:
kenapa sih om mau nge-boba sama saya?

wirya:
saya juga gak tau.
cuma saya seneng aja dengar kamu ngomong.
selalu bisa bikin ketawa.

ryza:
saya ryza om, bukan azis gagap.

wirya:
saya gak bilang kamu azis gagap.

ryza:
ck.

wirya:
jadi kapan mau nge-boba sama saya?

ryza:
yaudah, maunya kapan?

wirya:
besok?

ryza:
BUSET.
besok saya ke kampus, om.

wirya:
yaudah, nge-bobanya di dekat kampus kamu aja.

ryza:
DIH, KALO TEMEN SAYA LIHAT SAYA SAMA OM, GIMANA?!!

wirya:
emang kenapa?

ryza:
MASA SAYA JALAN SAMA OM-OM!!

wirya:
ryza...
saya belom tua...

ryza:
IYA, TAPI UDAH SETENGAH TUA!!

Balasan Ryza bikin Wirya galau, hingga akhirnya dia menghela napas dan memutuskan mengirim chat ke Jenar.

wirya:
eh, menurut lo gue tuh om-om bukan sih?

*

Keesokan harinya, Jenar pergi ke kantor diantar oleh Rei.

Dia sengaja nggak menyetir mobil sendiri, sebab rencananya nanti sore, selepas jam kantor, mereka mau ajak Wuje nonton film animasi keluaran Pixar yang lagi trending. Wuje sempat menonton trailernya bareng Kwinsa, Cherry dan Nadi-Idan menggunakan ponselnya Jaka, terus anaknya langsung merengek kepingin nonton. Jelas, dia nggak akan cukup sabar menunggu sampai weekend, makanya Rei mengusulkan agar nanti pasca bubaran kantor, mereka ketemuan saja di mall. Habis dari mall, baru mereka balik ke rumah bertiga menggunakan Camry-nya Rei.

Mereka sengaja ketemuan di parkiran biar Jenar bisa meninggalkan jasnya di mobil. Lelaki itu juga sekalian melepaskan dasi, terus menggulung lengan kemeja putihnya sampai ke siku. Biar nggak kelihatan formal banget, karena busana istri sama anaknya tergolong santai.

Berhubung waktu buat masuk studio bioskopnya masih cukup lama, Rei sama Jenar mengajak Wuje menunggu di foodcourt, sekalian ngemil-ngemil makanan kecil. Makan besarnya nanti saja, habis mereka selesai nonton. Setelah sempat nunggu sambil makan pempek-pempek bareng dari satu mangkuk yang sama, Rei tau-tau beranjak, mau beli boba.

Ditinggal deh Wuje sama bapaknya.

Saat Rei kembali lagi ke foodcourt, dia kaget karena hanya melihat Jenar yang lagi duduk sembari main handphone.

"Je, si bocil mana?"

"Lah?" Jenar mengangkat wajah, balik mengangkat alis. "Bukannya tadi ngikut kamu jajan boba?"

"Nggak. Tadi aku sendirian."

"Lah, terus Wuje mana?"

Rei menoleh ke kiri dan ke kanan, menyapukan pandang ke segala arah dan mulai panik saat dia nggak kunjung menemukan sosok anaknya. Apalagi, lalu-lalang orang-orang yang cukup ramai juga membuat jadi makin sulit menemukan Wuje.

"Regina... apa jangan-jangan si bocil... ilang?"

"JE, JANGAN BIKIN TAKUT!!" Rei berseru, agak kalut.

"Aku nggak bikin takut. Barusan aku nanya."

"Aku juga nggak tau!!" Rei mulai gugup. "Wuje nggak ngikut aku."

"Dia juga nggak ada sama aku..."

"Jenar, jangan bilang kalau kalian sengaja gini buat nge-prank aku?! Nggak lucu, beneran!"

"Aku nggak nge-prank, Regina."

"Tapi kamu kelihatan tenang-tenang aja!"

"Kan urusan paniknya bagian kamu."

"Jenar, ih!!" Rei yang makin resah memaksa Jenar bangkit dari duduk. "Seriusan! Wuje kemana? Ini lantai empat loh, Jenar! Anaknya juga belum pernah naik eskalator sendiri! Kalau jatuh atau kenapa-napa gimana—" Rei mulai berpikir yanng nggak-nggak.

Kepanikannya tergolong wajar. Apalagi ya, Rei pernah membaca berita tentang anak kecil yang lepas dari pengawasan orang tuanya ketika jalan di mall, terus jatuh dari ketinggian. Wuje juga baru lima tahun.

"Jangan overthinking dulu." Jenar akhirnya meraih lengan Rei. "Coba kita ke pusat informasi. Siapa tau ada yang nemuin si bocil terus bawa dia ke sana. Atau nggak, kita minta mereka bikin pengumuman."

Rei mengangguk, berusaha tetap tenang sepanjang mereka berjalan menuju pusat informasi.

Usai mendengar keterangan dari Jenar, petugas di pusat informasi pun mengumumkan hilangnya Wuje, beserta ciri-ciri dan pakaian yang lagi Wuje pakai. Setelahnya, Rei dan Jenar menunggu di sana beberapa lama, hingga muncul seseorang yang mengantar Wuje menuju pusat informasi.

Rei lega, walau di saat yang sama, dia nggak bisa menahan keterkejutannya.

Sebab ternyata, yang mengantar Wuje ke pusat informasi adalah kakeknya sendiri.

Iya, itu ayahnya. 




to be continued. 

***

persiapan menuju anak selanjutnya gak sie

yang kaya gini masa mau dicerein


***

a/n: 

wkwk maapin, ketiduran makanya baru update jam segini. 

johnny-gia cere apa gak ya enaknya? 

btw banyakan yang mau wuje punya adek apa tetap biarkan dia jadi anak tunggal kaya raya? (tapi kasian gak sie wuje kesepian :( huf) 

terus apa yah, kemarenan sibuk finishing revisi teknik, tapi sekarang udah kelar. mungkin bakal open order tanggal 25 oktober, jadi kalo berminat, bisa cek instagram gue di (at)rennozaria wkwkwk 

udah sie kayanya itu aja 

masih agak-agak mabok gara-gara SNL 

sekian, gais

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top