53 | kelelep

Rossa melangkah menjauhi mejanya Wirya dengan perasaan campur-aduk.

Dia merasa kesal? Jelas. Marah? Nggak perlu ditanya. Tapi tentu saja, dia cukup dewasa untuk nggak memulai pertengkaran heboh dengan Wirya gara-gara kehadiran seorang gadis muda yang menyertai lelaki itu.

Tapi, siapa sebenarnya gadis itu?

Entah deh, Rossa nggak tahu.

Jika dipikir-pikir lagi, apa yang mengganggu Rossa sebetulnya bukan sosok gadis muda tersebut, melainkan fakta kalau Wirya bilang dia sudah berstatus sebagai mantan.

Secepat itukah?

Wirya nekat mengikutinya sampai kemari—dan Rossa tahu, ada sejumlah pekerjaan yang mesti Wirya tinggalkan sejenak hanya untuk melakukan itu.

Terus sekarang, semudah itu buat Wirya bilang ke seseorang—seorang gadis, terutama, yang walau masih muda, memiliki tipe garis wajah yang nggak gampang dilupakan. Siapapun pasti akan sependapat, bilang kalau gadis itu cantik—bahwa Rossa adalah mantannya?

Rossa betul-betul kesal.

Dia mengembuskan napas sewaktu sudah kembali ke mejanya, bergabung kembali dengan rekan-rekan yang bekerja bersamanya dalam proyek kali ini. Sekarang jam makan siang. Waktunya istirahat. Mereka rehat sejenak dari membicarakan soal pekerjaan, ganti sibuk mengobrolkan sesuatu yang sifatnya trivia dan kurang penting seperti keseharian.

Rossa diam saja, tertunduk menatapi layar ponselnya.

"Miss Roseanne, is everything alright?"

Kayaknya, ekspresi wajah Rossa kentara banget sepetnya, makanya salah satu dari mereka yang duduk paling dekat dengan Rossa tergerak untuk bertanya.

"Ah, it's okay, I am just texting someone."

"Your boyfriend?"

Rossa hanya tersenyum sekenanya, tak menjawab lebih lanjut.

Jarinya masih terus bergerak di layar ponsel, mencari kontak seseorang yang bisa dia jadikan tempat menumpahkan seluruh keluh-kesah.

Jella?

Kalau Rossa nggak salah ingat, sepertinya Jella lagi sibuk—entah itu dengan liburannya, atau mumet gara-gara mertuanya yang belakangan ini rajin berulah. Rossa nggak ingin nambah-nambahin beban pikiran Jella, maka dia beralih ke kontak berikutnya.

Rei?

Duh, kayaknya Rei nggak akan mengerti yang beginian. Menurut Rossa, hubungan Rei sama Jenar mulus-mulus saja. Itu karena Jenar tipikal laki-laki yang penuh pengertian dan nggak pernah membiarkan kecemburuannya menutupi akal sehatnya. Kisah mereka juga lancar banget kayak jalan tol. Sejauh yang Rossa tahu, mereka nggak pernah terpisahkan sejak awal mereka dekat semasa kuliah. Jadi sepertinya, curhat sama Rei bukan ide yang bagus.

Yumna?

Walah, itu orang suka emosional banget kalau ngasih saran. Lalu, berkaca dari dramatisnya putus-nyambung Yumna dan Yuta selama bertahun-tahun, serta bagaimana cerita balikannya mereka bikin jalanan sempat macet selama dua jam penuh, kayaknya agak kurang bijak saja meminta pendapat Yumna.

Jaka?

Rossa menghela napas, memutuskan untuk mengetikkan pesan singkat buat Jaka.

rossa:
hei, jk.
sibuk gak?

jaka:
kinda.
kenapa?

rossa:
gapapa kalo sibuk.
gak penting kok.

jaka:
but it's bothering you, right?
kalo gak, lo gak akan nge-chat gue.

rossa:
it's just... about me and wirya...

jaka:
kenapa?

rossa:
dia udah anggap gue mantannya.

jaka:
wait, what?
ada kejadian apa?

rossa:
senggang gak malam ini?
kalo senggang, nanti gue telepon.

jaka:
just call me, okay?

rossa:
okay.


*


Pada detik dia mendengar suara tinggi perempuan di seberang telepon menuduhnya telah menculik Ryza, Wirya menghela napas dalam-dalam, berusaha meredakan jantungnya yang tiba-tiba berdebar nggak karuan.

Bisa berabe juga kalau dia dituduh menculik gadis di bawah umur—oke, Ryza bukan gadis di bawah umur, tapi tetap saja kan, perbedaan usia diantara mereka cukup jauh.

Wirya sudah bisa membayangkan, spekulasi macam apa yang bakal beredar di ranah publik, berikut headline-headline sensasional yang bakal digunakan media untuk memberitakan skandal pertamanya—berhubung selama ini dia selalu dikenal sebagai pengusaha kaya-raya merangkap sutradara film dokumenter ternama yang reputasinya bersih dari segala macam kabar miring.

Oke, kayaknya barusan Wirya berpikir terlalu jauh.

"HALO!! HALO!! KAMU MENCULIK ANAK SAYA YA?! JANGAN MACAM-MACAM YAH!! SAYA PUNYA KENALAN JENDERAL!! SAYA BISA BIKIN KAMU DIBURU INTERPOL KALAU BETULAN KAMU MENCULIK ANAK SAYA!!"

Wirya tersentak, menyapukan pandang ke sekeliling dan kian resah karena Ryza nggak kunjung balik dari toilet.

"Maaf, Bu, tapi saya—"

"SIAPA YANG KAMU PANGGIL IBU?! SAYA BUKAN IBU KAMU!! SAYA NGGAK MAU KAMU PANGGIL IBU!! LAGIAN SEJAK KAPAN SAYA NIKAH SAMA BAPAK KAMU?!!"

Saking kencangnya suara mamanya Ryza, Wirya mesti menjauhkan ponselnya dari telinga untuk menghindari terjadinya cedera pada rumah siputnya.

"HEI, KAMU, LAKI-LAKI SOK POLOS DAN SOK GANTENG?!! JAWAB SAYA!! KAMU BAWA KEMANA ANAK SAYA!!? SAYA NGGAK MAIN-MAIN YA—"

Wirya nyaris panik beneran, tapi untungnya, titik terang muncul. Ryza terlihat melangkah dari arah toilet. Otomatis, dengan gestur agak panik yang kelihatan jelas, Wirya melambaikan tangannya, menyuruh gadis itu biar buru-buru mendekat.

"Kenapa sih, Om?"

"Mama kamu telepon."

"MAMA SAYA?!"

"Iya. Nih, ngomong. Dia ngira saya culik kamu. Tolong kamu jelasin situasinya—"

"YAH, OM!! KENAPA JUGA DIANGKAT?! ASTAGA, JANGAN BILANG ITU MAMA SAYA LAGI STAND-BY DI TELEPON?"

Wirya merasa dia nggak punya cadangan energi berlebih buat menjelaskan, makanya dia cepat-cepat menyodorkan ponselnya Ryza kepada yang punya.

Terlihat, Ryza sempat menelan ludah sebelum menerima ponsel yang diulurkan Wirya.

"Halo, Ma. Ini Riri."

"RYZA?!! RYZA?!! KAMU DICULIK, NAK?!!"

"Nggak, Ma. Om Wirya baik—"

"JADI NAMANYA WIRYA?!"

Edan, bahkan tanpa mesti mengaktifkan fitur loudspeaker pun, Wirya bisa mendengar suara gegerowokan nyokapnya Ryza dengan jelas, seakan-akan perempuan itu punya pengeras sendiri di pita suaranya.

"Iya, Ma."

"KAMU DIANCAM SAMA SI WIRYA-WIRYA INI?! RYZA, JAWAB MAMA!! JANGAN TAKUT!!"

"Nggak, Ma. Om Wirya beneran baik—"

"Ryza!! Nggak ada om-om baik yang bawa kabur anak baru lulus kuliah kayak kamu!! Mana orangnya sok kegantengan lagi!!"

"Tapi, Ma—"

"Tapi apa, Ryza?!"

"... Om Wirya emang ganteng. Hehe."

Rasanya Wirya kepingin ngejedotin kepalanya sendiri ke tepi meja.

"ATAU JANGAN-JANGAN KAMU KABUR KARENA TERHASUT OLEH RAYUAN SI WIRYA INI YA?!"

"Ma—"

"KAMU BARU SIDANG, RYZA!! BELOM SELESAI REVISI!! DAN SEKARANG KAMU KABUR SAMA OM-OM!!"

"Ma—"

"Kamu tidur di mana selama berapa malam ini?!"

"Di hotel, Ma..."

"APA?!!!!" suara ibunya Ryza naik beberapa oktaf lebih tinggi.

"Ma—"

"MANA SI WIRYA?!! MAMA MAU BICARA!!"

"Ma—"

"ATAU GINI AJA, KAMU KASIH TAU DIA DEH!!"

"Hng..." Ryza melirik takut-takut pada Wirya yang telah tampak pening, sibuk memijat batang hidungnya sendiri seperti orang yang kena migrain mendadak. "Ka—kasih tau apa, Ma?"

"BILANG, DALAM WAKTU 2 x 24 JAM, DIA SUDAH HARUS BAWA KAMU KE JAKARTA!!"

"..."

"HABIS ITU, MAMA MAU KAMU TES KEPERAWANAN!!"

Wirya tersedak sampai batuk-batuk. "WHAT?!"

"KALAU KAMU TERBUKTI SUDAH NGGAK PERAWAN, MAMA BAKAL TUNTUT SI WIRYA-WIRYA INI UNTUK BERTANGGUNG JAWAB!!"

"MAMA—"

"2 x 24 JAM ATAU MAMA AKAN LAPOR POLISI BENERAN!!"

Dut... dut.. dut... dut...

Setelah itu sambungan teleponnya diputus sepihak oleh mamanya Ryza, menyisakan Ryza dan Wirya yang saling berpandangan.

"Om—"

"Kamu masih perawan apa nggak?!" Wirya menembak Ryza dengan pertanyaan pamungkas tanpa pikir panjang.

"Buset, Om—"

"Jawab, Ryza!!"

"Hehe." Ryza hanya bisa nyengir.

Alhasil, Wirya makin pusing.


*


Di pagi hari, Wuje terbangun lebih dulu daripada Jenar.

Tirai jendela yang masih tertutup rapat membuat cahaya matahari jam enam pagi hanya bisa masuk dari celah-celah yang ada, bikin suasana kamar tetap temaram, sebab hanya diterangi oleh lampu tidur. Wuje mengernyit, mencipta kerut diantara kedua alisnya sebelum kemudian matanya benar-benar membuka.

Apa yang pertama kali Wuje lihat adalah dadanya Jenar, dengan satu lengan lelaki itu merangkulnya supaya tetap dekat dan terkesan protektif.

Tindakan yang bukannya nggak beralasan, soalnya kalau lagi tidur, Wuje suka nggak bisa diam. Makanya, Rei sengaja bikin ranjang kamar anak itu berkaki rendah, biar kalau Wuje ngegelinding, anak itu nggak akan sampai benjol atau luka. Tapi beda kasus dengan kamar Rei dan Jenar yang kaki ranjangnya nggak rendah.

Cuma, semalam Wuje kan nggak mau balik tidur sendirian di kamarnya—apalagi setelah insiden kecil yang sempat bikin dia hampir sawan.

Wuje mengucek matanya beberapa kali, membiarkan kepalanya rebahan sejenak di dekat dada bapaknya, sebelum dia beranjak.

"Papa, Papa, Papa!!"

"Hng?" Jenar menjawab masih dalam kondisi setengah tidur.

"Aku udah bangun!"

"Mm-hm."

"Papa, tangannya berat!! Kalau Papa terus peluk-peluk aku, akunya nggak bisa bangun!!"

"Emangnya mau kemana sih?" Jenar bertanya dengan suara parau khas orang yang baru saja terjaga.

"Mau mam Koko Krunch!"

"Bisa bikin sendiri nggak? Papa masih ngantuk banget."

"Bisa! Kan aku udah diajarin Mama!"

"Yaudah." Jenar menarik lengannya yang semula merangkul badan Wuje.

Anak itu bangun, menukar posisi berbaringnya jadi duduk. Tapi dia tak langsung melompat turun dari kasur, melainkan menyempatkan diri mendekati Jenar. Dengan kedua tangan bertumpu di dada Jenar yang kini berbaring telentang, Wuje merunduk, mencium pipi dan dahi ayahnya masing-masing satu kali.

Jenar melipat dahi, membuka matanya untuk menatap sayu pada Wuje.

"Kamu ngapain?"

"Cium Papa."

"Tumben."

"Biasanya, kalau aku baru bangun bobo, Mama suka cium pipi sama jidat aku. Terus aku cium pipi Mama. Tapi karena sekarang yang ada Papa, yaudah aku cium Papa aja."

"Kalau ada Mama?"

"Aku ciumnya Mama dong!"

"Halah, Cil... Cil!!"

Wuje terkikik saja seraya melanjutkan niatnya turun dari kasur. Kelakuan Wuje telah berhasil bikin Jenar benar-benar bangun, namun lelaki itu memutuskan untuk tetap tinggal di kasur sedikit lebih lama, sementara anaknya berlari riang menuju dapur.

Suasana rumah masih sepi, kayaknya sih yang lainnya belum pada bangun.

Boleh jadi, pada kecapekan kali ya habis jejeritan semalam.

Wuje baru saja membuka kulkas buat mengeluarkan kotak karton berisi susu (yang sengaja Rei tempatkan di rak yang rendah, biar bisa Wuje jangkau, berhubung dia sudah tau kalau anak itu sering meracik sereal dan susu sendiri di pagi hari) ketika Kwinsa muncul di ambang pintu dapur.

Rambutnya agak kusut, tanda baru bangun tidur. Matanya kelihatan mengantuk. Dia menatap Wuje dengan mata yang disipitkan, memandang penuh curiga.

"Kamu ngapain?"

"Mam."

"Mam apa?" Kwinsa yang penasaran pun mendekat.

"Koko Krunch."

"Emang bisa bikin sendiri?!"

"Lihat nih!" Wuje mulai mempertonton kebolehannya.

Bocah itu membuka laci konter yang rendah—lagi-lagi, terimakasih buat mamanya yang super pengertian—untuk mengeluarkan mangkuk melamin tebal anti pecah berwarna hitam. Habis itu, Wuje menuang Koko Krunch ke dalamnya, diikuti oleh susu cair.

"Bisa, kan?! Mama aku udah ajarin aku."

"Hm, jago juga kamu..." Kwinsa berujar, kentara sekali rada-rada tak ikhlas memuji Wuje.

"Kamu mau?"

"Mau."

"Beli sana ke Indomaret! Hehe..."

Kwinsa bersungut-sungut. "Aku mau Koko Krunch!"

"Nggak boleh! Ini punya aku!"

"Masa kamu pelit gini sih, Wuje?! Mama kamu aja nggak pelit sama aku!! Masa kamu pelit?!"

"Biarin!! Kan yang nggak pelit Mama aku! Kalau aku sih ya, sama anak nakal memang harusnya pelit!"

"Wuje, kamu nakal!"

"Biarin, daripada kamu! Enggak makan Koko Krunch! Wleeeeee!!!" Wuje mencibir, diakhiri dengan menjulurkan lidahnya keluar untuk meledek Kwinsa.

"Nakal!" Kwinsa melotot dengan bibir mengerucut.

"Biarin! Wleeeee!!"

Merasa geram, Kwinsa pun tergerak melakukan sesuatu yang radikal.

Bocah itu berusaha merebut mangkuk berisi Koko Krunch punyanya Wuje. Tentu saja, Wuje melawan, ogah membiarkan sarapannya direbut. Mereka terlibat tarik-tarikan seru selama sejenak, hingga kemudian... tanpa bisa dihindari... mangkuk itu terlepas dari pegangan keduanya dan jatuh ke lantai.

Koko Krunch beserta susunya tumpah, mencipta genangan yang mengotori dapur.

Wuje mengerjap, shock memandang pada Koko Krunch dan susu yang turut menciprati kakinya, lalu...

Tangis kerasnya pecah.

Suaranya kencang banget, bikin orang-orang yang masih tidur sontak terbangun dan buru-buru mendatangi dapur. Termasuk Jenar. Yuta dan yang lainnya pun menyusul.

"Ini kenapa?!" Jenar bertanya, sementara Kwinsa bergerak cepat mendekati bapaknya, ngumpet di balik punggungnya Yuta.

"Papa—huaaaa—Papa—Kwinsa nakal—huaaaaa—Koko Krunch aku tumpah—huaaaaa!!" Wuje menangis meraung, bikin Cherry yang kentara sekali baru bangun tidur (dan kini lagi berada di gendongannya Tigra) melongo takjub.

"Kwinsa—" Yuta berpaling pada anaknya yang masih ngumpet di belakangnya.

"Dianya nakal, Papa! Dia pelit, nggak mau bagi aku Koko Krunch!!"

"Huaaa—ini kan Koko Krunch aku!! Aku nggak mau kasih kamu—hiks—terus kenapa?!!"

Jenar menghela napas, sementara Hendra berbisik pada Lanang. "Bang, ini harus direkam nggak?"

"Jangan berani-berani rekam anak gue yang lagi mewek!" Jenar mendelik, bikin Lanang-Hendra-Ucok kicep seketika. "Wuje, nggak boleh gitu. Koko Krunch-nya kan banyak. Kwinsa-nya dikasih dong..."

"Nggak mau!! Huaaaaa!! Kwinsa nakal—terus—hiks—sekarang Koko Krunch-nya tumpah—hiks..." Wuje mengusap matanya yang basah. Wajahnya berlinang oleh terjangan banjir air mata.

"..."

"Ini—hiks—Mama yang beliin—"

"Nanti Papa beliin lagi kalau habis."

Wuje masih saja tersedu.

Jenar berjongkok di depan Wuje, mengulurkan tangan buat menghapus air mata di pipi anaknya.

"Wuje, jangan nangis."

"Hiks—hiks—"

"Yaudah, mau telepon Mama?" Jenar menawarkan Wuje untuk bicara langsung sama pawangnya.

"Hiks—tapi akunya—hiks—lagi nangis..."

"Makanya, nangisnya berhenti dulu."

Wuje menggigit bibir sambil berusaha menahan air mata, menuruti kata-kata Jenar.

Terus, Jenar berpaling pada Yuta. "Bersihin nih tumpahan Koko Krunch."

"LAH, KOK GUE?!"

"Anak lo yang bikin tumpah."

Yuta mangap, tadinya ingin membantah, namun begitu menyaksikan lagi bagaimana Kwinsa teguh bersembunyi di balik punggungnya, dia langsung bisa menyimpulkan kalau anak perempuannya itu memang salah.

"Hadeh, Kwin... Kwin..." Yuta geleng-geleng kepala. "Bikin Papa repot aja nih anak..."

Kwinsa nyengir. "Papa, maaf... nanti aku bantuin Papa bersihin bekas tumpahannya. Hehe..."

"Minta maafnya jangan ke Papa doang."

"Lah, terus emang minta maaf ke siapa lagi?"

"Wuje."

"Ihhhhh, kok gitu?!"

"Kalau nggak mau minta maaf, berarti kamu bukan anak Papa, Kwin. Soalnya anak Papa tuh ya kalau salah, minta maaf."

Kwinsa mengerucutkan bibir. "Iya... iya... nanti aku minta maaf sama Wuje."

Sesaat kemudian, Cherry yang sedari tadi diam berpaling ke Tigra yang masih menggendongnya.

"Daddy..."

"Yes, Cherish?"

"Mau Koko Krunch..."


*


Rei lagi sarapan di restoran hotel sambil ngerumpi bareng para ciwi ketika ponselnya mendadak berdering.

Dia mengeceknya, terus refleks meletakkan sendok yang semula dia pegang di tangan kanan.

Yumna cepat bertanya. "Siapa?"

"Laki gue."

"Kagak usah diangkat! Baru juga sebentar ditinggal bini, udah manja telpon-telpon!"

"Lah ini si Milan udah nge-chat gue tiap menit kali, Kak, dari kemaren—" Sakura berkata, bikin Jella mencibir.

"Nggak usah dibales. Kalau perlu, blokir aja dulu nomornya sementara! Biarin dia merana!"

"Deileh, kayaknya paham banget lo!" Yumna meledek.

"Milan kan mantan gue, sis! Masa lo lupa sih?!"

"Woiya, gue lupa circle kita tuh memang ajaib..." Yumna berdecak seraya geleng-geleng kepala.

Rei nyengir. "Kayaknya penting, soalnya Jenar telepon lagi. Gue angkat dulu ya..."

"Dibilang kagak usah!"

"Hehe." Rei hanya tersenyum saja seraya tetap beranjak dari kursi. Saat dia melangkah menjauh, samar-samar, dia mendengar Yumna sama Jella bicara.

"Sakti banget kayaknya si Jenar, bisa bikin seorang Rei jadi bucin kayak gitu!"

"Indeed." Jella sependapat.

Rei tak merasa perlu repot-repot menanggapinya. Dan lagi, kalau dipikir sih, ya memang benar juga. Meski Rei rasa kurang tepat juga kalau dibilang dia bucinnya Jenar.

It's just... he makes her happy and she wants to make him happy in return.

"Halo?"

"Anakmu pagi-pagi udah nangis."

"Loh, kenapa?!"

"Berantem sama Kwinsa. Baru mau berhenti nangis waktu kubilang mau telepon kamu."

"Oke, aku mau ngomong sama anaknya."

"Je, uy, Bocil! Nih Mama kamu!"

Rei mendengar suara telepon dipindah-tangankan, terus yang terdengar sejenak kemudian adalah suara bindeng Wuje—menunjukkan dengan jelas kalau anak itu baru saja menangis heboh.

"Sayang, kenapa kok pagi-pagi udah nangis?"

"Kwinsa-nya nakal, Mama..."

"Nakal gimana?"

"Kan aku kan pengen Koko Krunch pagi-pagi. Terus aku bikin pake susu pake mangkok, kayak yang Mama ajarin ke aku waktu itu. Terus waktu aku lagi makan, Kwinsa ke dapur, bilang dia mau Koko Krunch juga. Terus kata aku, nggak boleh, aku nggak mau kasih Kwinsa Koko Krunch soalnya Kwinsa nakal..." Wuje nyerocos panjang, persis kayak orang lagi curhat dan Rei menyimak dengan sabar.

"Wuje, nggak boleh gitu dong sama Kwinsa. Kalau punya makanan kan Mama bilang, harus bagi-bagi, termasuk sama temennya..."

"Tapi, Mama—"

"Tapi kenapa, Nak?"

"Kwinsa nakal..."

"Namanya temenan kan emang gitu, Je. Kwinsa suka nakal ke kamu. Kamu juga suka nakal ke Kwinsa. Tapi nggak usah dianggap serius, apalagi sampai kamu pelit nggak mau bagi makanan ke Kwinsa. Nggak bagus loh, Sayang, kayak gitu..."

"Tapi nanti Koko Krunch-nya abis, Mama..."

"Kalau habis, Mama kan bisa beliin lagi buat Wuje."

"..." Di seberang sana, Wuje terdiam.

"Sayang, minta maaf ya sama Kwinsa? Baikan ya? Mama tau anak Mama anak baik, anak Mama suka bagi-bagi kalau punya makanan. Anak Mama juga nggak pelit. Ya?"

"..."

"Arganata, dengar Mama barusan bilang apa, kan?"

"Dengar, Mama."

"Baikan ya sama Kwinsa? Baik-baik juga sama teman-temannya yang lain. Mereka kan lagi main ke rumah kamu. Harusnya kalau main ke rumah kamu, teman-teman kamu dibuat happy, jangan diajak berantem."

"... iya, Ma. Maaf..."

"It's okay. Nanti baikan sama Kwinsa, oke?"

"Oke, Mama."

"Terus selain Koko Krunch, udah makan belom?"

"... belom."

"Katanya Yuta sama Tigra mau masak. Nanti buat makan siang, kita mau bakar-bakar daging aja di halaman belakang, dekat kolam renang. Anak-anak juga katanya mau pada berenang." Terdengar suara Jenar menjelaskan.

"Mama, Mama—" Wuje memanggil.

"Iya, Nak?"

"Mama udah mam belom?"

"Lagi mam nih."

"Mam yang banyak ya, Ma..."

"Iya, Wuje juga ya?"

"Mama, kalau liburannya udah selesai, cepet pulang ya. Aku kangen Mama banget-banget-banget-banget. Kangen aku gede, udah sebesar rumah."

Rei tertawa. "Mama juga kangen Wuje."

"Kangennya sebesar rumah juga?"

"Iya. Sebesar rumah."

"Oke, Mama."

Telepon berpindah lagi ke Jenar.

"Situasi rumah aman tapi kan ya?"

"Aman kok." Jenar menyahut. "Just enjoy your time ya. Aku kangen kamu, tapi aku juga tau, kamu perlu waktu untuk diri sendiri. Jadi, banyakkin happy-happy."

"Oke. Kamu juga ya."

"Alright. Call you later, Gina."

"Mm-hm."

Usai bertelepon, Rei kembali ke mejanya untuk meneruskan makan paginya yang sempat terhenti.

"Kenapa sama laki lo? Cemen banget, masa udah sakau gitu."

Rei tergelak. "Kwinsa sama Wuje berantem. Terus biasalah, Wuje nangis."

"Anak lo preman banget dah!" Harsya berseru.

"Sama kan kayak emaknya." Jella meledek. "Tapi situasi aman kan? Laki gue sama Cherry masih di tempat lo?"

Rei mengangguk. "Katanya sarapan ini, Yuta sama Tigra mau masak. Nanti rada siangan mereka mau bakar-bakar daging."

Sakura menjentikkan jari. "Nah, gue suruh si Milan join aja kali ya? Daripada tuh orang merana sendirian di apartemen terus recokin gue mulu!"

"Suruh join aja, mumpung bakar-bakarannya di rumah orang kaya." Yumna menimpali, terus berpaling ke Jella. "Heh, terusin soal mertua lo tuh! Jadinya lo sama dia perang dingin apa gimana?"

"Boro-boro perang dingin! Ini mah perang panas!" Jella menyuap makanannya dengan wajah dongkol luar biasa. "Ini bukannya ngegosip atau ngomongin kejelekan mertua gue ya, tapi ampun deh, dari awal nikah sampai sekarang tuh gue kayak salah melulu di mata nyokap mertua gue! Apa yang gue lakuin tuh kayak nggak ada benarnya!"

"First impression dia ke lo jelek kali?" Harsya menebak.

"Nggak deh, awal-awal ketemu tuh gue udah sopan banget, ramah, berusaha berbaur sama keluarga, apalagi menjelang nikah kan. Gue sempat nanya Tigra, gue udah oke apa nggak bersikap, terus Tigra bilang ya udah oke banget. Keluarganya Tigra yang lain juga fine-fine aja sama gue, termasuk bokap mertua gue. Tapi nyokapnya Tigra ini—"

Jella berdecak.

"Pokoknya, gue kayak nggak pernah ada bagusnya buat dia. Gue begini salah, begitu salah. Apalagi pas Cherry lahir, lo tau nggak dia bilang apa? Katanya, 'sayang banget bukan anak cowok'. Bayangin dulu dong, gue masih di rumah sakit, anak gue masih merah, dia udah ngomong gitu. Untung Tigra belain gue, bilang kalau anak cewek dan cowok sama aja."

"Terus, terus?!"

"Abis itu udah bahas-bahas, kapan punya anak lagi. Dikira gue pabrik anak kali ya? Bete banget. Kalau bukan karena laki gue, males banget gue sabar-sabarin diri."

Sakura mengerjap. "Duh, jadi serem sendiri. Kalau misalnya gue sama Milan married, terus nyokap mertua gue—"

"Nyokapnya Milan jauh lebih oke. Percaya sama gue." Jella menyambar. "Nyokapnya Tigra ini yang beneran one of a kind."

"Nyokapnya Milan sama nyokapnya Jenar oke-an mana?" Yumna memancing.

"Halah, nyokapnya Jenar mah udah nggak yang ngalahin!" Jella menukas. "Lihat aja tuh Rei, hidupnya aman-sentosa, disayang anak, suami, mertua. Mana mertuanya nggak rese dan santai banget pula. Sebelum nikah aja dia dikasih berlian harga lima milyar!"

Kata-kata Jella bikin Rei tersedak sampai batuk-batuk.

"Etdah, gitu aja kaget si Nyonya!" Yumna berseru sambil mengulurkan segelas air putih ke Rei. "Harusnya kita-kita ini yang kaget ya, bukannya malah anda!"

Rei minum dulu buat melegakan saluran napasnya, baru menjawab. "Itu bukan buat gue. Itu warisan turun-temurun keluarganya Jenar untuk setiap istri anak cowok. Berhubung dari dulu tuh dalam keluarga paternalnya Jenar, seringnya anak cowok cuma ada satu melulu, ya jadi begitu deh, kalung itu jadi semacam pusaka keluarga. Nanti kalau Arga nikah, ya kalungnya turun ke istrinya Arga."

"Noh—" Harsya meledek Yumna. "Kalau Kwinsa jodoh sama Arga, anak lo dapet tuh berlian antik harga lima milyar!"

"Boleh nggak tuh, Rei?" Yumna terkekeh, berujar dalam nada bercanda.

"Kalau Arga maunya nikah sama Kwinsa, ya gue sih terserah."

"Nah tuh, lampu hijau dari emaknya!" Sakura berseru, lalu tertawa.

Suasana menyenangkan itu terinterupsi oleh bunyi ponsel Jella. Tapi berbeda dengan Rei yang menjawab telepon yang masuk, Jella hanya melirik, terus mengabaikannya.

"Handphone lo tuh!" Yumna memberitahu.

"Iya, udah tau. Biarin aja."

"Siapa emangnya, Kak?" Sakura bertanya.

"Ibu mertua gue. Gue lagi males ribut. Jadi diemin aja dah."


*


Jenar bete banget ketika Milan dan Jaka muncul di rumahnya menjelang jam makan siang.

"Ngapain lo pada kesini?!"

"Ampun, Baginda." Jaka hanya senyam-senyum. "Gue mah ngikut-ngikut aja, kata si Milan, dia tau tempat makan enak gratisan. Eh, ternyata dibawanya ke rumah lo. Hehehe."

Milan nyengir. "Gue dapet bocoran dari Sakura, kalau lo pada mau bakar-bakar daging di halaman belakang rumah lo hari ini."

"Sakura—wait, jangan bilang kalau Sakura tuh lagi liburan bareng bini gue?!"

"Yep, bro. Nggak salah lagi!" Milan mengacungkan jempol.

"Haduh, Regina..." Jenar geleng-geleng kepala. Tapi ya kalau nih tambahan dua orang sudah nongkrong di rumahnya, dia bisa apa selain terpaksa menerima mereka dengan tangan terbuka.

Namun tentu saja, Jenar tetap pada prinsipnya; nggak ada yang gratis di dunia ini!

Alhasil, Milan disuruh belanja bareng Lanang-Ucok-Hendra. Sengaja personelnya banyak, soalnya barang yang bakal dibeli juga cukup banyak. Saking banyaknya, Jenar sampai bikinin catatan yang mencakup dari daging-dagingan, ikan-ikanan sama kepiting dan cumi (kalau ada). Tak lupa minuman. Katanya, Hendra jago banget bikin es buah, jadi mereka diharapkan mampu turut menemukan buah-buahan dan kelapa muda yang bakal diperlukan. Juga snack-snack untuk para bocil yang kalau nggak ada ciki, kurang afdol rasanya.

Jaka nggak ikut belanja, tapi Jenar menugasinya menyiapkan arang dan pemanggang yang memang sudah tersedia. Khusus untuk Yuta, dia kebagian jagain anak-anak yang biar nggak bosan menunggu, dibiarkan main air di kolam renang.

Awalnya, Yuta happy banget—kayak... memangnya apa yang berat coba dari jagain para bocil di kolam renang?

Hingga dia tersadar... kalau jika ditotal, ada lima bocil yang mesti dia awasi dan semuanya tipikal bocil yang nggak bisa diam.

Maka nggak heran kalau sepanjang menjaga para bocil, Yuta merasa energinya terkuras habis. Dia tak henti-henti berteriak.

"Wuje, Wuje, jangan mepet-mepet kesana, di bagian sana kolamnya rada dalem!"

"KWINSA!! KWINSA, WOY, KWINSA!! JANGAN TARIK-TARIKAN GITU SAMA CHERRY!! BAHAYA!!"

"Idan!! Idan!! IDAN, JANGAN PURA-PURA KELELEP, NANTI KAMU KELELEP BENERAN!! ASTAGA—AIDAN—AIDAN KALAU KAMU TERUS KAYAK GINI, NANTI TAK NGADU KE BAPAKMU LOH!!"

"NADI! NADI! KAMU BUKAN PUTRI DUYUNG, TOLONG BAN-NYA DIPAKE!! NADI!!"

"Wuje—ahelah—ohok-ohok-ohok—"

Saking capeknya berteriak melulu, Yuta sampai batuk-batuk.

"Cemen banget dah lo." Jaka berkomentar seraya geleng-geleng kepala. "Dulu aja pas ngomdisin mahasiswa baru, gaya lo sangar banget! Sekarang, ngurus bocil-bocil, lo udah nyerah!!"

"Diem ye nggak usah banyak bacot!" Yuta mendelik.

"Bahasa lo dijaga dong, Tuy! Lagi dekat anak-anak gitu!" Jenar berkacak pinggang dengan gaya persis bapak-bapak pada umumnya dari tepi alat pemanggang yang sedang disiapkan oleh Tigra. "Kalau Regina tau, mulut lo pasti disambelin!"

"Yang penting kan bini lo kagak tau—eh—EH APAAN NIH SIAPA YANG NARIK KAKI GUE—EH, SIAPA YANG NARIK KAKI OM YUTA?!"

Para bocil yang tidak bersalah menghentikkan kegiatan mereka selama sejenak, sibuk saling memandang heran.

"EH—EH, NGGAK LUCU YA!!" Yuta mulai paranoid, apalagi ketika Jenar berseru dari kejauhan.

"Siapa narik siapa?! Kagak ada siapa-siapa di deket lo, Tuy! Mana ada tarik-tarik?!"

Mukanya Yuta makin pucat, apalagi ketika kakinya ditarik makin dalam. Dia sibuk berjuang memanjat tepi kolam renang, hingga tak sadar kalau anaknya yang berada di ujung lain kolam tengah megap-megap karena pegangannya pada ban-nya terlepas.

Tak ada yang menyadari itu, kecuali Jaka.

"Tuy, anak lo—YAILAH—"

Jaka merasa tak bisa menunggu lebih lama lagi. Makanya tanpa peduli, dia melepas kaosnya dan mengeluarkan ponsel dari sakunya, meletakkannya pada tempat kering di tepi kolam sebelum akhirnya...

JEBYURRRRRR!!!

Jaka masuk ke dalam kolam untuk meraih Kwinsa yang lagi tenggelam, membawa anak itu ke tepi kolam dan menaikkannya agar keluar dari air. Situasinya amat dramatis dan segalanya berlangsung dengan begitu cepat.

Mereka semua baru sama-sama terhenyak ketika Kwinsa telah berada di tepi kolam, sibuk batuk-batuk heboh sementara Jaka yang sudah basah-kuyup menepuk-nepuk punggungnya.

"Anak gue kenapa deh?!" Yuta yang baru naik ke tepi kolam usai merasa kakinya ditarik bertanya panik.

"Anak lo hampir tenggelam, tadi ban-nya kelepas!"

"Waduh, gimana sih?!" Jenar melangkah mendekatinya kolam, diikuti Tigra. "Wuje, sini, ke tepi. Naik aja deh, Om Yuta nggak becus jagain anak-anak. Takutnya nanti malah pada kenapa-napa!"

"Cherry juga! Come on—kalian main di darat aja kalau gitu. Ganti baju sekarang ya? Toh udah dingin juga kan. Mana coba Daddy lihat jarinya—nah, udah keriput. Udahan ya?"

Anak-anak pada protes, tapi karena mereka juga terkejut menyaksikan Kwinsa yang tampak terguncang sampai-sampai anak itu cuma diam saja di tepi kolam, akhirnya rajukan mereka tak bertahan lama.

Wuje hanya bisa melihat dari jauh, menatap pada Kwinsa yang terduduk gemetar di pinggir kolam dikelilingi oleh Jaka dan Yuta yang sibuk mengecek keadaannya.

Dia jadi agak khawatir.

Pengen sih, mendekati Kwinsa dan menenangkan anak itu, tapi Wuje sendiri sudah keburu digeret sama Jenar menuju kamar mandi untuk membilas badan, terus ganti baju.

Sehabis berganti baju terus sisiran, pokoknya pas sudah ganteng, baru Jenar membawa Wuje lagi ke halaman belakang. Ternyata, para bocil yang lain juga sudah pada ganti baju—khusus buat Idan sama Nadi, agaknya sih yang bantuin mereka ganti baju tuh Jaka. Kentara banget dari celana Idan yang kebalik dan rambut Nadi yang masih awut-awutan belum disisir.

Kwinsa sudah ganti baju, lagi sibuk duduk diam di gazebo. Sendirian. Yuta nggak kelihatan, mungkin lagi berganti pakaian.

"Papa, Papa duluan aja, aku mau ke dapur sebentar."

"Mau ngapain?"

"Mau ambil Coki-coki dari kulkas."

"Bawa sekalian wadah yang gede ya? Nanti teman-teman kamu yang lain pada mau."

"Iya, Papa."

"Oke."

Jenar kembali pada kegiatan awalnya bersama Tigra dan Jaka; mempersiapkan alat masak dan tempat pembakaran.

Selepas mengambil sekotak besar Coki-coki dari dalam kulkas, Wuje nggak langsung menghampiri tempat anak-anak lainnya. Dia malah bergerak mendekati Kwinsa yang melamun sendirian. Kwinsa menoleh ketika Wuje sudah dekat.

"Kwinsa,"

"... apa?"

"Kamu nggak apa-apa?"

"..."

"Tadi kamu hampir kelelep..."

"Iya."

"Takut nggak?"

"Takut."

"Sekarang masih takut?"

"Sedikit."

"Oh..." Wuje manggut-manggut, lalu duduk di samping Kwinsa. "Nih, makan cokelat aja dulu. Kata Mama aku, cokelat bisa bikin kita seneng."

"..."

"Makan deh, biar kamu seneng, terus nggak takut lagi. Apa mau aku bukain?"



to be continued. 

***

a/n: 

sepertinya, ada beberapa diantara kalian yang cukup penasaran kenapa jella bisa berantem sama mama mertuanya pas liburan bersama para gadis yah (yang tentunya sudah bukan gadis) 

paling ribut mama mertua x menantu di chapter selanjutnya 

emang shay hidup tuh gak ada yang sempurna, bisa aja suami oke punya kaya tigra, tapi mertuanya... begitulah wkwkwk 

terus, pada penasaran sama visualisasi ryza. 

bukan ryujin wkwkwk 

coba tebak wkwkwkwk 

terus apa ya, udah kali ya. 

selamat subuh wkwkwk 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top