52 | kok bisa terbang?
Waduh, Wirya nggak nyangka banget kalau dia bakal ketemu Rossa di restoran ini. Setahunya, Rossa tuh lagi meeting—walau yah, nggak menutup kemungkinan kalau selepas meeting, Rossa memutuskan mampir ke sini. Cuma, saking kagetnya, Wirya nggak berpikir panjang dan tanyanya terlontar begitu saja tanpa bisa dia kontrol.
"What are you doing here?"
Rossa melirik pada Ryza yang langsung pura-pura sibuk main handphone, terus katanya. "Harusnya aku yang nanya."
Tadinya, begitu lihat Rossa berdiri di sisi mejanya, Wirya tuh sudah nyaris panik macam laki-laki hidung loreng yang ke-gap selingkuh sama pasangannya. Cuma kalau Wirya pikir lagi... lah ngapain dia panik? Mereka lagi break. Dia sama Ryza juga ketemu Rossa di restoran, bukan di lobi hotel atau sejenisnya.
"Mau makan. Restoran ini kan terbuka untuk umum." Wirya membalas, terdengar santai banget dan nggak tau kenapa, bagi Rossa itu terasa menohok.
"And who is—"
"Aku Ryza, Tante."
Secara penampilan, Ryza memang kelihatan muda banget. Rossa menebak, paling banter anak itu masih kuliah—atau mungkin baru mau lulus kuliah? Nggak akan jauh-jauh dari itu. Namun mendengarnya bicara, Rossa jadi lebih kaget lagi. Suaranya Ryza terdengar cute dan terkesan childlike.
"Dia temen aku." Wirya menambahkan.
"Seriously?" Rossa melipat tangan di dada. "Sejak kapan kamu temenan sama anak kecil?"
"Kenapa sih, semuanya pada sebut saya anak kecil?!" Ryza nggak bisa menahan diri buat nggak protes. "Saya ini udah gede, Om, Tante! Mana ada anak kecil yang bisa naik pesawat sendiri dari Soekarno-Hatta sampai kesini coba?"
Rossa menatap sejenak pada Ryza. "Terus apa hubungan kamu sama om-om ini?"
"Seriously, Rosie?!" Wirya tampak shock sejenak. "Kamu ikut-ikutan panggil aku om-om?!"
"Diem, aku lagi ngomong sama dia."
"Nggak tau sih, Tante."
"Katanya kamu temannya."
"Iya kali ya?" Ryza menggaruk belakang lehernya, terlihat rikuh. "Tapi rada aneh gitu nggak sih? Saya belum pernah punya teman om-om..."
"TERUS KALAU BUKAN TEMEN, APAAN?" Wirya malah jadi nge-gas ke Ryza.
"Keponakan ketemu gede kali ya?"
Rossa berdecak. "Wirya, it's not cool."
"What? Aku nggak ngapa-ngapain!!"
"Aku tau kamu marah sama aku soal Jaka, tapi main-main sama anak kecil cuma untuk bikin aku kesal itu bukan sesuatu yang dewasa."
"Wait—" Ryza tersentak, memelototkan matanya hingga Wirya merasa bola mata gadis itu bisa saja melompat keluar sewaktu-waktu, terus bergantian menunjuk Wirya dan Rossa dengan dramatis. "JANGAN BILANG KALAU TANTE INI TUH MANTANNYA OM WIRYA?!"
"WHAT?! MANTAN?!" Rossa sontak terperanjat, tatapannya terarah pada Wirya, terkesan menuduh sekaligus sarat oleh sorot kecewa. "Kamu udah anggap aku mantan?!"
Duh... kok bisa kacau banget begini ya?
"We're in a break." Wirya beralasan.
"Dan kamu udah anggap aku mantan?!"
"Kita nggak lagi berada dalam sebuah hubungan, Rosie."
"Untuk sementara." Rossa menukas cepat.
"Aku nggak tau soal itu. Semuanya kan terserah kamu!"
"Kamu expect aku putusin kamu secara permanen?"
"Aku expect kamu bikin keputusan."
"Dan keputusan itu adalah, kita selesai untuk seterusnya?"
Ryza pusing banget deh terjebak dalam zona perang dadakan antara dua orang dewasa ini. Tapi jujur, dia juga bingung mesti bersikap bagaimana. Jadi gadis itu hanya diam, bertopang dagu di depan buku menu yang terbuka.
"Ada dua kemungkinan. Either kamu benar-benar memutuskan untuk seterusnya bareng-bareng sama aku, yang itu artinya kamu bakal lebih terbuka soal banyak hal penting, termasuk soal Jaka, atau kamu memutuskan untuk nggak melanjutkan. Apapun keputusan yang nantinya kamu pilih, itu sesuatu yang harus aku hargai, kan?"
"..."
"Saat ini, aku cuma menunggu kepastian. Kepastian apa kita mau benar-benar komunikasi dan tetap bareng, atau memang udah nggak bisa bareng lagi."
"Om—"
Wirya menoleh pada Ryza, dan nada suaranya melembut sedikit. "Apa?"
"Laper."
"Oke, urusan itu dikesampingkan dulu. Sekarang aku mau tau, dia siapa?"
"Aku udah bilang, dia temanku!"
"Kamu bukan tipe orang yang punya banyak teman, Wirya. Dan teman yang masih kecil kayak dia—"
"Ya Tuhan..." Ryza meletakkan kepalanya dengan dramatis di atas meja. "Harus saya bilang berapa kali kalau saya bukan anak kecil..."
"Sama kayak aku yang clueless soal pertemanan kamu sama Jaka, kayaknya kamu juga clueless soal kehidupan pertemananku kayak gimana."
Rossa tersentak. "Sekarang kamu bawa-bawa Jaka lagi?"
"Iya. Keberatan?"
"You're unbelievable."
"Kamu lebih unbelievable!"
Rossa menyipitkan matanya, kentara sekali marah pada ucapan Wirya, tapi dia masih punya cukup self-control untuk tidak memulai keributan di tempat umum. Terutama, ketika dia sedang ditunggu oleh beberapa rekan kerjanya. Perempuan itu berdecak, lantas berbalik dan melangkah cepat meninggalkan meja Wirya dan Ryza. Suara hak stiletto-nya yang beradu dengan lantai kayu mencipta ketukan yang dramatis.
Ryza berpaling pada Wirya begitu Rossa sudah berlalu.
"Itu tadi pac—mantan—eh apa masih pacaran? Tau deh, tapi itu tadi... anuannya Om Wirya?"
"Anuan tuh apa?"
"Istilah aja, Om. Saya pusing, nggak paham hubungan kalian tuh kayak gimana."
"Iya." Wirya melihat pada buku menu. "Kamu mau makan apa?"
"Steak, yang pake black pepper sauce—eh tapi jadinya Om sama Tante yang tadi tuh udah putus apa belum sih? Terus Jaka tuh siapa lagi, Om? Nggak mungkin Jaka Tarub yang nyolong selendangnya Nawang Wulan kan? Atau—"
"Pake kentang goreng apa mashed potato?"
"Mashed potato—kalau Tante yang tadi salah paham gimana, Om? Saya jadi nggak enak—"
"Minumnya apa?"
"Air putih—nanti kalau saya disangka pelakor giman—"
"Yakin mau air putih aja? Mereka punya jus stroberi yang enak."
"OM, IH! MENGALIHKAN MELULU!!"
"Oke, jus stroberi kalau gitu."
Ryza hanya bisa manyun, walau nggak lama, dia beranjak dari duduk.
"Mau kemana?"
"Toilet."
"Mau dianter?" Wirya menawarkan.
"Nggak! Bisa sendiri!"
Sembari menahan dongkol, Ryza berjalan meninggalkan Wirya yang telah melambai, memanggil pramusaji untuk datang mendekat.
Gadis itu meninggalkan tas punggungnya begitu saja. Wirya baru saja selesai menyebutkan seluruh hidangan dan minuman yang mereka pesan sewaktu dia mendengar bunyi ponsel dari dalam tasnya Ryza. Sempat ragu sejenak, akhirnya Wirya nekat saja mengeluarkan ponsel dari sana dan menjawab telepon yang masuk tanpa pikir panjang—lagian, kontak peneleponnya juga tidak terdaftar sih.
"Halo?"
"RYZA?! RYZA, KAMU BENERAN DICULIK!? HALO?! ANDA PENCULIK ANAK SAYA YA?!"
*
Malam pertama Lanang dan kawanannya menginap di rumah Jenar ditutup oleh huru-hara yang akhirnya bikin Mbak Kunti memutuskan ngungsi ke pohon mangga tetangga.
Jadi, gimana ceritanya?
Semuanya diawali oleh suara tangisan heboh Wuje yang jatuh ngedeprok di lantai setelah secara tidak sengaja tersundul oleh pantat bapaknya sendiri. Suara mewek Wuje yang terdengar di rumah yang lagi gelap karena mati lampu, ditambah hujan deras disertai petir yang sesekali menyambar memicu Lanang menyuruh dua kru-nya untuk menyalakan kamera, menyorotnya yang berlagak seperti presenter magang channel JurnalRisa.
Tigra juga ikut keluar kamar karena merasa perlu memastikan, diikuti oleh Yuta yang setia memegangi bagian belakang bajunya. Untungnya, Queensha dan Cherry tidak ikut terbangun. Dua bocil itu masih pulas terlelap.
Saat Wuje baru mulai nangis, Jenar sempat tertawa. Tapi waktu tangisannya Wuje kian mengeras, dia jadi panik sendiri. Soalnya, sudah malam juga, nanti malah membangunkan orang-orang yang telah tidur. Bisa-bisa, situasinya justru jadi runyam.
"Arga, jangan nangis dong!! Papa kan udah minta maap!!"
"Pantat aku—hiks—" Wuje tersedu, beranjak dari lantai dan menunjukkan pantatnya ke Jenar. "—sakit, Papa—hiks."
Jenar mengelus pelan pantat Wuje. "... masa gitu doang sakit sih?"
"HUAAAAA!! PAPA—hiks—INI SAKIT—hiks—"
"Iya deh, Papa minta maaf."
Wuje masih saja mewek.
"Je, Papa minta maaf."
"Nanti bobonya... mau di-mpok-mpok..."
"... hah?"
"Nanti mpok-mpok—hiks—baru—hiks—dimaafin—"
"YEUUUUU!!"
"Papa—hiks—nggak mau?"
"Oke. Nanti Papa mpok-mpok!" Jenar memilih mengalah, daripada urusannya malah makin panjang. Dia mengeluarkan satu lampu emergency, menyalakannya dan mencipta terang seketika. "Tunggu sini ya? Nggak gelap, kan ada lampu. Papa mau ke belakang, nyalain genset doang. Lagi hujan gede, nanti kamu kena angin sama basahan hujannya."
"Papa—"
"Ada lampu. Papa tinggalin satu buat kamu. Tunggu sini. Oke?"
"Tapi—"
"Kamu udah berani kemarin-kemarin jagain Mama. Masa tunggu Papa balik dari nyalain genset aja kamu nggak berani?"
Wuje manyun, terus mengusap matanya yang basah pakai jari. "Janji ya—hiks—Papa cepet—hiks—kesini lagi?"
"Iya."
Jenar mengusap puncak kepala Wuje, terus mengambil lampu emergency lainnya dari tempat penyimpanan yang sama. Hujan masih deras mengguyur sewaktu lelaki itu melangkah menuju teras belakang rumah, tempat gensetnya disimpan.
Sementara itu...
Lanang memimpin jalan dari kamar menuju dapur, selaku tempat datangnya suara. Ucok dan Hendra tangkas mengarahkan kamera yang dilengkapi dengan lampu buat menyoroti muka Lanang yang tampak serius. Di belakang Hendra, Idan mengekor sambil memegangi bagian bokong bokser yang Hendra pakai. Nadi ditinggal, soalnya anak itu masih molor.
"Gais, gais, gais, kalian dengar nggak—suara apa itu?" Lanang memasang ekspresi serius sambil memegang salah satu telinganya. "Barusan terdengar suara growling... jangan-jangan... dari penunggu rumah ini yang lagi beraksi gara-gara mati lampu!!"
"Bang,"
"Apa, Ucok?"
"Barusan itu suara perut gue, Bang. Kayaknya gue lapar."
"HADEHHHH—CUT—CUT YANG TADI!!" Lanang berseru, agak jengkel. "Mau itu suara perut lo atau bukan, udah iya-iyain aja, Cok! Subscriber gue mana peduli itu suara perut lo apa bukan, yang penting mah ini ada bukti nyata eksistensi setan penunggu rumahnya Bang Jenar!!"
"Oiya, Bang. Maap..." Ucok meringis.
"Oke, cus lanjut—"
"Bapak..." Tiba-tiba, Idan menyela.
"Apa, Idan?"
"Kok gelap?"
"Soalnya mati lampu, Idan."
"Kok mati lampu?"
"Sambungan listriknya diputus, makanya mati lampu."
"Kok sambungannya diputus?"
"Nggak tau, Dan. Mending kamu tanya ke abang-abang PLN daripada ke Bapak." Lanang mulai sewot.
"Kenapa tanyanya ke abang-abang PLN, Pak?"
"Soalnya dia yang ngurusin listrik!"
"Kenapa dia yang ngurus listrik?"
"YA KARENA DIA ABANG-ABANG PLN!!" Lanang jadi sewot. "Dan, tadi kan kamu janjinya nggak bakal ganggu syuting Bapak kalau diajak? Udah, jangan tanya-tanya sekarang!"
"Kalau tanya-tanyanya nanti, boleh Pak?"
"Ya Allah... anak siapa sih ini..."
Hendra ngakak. "Anak lo, Bang."
"Eh, tapi suara nangisnya berhenti nggak sih?" Ucok mendadak berujar.
Lanang sama Hendra sontak saling pandang.
Hm... benar juga apa yang dibilang Ucok...
Suara tangisnya berhenti.
"Jangan-jangan, setannya udah capek nangisnya?!" Idan menebak.
"Ngaco!" Lanang berseru. "Hayok, buruan kita ke dapur sebelum setannya kabur!!"
Lanang mulai berlari secara rusuh, membuat Ucok dan Hendra mau nggak mau mengikuti pergerakannya. Dikarenakan sangat nggak mungkin bagi Idan yang masih bocil untuk menandingi kecepatan lari bapaknya yang lagi membabi buta, Hendra buru-buru meraup badan anak itu, menggendongnya pakai satu tangan. Kasihan banget sih dia, jadi rada tergopoh-gopoh, soalnya tangannya yang lain masih memegang kamera.
Di tempat yang lain...
"GRA!! ADA SUARA ORANG LARI, GRA!! 😱😱😱."
Yuta langsung parno ketika mereka baru menuruni tangga dan mendengar suara sekumpulan orang sedang berlari cepat menuju dapur.
Tigra melotot, mau nggak mau wajahnya ikut memucat. Dia memang pemberani, tapi jujur saja, kalau sama setan beneran, Tigra rada keder juga. Apalagi, setahu Tigra, setan tuh nggak bisa ditonjok atau diringkus terus dibawa ke pos satpam.
"GRA, ITU APAAN BERCAHAYA, GRA!!! 😱😱😱."
"DIEM, ANJRIT!! KALAU LO KAYAK GINI, GUE JADI TAKUT!!!"
"GRA—"
"APA AH, JANGAN PELUK-PELUK GUE!!" Tigra melotot sewot pada Yuta yang kini berpegangan padanya macam orang yang hampir hanyut kebawa arus sungai. Tigra menghela napas. Gara-gara Yuta, dia jadi ekstra deg-deg-an juga. Tapi lelaki itu masih berusaha berbaik sangka. "Apa jangan-jangan ada maling masuk ya?"
"..."
"Kita harus bener-bener cek ke sumber suara kalau gini caranya."
"TIGRAAAA!!!!! 😱😱😱😱." Yuta beneran hampir histeris, yang membuat Tigra sontak membekap mulutnya pakai telapak tangan.
"Ssttt—jangan berisik!! Kalau itu maling, dia bakal tau kita udah kebangun!! Kita harus sergap dia sebelum dia tau kita udah bangun!!" Tigra berujar dalam bisik tegas.
"Awahdhdhsahahdgfhfhhghggh." Balasan Yuta nggak jelas, karena tangan Tigra masih menempel di mulutnya.
Maka, Tigra menarik tangannya.
"Tapi kalau itu setan gimana?!"
"Kalau itu maling, lebih bahaya, Tuy."
"Gra—"
"Kalau lo nggak mau ikut ngecek ke dapur, biar gue cek sendiri aja."
Yuta kicep seketika. Tentu, dia memilih ikut. Setakut-takutnya dia sama setan, dia lebih takut lagi kalau mesti ditinggal sendirian di rumah Jenar yang lagi gelap gulita. Waktu itu saja, meski rumahnya Jenar lagi terang benderang, si kuntilanak dengan santai menunjukkan diri. Apalagi kalau gelap banget kayak sekarang.
Mereka pun melangkah mengendap-endap, berusaha nggak menimbulkan suara dalam upaya mereka menuju dapur.
Kembali pada Wuje yang lagi duduk meringkuk di dekat kaki kursi makan sambil menatap cemas pada lampu emergency yang menyala terang di depannya...
Wuje nggak suka gelap.
Betul-betul nggak suka. Makanya, dia nggak pernah bisa tidur dalam kamar yang gelap total. Itu juga yang jadi alasan kenapa Rei meletakkan banyak lampu tidur di kamarnya, juga lampu kecil-kecil yang selalu mengingatkan Wuje pada pohon Natal. Kalau kata Rei sih, mungkin bawaan dari sananya Wuje memang kayak gitu, soalnya ketika Wuje lagi dalam perut, Rei juga tiba-tiba jadi suka menghias kamar dengan sticker glow in the dark.
"Papa kenapa lama banget..." Wuje bergumam sambil memegangi kedua pipi gembilnya pakai telapak tangan, terus dia mengucek matanya yang masih basah bekas menangis tadi.
Wuje masih duduk diam, menatap pada lampunya. Suasana rumah benar-benar gelap. Jadi Wuje serasa "buta", cuma bisa melihat jelas pada area yang masih diterangi oleh lampu emergency yang Jenar tinggalkan. Gentar karena Jenar nggak kunjung kembali, Wuje mulai bersenandung lirih, menyanyikan lagu Baby Shark yang telah dia hapal di luar kepala.
Suara nyanyian Wuje membuat komplotannya Lanang yang nyaris tiba di dekat pintu dapur menghentikkan langkah...
"Kalian dengar itu?" Lanang berbisik selirih mungkin.
"Ada suara... anak kecil nyanyi..."
Idan memiringkan wajah. "Pak... aku kayaknya... kenal lagunya..."
"Sssttt—diam, Aidan!" Lanang memperingatkan. "Jangan-jangan, setan yang ada di dapur sekarang itu adalah tuyul?"
"..."
"Mari kita buktikan!"
Lalu, Wuje yang tadinya berusaha mencari distraksi dengan bernyanyi...
Wajah anak itu kontan memucat ketika dia melihat cahaya terang yang bergerak menuju pintu dapur. Wuje memeluk lututnya. Dia nyaris menangis saking takutnya. Rasanya dia ingin menjerit, memanggil Rei atau Jenar agar melindunginya, tapi mulutnya terlalu kaku untuk dibuka.
Dan ternyata, datangnya cahaya itu disertai oleh seraut wajah milik sosok tinggi besar yang membuat Wuje merasa sangat kecil...
Refleks, Wuje berteriak ketakutan.
Lanang dan komplotannya ikut-ikutan kaget, turut berteriak sekencang yang mereka bisa. Ucok bahkan sampai lemas. Lelaki itu berupaya berbalik, ingin berlari menjauh, tapi kakinya terlanjur lemah. Lututnya serasa kopong mendadak, bikin dia menggelesor ke lantai dan terpaksa ngesot sambil berkali-kali menyebut nama Tuhan.
Jeritan mereka turut mengagetkan Tigra sama Yuta yang hampir mencapai pintu dapur. Keduanya dibikin tercekat oleh Ucok yang tampak ngesot dalam kegelapan. Sosoknya nggak jelas, karena penerangan yang terbatas. Posenya yang ambigu serta tangannya yang menggapai-gapai dari kegelapan cukup mengerikan, bikin Tigra sama Yuta ikut-ikutan menjerit...
SItuasinya jadi kayak 👻👻👻👻🤯🤯🤯💣💣💣😱😱😱😱😱😱😱😱☠️☠️☠️
Kemudian... pyar!!
Seluruh lampu kembali menyala terang, membuat mereka yang menjerit bisa saling mengenali satu sama lain.
Mereka kompak menutup mulut, sementara terdengar suara Jenar berlari dari arah teras belakang sambil memanggil-manggil panik.
"ARGANATA!! ARGA!!"
Jenar tiba di dapur melalui pintu belakang, disambut oleh Wuje yang masih duduk meringkuk dengan wajah pucat dan pipi penuh air mata, juga para tamu-tamunya yang saling pandang dengan dada naik-turun secara cepat, layaknya orang yang ngos-ngos-an habis marathon.
"Ini kenapa—"
"PAPA—HUAAAAAA—PAPAAAAA!!"
Jenar berpaling pada Wuje. Dia meletakkan lampu emergency yang sudah dimatikan ke atas meja marmer, lantas melangkah cepat mendekati anaknya. Sekujur badan Wuje shaking parah karena ketakutan, juga karena kaget. Jenar buru-buru meraihnya, mendekap Wuje ke dadanya dan mengusap punggung anak itu.
"It's okay, Boy. Papa di sini. It's okay. You're safe now."
"... ini—tuyulnya mana?" Lanang jadi bingung sendiri.
"TUYUL APAAN?!" Jenar kontan bereaksi sewot.
"Tadi ada suara anak kecil nangis, Bang—"
"Itu suara anak gue!!"
"HAH?! MASA?!" Yuta mengerjap tak percaya. "Suara nangisnya serem..."
"SEREM APAAN?!" Jenar nggak terima, sementara Wuje masih memeluknya erat-erat, sibuk menangis di bahu bapaknya. "Gue sama anak gue kebangun karena mati lampu! Gue mau hidupin genset, tadi pas nyari lampu, nggak sengaja nyenggol Arga sampai jatuh, makanya anaknya nangis!!"
"Oh..."
"Horor mulu yang lo pikirin, lihat nih anak gue jadi sawan!!"
"... jadi, tadi itu Arga?" Tigra berusaha memastikan.
"IYA!" Jenar mendengus. "Lagian kok lo pada percaya amat sama Yuta sih?! Bertahun-tahun keluarga gue tinggal di sini, nggak ada satu pun dari gue, Regina atau anak gue yang nemuin hal aneh-aneh!! Udahlah, mending lo semua pada balik lagi ke kamar!!"
Habis mengomel, Jenar langsung menggendong Wuje menuju kamarnya, mengabaikan tatapan dari Lanang beserta kawanannya, juga dari Tigra dan Yuta. Tangannya sesekali mengelus punggung Wuje yang kelihatannya sudah lebih tenang.
"Bobonya mau sama Papa aja?" Jenar menawarkan, karena Wuje kelihatannya trauma banget sehabis kejadian di dapur.
Wuje mengangguk. "Mau mpok-mpok..."
"Tadi di dapur kenapa?"
"Takut... tadi gelap... terus ada cahaya... terus ada bayangan tinggi-gede, Papa. Kayak raksasa..."
"Itu Om Lanang."
"... bukan hantu?"
"Nggak ada hantu di rumah ini, Arga. Selama kita di sini, kita nggak pernah lihat yang aneh-aneh, kan?"
Wuje mengangguk, sementara Jenar menghapus sisa air mata di pipinya pakai jari. "Oke, sekarang acnya udah nyala. Kita bobo lagi ya?"
Wuje mengangguk untuk yang kesekian kalinya.
Mereka mampir sejenak di kamar Wuje buat mengambil boneka kelinci yang biasa menemani Wuje tidur, baru berpindah ke kamar Jenar.
"Kamarnya baunya kayak Mama..."
"Iya, tadi Papa semprot parfum Mama." Jenar meletakkan Wuje di atas kasurnya. "Papa mau ke toilet dulu. Tunggu di sini, oke?"
"Iya, Papa."
Jenar pun meninggalkan Wuje sejenak untuk pergi ke toilet. Saat dia kembali, Wuje telah turun dari kasur. Anak itu berdiri di dekat kaca jendela besar di salah satu sisi tembok kamar Jenar. Tirainya tersingkap, menampilkan pemandangan langit yang gelap, juga hujan yang masih turun mengguyur. Wuje diam saja di depan jendela, melamun, terlihat seperti menatap pada sesuatu, tapi entah apa.
"Arga?"
Wuje menoleh. "Iya, Papa?"
"Ngapain di situ?"
Wuje tampak seperti mau menjawab, namun anak itu terlihat ragu. Ujung-ujungnya, Wuje malah menggeleng. "Nggak apa-apa, Papa. Tadi tirainya kebuka..."
"Perasaan udah Papa tutup deh..." Jenar berjalan mendekati Wuje, terus menutup tirai yang tadinya tersingkap. "Ayo, bobo."
"Iya, Pa."
Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk berbaring berdekatan di atas ranjang. Wuje berbaring sambil memeluk boneka kelincinya dengan satu tangan, mendekapnya ke dada. Sedangkan Jenar berbaring agak menyamping, menghadap pada anaknya dengan kepala ditopang salah satu lengan. Tahu-tahu, Jenar menguap.
"Papa ngantuk?"
"Iya. Buruan bobo, gih."
"Mpok-mpok..."
"Ngadep sini, biar Papa gampang mpok-mpoknya."
Wuje menurut, ganti berbaring menyamping menghadap ke Jenar. Jenar menggunakan tangannya yang satu lagi untuk menepuk lembut pantat Wuje, sementara Wuje memainkan rantai kalung yang melingkari leher Jenar dengan jemari kecilnya. Sesuatu yang sering anak itu lakukan, termasuk kalau Jenar lagi menggendongnya. Jenar baru sadar, kalau kebiasaan anak itu mirip banget sama Rei.
"Papa, Papa,"
Jenar menguap lagi. "Hmmm?"
"Kalung Papa gantungannya kayak gembok gerbang sekolahan aku..."
Jenar terkekeh seraya mengerjapkan matanya yang telah digelayuti kantuk. "Iya, liontinnya emang bentuk gembok."
"Ini Mama yang kasih ke Papa ya?"
"Kok tau?"
"Kalau Mama yang kasih, pasti Papa pake terus. Kayak gelang Papa yang itu. Oh ya, sama cincin..."
Jenar nyengir. "Iya. Tau kenapa?"
"Papa suka sama kalungnya? Sama gelangnya juga? Terus sama cincinnya juga?"
"Iya, tapi tau nggak kenapa Papa suka?"
"Kenapa?"
"Soalnya yang kasih Mama."
Wuje mengerjap, menatap Jenar dengan lekat. "Jadi kalau yang ngasih Tante Hyena atau Opa botak, Papa nggak suka?"
"Suka. Tapi kalau Mama yang ngasih, rasanya beda."
"Beda gimana, Papa?"
"Seneng. Soalnya Papa sayang banget sama Mama. Dengan Mama kasih sesuatu untuk Papa, berarti Mama mikirin Papa."
"Aku nggak pernah kasih apa-apa buat Papa, tapi aku mikirin Papa kok."
"Kamu udah ngasih banyak buat Papa."
"Hah, aku pernah kasih apa?!"
"Happiness."
"Hipines itu apa, Papa?"
"Itu deh. Happiness. Nanti juga kamu bakal tau."
"Aku kasih itu ke Papa?"
"Iya. Banyak banget."
"Tapi kok aku nggak inget ya?"
"Suatu hari nanti, kamu bakal inget." Jenar tertawa, lantas merunduk dan mencium pelan kening Wuje. "Sekarang bobo ya? Papa udah ngantuk banget..."
Wuje menurut, akhirnya memejamkan mata. Meski dia nggak langsung benar-benar tidur. Pikirannya terlintas pada apa yang tadi sekilas dilihatnya di luar jendela besar kamarnya Jenar.
Jenar sendiri tampaknya sudah selangkah menuju dunia mimpi. Satu tangannya tak lagi menjadi tumpuan, karena kepalanya telah betul-betul menyentuh bantal. Matanya terpejam dan tepukan tangannya di pantat Wuje makin melambat.
"Papa?"
"Hm?" Jenar bergumam nggak jelas.
"Orang bisa terbang nggak?"
"... Superman bisa... kayaknya..." Jenar membalas dengan suara lirih.
"Superman ada yang cewek nggak?"
"... nggak ada..." Jenar menyahut dengan suara makin pelan, tanda dia sudah betulan tidak bisa menahan kantuknya.
"Tapi... tadi, aku lihat di luar jendela... ada cewek terbang... rambutnya panjang..."
Jenar nggak menjawab, sudah sepenuhnya tertidur.
to be continued.
***
"Sebenernya gue hepi-hepi aja kalo lo gak kangen gue, tapi berhubung pada kangen, yaudah nanti abis ini gue nongol."
"Walau tak diundang, saya akan turut datang."
"Saya juga akan datang." -kelapa
"Saya akan jadi saksi bisu awal mula cinta remaja yang ternyata sudah dipupuk sedari dini." -kolam
***
a/n:
wow akhirnya berlanjut wkwkwkwk
maap segitu dulu yah
tadinya gue mau masukkin johnny, tapi kayanya bakal terlalu menguras bak mandi untuk chapter yang ini.
dah gitu ajalah.
doakan semoga chapter selanjutnya bisa naik lebih cepat.
ciao dan terimakasie.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top