54 | mertua vs menantu
Kwinsa rada kaget, kok tiba-tiba Wuje jadi baik amat, mau berbagi cokelat sama dia.
"Kok kamu baik sama aku sih?"
Wuje mengerjap. "Emangnya kenapa?"
"Cokelatnya kamu racunin ya?"
Nggak perlu heran kenapa kata-katanya Kwinsa bisa dramatis gitu, soalnya dia suka curi-curi nonton sinetron pas Yumna sama Yuta lagi nggak mengawasi.
"Kwinsa kok ngomongnya begitu sih?" Wuje cemberut. "Nggak aku racunin kok! Aku kasih ini biar kamu ngerasa baikan aja, kan tadi kamu abis kecipak-kecipak hampir kelelep."
"..."
"Tapi yaudah, kalau kamu kayak gitu, nggak jadi deh aku bagi Coki-cokinya!" Wuje mendengus, kentara sekali dia ngambek.
"Iya, nggak apa-apa! Nggak usah! Aku bisa minta Papa aku kalau pengen cokelat!" Kwinsa jadi ikut-ikutan ngambek.
"Besok aku bilang Papa aku buat beli pabrik cokelatnya terus pabriknya nggak aku bolehin jual cokelat ke Papa kamu!" Wuje tetap nggak mau kalah.
"Biarin, nanti Papa aku beli cokelatnya langsung di Swiss!"
"Emangnya di Swiss ada pabrik cokelat?!"
"Ada!"
Padahal, Kwinsa asal sebut saja sih.
Perdamaian diantara kedua bocil itu hanya berlangsung sejenak. Kini dua-duanya duduk di gazebo, sengaja berjarak, soalnya lagi dalam mode musuhan. Wuje memakan cokelatnya seraya menatap ke kejauhan, merasa kesal soalnya Kwinsa malah menganggap buruk niat baiknya. Sebetulnya, Kwinsa pengen juga tuh makan Coki-coki, cuma egonya lebih besar, jadi dia diam saja.
Mereka masih saling membisu ketika Jaka yang niatnya mau cari sisir buat nyisirin rambut Nadi melewati jalan setapak dekat gazebo.
"Aih, berduaan aja nih?!"
"Iya, Om." Wuje membalas.
"Kayak orang pacaran aja. Hehe." Jaka meledek.
"Pacaran itu apa, Om?" Kwinsa balik bertanya.
"Hng..." Jaka menggaruk pelipisnya. "Apa ya? Itu deh, kalau cewek sama cowok saling suka, terus sayang-sayangan."
"Aku nggak sayang sama Kwinsa!" Wuje menyambar.
Kwinsa memutar bola matanya. "Aku juga nggak sayang sama kamu!"
Jaka mengerjap, heran sendiri sama respon para bocil, tapi sejenak kemudian, dia malah terpicu untuk berbuat jahil.
"Eits, hati-hati loh, kecilnya musuh-musuhan, ntar tau-tau gedenya nikah-nikahan!"
"Nggak, Om. Aku udah janji mau nikah sama Mama aku kalau udah gede!" Wuje menukas.
"Dih, mana bisa kamu nikahin Mama kamu?!" Kwinsa membalas.
"Bisa!" Wuje ngotot.
"Nggak bisa lah! Mama kamu kan udah nikah sama Papa kamu!"
"Yaudah, Mama aku suruh nikah lagi aja sama aku!"
"Mana bisa begitu?!"
"Bisain!"
"Ngaco deh kamu!"
"Biarin, yang penting aku mau nikah sama Mama aku!" Wuje sudah berdiri sekarang. Satu kakinya menghentak ke tanah, sementara kedua tangannya mengepal. Mukanya memerah, betulan maksa dan tampak seperti mau menangis. "Aku mau nikah sama Mama aku! Aku mau nikah sama Mama aku!"
"Eh, eh, eh, kok malah berantem sih?" Jaka hampir panik, soalnya kalau nih dua bocil sampai menangis, pasti dia yang bakal kena amuk dua bapak sekaligus. "Iya, Arga, iya. Nanti kalau udah gede, kamu nikah sama Mama kamu. Nah, tadi tuh kalau nggak salah, Papa kamu nyariin kamu deh. Om Lanang sama yang lainnya udah pada balik habis belanja, mereka bawa jelly banyak loh."
"Beneran, Om?!"
"Iya."
"Mau jelly!" Wuje buru-buru meraih kotak Coki-cokinya, terus belari menuju teras belakang tempat bapaknya beserta bapak-bapak yang lain berkumpul.
"Aku juga mau jelly..."
"Banyak kok jellynya." Jaka menenangkan Kwinsa. "Tapi Kwinsa, bisa bantu Om Jaka cari sisir dulu nggak buat sisirin rambutnya Nadi? Kata Papa kamu, kamu bawa sisir sendiri."
"Tapi sisir aku sisir incess, Om."
"... hng, ya terus?"
"Masa mau dipake Nadi?"
"Kan Nadi juga incess, Kwinsa."
"Nggak, Om. Kata Papa aku, yang incess di rumah tuh cuma aku aja, Om."
Haduh, Jaka nggak nyangka, ternyata ngomong sama anak kecil bisa bikin dia sepuyeng ini.
"Yaudah, Om Jaka pinjem bentaaaaaaaaaar aja. Boleh ya? Nanti Om Jaka bikinin kamu es kelapa yang enak deh!"
"Pake sirup nggak?"
"Pake."
"Yah, tapi aku lebih suka es kelapa pake susu."
"YAUDAH NANTI OM JAKA BIKININ YANG PAKE SUSU!!"
"Hehe, oke, Om. Yuk, kita ambil sisirnya!"
*
Ada tiga bocil yang ternganga begitu Wuje datang berlari sambil memeluk kotak berisi banyak Coki-coki. Siapa lagi kalau bukan Idan, Nadi dan Cherry? Mereka ternganga sejenak, lalu kompak berpaling pada ayah masing-masing.
"Bapak, aku mau cokelat!"
"Pak, mau itu!"
"Daddy, mau minta itu..."
Untungnya, nggak ada drama lebih lanjut yang terjadi. Wuje terlihat welcome sama tiga bocah lainnya, dengan sukarela memberikan mereka Coki-coki dari dalam kotak. Selama sejenak, para bapak bisa bernapas lega.
Tigra sibuk bikin bumbu marinasi sama bumbu oles buat bakar daging dan ayam—tentunya setelah bertanya resep dan takaran yang tepat pada Kun. Beberapa kali acara bakar-bakaran, mau itu di jaman kuliah hingga jaman sudah punya buntut, Kun selalu in-charge buat urusan bumbu bakarnya. Kasarnya, reputasi lelaki itu sudah legend banget lah! Sayangnya, kali ini Kun nggak join acara di rumah Jenar, karena lagi punya urusan sendiri.
Lanang sama kedua kru-nya getol banget bikin konten buat vlog, sembari motong-motong sayur buat dijadiin salad. Untuk dressingnya, nanti bagian Milan yang bikin. Kata Milan sih, kalau urusan dressing salad doang mah gampang!
Perkara pekerjaan kasar macam menyiapkan arang sama pemanggang, itu jobdescnya Yuta sebagai lelaki tersangar dan yang paling jelata diantara mereka semua.
Terus Jenar ngapain?
Sibuk duduk-duduk sambil kipas-kipas. Betulan sultan behaviour, kalau kata Lanang mah.
Reaksi Yuta ketika melihat Jenar ongkang-ongkang kaki kayak juragan:
Tapi cuma sebentar sih, soalnya setelah beberapa jenak, Tigra tahu-tahu mendekati Jenar sambil membawa golok besar. Jenar langsung parno, mengira Tigra tiba-tiba kesurupan terus berniat membacoknya. Dramatis banget, padahal mah Tigra cuma mau kasih Jenar tugas.
"Apaan?"
"Buka kelapa deh! Lo siapin minum buat kita-kita!"
"Excuse me?!"
"Mana bisa dia buka kelapa!" Yuta mencibir. "Ototnya doang yang mantep! Itu juga hasil bikinan gym! Orang kayak Jenar tuh—" Yuta memiringkan bibirnya sampai menyon-menyon hingga terkesan sangat mengejek sekaligus manas-manasin. "—nggak pernah kerja keras! Dari kecil kan selalu dimanja Papa sama Mama!"
Jenar melotot. "Ngomong lo nggak pake bismillah ya, Tuy."
"Mau gue ulang lagi? Nanti gue tambahin bismillah."
"Gue bisa kali, buka kelapa! Waktu hamil si bocil dulu, bini gue suka minum air kelapa! Emangnya siapa yang bukain?!"
"Mamang yang jualannya lah!"
Tigra terkekeh. "Nggak salah sih..."
"NGGAK YA, GUE YANG BUKA!!!"
"Lelaki sejati memberi bukti bukan bacot!"
"OKE KALAU GITU!!" Jenar menggelung lengan bajunya sampai jadi mirip tank top. "Mana goloknya?! Biar gue kasih bukti kalau gue jago buka kelapa!"
Yuta senyam-senyum, dalam hati bergumam; YESSSSS!! KERJA KAU, ORANG KAYA!! KERJA!!
Tak berapa lama, Kwinsa sama Jaka datang membawa sisir. Jaka tangkas menyisiri rambutnya Nadi sampai rapi. Setelahnya, ujung-ujungnya secara otomatis, dia dianugerahi tugas buat jagain anak-anak, memastikan mereka tetap berada di bawah pengawasan dan nggak melakukan permainan yang membahayakan.
Lagi pada fokus begitu, Wuje iseng saja bertanya ke Jaka. "Om, orang tuh bisa terbang nggak?"
"... hng, maksudnya?"
"Orang tuh bisa terbang nggak?" Wuje mengulangi pertanyaannya.
"Orang yang kamu maksud tuh kayak superhero di film gitu? Kayak Iron Man, atau Superman gitu?"
"Nggak, Om."
"Lah, terus maksudnya?"
"Semalem aku lihat ada orang terbang di luar jendela kamarnya Papa sama Mama. Cewek gitu, rambutnya panjaaaaaaaang banget, lebih panjang dari rambut Mama aku. Dia terbang."
DEG.
Para bapak seketika berhenti melakukan apa yang sedang mereka lakukan, semuanya kompak menatap nanar pada Wuje yang bermuka polos.
Wuje melongo ketika sadar, seluruh mata sedang tertuju padanya. "Kok... pada lihatin akunya kayak gitu sih? Takut..."
"Kamu lihat apa, Wuje? Di mana?" Jenar berhenti membuka kulit kelapa muda, menatap serius pada anak laki-lakinya. Bulu kuduknya jadi meremang ketika dia tersadar kalau semalam, Wuje sempat bengong di depan jendela yang gordennya belum tertutup.
"Aku kan udah nanya sama Papa pas kita mau tidur semalam itu..." Wuje mengeluh. "Aku tanya, orang bisa terbang apa nggak. Terus Papa malah bobo. Makanya sekarang aku tanya ke Om Jaka."
"TUH KAN BENER!!" Yuta bangkit, menunjuk-nunjuk dengan telapak tangan hitam habis kena arang. "NGGAK SALAH LAGI!!"
"Woh!!" Lanang bertepuk tangan. "Kira-kira dia bakal muncul lagi nggak ya malam ini?!"
"Kok lo malah semangat sih?! Bukannya ngeri!" Milan mendelik pada Lanang.
"Bang, alasan kenapa gue repot-repot kemari sampai ngebawa si Ucok sama si Hendra segala ya apa lagi kalau bukan buat ngonten!?"
"Konten mulu anjrit yang lo pikirin!" Jaka mendengus. "Nih anak orang baru lihat setan, untung aja nggak sawan!"
"Hah?!" Wuje makin tercengang. Saking kagetnya, anak itu sampai menempelkan kedua telapak tangannya di pipi. "Maksud Om Jaka... yang semalam aku lihat itu... bukan orang?!"
"Nggak ada orang yang bisa terbang, Je."
"Ih, tapi Superman bisa terbang..."
"Itu kan di film—" Kwinsa nyeletuk.
"Aku nggak mau ngomong sama kamu ya! Aku masih ngambek!" Wuje bereaksi keras.
Jenar menghela napas, meletakkan goloknya ke atas rumput, terus mendekati anak laki-lakinya.
"Je, jawab jujur ya. Semalam mimpi buruk nggak?"
Wuje menggeleng.
"Sekarang takut nggak?"
Wuje menggeleng lagi. "Tapi Papa... setan itu apa?"
"Hantu."
"Hah?! Jadi yang semalam aku lihat terbang itu hantu?!"
"Iya, Je..."
"... hng." Wuje jadi bingung.
"SUMPAH, KALAU GINI CARANYA, GUE NGGAK SANGGUP!!" Yuta berseru heboh. "Kita tidur barengan aja bisa nggak sih malam ini?! Nih kalau lihat dari pengalaman gue yang dulu, hantu rumahnya Jenar nih jago kandang terus nggak berani kalau kitanya ramean! Dia beraninya nongol kalau lagi pada sendirian aja!"
"—Tuy,"
"TOLONG DONG, GUE NGGAK BISA KALAU GUE SAMPAI KETEMU DIA LAGI!! YANG DULU AJA UDAH BIKIN GUE TRAUMA!!"
"Papa..." Kwinsa takjub. "Ternyata Papa bisa aneh juga..."
"Daddy..." Cherry bergerak untuk bersembunyi di balik badan Tigra. Tatapannya terarah pada Yuta. "... takut."
"Tuy—"
"Je, plis, kita malem ini tidurnya ramean aja ya?! Ya, ya, ya?!"
Lantas secara dramatis, Yuta berlutut, bikin Lanang sontak berbisik pada Hendra, "Kamera, coy. Kamera."
"Buset dah nih orang lebay banget..." Jaka berdecak.
"JENAR!! PLIS!!!"
"Ini yang lihat anak gue tapi kenapa malah lo yang sawan deh?"
"PLIS!! GUE TRAUMA!!"
"... iye."
"Iye apa?"
"Nanti malem, tidurnya bareng-bareng aja di ruang tengah rumah gue."
Jujur, Jenar nggak terlalu percaya sama yang begituan, cuma mendengar testimoni Wuje barusan... wow... kayaknya serem juga ya? Yuta saja sampai trauma gitu.
Mending jaga-jaga, daripada dia ikutan sawan kayak Yuta.
*
Usai Ryza menghabiskan makanannya, mereka kembali ke hotel.
Sebelumnya, Ryza sudah check-out, makanya untuk bisa stay lagi di sana, dia mesti check-in kembali. Pas banget di depan resepsionis hotel, Wirya bertanya ke Ryza, sebelumnya dia menempati kamar di lantai berapa.
"Lantai empat, Om."
"Yaudah, yang sekarang di lantai tujuh aja, biar sebelahan sama kamar saya."
"Nggak sekamar aja, Om? Lebih hemat. Saya kan nggak punya duit buat bayar hotel walau cuma semalam lagi..."
"Ngaco, kamu!" Wirya hampir saja menjitak kepalanya Ryza, walau ujung-ujungnya tetap nggak dia lakukan. "Saya yang bayar."
"Ih, berasa sugar baby banget. Abis diajak jalan, terus diajak makan, abis itu dibayarin bobo di hotel."
Wirya mendelik. "Diem."
"Siap, Om."
Wirya beralih bicara sama resepsionis. Ini hitungannya check-in dadakan banget sih, tapi Wirya tak peduli sekalipun dia mesti membayar biaya ekstra. Dan lagi, besok mereka sudah harus kembali ke Jakarta. Walau Ryza sudah bilang kalau ancaman ibunya itu hanya tong kosong nyaring bunyinya, menilik dari karakter kebanyakan mamak-mamak Indonesia yang bisa sangat gila jika situasinya mengharuskan, Wirya nggak ingin ambil resiko.
Lagipula apa kata publik kalau dia sampai kena amuk mamak-mamak, terus dilaporkan sejumlah media dengan headline kontroversial karena diduga membawa kabur anak di bawah umur—eh, ya walau Ryza sudah bukan lagi anak di bawah umur, sih.
"Udah. Yuk, naik."
"Bentar, Om, saya ambil koper saya dulu."
"Di mana?"
"Tadi dititipin ke abang-abang hotel."
Wirya memutar bola matanya, tapi dia mengikuti langkah kaki Ryza menuju tempat cewek itu menitipkan koper. Ukuran kopernya Ryza lumayan besar, walau dia pergi sendirian. Namanya juga anak perempuan kali ya, biasanya barang-barangnya lebih banyak dari laki-laki.
Tadinya, Wirya cuma berdiri menunggu. Namun melihat Ryza seperti kesulitan menyeret kopernya yang berat, lelaki itu jadi mengembuskan napas. Dia pun mengambil alih koper dari tangan Ryza.
"Saya aja. Kamu duluan."
"Om, jangan gini—"
"Sana, ke lift duluan!"
"—saya kan jadi keenakan kalau Om baik begini!"
"Ck."
"Hehe."
Ryza pun memimpin jalan menuju lift. Wirya menyusul di belakangnya, membawa koper. Bagi mereka yang mengamati Wirya dan Ryza dari jauh, pasti merasa kalau keduanya adalah kombinasi pasangan yang aneh. Wirya tampil casual dengan pakaian bermerek yang meski simpel, mahal harganya. Ryza sendiri lebih terlihat seperti e-girl gothic yang masih muda banget.
Keduanya menunggu sebentar hingga pintu lift terbuka. Lift itu kosong, tapi sejenak sebelum lift menutup, ada sepasang ibu-ibu yang turut bergabung sama mereka.
Waktu lift mulai berjalan, ibu-ibu yang berdiri di dekat Ryza melirik pada mereka berdua, terus bergumam julid ke temannya.
"Sekarang tuh nggak cuma bule aja yang suka daddy-daddy-an ya, Jeng, nih orang Cina juga pada ikut daddy-daddy-an. Mana makin lama, ceweknya makin muda. Masih mending lah kalau di Indonesia tuh, daddy-daddy-an juga ceweknya udah pada dewasa, udah cukup umur. Lah ini, anak kecil yang didandanin dewasa."
Seperti api yang baru disiram bensin, rekannya menyambar. "Iya, kalau di Indo sih pada masih tau malu ya, nggak terang-terangan gitu, berduaan di tengah hari bolong—emang bule-bule tuh suka ada-ada aja—eh, orang Cina tuh masuknya bule nggak sih, Jeng?"
"Bule kuning kali ya, Jeng." Si ibu terkikik.
"Tapi daddy yang ini ganteng loh, Jeng. Mungkin pelampiasan kali ya, nggak puas sama istrinya apa gimana—atau bisa jadi dijodohin, makanya cari jajan yang baru di luar."
"Iya, sayang banget deh, malah jatuh ke pelukan anak kecil yang kayaknya matre banget. Lihat tuh, Jeng, kopernya aja dibawain sama si daddy. Nih anak kecil kayaknya kecil-kecil cabe rawit. Cina tuh emang suka ada-ada aja, emang!"
"Coba dia bisa saya bawa pulang ke Indonesia, pasti udah saya coba jodohin sama anak perempuan saya. Eh tapi, mukanya familiar ya. Apa jangan-jangan dia aktor ya?"
"Nggak tau deh, Jeng. Jangan dilihat, nanti mereka ngeh lagi kalau kita lagi ngomongin mereka!"
Lift berhenti di lantai lima, terus kedua ibu-ibu itu pun keluar, meninggalkan Ryza dan Wirya berdua saja di dalam lift menuju lantai tujuh.
Wirya berdeham. "Ibu-ibu jaman sekarang—dikiranya kita bukan orang Indonesia kali ya."
"Kurang ajar banget, masa saya dikatain tukang morotin!" Ryza mendesis geram. "Bete banget, rasanya mau marah! Tapi berhubung ibu-ibu tadi benar, ya saya jadi terpaksa nahan diri buat nggak nyakar tuh dua ibu-ibu!"
"Hah, maksud kamu apa?" Wirya mengerjap nggak mengerti, sementara Ryza berjalan keluar dari lift.
"Ibu-ibu itu emang benar. Sepanjang hari ini, saya morotin Om."
"..."
"Terus Om juga bayarin saya check-in hotel."
"..."
"Jadi ini rasanya jadi sugar baby ya..."
"Sugar baby apaan?! Saya masih muda dan belum jadi daddy!"
"Tapi Om udah kelihatan mateng loh, Om. Siap petik gitu."
Wirya geleng-geleng kepala, terus memanggil ketika dilihatnya Ryza lanjut saja berjalan. "Heh, mau kemana! Kamar kamu di sini!"
"Kenapa nggak bilang dari tadi sih, Om?!"
"Kamu nggak nanya, lanjut aja jalan." Wirya berdecak. "Tapi kamu belum jawab pertanyaan saya yang tadi. Kamu masih perawan apa nggak?"
"..."
"Masih perawan apa nggak, Ryza?"
"Om kayaknya khawatir banget ya?"
"Mama kamu bilangnya begitu! Saya males banget dituduh yang aneh-aneh, padahal saya nggak macem-macem sama kamu!"
"Males apa takut, Om?"
"Kenapa juga saya harus takut?"
"Barangkali, Om takut disuruh nikahin saya."
"..."
"Noh kan, Om diem aja."
"Saya nggak takut—"
"Tenang aja, Om, saya juga nggak tertarik nikah sama Om. Gila aja kali."
Loh, kenapa Wirya merasa harga dirinya seperti terinjak ya? Rasanya lebih menyakitkan daripada ditolak ketemu Rossa ketika dia nyamperin cewek itu ke Singapur dulu.
"Saya juga nggak ada niatan mau nikahin kamu!" Wirya sewot.
"Yaudah, tenang aja."
"Tapi kamu masih perawan?"
"Kalau ciuman pernah, Om. Tapi slebew-slebew, cuma sebatas hampir." Ryza nyengir.
Wirya melotot. "Kok bisa?!"
"Itu deh, keenakan, tau-tau udah kebuka aja."
"TERUS?!"
"... ya nggak lanjut, soalnya saya takut hamil, Om. Namanya belum paham kan. Untung aja nggak lanjut."
Wirya mengembuskan napas lega. "Yaudah, sono masuk kamar! Besok kita flight pagi."
"Sip, Om!"
*
Malam harinya, Wirya lagi packing barang-barangnya yang nggak seberapa ketika ada ketukan di pintu kamarnya.
Dia pun beranjak. Tadinya, Wirya mengira itu Rossa. Namun ternyata, setelah dilihat dari lubang intip, yang sekarang lagi berada di depan pintu kamarnya adalah Ryza. Dandanan cewek itu sudah lebih waras. Rambutnya tergerai, sepertinya dia habis keramas. Dia juga mengenakan piyama lengan pendek bermotif telur ayam. Lucu.
Eh, apa yang barusan Wirya pikirkan tadi?
Lucu?
Dia anak kecil, Wirya! Wirya berseru, mengingatkan dirinya sendiri sebelum membuka pintu.
"Kenapa? Kalau soal makan malam, kamu bisa telepon room service. Pilih aja mau makan apa. Kita flight besok, saya udah siapkan tiket."
"Cepet banget!"
"Kenapa kamu ketuk-ketuk pintu kamar saya?"
Ryza mengeluarkan ponsel dari saku piyamanya. "Minta nomor WhatsApp, Om."
"..."
"Bohong banget kalau Om nggak punya WhatsApp."
"Buat apa?"
"Kali aja saya butuh ngehubungin Om untuk sesuatu yang penting."
"..."
"Nanti Om juga dapet nomor WhatsApp saya loh."
"Saya nggak sepengen itu dapet nomor WhatsApp kamu."
"Nanti kalau saya ilang, Om pusing nyari saya. Nih udah baik, saya ngajakin tukeran nomor WhatsApp."
Wirya berdecak, lalu membuka pintu kamarnya lebih lebar. "Masuk aja. Duduk dulu."
"Nggak mau, Om. Di sini aja."
"Lah, kenapa?"
"Saya risih masuk kamar Om-om."
Wirya mendelik. "Saya nggak akan ngapa-ngapain kamu."
Ryza nyengir. "Saya tunggu sini aja, Om."
"Yaudah, terserahlah."
Wirya meraih ponsel yang dia tinggalkan di atas nakas samping tempat tidur, terus berjalan lagi ke pintu kamarnya yang sengaja dibiarkan terbuka. Kini, Ryza telah terduduk di atas karpet yang melapisi koridor hotel,
"Mana handphone kamu. Biar saya masukkin nomornya."
"Nih, Om."
Wirya menerima ponsel yang disodorkan Ryza, lalu memasukkan nomor telepon yang terhubung dengan akun WhatsAppnya. Habis itu, dia menelepon nomornya sendiri pakai ponsel Ryza. Usai memastikan panggilan dari Ryza telah masuk, Wirya menyudahi telepon.
"Tuh."
"Oke, Om. Makasih."
"Iya."
Ryza beranjak, buru-buru kembali ke kamarnya. Wirya masuk lagi. Lelaki itu baru lima menit melanjutkan acara packing-packing ketika ponselnya bergetar. Otomatis, Wirya mengeceknya. Ternyata ada chat WhatsApp dari Ryza.
ryza: halo
ryza: halo, om
wirya: apa
ryza: eh, foto profilnya om masih sama mantannya tuh
ryza: katanya udah mantan
ryza: ganti dong kalo udah mantan
wirya: berisik
wirya: kenapa kamu nge-chat saya
ryza: pengen nge-chat aja, om
ryza: saya gabut
ryza: tadinya punya pacar, eh di-ghosting
ryza: terus dianya pura-pura meninggal
ryza: sedih deh
wirya: jadi kamu minta nomor saya cuma buat chat gak penting kayak gini?
ryza: ini penting, om
ryza: saya kesepian
wirya: tadi saya suruh masuk, kamu gak mau
ryza: gak mau masuk kamar om
ryza: takut diapa-apain
wirya: tapi skrg kamu chat saya?
ryza: kalo lewat chat, kan om gak bisa ngapa-ngapain
ryza: paling mentok-mentok kirim foto titiw
wirya: kamu ini emang edan ya
ryza: lebih edan mana sama om yang mau nolongin orang edan?
wirya: ck
ryza: om pake parfum apa sih?
ryza: tadi om wangi banget
ryza: wanginya kayak cogan
ryza: eh salah, kayak om-om ganteng
wirya: saya sibuk
ryza: yah :(
ryza: yaudah deh kalo gitu
ryza: tapi om, makasih banyak ya buat semuanya
ryza: saya tau meski mukanya om wirya muka-muka lelaki playboy
ryza: tapi hatinya om wirya baik
wirya: kamu nih muji apa ngeledek?
ryza: muji, tapi secara jujur, om :D
ryza: yaudah deh om
ryza: bobo yang nyenyak ya, om :D
ryza: jangan mimpiin saya
wirya: gak akan
ryza: sip
Habis itu, Ryza offline.
Wirya menatap pada gelembung-gelembung chatnya sama cewek itu sebentar, lalu menghela napas. Dia ganti membuka setting profilnya, kemudian tanpa berpikir dua kali, lelaki itu mengganti ava akun WhatsAppnya, yang tadinya berdua sama Rossa, jadi sendirian.
*
Sehabis makan malam, para ciwi-ciwi pada ngumpul di kamarnya Jella.
Selain buat nonton film Netflix bareng sambil ngemil, mereka juga niatnya ngerumpi gitu. Seru sih, apalagi buat para ciwi yang sudah jadi mamak-mamak. Rasanya kayak 'lari' sejenak dari kenyataan, kembali pada keadaan seperti saat belum jadi istri orang; nggak mengkhawatirkan suami, apalagi anak.
"Rei, oy, Rei, ngapain lo main handphone?! Jangan bilang kalau lo lagi bales-balesin chat laki lo!? Cuekkin aja, sista, ini kan waktunya liburan! Sama aja bohong kalau masih mikirin para suami! Biarin sekali-kali mereka ngurus anak-anak!" Jella berseru pada Rei.
"Hah, nggak kok! Tadi abis bales chat wali kelasnya Arga. Beliau kan kalau ada apa-apa, ngehubunginnya ke gue."
"Emang kenapa sama Arga?"
"Nanti hari Senin disuruh bawa cat akrilik, karena pada mau gambar-gambar. Untung stok chat di rumah banyak." Rei nyengir. "Anak gue bakal seneng sih kayaknya, dia bisa duduk lama banget kalau udah mainan cat warna-warni."
"Mm-hm, kalau gitu gue kabarin Mbak yang di rumah dulu, biar beliin Cherry cat akrilik."
"Nitip, beb. Gue nggak punya Mbak. Si Atuy mana tau cat akrilik, taunya cat tembok." Yumna menimpali.
"Parah banget lo ama laki sendiri!" Harsya berseru, sementara Sakura sibuk makan kacang. "Tapi emang ya, jadi mama-mama tuh berat. Salut banget sama kalian yang bisa ngurusin anak sampai segede itu dan anaknya pada baik-baik aja."
"Emang berat sih." Yumna terkekeh. "Tapi kalau menurut gue ya, masih berat mencintai orang yang nggak bisa kita miliki daripada ngegedein anak bareng suami yang untungnya mau diajak kerja sama—yaiyalah yah, kalau si Atuy nggak mau ikut kontribusi ngurusin Kwinsa, gue suruh tuh si Kwinsa jadi sperma lagi aja terus balik ke titiw bapaknya!"
"Heh, ngomongnya!" Rei berseru, meski setelahnya, dia tertawa.
"Sialan, lo nyindir cerita gue sama Jackson nih maksudnya?!"
"Nggak lah, si Sakura juga dulu kan pernah jatuh cinta sama orang yang nggak bisa dia miliki."
"Siapa?"
"Si Alfa." Jella yang baru kelar nge-chat asisten rumah tangganya menyambar tanya Harsya.
"Hah, sama suami orang dong?!"
Sakura tersenyum kalem. "Emang dulu tuh gue goblok banget."
"Bukan goblok lagi!" Yumna berujar dengan sepenuh napsu. "Jujur, dulu tuh pas Sakura masih terbucin-bucin sama si Alfa ngemtot itu ya, rasanya gue pengen anjing-anjingin Sakura tiap hari! Kok bisa ya, setolol itu, kayak si Alfa titisan nabi Yusuf aja, yang susah untuk ditolak—"
"Tapi Alfa emang ganteng sih..." Harsya membela Sakura. "Terus kalian juga punya cerita belom kelar dari jaman kuliah. Cuma ya, sekarang udah nggak lah ya?"
"Nggak mungkin dia sama Milan kalau dia belom kelar sama si Alpong!" Jella menanggapi. "Milan mungkin nggak setajir Alfa, Kur, tapi dia jelas lebih oke kemana-mana dibanding Alfa."
"Kalau menurut gue, Alfa tuh cuma lagi salah jalan aja." Rei menyela, bikin mata para ciwi tertuju padanya.
"Cailah, mantan junior kesayangannya Kak Alfa langsung gesit membela nih ye!"
"Nggak kok!" Rei berkilah. "Waktu kapan tuh ya, gue pernah ketemu dia di supermarket. Posisinya tuh lagi belanja berdua aja sama Wuje. Udah lama sih. Dia baik kok. Bisa jadi, dia sendiri juga bingung sama perasaannya."
"Kebanyakan bingung, ujung-ujungnya cerai juga." Jella geleng-geleng kepala.
"Bukannya udah rujuk lagi?"
"Hah?!"
"Iya, kayaknya udah rujuk lagi nggak sih?" Harsya makin gencar ngerumpi. "Duh, gue kira lo pada udah tau! Gue jarang scroll grup sih, soalnya sibuk, cuma berapa bulan yang lalu tuh, gue sempat nggak sengaja ketemu Devan."
"Devan yang pernah Rei taksir bukan sih?!"
"Nggak, gue ke Kak Devan tuh mengagumi doang!" Rei membantah. "Eh, tapi dia apa kabar sekarang?"
"HALAH, MENGAGUMI PRET, TAPI MASIH NANYAIN!" Yumna berseru berapi-api. "Gue aduin ke laki lo, tau rasa lo!"
"PLIS JANGAN!!" Rei merespon cepat. "Jenar tuh annoying banget kalau udah jealous."
"Gue sama Devan nggak kenal-kenal amat sih, kan gue juga jarang main ke kosannya Tigra pas kita masih maba. Cuma, Devan ngenalin gue, nanya, gue temen sekosannya si Rei apa bukan. Gue jawab aja iya. Terus kita malah ngobrol. Devan keceplosan gitu, bilang kalau Alfa baru mau rujuk sama mantan istrinya."
"Eh, masa?!" Rei mengerjap kaget.
"Katanya sih gitu."
"Good for him." Sakura mengangkat bahu.
"Wih, nggak nyangka ternyata ada happy ending buat orang kayak gitu." Jella mencibir. "Kalau gue sih no ya. Nggak ada kesempatan kedua buat tukang selingkuh."
"Sama, gue pun." Yumna mendukung.
Lagi asyik ngerumpi begitu, ponselnya Jella tahu-tahu meraung. Jella mengeceknya. Ternyata dari ibu mertuanya. Dia memutar bola matanya dengan malas.
"Bentar ya, gue ke balkon dulu."
"Di sini aja nggak apa-apa kali. Kita juga bisa diem kok." Harsya berkata. "Emangnya siapa?"
"Nyokap mertua gue."
"Loh, katanya lo ogah ngangkat?"
"Dia pasti bakal ngamuk banget kalau gue masih nggak ngangkat." Jella mengeluh.
Rei diam saja, tidak berkomentar. Jujur, situasi antara ibunya Tigra sama Jella cukup triggering buatnya. Dia nggak tau persis gimana hubungan mereka, namun sepertinya, selentingan cerita dari Jella tentang sikap ibunya Tigra dalam beberapa kesempatan sudah cukup untuk bisa jadi gambaran.
Meski nggak pernah bilang, Rei bersyukur karena dari awal dia dekat sama Jenar, keluarganya Jenar menerimanya dengan baik—bahkan nggak mempermasalahkan soal latar belakang keluarganya dan nggak pernah berusaha 'mengajarinya' dengan sikap yang terkesan menghakimi maupun menggurui.
Jika Rei jadi Jella, terus terang saja, dia rasa dia nggak akan sanggup menghadapi mertua yang seperti itu selama bertahun-tahun.
"Halo. Kenapa, Ma?"
"Mama sudah telepon kamu dari tadi pagi, Jella! Kenapa nggak diangkat?!"
"Aku sibuk, Ma. Maaf."
"Sibuk ngapain sih?! Sibuk haha-hihi dan main nggak jelas sama teman-temanmu. Begitu?!"
"..."
"Jella, harusnya kamu sadar posisi dong! Kamu itu sudah jadi istri orang! Sudah punya anak pula! Semestinya kamu fokus pada tugas kamu sebagai ibu dan istri. Ini Mama ngomel bukan karena kamu lebih memilih pergi sama teman-temanmu daripada ikut acara Mama ya, tapi ya kalau kamu memang masih mau main-main, seharusnya kamu stay single saja, bukannya malah maksa Tigra memaklumi dan nurutin semua keinginan kamu!"
Jella yang diomeli, tapi para ciwi-ciwi lainnya di ruangan itu yang menelan saliva. Yumna kelihatan geram, sedangkan Sakura tampak khawatir.
"Iya, Ma. Maaf."
"Kamu di mana sekarang?!"
"Aku masih belum di Jakarta."
"Kamu tau nggak kalau anakmu sakit?!"
"Oh—hng, Tigra belum bilang apa-apa."
"Anak kamu demam, tau nggak?!"
"Tigra belum ngabarin aku, Ma. Tapi aku yakin, kalau Tigra nggak ngabarin aku, besar kemungkinan dia ngerasa dia bisa handle Cherry tanpa ngasih tau aku. Lagian, Cherry emang gampang kena flu. Mungkin dia abis berenang, karena mereka pada nginap di rumahnya Jenar. Kalau Cherry sakitnya parah, aku yakin Mama nggak akan punya cukup waktu buat nelepon cuma untuk marah-marah sama aku kayak sekarang—"
"Seenggaknya, kalau nggak bisa jadi menantu yang baik, ya coba jadi ibu yang baik dong, Jella."
Kata-kata itu terasa amat menohok.
"Cherry itu anakku, Ma. Aku tau dan paham gimana semestinya ngurusin dia. Bukan tempatnya Mama bilang begitu ketika Mama sendiri nggak dekat sama Cherry—"
"Loh, sekarang kamu sudah berani jawab-jawab gini kalau Mama lagi ngajak kamu ngomong?!"
"Terus aku mesti ngapain? Harus terus-menerus diam aja sementara Mama marah-marah dan nge-judge aku tanpa mau tahu nyatanya gimana? Aku pergi gini juga Tigra yang nyuruh kok! Tigra yang bilang kalau aku butuh liburan. Lagipula—"
"Haduh, pusing banget punya menantu satu, tapi nggak bisa dikasih tau—"
"Aku juga pusing banget, punya mertua satu, tapi selalu bitter sama aku! Kalau aku punya salah yang jelas, Mama bisa kasih tau salahku di mana. Tapi selama ini nggak, Mama lebih kayak ngejadiin aku punching bag. I am so sorry that you don't like me, but still, I am your daughter in-law! Mungkin Mama bisa coba mulai berpikir buat respect aku sebagai istri dari anaknya Mama?!"
"Jella—"
"Aku capek banget, Ma. Kita ngomong lagi nanti-nanti aja."
Sehabis itu, Jella mematikan teleponnya.
to be continued.
***
om tapi bukan om
mamanya cherry
***
a/n:
yak kembali lagi bersama saye di sini
btw, ternyata part kemaren masih mayan rame juga yha walo lama gak lanjut wkwk maapin kemaren-kemaren juga lagi mayan sibuk revisi buat novel teknik
beginilah awal huru-hara jella sama mama mertua
makanya emang udah paling bener rei tuh sama jenar, coba bayangin kalo rei nikahnya sama tigra, bakal seancur apa mental rei.
wkwkwkwkwk btw sori telat, tadi pas ngetik agak terdistrak soalnya sedih beb abis tau kalo jahe pernah pengsan waktu syuting dearm gara-gara high fever huhu :( he worked so hard, but :(
yaudah, sampe ketemu di chapter selanjutnya ya, shay.
ciao.
dan terimakasie.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top