50 | sugarbaby
Wirya nggak tau, kenapa dia yang biasanya unbothered bisa-bisanya mau direpotin sama bocah bernama Ryza ini.
Ralat deng, dia bukan bocah—walau yah, perbedaan umur dia dan Wirya seenggaknya... sembilan tahun?
Waktu Wirya tonjok-tonjokkan sama Jaka gara-gara Jaka bikin hamil Rossa, kayaknya Ryza ini lagi nge-gabut di rumah sambil baca majalah Bobo habis kelar Ujian Nasional Sekolah Dasar.
"Tuh kan, bener!" Ryza berseru begitu mereka tiba di sebuah patung yang memang jadi salah landmark kota ini.
"Apanya yang bener?"
"Pacar saya pernah foto di sini, Om!"
"Bukan cuma pacar kamu, jutaan orang lainnya juga pernah foto di sini!" Wirya berdecak. "Saya aja udah pernah foto seenggaknya lima kali di sini."
"Om pasti orang kaya."
"Emangnya kamu bukan?"
Setahu Wirya mah ya, orang Indonesia yang udah bisa cabut ke luar negeri apalagi nginepnya mandiri di hotel tuh biasanya punya privilege lebih.
"Bukan, Om. Saya kan masih beban keluarga dan beban negara. Datang kesini aja ngabisin tabungan. Kalau orang tua saya tau, saya pasti ditabok bolak-balik."
"Terus kenapa masih nekad kesini?"
"Kan mau cari pacar saya, Om! Saya tau, dia pasti belum meninggal!!"
Wirya berusaha ngingetin dirinya sendiri biar ngasih peringatan ke teman-temannya yang udah pada punya anak buat ngawasin anak mereka baik-baik. Ini sih parah banget ya, kabur abis skripsinya bukan kabur ke gunung atau ke pantai buat refreshing, tapi malah kabur sampai ke negara orang. Udah sendirian, kayaknya duit yang dibawa ini anak juga terbatas pula—menilik dari gimana ceritanya tadi, yang katanya udah check-out dari hotel tempatnya semula menginap untuk cari hotel lain yang lebih murah.
Sinting banget.
Kalau bukan karena rasa solidaritas sebagai sesama pemegang paspor hijau berlambang Garuda, kayaknya Wirya juga ogah peduli ama nih anak.
"Terus gimana cara kamu nemuin pacar kamu dengan datengin patung ini? Kayak yang saya bilang tadi, ada jutaan orang yang pernah foto di sini."
"Bentar, Om."
Ryza mengeluarkan ponselnya, terus mengambil foto selfie sembari memastikan kalau patungnya terlihat di foto.
Sehabis itu, dia sibuk mengutak-atik ponselnya, melarikan jari-jarinya dengan lincah di atas layar disusul senyum puas.
"Beres."
Wirya menoleh ke kiri, ke kanan, terus memiringkan wajah sambil menatap Ryza dengan ekspresi tak terkesan.
"Beres dari mananya?"
"Barusan saya kirim foto saya ke pacar saya. Ke akun Twitternya deng. Lewat dm."
"Terus?"
"Saya bilang 'aku tau kamu belum mati, Yang. Ayo kita ketemuan! Aku nggak akan pulang sampai kita beneran ketemu! Mau aku mesti ngegembel di jalan pun, aku nggak akan pulang sebelum aku ketemu kamu!' gitu, Om."
Wirya beneran nggak habis pikir ama nih anak.
"Dan menurut kamu, pacar kamu yang kamu yakini belum meninggal itu bakal datang nemuin kamu?"
"Iya."
Hadeh, naif banget.
Bawaannya Wirya jadi pengen ngata-ngatain Ryza, tapi dia mencoba menahan diri dan mencoba memahami sudut pandang anak baru dewasa kayak Ryza.
"Kalau dia nggak datang dan kamu betulan mesti nge-gembel di jalan, gimana?"
"Emangnya Om Wirya bakal biarin saya nge-gembel di jalan ya?"
"LAH?!" Wirya terperanjat. "Kenapa jadi nanya saya?!"
"Om Wirya udah bela-belain luangin waktu buat nemenin saya, padahal Om Wirya tuh orang sibuk deh kayaknya..."
"Orang sibuk gimana?"
"Ini Dior." Ryza menunjuk pada kaos yang Wirya pakai. "—ini Gucci—" lanjut ke sweatpants yang jadi bawahannya Wirya, kemudian berakhir pada sandal hitam yang Wirya kenakan. "—ini Prada. Om Wirya jelas beneran om-om bau duit. Cuma Om Wirya tuh ganteng, perutnya nggak buncit. Hehe."
"Sotoy."
"Lah, beneran!"
"Kaos, celana sama sandal saya belinya di Batam." Wirya ngeles.
"Bohong! Saya tau bedanya Dior asli sama Dior Batam!" Ryza menyahut.
"Kok tau?"
"Saya kan pernah jualan Dior Batam di Shopee. Hehe."
Yaelah.
"Tapi ini serius," Wirya geleng-geleng kepala. "Kalau misalnya nih ya, pacar kamu itu udah beneran meninggal gimana? Dia nggak akan nyamperin kamu, dong? Terus kamu mau nge-gembel, padahal dia udah meninggal?"
"Kalau dia udah meninggal beneran, sodaranya yang ngabarin ke saya kalau dia udah meninggal pasti bakal nyamperin saya setelah saya kasih tau kalau saya ada di kota ini, Om! Terus nunjukkin di mana kuburannya, atau kalau dia di-kremasi, ya tunjukkin guci abunya! Ini mah enggak! Sodaranya malah blokir Twitter saya. Saya yakin, pacar saya belum meninggal! Pacar saya pasti berada di kota ini—"
Pidato berapi-api Ryza terputus oleh bunyi perutnya yang keroncongan.
"Suara apaan tuh?"
Ryza nyengir. "Naga piaraan, Om. Kayaknya minta dikasih makan."
"Ck."
Ryza mengabaikan respon Wirya, malah membuka ransel imut yang dia bawa dan mengeluarkan keripik kentang ukuran kecil dari dalam sana. Dia membukanya, terus sempat menawari Wirya.
"Om, mau?"
"Nggak."
"Bagus deh, soalnya isinya emang dikit, kebanyakan angin."
"Terus kenapa nawarin saya?"
"Sama om-om harus sopan."
"Kamu sendiri yang bilang saya nggak buncit. Kenapa masih panggil saya om sih?"
"Soalnya meski om ganteng, aura om-om-nya tetap kerasa, Om!" Ryza menjawab sambil mengunyah keripiknya. "Om ngaku deh, udah punya berapa ponakan?!"
"Nggak ada."
"Berarti om anak tunggal."
"Sotoy!"
"Om udah nikah belom sih?"
"Belom."
"Udah punya anak?"
"Kenapa tanya-tanya?!"
"Tadi nggak sengaja lihat layar handphone om, ada foto om di lockscreen, sama anak cowok ganteng. Yah, walau emang anaknya nggak mirip Om Wirya sih."
"Itu emang bukan anak saya."
"Bukan ponakan juga?"
"Bukan."
"Terus siapa?"
"Anak baptis."
"Oh..." Ryza manggut-manggut. "Kalau anaknya seganteng itu, kayaknya orang tuanya juga cakep nggak sih, Om?"
"Kenapa kepo?"
"Nggak apa-apa. Kali aja saya bisa SKSD kalau tau-tau tuh anak nongol di iklan susu di tv." Ryza terkekeh, bikin Wirya kembali geleng-geleng kepala.
"Kamu cuma makan itu doang?" Wirya bertanya setelah Ryza menghabiskan keripiknya.
"Iya, Om. Saya harus hemat, kan saya nggak tau saya bakal di sini sampai kapan—walau yah, nggak bakal bisa lewatin masa kunjungan turis sih."
Wirya mendengus. "Ayo."
"Ayo kemana, Om?"
"Makan."
"Kan udah dibilang Om, saya harus hemat..."
"Saya yang bayar."
"Beneran?!"
"Iya." Wirya menyahut cuek sambil berjalan duluan.
"Wow, jadi ini rasanya!!"
Wirya menoleh ke belakang dengan salah satu alis terangkat. "Rasanya apa?"
"Jadi sugar baby!"
*
Jenar belum bilang "iya" perkara usulan Lanang buat para bapak yang lagi ditinggal istri untuk nginap di rumahnya sih, tapi dia juga nggak sepenuhnya nggak setuju.
Soalnya seperti apa kata Lanang, rumahnya memang gede banget, yang pasti sepi kalau cuma ada dia sama Wuje. Berbeda kalau ada Rei, kan jadi ada penengah diantara dia sama Wuje yang emang love languagenya adalah saling menjahili dan saling ngeledekin. Cuma ya, Jenar ogah repot, jadi biarin aja Lanang yang organize semuanya. Toh tuh orang juga yang bakal dapat keuntungan kalau dia bisa bikin konten ber-part-part buat Youtubenya di rumah Jenar.
Eh ya, soal spaghetti carbonara, Jenar akhirnya menyerah buat bikin itu. Jadinya, dia malah masakkin Wuje omelet. Wuje rada bete, tapi ya gimana, mau ngadu ke Rei pun susah karena Wuje nggak punya gadget pribadi.
Sebelum pergi, Rei sudah wanti-wanti ke Jenar buat nggak ngasih Wuje mi instan, kecuali emang kepepet banget. Makanya, sebagai solusi, Jenar merebus mi-nya, terus bumbu bersama mi yang udah direbus diaduk ke dalam kocokan telur.
Jadilah martabak mi.
Nggak bisa disebut mi instan dong, kan bentuknya udah beda!
Wuje hanya diam menunggu sambil duduk di kursi makan, memandang pada Jenar dengan sendok berbentuk pesawat di tangannya—biasalah, sendok kesayangan.
"Papa nih, ukannya akunya diurusin, malah dikasih mi!"
"..."
"Terus diajak berantem melulu lagi! Jadinya hari ini aku nggak nonton Sesame Street!"
"Nggak salah tuh?" Jenar mengamati martabak mi di atas marble pan. "Bukannya kamu yang ajak Papa berantem?"
"Papa yang ajak aku berantem—PAPA NGGAK USAH BANYAK GAYA!!" Wuje sontak memekik panik ketika melihat Jenar menunjukkan tanda-tanda kayak mau membalik omeletnya dengan goyangin teflon ala-ala chef professional.
Jenar tergelak, padahal mah niatnya ngeledekin anaknya doang. Akhirnya, omeletnya dibalik secara manual. Tapi gagal, jadi hasilnya nggak cantik. Bukannya jadi telur dadar, telurnya malah jadi telur orak-arik.
"Mau pake kecap nggak? Sama bawang goreng deh ya." Jenar bertanya saat menghidangkan piring berisi omelet dan nasi di depan Wuje.
Wuje menatap makanannya dengan mulut manyun, mirip sama moncong tas ayam yang dia punya. "Bukannya Papa tadi bilang mau bikin telor dadar?"
"Yoi."
"Kok jadinya telor orak-arik? Mana bentuknya jelek banget."
"Rasanya enak." Jenar ngeles.
"Bentuknya jelek."
"Nggak usah dilihat."
"Kelihatan."
"Je, kamu nantangin Papa?"
"Nantangin tuh bukannya obat masuk angin itu—"
"ITU ANTANGIN!!" Jenar menyambar sambil berkacak pinggang. "Siapa yang ngajarin kamu lawakan nggak mutu itu?"
"Nggak ada yang ngajarin. Aku dengar Om Kun bilang gitu ke Lila."
"Pantesan."
"Pa, yaudah gapapa telornya jelek kayak abis kena angin ribut, tapi mau nasi bentuk beruang."
"Hah?!"
"Nasinya dibentuk kayak kepala beruang. Mama suka bikinin."
Duh, kenapa sih Rei suka ngasih yang aneh-aneh ke nih bocil...
"Banyak mau banget dah."
"Kata Opa, nggak apa-apa banyak mau, yang penting engga banyak dosa."
Jenar merasa harga dirinya hancur habis-habisan.
Bisa-bisa dia kena skak-mat sama bocil umur lima tahun.
Tapi okelah, Jenar memutuskan mengalah. Dia pun sibuk mencari cetakan nasi yang suka digunakan Rei untuk bikin nasi berbentuk kepala beruang—kayak yang tadi Wuje bilang. Cetakannya diisi nasi, terus dipadatkan, baru ditaro ke atas piring.
"Kasih mata sama mulut, Pa. Pake kecap."
Jenar masih menurut.
Habis itu, mereka baru mulai makan sewaktu ponsel Jenar tau-tau berdering. Ternyata Rei menelepon. Jenar pun menjawabnya.
"Yes, Love? Oh, udah sampai hotel? Syukur deh. Di sini aku sama Wuje baru mulai makan. Pakai apa? Omelet."
"Omelet mi instan, Ma." Wuje nyeletuk dengan suara keras.
"BUKAN MI INSTAN KOK, REGINA!!" Jenar menukas seraya melotot pada Wuje. "Kamu barusan salah dengar—apa? Mau loudspeaker? Oke, ngomong aja. Bocilnya ada di sini."
Nggak lama, terdengar suara Rei.
"Wuje, gimana? Nanti malam tidurnya sama Papa ya, Nak. Jenar, jangan dongengin anaknya yang macem-macem!"
"MA, TAU NGGAK, AKU TUH DISIKSA DI SINI—MA—hmpfkhdhfhfhhfhfhhsgdgdhfjjgjggk."
Sebelum Wuje sempat berkicau, Jenar telah tangkas membungkam cocot anaknya menggunakan telapak tangan.
*
Dikarenakan bininya Kun nggak ikut trip singkat mamak-mamak dan kondisi rumah keluarga Kun tetap masih aman terkendali seperti biasa, maka kandidat yang bisa Lanang ajak adalah Tigra-Cherry serta Yuta-Queensha. Nah, untuk Tigra sih gampang. Soalnya dia juga emang cukup suka main ke rumahnya Jenar dan sering nongkrong di halaman belakangnya. Sekarang, yang jadi masalah nih Yuta.
Yuta ngotot nggak mau nginap di rumah Jenar, apa pun imbalannya.
Kalau cuma mereka bertiga, jelas nggak akan ramai dong. Apalagi, yang asyik buat di-roasting tuh Yuta—berhubung dia yang duitnya paling sedikit diantara mereka berempat. Makanya, Lanang pun memantapkan hati untuk datang ke rumah Yuta sebelum bertolak ke tempat Jenar, demi membujuk Yuta sekali lagi.
"Bapak, aku mau ikut..."
Lanang lagi siap-siap ketika dia dikejutkan oleh kepala Idan yang menyembul dari tepi kusen pintu kamarnya yang memang sengaja dibiarkan terbuka.
"Bapak... aku juga mau ikut..."
Nadi ikut-ikutan memunculkan kepalanya dari sisi kusen pintu yang satu lagi.
"Aduh... kalian di rumah aja sama Ibu..."
"Tapi pengen ikut..." Idan manyun.
"Bapak nih mau kerja, bukan mau main-main. Makanya sama Om Hendra dan Om Ucok kesananya."
"Bohong! Tadi aku dengar, Bapak mau ke rumahnya Om Jenar!"
Idan mengangguk. "Sama Mbak Cherry sama Mbak Kwinsa juga diajak! Masa kita nggak boleh ikut juga?"
"Duh—bilang Ibu dulu deh sana, boleh apa nggak kalian ikut..."
"Kata Ibu, suruh bilang Bapak."
"Kata Bapak, suruh bilang Ibu." Lanang menyahut.
Idan dan Nadi nggak menyahut, tapi malah memandang Lanang dengan tatapan yang dibikin berkaca-kaca dan se-memelas mungkin.
"Hadehhhhh, yaudah, kalian boleh ikut!! Minta Ibu sama Mbak nyiapin barang-barang yang harus dibawa kalau mau nginep dua hari!"
"Siap!!!"
Kedua anak kembar Lanang pun langsung berlalu, berlari antusias untuk nyamperin mamaknya mereka. Lanang mengembuskan napas, geleng-geleng kepala sebelum lanjut bersiap-siap. Anak-anaknya nih memang kadang suka susah dibilangin, tapi jujur, Lanang nggak bisa nolak kalau mereka udah memandangnya dengan tatapan penuh permohonan kayak barusan.
Usai memastikan nggak ada barang yang ketinggalan—termasuk peralatan buat memanggil Jelangkung (khusus buat ntar di vlog), Lanang pun cabut ke rumah Yuta bersama kedua anaknya. Cuma, berhubung Nadi sama Kwinsa tuh nggak akur-akur amat, sementara Lanang membujuk Yuta biar mau ikut ke rumah Jenar, Nadi sama Idan ditinggal di dalam mobil bareng Hendra.
Lanang sama Ucok mendekati rumah, mengetuk pintunya. Pintu dibuka nggak lama kemudian. Kwinsa yang buka.
"Aih, Om Kingkong?!"
Lanang nyengir. "Papa mana?"
"Papa lagi nggak bisa bergerak, Om. Masuk aja!"
Waduh, kenapa lagi nih...
Lanang sama Ucok saling pandang, sempat curiga, tapi begitu mereka masuk, ternyata Yuta lagi nggak bisa gerak karena kuku-kuku tangan dan kakinya baru dikutekin sama Kwinsa. Mana ngutekinnya nggak rapi pula. Tapi Kwinsa melarang bapaknya bergerak atau jalan kemana-mana kalau kuteknya belum kering.
"Apaan lo dateng kesini?!"
Yuta bereaksi keras.
"Papa, Papa, Papa—" Kwinsa geleng-geleng kepala dengan tangan terlipat di dada. "Apakah begitu caranya menyambut tamu yang datang ke rumah kita, Papa Yuta bin Mbah Suryadi?"
Yuta cemberut. "Queensha, kamu nggak tau kalau sebenarnya mereka ini membawa niat buruk!"
"Emang kenapa Om Kingkong kesini?" Kwinsa berpaling ke Lanang.
"Om mau ngajakkin kamu sama Papa kamu untuk nginep di rumahnya Om Jenar sementara Mama kamu belum pulang."
"Oh..." Kwinsa manggut-manggut, berlagak kayak orang dewasa yang lagi mempertimbangkan solusi dari sebuah masalah yang sangat pelik. "Berarti... itu rumahnya Wuje?"
"Iya. Kan Wuje anaknya Om Jenar, Kwinsa."
"Hm... Om Kingkong benar juga." Kwinsa mengusap dagunya.
Nih anak beneran salah gaul, Lanang berpikir dalam hati. Tapi dialah kunci AdSenseku!!
"Terus nanti ada Cherry sama Om Tigra juga, ikutan nginep di rumahnya Om Jenar."
Kwinsa tercekat. "Beneran, Om?!"
"Iya."
"Om Tigra nginep juga?!"
"Iya."
"Kalau gitu, aku juga mau ikut, Om!!"
"Queensha—"
"Kita ikut nginep juga, Papa."
"Kalau kata Papa sih nggak usah, Queensha."
"Aku mau ikut, Papa."
"Kenapa? Karena Cherry juga ikut?"
"Nggak! Tapi karena Om Tigra ikut!!"
"..."
"Om Tigra lebih jago masak daripada Papa!! Kalau terus-terusan sama Papa aja, bisa-bisa kita mam mi soto terus sampai Mama pulang!!"
"..."
"Tunggu ya, Om Kingkong!! Aku beresin tas aku dulu!!"
Terus Kwinsa lari ke kamarnya.
Lanang nyengir ke Yuta. "Hehe—maap, Bang—et—"
Yuta memutus ucapan Lanang dengan melemparkan bantal sofa ke arah Lanang, yang dapat dihindari lelaki itu dengan gesit. Bantalnya terus meluncur di udara, baru berhenti ketika menabrak vas milik Yumna yang terpajang di atas meja samping akuarium. Tanpa ampun, vas itu pun terhuyung lalu jatuh ke lantai. Pecah berkeping-keping.
Kwinsa sontak keluar dari kamarnya, kemudian ternganga tak percaya.
"PAPA!!!"
"..."
"ITU VAS PUNYA MAMA!!"
"..."
"KALAU MAMA TAU, PAPA PASTI DISOBEK-SOBEK!!"
Asli, Yuta pening banget.
Tapi amarah Yumna... okelah... dia bisa coba hadapi—lagian, kalau pecahan belingnya diberesin dan Kwinsa bersedia tutup mulut, kayaknya Yumna nggak akan ngeh soal vas-nya.
Masalahnya ini loh ya... kuntilanak di rumah Jenar.
Yuta harus gimana coba?!
***
Bonus
"Anakmu benar-benar deh..."
Jenar yang lagi nyetir refleks menoleh ke sampingnya, pada Rei yang ternyata sedang melihat ke layar handphone. Mereka baru balik setelah menengok Chester, tapi rencananya nggak langsung pulang atau ngejemput Wuje di rumah kakek-neneknya. Hari ini adalah hari kedua berlangsungnya pameran karya-karya Picasso yang akan selesai dalam waktu satu minggu. Jenar bilang, dia mau ajak Rei ke sana.
"Kenapa?"
"Numpahin tepung ke lantai tapi anaknya nggak bilang-bilang. Malah minta sapu ke Mbak Sari." Rei menyahut, menyebut nama asisten rumah tangga yang tinggal bareng kedua orang tuanya Jenar. "Waktu ditanya buat apa, jawabnya apa coba?"
"Apa?"
"Buat nyapu dong, Mbak... kalau buat ngepel, aku mintanya alat pel kan..."
Jenar tergelak. "Rese juga tuh anak."
"Kayak kamu."
"Terus?"
"Dia ngotot mau nyapu sendiri, nggak mau dibantuin Mbak Sari. Tapi namanya bocil, gimana sih, dia sama gagang sapu aja tinggian gagang sapunya. Ujung-ujungnya malah kepeleset pas nginjek lantai yang ada tepungnya."
"Terus?"
"Anaknya jatoh di atas tumpukan tepung. Mbak Sari udah panik, takutnya benjol atau nangis karena suaranya keras. Tapi si bocil malah mainin tepungnya. Kata Kak Hyena, Wuje kayak mochi. Berlumur tepung dari ujung rambut sampe ujung kaki."
Jenar tertawa kecil, kali ini sambil membelokkan mobilnya masuk ke area parkir tempat yang mereka tuju.
"Namanya juga anak-anak."
"Semoga deh Papa sama Mama nggak kapok ama nih bocil. Minggu-minggu kemaren dia bikin ruang keluarga rumah Papa sama Mama becek kan? Suka takut orang tua kamu kepeleset atau apa..."
"Justru Papa sama Mama seneng, soalnya kayak kembali ke masa lalu."
"Hah?"
"Dulu aku juga suka bikin rumah kotor." Jenar ngakak.
"Yailah, emang turunan berarti." Rei berdecak.
"Justru kalau Wuje nggak mirip aku, aku bakal ngamuk."
"Kalau mirip aku?"
"Kalau mirip kamu sih nggak apa-apa, asal jangan mirip tetangga." Jenar bergurau seraya melepas safety beltnya. "Here we are."
Lelaki itu turun duluan, menunggu Rei menyusul mendekatinya. Tangan kanannya menekan lock button pada kunci mobil, sedangkan tangan kirinya terulur, yang lalu Rei gandeng. Jenar nggak pernah lupa melakukannya tiap habis berkendara sama istrinya—lama-lama jadi kebiasaan yang selalu dia kerjakan tanpa sadar.
Waktu masuk, sempat antre sebentar sih, tapi ternyata area tempat pameran diadakan nggak terlalu ramai. Bisa jadi, karena jumlah pengunjung yang masuk juga dibatasi. Mereka mengamati karya demi karya yang dipajang, beberapa kali dibuat kagum karena nggak mengira kalau ternyata pikiran manusia bisa menghasilkan sesuatu yang sedemikian artistik. Sembari berjalan, tangan Jenar nggak sekalipun melepaskan tangan Rei.
"To be honest, aku berasa kayak anak TK."
"What?"
"Digandeng terus kemana-mana. Kayak anak TK." Rei giggling.
"Loh, kan memang rentan hilang. Kalau kamu hilang, aku bisa pusing. Cari yang kayak kamu di mana lagi soalnya?"
Kata-kata Jenar diucapkan dengan agak keras, berhasil bikin beberapa orang yang berada di sekitar mereka menoleh dan otomatis, memicu wajah Rei terasa panas.
"Jenar, ih!"
"Apa? Bener kan..." Jenar berdecak seraya melanjutkan langkah. "Kenapa sih? Nggak suka digandeng?"
"Malu, kayak anak SMA lagi pacaran aja."
"Loh, kan emang kita lagi pacaran?"
Jenar tergelak, lagi-lagi kembali menarik perhatian orang-orang, termasuk sekumpulan gadis-gadis remaja yang berdiri nggak jauh dari mereka. Para gadis itu menatap Jenar nyaris tanpa berkedip, beberapa diantaranya sibuk uwa-uwu sendiri.
"But come to think of it, aku jadi keinget deh."
"Apa?"
"Aku sempat kepikiran mau propose ke kamu di museum. Tapi kan di Indo tuh nggak ada ya, museum tetap yang cukup oke dijadiin tempat lamaran. Minimalnya yang kayak National Gallery deh. Tapi masa iya, aku kudu ajak kamu terbang ke Singapur dulu buat ngelamar kamu." Jenar mulai bercerita.
"Sama kayak Tigra dong."
"Sama apanya?"
"Tigra pernah ngaku sih, katanya suatu hari nanti, dia mau lamar aku di museum."
"Idih. Norak."
"Je, kamu juga punya niatan yang sama."
"Ngelamar di museum itu norak kalau bukan aku yang ngelakuin." Jenar mendengus. "Eh, by the way, baru sadar..."
"Apa?"
"Hari ini kita matching. Cokelat-cokelat, kayak couple!"
"Oiya. Tumben, biasanya hitam-hitam, kayak mau ke pemakaman." Rei ikutan tersadar. "Kan tiap kita jalan keluar, seringnya begitu. Kamu pake gelap. Aku pake gelap. Yang penuh warna cuma si bocil doang."
"... iya juga ya?"
"Nah, tuh tau."
Mereka meneruskan melangkah menyusuri koridor, hingga tiba di penghujung akhir pamerannya. Jenar sempat membeli beberapa barang yang dijual. Katanya, bakal bagus dipajang di meja kantornya. Rei membiarkan saja. Masih mending suaminya jajan lukisan daripada jajan arena bowling.
Di samping gedung tempat pameran diadakan, ada sederetan ruko bergaya vintage. Mereka menjual barang dan jasa yang berbeda-beda, mulai dari bunga kering, peralatan rumah bergaya vintage hasil buatan tangan, kafe tempat banyak orang nongkrong dan toko kepingan vinyl.
"Pasti langsung gatel mau jajan lagi ya?"
Jenar nyengir. "Iya. Boleh?"
"Your money. Terserah kamu."
"It's my money, tapi kamu nggak pernah izinin aku jajan motor Ducati."
"Nggak, soalnya bahaya."
"Padahal waktu kuliah aku seringnya naik motor kemana-mana, kamu santai aja."
"Waktu kuliah, kamu belum jadi suami aku."
"Tapi kan—"
"Waktu kuliah, kamu juga belum jadi papanya anak aku."
"Huf."
Mereka masuk ke toko kepingan vinyl yang dimaksud. Tempatnya nggak terlalu besar, tapi terlihat tertata rapi dan memberikan kesan klasik-artsy yang kuat. Rei tau, Jenar sudah suka mendengarkan musik lewat vinyl sejak masih SMA. Benda pertama yang Jenar pamerkan ke Rei dalam kunjungan pertamanya ke rumah orang tua Jenar adalah koleksi kepingan vinyl di kamarnya.
Kalau sudah berada di "habitat"nya kayak sekarang, kelakuan Jenar jadi beda tipis sama Wuje kalau diajak ke toko mainan. Dia melepaskan gandengan tangannya pada tangan Rei, sibuk wara-wiri kesana-kemari buat mengecek piringan-piringan hitam yang dijual di sana. Pada suatu kesempatan, lelaki itu bahkan serius banget mendengarkan sample salah satu vinyl yang dijual melalui headphone.
Beneran kayak anak kecil.
Tapi Rei suka melihatnya, mengikuti gerak Jenar yang mendadak pecicilan dengan sabar.
"Regina, sini deh!!"
"Hm?"
"Listen to this." Jenar melepaskan headphone dari kepalanya, terus memposisikan dirinya di belakang istrinya untuk ganti memakaikan headphone itu ke kepala Rei.
Rei memiringkan wajah, nggak tau lagu apa yang sedang terputar, tapi begitu Jenar memasangkan headphonenya dengan sempurna, dia mendengar musik menyusupi telinganya.
More than you'll ever know
I know a lot of years have passed us
But I still love you more than you'll ever know
There was a time I felt it wouldn't last us
And baby how I felt didn't show
Sometimes I took you for granted
And thought that you would understand it
But thru it all we managed to make it thru tough times
Rei spontan menoleh pada Jenar yang berdiri di belakangnya, disambut oleh senyum lebar yang bikin lesung pipinya tercetak jelas.
"It's from Boyz II Men. Judulnya More Than You'll Ever Know." Jenar memberitahu, yang masih bisa Rei dengar karena volume musik yang masih tergolong wajar.
No, I can't imagine not having you by my side
Everything you are and all you do
I am still in love with you
More than you'll ever know
Just like the stars in a thousand skies
More than you'll ever know
Deeper than the place where the ocean floor lies
You're still number one in my eyes
And to this day I still get butterflies
Know that I love you more than you'll ever know
Rei memandang lagi pada Jenar, yang balas menepuk dadanya beberapa kali, lalu menunjuk Rei dengan jari telunjuknya.
Rei tertawa, agak tersipu sembari melepas headphone dari kepalanya.
"Suka lagunya?"
Rei mengangguk.
"Bagus, aku juga suka lagunya."
"..."
"Tapi aku lebih suka sama yang barusan dengerin lagunya."
to be continued.
***
"je, anaknya diurus yang bener dong."
"udah diurus kok, regina :(."
"jangan diajak berantem melulu ya?"
"kan emang aku suka ngeledekin dia :(."
"jangan dikasih makan mi terus, dia bukan anak kost dan dia masih kecil. ya?"
"iya, besok gak lagi :(."
"okay, then. jangan cemberut terus dong. you did well today kok."
"beneran? :(."
"iya."
":)."
"sleep tight, sayang."
***
"kenapa sih ngotot amat mau nemuin cowok kamu? toh dianya juga udah gak sayang kamu tuh buktinya dia pura-pura meninggal."
"because i need closure, om."
"..."
"biar saya bisa sayang sama yang lain tanpa kebawa masa lalu sama dia."
***
"selamat pagi, regina."
"ini maksudnya apa? wkwkwk."
"biar kamu gak lupa kamu punya suami ganteng yang lagi kangen sama kamu."
"wkwkwk wuje mana?"
"TUH KAN TETEP WUJE DOANG YANG DITANYAIN :)."
***
a/n:
yak, betulan jam kalong.
nih pada kepo ryza siapa.
ryza adalah ryza, si cewek yang 9 taon lebih muda dari wirya.
apakah wirya bakal sama ryza?
kita belom tau cuy.
terus ocha nih blom tau soal wirya ketemu ryza yah
nanti juga tau kok wkwkwkkwkwkkwkwk
oke, uji nyali dimulai dan ocha ketemu ryza kayanya next chapter.
sekian dan terimakasie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top