51 | hujan tengah malam
"Mau makan apa?"
"Terserah Om."
"Kamu bakal terus-terusan panggil saya Om ya?"
"Kan emang udah om-om toh?"
"Saya bukan om kamu."
"Terus om mau saya panggil apa? Bapak?"
"SAYA BUKAN BAPAK KAMU!!"
"Om nge-gas terus, ati-ati darah tingginya kambuh."
"Saya nggak punya darah tinggi."
"Coba abis ini cek, siapa tau sebenarnya punya." Ryza tertawa. "Serius, Om. Kita mau makan apa?"
"Yang laper kamu, kan?"
"Emang Om Wirya nggak?"
"Dikit doang."
"Sama aja, laper juga."
"Ini kalau kita debat kayak gini—"
"—kayak orang pacaran yah? Biasanya kan orang pacaran yang suka debat nggak jelas kayak gini. Hehe."
"—bukan! Kalau kita debat kayak gini, kita nggak akan makan!" Wirya sewot, tapi terus matanya menyipit. "Anak jaman sekarang bahaya banget."
"Bahaya banget gimana?"
"Kamu kepikiran pacaran sama om-om?"
"Lah, bukannya tadi om nggak terima disebut om-om?!"
Wirya geleng-geleng kepala.
"Jadi mau makan apa?"
"Yang menurut Om Wirya enak tuh apa?"
"Seafood? Saya tau restoran seafood enak yang nggak jauh dari sini."
"Mau sih—"
"Kok pake 'sih'?"
"Saya alergi udang sama kerang, Om."
"Oke, nggak bisa seafood berarti." Wirya menghela napas, terlihat sekali sedang berpikir, terus dia ganti memberikan alternatif lain. "Kalau makanan India gitu, mau?"
"Terlalu berempah, Om. Saya gampang mual kalau makan makanan yang rasanya terlalu tajam gitu."
"Berarti kamu nggak doyan masakan Padang?"
Ryza menggeleng sambil meringis. "Nggak, Om."
"Kata saya, kamu aneh."
"Ngejar cowok virtual saya jauh-jauh sampai kesini aja udah aneh, Om. Soal nggak doyan masakan Padang mah sepele."
Waduh, benar juga.
"Berarti kamu sadar kelakuan kamu ngejar cowok kamu sampai ke negara orang sini tuh aneh ya?"
"Iya, Om."
Wirya mengembuskan napas lega.
"KENAPA MUKANYA KELIHATAN LEGA?!"
"Berarti kamu orang kurang waras yang sadar kalau dirinya kurang waras. Puji Tuhan banget."
"Daripada nggak waras tapi ngotot waras." Ryza menukas. "Saya mah simple banget orangnya. Saya sayang, ya saya bilang sayang. Kayak gimana saya ke cowok saya, walaupun hubungan kita tuh cuma sebatas percintaan virtual—"
Wirya sampai batuk-batuk gara-gara pemilihan kata yang dipakai sama Ryza.
Ryza mengabaikan respon Wirya. "Cuma ya itu, saya pengen dapet kepastian aja, Om. Saya yakin dia belum meninggal. Kalaupun dia meninggal, saya cukup dikirimin kuburan bertanda nisan yang ada tulisan namanya, atau guci abunya, kalau dia dikremasi. Tapi kan sodaranya itu nggak sanggup ngasih. Jadi saya yakin dia masih hidup, terus—"
"Oke, oke, saya paham." Wirya menghentikan cerocosan Ryza, soalnya kalau diterusin, pasti bakal ngalor-ngidul nggak jelas dan entah kapan kelarnya. "Kalau gitu, kamu maunya makan apa? Semua usul saya kamu tolak."
"Terserah Om Wirya aja."
Wirya membuang napas dengan frustrasi. "Restoran western? Rasanya nggak tajam-tajam amat dan mereka jual steak yang enak—sori, kamu makan daging kan?"
"Makan lah, Om! Saya udah kagak bisa makan seafood, kalau nggak makan daging juga, waduh kasihan banget saya melewatkan seluruh kenikmatan dunia!! Eh tapi, Om—"
"Apa?"
"Restorannya mahal nggak?"
"Nggak ngaruh. Kan saya yang bayar."
Wirya berlalu begitu saja, melangkah menyusuri trotoar lebih dulu hingga dia nggak melihat Ryza yang diam-diam mencibir di belakang punggungnya.
Wirya malas menggunakan moda transportasi umum, jadi dia menyewa taksi. Restoran makanan western yang dia maksud nggak terlalu jauh dari tempat mereka berada, jadi nggak butuh waktu lama bagi keduanya untuk tiba di sana. Begitu tiba di depan restoran selepas turun dari taksi, Wirya sempat terpana sebentar.
Dia pertama kali mengunjungi restoran itu bareng Rossa.
Kalau dipikir-pikir lucu juga. Kali ini, dia meninggalkan Jakarta—mengesampingkan sejenak seluruh kesibukan dan tumpukan pekerjaannya—hanya untuk meluruskan segalanya sama Rossa. Tapi selama hampir setengah hari ini, tepatnya sejak dia ketemu Ryza, meski hanya sejenak, sosok Rossa sempat terlupa dari benaknya.
Bisa gitu ya?
Kayak selama ini... setelah Rossa menolak menemuinya di Singapura se-dekade lampau, sewaktu Rossa enggan berinteraksi apalagi berteman dengannya, dia nggak pernah sekalipun bisa mengusir perempuan itu dari dalam pikirannya.
Tapi sekarang...
"Om, kok malah bengong sih?! Om baru sadar kalau nggak punya duit ya?!"
Wirya tersentak, terus menoleh dan berpaling sewot pada Ryza. "Saya punya duit!!"
"Abisnya, tiba-tiba bengong."
"Sori, tiba-tiba terbawa suasana." Wirya pun melangkah menuju pintu kaca, membuat waiter berjas hitam dengan dasi kupu-kupu yang berjaga di pintu sigap membukakannya.
"Suasana apa tuh?"
"Dulu saya pertama kesini sama pac—sama—mantan saya kali ya?"
"Kok nggak yakin gitu sih?"
"Lagi break." Wirya menjawab sekenanya.
Dia sama Rossa memang lagi break. Jadi, mereka nggak sedang benar-benar berada dalam sebuah "hubungan". Jujur, setelah bertahun-tahun, baru kali ini Wirya merasa lelah banget. Dia merasa, sekarang waktunya Rossa mengambil keputusan, sebab dia nggak punya cukup energi untuk selalu mengejar.
"Percintaan om-om berat juga ternyata."
"Yang penting, nggak se-dramatis kamu." Wirya menyahut sembari duduk. Ryza juga melakukan tindakan yang sama. Dua pramusaji perempuan berseragam mendekat, memberi buku menu. Wirya bilang mereka mau lihat-lihat dulu, jadi dua pramusaji itu tersenyum sopan sebelum melangkah menjauh.
"Kalau nyari kepastian bikin saya dibilang dramatis, biarin deh."
"Cara kamu kenal sama pacar kamu itu aja bukan cara yang pasti, menurut saya."
"Nggak pastinya di mana?"
"Nggak jelas."
"Tapi perasaan saya buat dia jelas."
Wirya berdecak. "Terus demi itu, kamu bela-belain kabur kesini?"
"Iya."
"Kenapa sih ngotot banget? Dengan dia ngaku dia udah meninggal, padahal kemungkinan besar dia masih hidup aja tuh udah tanda kalau dia nggak menginginkan kamu."
"Saya mau dengar itu dari dia sendiri, Om."
"Masalahnya, dia nggak mau ketemu kamu kan?"
"Thus, I have to do this." Ryza masih nggak mau kalah. "I need closure. A proper one. Jadi saya bisa mulai sayang sama orang baru tanpa harus keinget sama dia lagi. Nggak mesti terbayang sama masa lalu bareng dia terus."
"..."
"Kadang saya ngerasa, kita suka gagal move on tuh bukan gara-gara rasa sayang kita terlalu besar. Atau orangnya sebaik itu sampai-sampai kita ngerasa nggak bisa nemuin yang kayak dia lagi di dunia ini. Tapi karena 'penutup'nya nggak jelas. Masih sih? Atau udah nggak? Dalam hati kita ngerasa ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang suka bikin kita bertanya-tanya, kenapa, kenapa, kenapa... atau penyesalan yang bikin kita mikir seandainya, seandainya, seandainya..."
Ryza nyerocos saja, mengabaikan ekspresi wajah Wirya yang berubah.
"Karena kita ngerasa ada sesuatu yang belum selesai, atau kita merasa nyesal berlebihan cause we think we could do better than that, kita jadi terpaku terus ke orang yang sama. Waktu ada orang baru dateng, kita nggak bisa terima, karena ya perasaan kita masih kegantung sama orang yang lama. Saya nggak mau kayak gitu, Om. I need a proper closure."
"Kalau dia nggak ngasih closure itu?"
"Yang penting saya udah usaha."
"Walaupun gagal?"
"Mending kesal karena gagal daripada nyesal karena nggak pernah nyoba sama sekali."
Nggak tau kenapa, Wirya merasa tertampar.
Mereka saling diam sejenak, hingga tahu-tahu, Wirya mendengar namanya disebut.
"... Wirya?"
Refleks, dia menoleh—dan Ryza pun melakukan tindakan yang sama.
Di dekat meja mereka, Rossa berdiri dengan alis terangkat dan wajah diwarnai kekagetan yang nggak bisa perempuan itu tutupi.
*
Jenar kira, selepas ngasih makan Wuje (wow berasa kayak kocheng piaraan banget), masalah hidupnya sudah bakal beres, tapi ternyata nggak.
Mereka baru selesai menghabiskan nasi dan omelet mi yang Jenar buat ketika mobil Lanang dan Tigra tiba di depan rumah Jenar. Para pencari suaka itu hadir dengan amunisi lengkap, siap menjadikan rumah Jenar selayaknya rumah sendiri hingga para istri pulang. Bahkan persis kayak turis, Lanang mengenakan sunglasses sewaktu turun dari mobil, dengan kedua tangan menggendong Idan dan Nadi, mendekap dua anak kembar itu ke dadanya.
Jenar punya firasat, Rei akan pulang dengan disambut rumah yang sudah jadi kapal pecah.
Rasanya pengen bilang ke Lanang kalau dia berubah pikiran, tapi ya... gimana...
Beruntung, para tamu tak diundang tersebut tiba sehabis petang. Tigra, sebagai yang paling waras, telah mengajak kawanannya buat mampir makan malam di sebuah restoran keluarga. Jadinya, Jenar nggak perlu dipusingkan sama kemungkinan Wuje dan Kwinsa bakal berantem di meja makan—walau itu artinya, dia mesti mempersiapkan diri buat besok.
Mereka sempat saling ngobrol, sama-sama curhat, habis itu Jenar mempersilakkan para tamu mengurusi kebutuhan tidur masing-masing sementara dia menggiring Wuje ke kamar mandi buat cuci muka, gosok gigi dan cuci tangan-cuci kaki.
Sehabis memastikan Wuje sudah tidur, barulah Jenar kembali ke kamarnya.
Situasi rumah sudah sepi, yang bikin Jenar lega. Kayaknya sih, para laki-laki ini cukup capek setelah seharian ngurusin anak-anak mereka tanpa adanya istri tercinta. Apalagi nih anak-anak pada rewel—setahu Jenar ya, diantara empat bocil (Wuje, Lila, Kwinsa sama Cherry), yang paling kalem tuh Lila, walau kadang kelakuan Lila juga suka nggak terduga.
Berhubung rumahnya cukup besar, Jenar membebaskan para tamu untuk memilih tidur di kamar mana pun yang mereka mau—asal bukan kamar Jenar dan bukan kamar Wuje. Lanang molor bareng Hendra, Ucok juga Idan sama Nadi, all thanks to cadangan ekstra bed yang Jenar punya. Yuta ngotot nggak mau tidur berdua saja sama Kwinsa, alhasil Tigra mesti rela kelonan bareng tuh orang.
Besok, rencananya mereka mau barbeque-an, sementara anak-anak dibiarkan berenang (tentu dengan diawasi salah satu orang dewasa).
Kalau urusan perhantuan sih, itu bagiannya Lanang.
Entah apa yang mau Lanang perbuat, tapi Jenar sudah melarang keras penggunaan jelangkung dan pembakaran kemenyan di rumahnya.
Enak aja, nanti rumah Jenar baunya kayak rumah dukun.
Sehabis membasuh wajah dan berganti ke piyama, Jenar menyemprotkan beberapa spray salah satu parfumnya Rei ke udara.
Bukannya mau lebay atau apa ya (meski lebay kayaknya memang nama tengahnya Jenar) tapi jujur banget, ini kali pertama Jenar berada di rumahnya sendiri tanpa Rei. Kalau dia lagi dinas keluar, ya nggak terlalu kerasa, karena nginapnya di hotel. Namun sekarang, suasananya beda.
Benar kali ya, kalau ada ungkapan yang bilang, rumah itu ya tempat di mana ibu berada.
Merasa kangen, akhirnya Jenar iseng nge-chat istrinya.
jenar:
regina
udah bobo yaa?
rei:
belum.
kenapa?
jenar:
kangen :(
rei:
aku pergi belum 24 jam, je.
jenar:
kamu harus pergi berapa jam dulu baru aku boleh kangen? :(
rei:
silly you
jenar:
kasur aku sepi banget.
biasanya kalau bobo ada yang nemenin.
sekarang gak ada :(
rei:
ok, now I feel bad.
jenar:
NOOO
GAK GITU
OF COURSE YOU DESERVE YOUR TRIP
jenar:
cuma tetep aja gitu loh
aku kangen...
rei:
manja
jenar:
sejak nikah sama kamu, aku belum pernah bobo sendirian :(
rei:
pernah.
waktu kamu tidur di sofa.
pas kita berantem abis si bayi baru lahir.
sama waktu kasusnya karol.
sama waktu kamu marah sama aku karena lupa anniv.
jenar:
tapi kan aku tau kamu ada di kamar.
dan kamu tau aku ada di sofa.
sekarang beda.
rei:
bocil udah bobo?
jenar:
udah.
pusing banget aku, bawel banget.
apalagi besok, nih pasti ribut ama kwitansi
*kwinsa
rei:
loh, ada queensha?
jenar:
bapak-bapak yang ditinggal istri pada nginep di sini, gina.
katanya, daripada sepi.
lanang mau bikin konten uji nyali.
soalnya kata yuta, rumah kita banyak setannya.
rei:
setan dari mana, perasaan gak pernah ada yang aneh.
jenar:
tau tuh, mungkin hatinya yuta kurang bersih.
rei:
duh, kasihan arga.
udah suka berantem sama queensha, dijahilin pula sama kamu.
jenar:
ENGGAK KOK :(
rei:
anaknya jangan dijahilin mulu dong, je.
diurusin yang betul.
dia baru lima tahun loh.
jenar:
udah diurusin yang betul kok :'(
rei:
me with jella and yumna today.
jenar:
gak ada kamunya :(
rei:
aku yang foto hehe
jenar:
mau yang ada kamunya
rei:
jenar:
my regina so pretty
rei:
silly
jenar:
miss you tomat
rei:
you did well today, je.
semangat buat besok ya?
jenar:
<3 :)
rei:
sleep tight, sayang.
jenar:
sleep tight juga mamanya anak aku <3 <3
*
Menjelang pukul tiga dinihari, hujan turun dengan derasnya.
Jenar terbangun karena suasana kamar yang gerah. Begitu dia membuka mata, dia disambut oleh kamar yang gelap. Laki-laki itu mengernyit, meraba samping bantalnya untuk mengambil ponsel. Menggunakan cahaya dari ponsel, dia beranjak dan menekan saklar lampu.
Nihil, nggak ada apa pun yang terjadi.
Kayaknya mati lampu.
Rumah ini punya genset, tapi letaknya di belakang rumah banget. Jenar mengembuskan napas, baru berniat keluar kamar sewaktu dia mendengar rengekan dari kamar Wuje. Ah ya, anak itu paling nggak suka gelap. Makanya, Rei membebaskan Wuje memenuhi kamar tidurnya dengan lampu tidur beraneka bentuk lucu dan lampu-lampu kecil kerlap-kerlip yang mirip lampu penghias pohon Natal. Rengekannya terkesan panik, membuat Jenar buru-buru mendatangi kamar si bocil.
"Wuje?"
"PAPA?!" Wuje lagi meringkuk di atas ranjangnya, memeluk boneka kelincinya erat-erat. "PA, GELAP, PA!!"
Jenar mendekat.
"Pa... gelap..." Wuje merengek.
"Iya, Papa juga tau. Kayaknya mati lampu deh. Kamu tunggu di sini ya? Papa mau ambil lampu emergency di dapur, biar kamar ini nggak gelap. Abis itu Papa ke belakang, hidupin genset—"
"Kalau Papa mau ambil lampu, akunya gimana..." Wuje merengek.
"Tunggu di sini."
"Nggak mau." Wuje memeluk boneka kelincinya dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain memegang lengan Jenar erat-erat. "Gelap... nggak mau sendiri akunya..."
Jenar menghela napas. "Kalau gini caranya, gimana Papa mau cari lampu coba?"
"Cari aja, tapi akunya mau ikut..."
"Oke."
Akhirnya, Wuje ngintilin bapaknya menuju dapur buat cari lilin. Rumah masih sepi. Kelamnya malam yang tertampil di luar kaca jendela besar berselubung tirai tipis jadi tampak kebiruan. Rumah Jenar punya desain arsitektur modern glass house yang cukup simpel dan di beberapa bagian, terkesan rustic, makanya nggak heran, rumahnya punya banyak kaca-kaca bening yang diselubungi tirai tipis—terutama untuk jendela yang menghadap ke arah kebun belakang dan hutan mini mereka.
Sesekali, langit bergemuruh diikuti kilat sambaran petir.
"Papa... takut..." Wuje berujar sambil memegang bagian belakang pakaian Jenar.
"Makanya Papa bilang tunggu di kamar kan..."
"Nggak mau."
Jenar menghela napas, melangkah lambat-lambat agar Wuje yang langkah kakinya pendek bisa mengikutinya.
Mereka pun tiba di dapur—yang nggak tau kenapa, kelihatan kayak latar sebuah scene dari film horor karena suasana yang gelap.
Untungnya, Rei tergolong well-organized. Cuma, Jenar agak-agak lupa, apa Rei menyimpan lampu-lampu emergency mereka di cabinet bagian atas atau bagian bawah. Dia memutuskan membuka bagian atas lebih dulu. Nihil. Jenar beralih mau membuka cabinet bagian bawah, jadi refleks saja, dia mundur.
Et, si Wuje kaget. Bapaknya juga main mundur saja tanpa bilang apa-apa. Alhasil, Wuje tersundul oleh pantatnya Jenar. Berhubung nih bocah tergolong ucrit kalau dibandingkan sama Jenar yang tinggi menjulang, maka yang terjadi adalah...
Wuje terjatuh seketika dengan suara keras, terduduk dengan pantat duluan membentur lantai.
"PAPA!!"
"Aih, maap." Jenar meminta maaf namun sembari menahan tawa. "Je, Papa nggak sengaja—"
Wuje nangis kejer.
Sementara itu... di kamar Lanang...
"Bapak... bapak..." Idan menggoyang-goyang bahu Lanang yang lagi tertidur dengan mulut setengah terbuka.
"Bapak... bapak..." Idan mengulang.
Lanang masih tidak memberikan respon.
Idan mengembuskan napas, terus akhirnya, dia meraih bantalnya dan secara sadis, dia menggunakan bantal tersebut untuk membekap mulut dan hidung bapaknya.
Tentu saja, Lanang langsung gelagapan kayak orang tenggelam.
"HPMFDHDHDKFK—AIDAN—" Lanang beranjak, telah terbangun sempurna dan kini memandang jengkel pada anak laki-lakinya. "Harus berapa kali Bapak bilang kalau itu tuh bahaya?!"
"Bapak nggak bangun-bangun, jadi aku tutup aja pake bantal. Buktinya, Bapak bangunnya cepat kan?"
Iya, soalnya berasa hampir mati... Lanang membatin sewot.
"Kenapa mau bangunin Bapak?"
"Tadi... aku dengar suara nangis, Pak..."
"Beneran?!"
"Beneran..." Idan mengangguk. "Terus... ini gelap banget... acnya juga mati. Apa mati lampu?"
"Wadoh!!"
Kantuk Lanang seketika lenyap, terganti oleh antusiasme ketika dia menggoyang bahu Hendra yang tidur bersebelahan sama Ucok di atas extra bed.
"Dra! Dra! Bangun! Waktunya beraksi!! Siapin kamera!!"
Sedangkan di kamar Tigra dan Yuta...
Tigra terjaga oleh embus napas hangat di dekat lehernya, dan refleks terlonjak ketika dia menyadari, hidung Yuta tengah berada sangat dekat di sana.
"WOY AH!!!" Tigra terlonjak sembari mendorong Yuta menjauh. "APA-APAAN ANJRIT!! KALAU KAYAK GINI CARANYA, INI NAMANYA PELECEHAN YA, TUY!! GUE MASIH STRAIGHT DAN GAK MINAT HOMOAN AMA ELU!!"
Yuta yang berwajah pucat masih ngotot mepet Tigra. "Sori banget, sori... tapi gue rasa... setan rumahnya Jenar lagi berak—ANJING!!"
Yuta langsung terloncat dari kasur ketika mendengar suara gemuruh petir yang memekakkan telinga.
Jujur, petirnya keras banget, Tigra juga sempat kaget sih, walau nggak selebay Yuta.
"Setan mana bisa berak, anjir?!" Tigra melotot pada Yuta, merasa kalau jangan-jangan Yuta nih lagi ngelindur.
"TADI BELUM SELESAI NGOMONGNYA!!" Yuta nyolot. "Maksud gue tuh, kayaknya, setan rumahnya Jenar lagi beraksi!!"
"Lah, tau dari mana?"
"Tadi..." Yuta merendahkan nada suaranya, berujar dengan nada sok misterius kayak tokoh pembawa cerita horor dalam film tentang makhluk ghaib. "... gue dengar suara nangis, Gra!!"
"Hah? Mungkin ada yang beneran lagi nangis, kali!!?"
"Nggak!! Suara nangisnya tuh horor banget, sumpah, nggak kayak suara nangis anak manusia!"
"Suaranya dari mana?"
"Dari dapur kayaknya..."
"Gue lihat deh ya—"
"PLIS JANGAN!!" Yuta refleks memeluk Tigra erat-erat sambil membenamkan wajahnya di lekuk leher lelaki itu. "JANGAN, TIGRA! GUE NGGAK MAU LO TRAUMA KARENA NGELIHAT SETAN RUMAHNYA JENAR KAYAK GIMANA GUE TRAUMA!! PLEASE, TIGRA!! JANGAN!!"
"Tuy..."
"Iya, Tigra. Nggak apa-apa, kalau mau terharu, terharu aja, nggak usah ditahan. Sebagai sahabat, gue emang sepeduli itu sama lo..."
"Tuy..."
"Apa, Tigra?"
"Sebenarnya lo takut ditinggal sendirian kan?"
to be continued.
***
a/n:
baru ditinggal sebentar aja udah clingy, apalagi ditinggal untuk selamanya :(
wkwkwk btw sori banget kalo belakangan ini updatenya jadi lebih slow, berapa hari belakangan gue kena gejala GERD (kayanya gara-gara abis makan asem-asem banyak banget terus langsung molor which is tidak baik ya para pemirsah) jadi kurang sehat euy.
tapi sekarang udah mendingan.
semoga kalian selalu sehat di mana pun kalian berada.
dah gitu aja cyin, sampai ketemu di chapter berikutnya.
terimakasie.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top