48 | huf aja deh

"Kamu ngapain?"

Wirya terus saja berjalan dengan satu tangan masih menarik koper. Dia nggak memperlambat langkahnya sama sekali. Rossa membuang napas, mau nggak mau berusaha menyamai langkah-langkah panjang lelaki itu sambil mendorong troli berisi tumpukan koper yang mau dia bawa.

"Wirya, aku barusan nggak ngomong sama tembok loh kayaknya."

"Menurut kamu, orang ada di bandara tuh mau ngapain?"

"Tergantung. Kalau kamu mbak-mbak yang kerja di outlet donat Krispy—"

Wirya menoleh pada Rossa sambil memotong sewot. "Aku mau naik pesawat."

"Nggak mungkin tiba-tiba tujuan flight kamu sama kayak aku."

"Tiba-tiba ya bisa aja. Kebetulan, yang nggak mungkin."

"Wirya, aku nggak bercanda."

"Aku juga nggak." Wirya berhenti setelah mereka tiba pada bagian security check pertama. Dengan mudah, dia mengangkat kopernya buat dipindai oleh mesin pemindai xray.

Rossa cemberut, sudah berniat mau mengangkat koper-kopernya dari troli, tapi Wirya tak tinggal diam. Masih tanpa bilang apa-apa sama Rossa, dia mengangkat koper-koper berat perempuan itu dengan gampang, menempatkannya di atas conveyor belt dalam waktu singkat.

"Kamu bakat jadi mas-mas angkut bandara."

"Kalau ditolong, harusnya bilang 'makasih'." Wirya menyahut datar, mengabaikan kata-kata Rossa yang dimaksudkan untuk bergurau. Terus, lelaki itu lebih dulu berjalan melewati detector untuk kepentingan body check.

Rossa berdecak, jelas bete. Sikap Wirya yang kayak gini adalah sisi yang jarang dia lihat, namun sangat menyebalkan. Cuma, bisa jadi ini pertanda bagus. Marahnya Wirya itu bisa seperti letusan gunung berapi. Panas dan meledak di awal, kemudian mendingin. Bukan berarti langsung baik-baik saja, tapi seenggaknya, Wirya nggak se-emosional kemarin-kemarin.

Sehabis check-in, mereka sempat menunggu waktu boarding.

"Oke, kita udah duduk."

"Emang. Kata siapa kata berdiri?"

"Wirya, kamu nyebelin deh kalau gini."

"Bagus dong, soalnya aku lagi pengen bikin kamu sebel."

"Kamu repot-repot datang ke bandara jam segini, repot-repot buang-buang uang buat book tiket cuma buat bikin aku sebel?"

"Kalau iya kenapa?"

Rossa mendengus, meniup sejumput rambut yang jatuh di keningnya. Lalu dia berujar pada dirinya sendiri, tapi sengaja dikeraskan, biar Wirya tersindir. "Sabar... sabar..."

"Betul. Sabar." Wirya menepuk-nepuk bahu Rossa. "Sekarang gantian kamu yang sabar ngadepin aku, soalnya aku udah sering sabar ngadepin kamu."

Rossa memutar bola matanya, bersamaan dengan ponselnya bergetar karena notifikasi chat. Dia sudah ketar-ketir, agak cemas. Gimana ya, soalnya kalau notifikasi itu datang karena chat dari Jaka, waduh, bisa-bisa pecah perang di sana pada saat itu juga.

Ternyata dari Jella.

"Siapa?"

"Jaka."

"Oh—"

"Jella." Rossa memotong sambil menunjukkan layar ponselnya. "Barusan itu cuma bercanda. Udah mau emosi ya?"

"Emosi dong, soalnya kamu nge-treat perasaanku kayak candaan gitu."

Yailah... salah lagi.

Chat dari Jella nggak penting-penting amat sih. Isinya cuma bertanya apa Rossa jadi terbang malam ini dan kalau jadi, dia punya titipan yang mau dia minta tolong ke Rossa buat dibelikan. Nggak akan jauh-jauh dari fashion item.

Jaman kuliah dulu, kayaknya Rossa yang paling stylish dari semua penghuni kosan Sadewo lantai dua. Tapi sekarang, tahta itu sudah diambil alih sama Jella—meski tentu saja, Jella nggak pernah going extreme dengan mewarnai rambutnya jadi warna-warna terang kayak Rossa.

Rossa lagi malas menyabarkan diri, jadi selepas chat sama Jella beres, dia pura-pura sibuk sama layar ponselnya. Wirya juga nggak mengajaknya bicara. Lelaki itu duduk bersandar seraya menatap lurus ke depan, dengan kedua telinga disumbat airpods.

Mereka baru kompak berdiri ketika panggilan untuk boarding telah disuarakan. Rossa membawa satu koper kabin, sedangkan Wirya nggak bawa apa-apa. Satu-satunya koper yang dia bawa telah dimasukkan ke bagasi melalui check-in counter tadi.

Rossa berjalan duluan menuju gerbang keberangkatan, diikuti Wirya yang mengekor santai di belakangnya. Melangkah tanpa beban dengan satu tangan terjejal ke saku celana. Kalau dia nggak pakai outer berbentuk semi blazer dan justru pakai baju tidur, orang-orang pasti bakal beranggapan dia cuma lagi mau jalan ke kamarnya buat tidur.

Dalam penerbangan kali ini, Rossa nggak duduk di first class atau business class seperti biasanya karena dia melakukan re-schedule last minute banget. Seluruh seat di business class sudah terisi. Rasanya agak canggung melangkah jauh ke bagian tengah pesawat setelah sekian lama nggak melakukannya.

Begitu tiba di seatnya, Rossa mengulurkan tangan buat membuka bagasi khusus yang berada di atas. Tapi sepertinya, orang sebelum Rossa kurang rapi menyimpan tas-nya di sana. Begitu tutup bagasinya dibuka, sebuah tas makeup meluncur turun, nyaris mengenai Rossa jika saja Wirya yang berdiri di belakang Rossa nggak tangkas menangkap bagian ujung tas makeup tersebut, membuatnya tertahan dan batal jatuh.

"Thanks."

Wirya cuma mengedikkan bahu, lantas mendorong tas makeup yang dia pegang lebih ke dalam. Setelahnya, dia meraih koper Rossa, menempatkannya dengan rapi. Rossa menatap laki-laki itu sebentar, mengembuskan napas pelan dan menempati seatnya.

Sama seperti ketika di ruang tunggu, sepanjang penerbangan, mereka berdua lebih banyak saling diam.

*

"Holy freaking shit..."

Rossa nggak bisa berhenti merutuki dirinya sendiri begitu dia mengecek kemerahan di dahinya melalui pantulan cermin toilet.

Kalau ada yang bisa disyukuri, untungnya, kemerahan itu nggak membengkak atau benjol. Tapi tetap saja, warna merahnya cukup mencolok dan ada beberapa gores luka lecet tipis. Dia bisa mencoba menutupi kemerahannya dengan makeup besok, tapi sekarang, goresannya masih terasa cukup perih.

Pesawatnya landing sekitar satu setengah jam lalu, menjelang fajar waktu setempat. Rossa langsung bertolak menuju hotel yang telah dia booking menggunakan layanan taksi bandara. Wirya mengikuti, cuma lelaki itu menggunakan taksi yang berbeda. Rossa jadi bertanya-tanya deh, buat apa Wirya mengikutinya jauh-jauh sampai kesini kalau sikapnya masih sebeku es Antartika?

Apa dia sengaja mau mengumumkan perang dingin?

Tapi bagian memalukannya adalah... ya itu... penyebab kenapa sekarang di jidatnya ada kemerahan dan luka gores.

Tak lama setelah taksinya berhenti, Rossa turun. Menggunakan bantuan hotel porter, Rossa membiarkan koper-kopernya dibawa duluan menuju lobi. Tapi waktu masuk, kayaknya dia kurang hati-hati karena malah mengecek ponsel. Dia nggak sadar kalau pintu kaca hotelnya belum terbuka lebar sepenuhnya dan...

Jeduak!!

Tanpa bisa dihindari, dia menabrak pintu kacanya. Cukup keras dan jidatnya beradu dengan tepi pintu kaca hotel. Suaranya keras banget, sampai-sampai pegawai hotel yang ada di lobi pada menoleh kompak ke arahnya.

Buruknya lagi, itu terjadi bertepatan dengan taksinya Wirya berhenti di pelataran depan hotel, jadi sudah pasti, Wirya menyaksikan semuanya.

Rossa malu banget, soalnya dia pasti kelihatan bodoh. Makanya untuk menyelamatkan mukanya, dia buru-buru masuk, check-in secepat yang dia bisa dan sesegera mungkin minta diantar ke kamarnya.

Hingga sekarang, dia belum melihat Wirya lagi.

Semoga deh, laki-laki itu book kamar yang nggak dekat-dekat amat sama kamarnya.

Ogah stress sendiri, Rossa coba-coba nge-chat temannya. Mungkin ada yang masih bangun. Percobaan pertama... Rei.

Kenapa?

Mamak-mamak biasanya bangunnya pagi.

rossa:
rei

rei:
yaa?

rossa:
oh, udah bangun.

rei:
kenapa?

rossa:
lo pernah kejedot gak sih

rei:
pernah...

rossa:
kalo kejedot tuh ngeredain merahnya pake apa ya?

rei:
biasanya dibiarin reda sendiri

rossa:
masa?
gue nih siang ini ada meeting.

rei:
jujur, kalau ngilanginnya pake cara cepet, gue gak tau
soalnya belom pernah kejedot pas mau meeting.

Oke. Rossa rasa, ini waktunya beralih ke mamak yang lain. Mungkin Yumna.

rossa:
yumna?

yumna:
anjir jam segini udah bangun
lo subuhan apa gimana dah?

rossa:
mau nanya

yumna:
rekomendasi wedding vendor?

rossa:
KAGAK NJIR
soal kejedot

yumna:
kejedot gimana?

rossa:
kalo kejedot terus kemerahan gitu, redainnya yang cepet gimana ya?
siang ini gue ada meeting.
merahnya lumayan kenceng.

yumna:
benjol gak?

rossa:
moga aja engga

yumna:
kok incess bisa kejedot

rossa:
wkwkwk biasalah

yumna:
makanya kalau main jangan kasar-kasar

rossa:
MAIN APAAN ANJIR WKWKWK

yumna:
ow, kirain abis main sama kokoh bau duit

rossa:
gimana ngeredain ini merah dulu dah.

yumna:
gak tau ya, gue biasanya kalau kejedot, di-sun.

rossa:
di-sun?
di-matahari?
itu diapain?

yumna:
dicium. ama laki gue.

rossa:
oh... oke...

Masih tetap zonk juga.

Kayaknya mending Rossa searching Youtube, deh.

Tapi dia belum lagi sempat melakukannya, pintu kamarnya sudah diketuk. Rossa buru-buru keluar dari kamar mandi, walau tak langsung membuka pintu. Dia sempat mengintip lewat lubang intip yang ada, terus tercekat sendiri karena yang sekarang lagi berdiri di depan pintunya adalah Wirya.

Duh... buka nggak ya?

Lagi bingung begitu, ponselnya bergetar.

wirya:
open the door.

wirya:
rosie, open the door.

wirya:
kalau kamu gak mau aku nge-drama, buka pintunya.

Rossa menyerah dan membuka pintunya.

Setelah pintu terbuka, Wirya langsung masuk. Pembawaannya terkesan mengintimidasi, jadi otomatis Rossa mundur beberapa langkah sebelum bagian belakang lututnya membentur kursi. Dia pun terduduk, membuat Wirya justru jadi lebih mudah mengecek dahinya.

"Damn, it's so red." Wirya geleng-geleng kepala dengan satu telapak tangan berada di pipi Rossa, sementara tangannya yang lain menyelipkan sejumput rambut panjang perempuan itu ke belakang telinga, biar dia bisa melihat kemerahan di dahi Rossa lebih jelas. "Kayaknya ini bakal bengkak."

"BOHONG?!" Rossa panik, soalnya apa banget, masa iya dia harus datang meeting dengan jidat bengkak.

"Kayaknya, awalnya merah dulu, ntar lama-lama—"

"Astaga, aku ada meeting—"

"Udah tau ada meeting, kenapa jalannya nggak hati-hati?"

"... nggak kelihatan. Pintunya tau-tau ada di sana."

"Pintunya emang bakal selalu ada di sana. Salah kamu yang jalannya nggak lihat-lihat." Wirya kemudian merogoh saku hoodie yang dia pakai, mengeluarkan kantung plastik berisi entah apa. "Aku udah expect bakal begini, jadi—"

"Itu apa?"

"Salep memar."

"Ini cuma merah."

"Awalnya doang merah, nanti lama-lama berubah warna."

"Jadi warna apa?"

"Kuning."

Rossa melotot. "AKU NGGAK BERCANDA!"

"—hijau, di langit yang biru."

"Nggak lucu."

"Emang. Aku nggak niat ngelucu. Cuma mau bikin kamu kesal." Wirya berkata seraya berbalik, melangkah menuju kamar mandi. "Aku cuci tangan dulu. Kamu jangan kemana-mana."

Rossa tetap duduk hingga Wirya kembali.

"Dapat dari mana?"

"Apanya?"

"Salepnya."

"Apotek."

"Kamu ke apotek?"

"Bukan, ke toko buah."

"Wirya!"

"Ke apotek lah, emangnya kemana lagi?" Wirya berdecak. "Sekarang, diam."

Rossa mau buka mulut untuk membantah, tapi menilik seriusnya wajah Wirya, dia memilih bungkam. Malas bertengkar lagi. Wirya mengoleskan salep itu dengan sentuhan lembut di bagian dahi Rossa yang bermasalah, seperti takut tekanan yang terlalu keras bakal bikin Rossa kesakitan. Gara-gara itu, Rossa jadi tergerak bertanya.

"Udah nggak marah?"

"Ngimpi."

"Kalau masih marah, ngapain kamu di sini?"

"Marah bukan berarti aku berhenti sayang sama kamu."

Rossa meringis. "Look, soal yang kemarin—"

"Pergi ngajak pacar orang nggak bilang-bilang."

Rossa terbatuk. "Apa?"

"Kesalahan Jaka."

"Kita nggak ngapa-ngapain. Aku sama Jaka cuma teman—"

"Bukan berarti jadi benar, kan? Kalau aja Jaka bilang dari awal dia mau ajak kamu kemana dan maksudnya apa ke aku, mungkin aku bisa lebih ngerti."

"..."

"Nggak terus terang sama aku. Tentang Bourbonate. Tentang Jaka."

"Maksudnya aku?"

"Itu kesalahan kamu."

"Kamu nggak nanya."

"Kita ada dalam satu hubungan yang sama." Wirya membalas. "Aku expect ada keterbukaan, ada kepercayaan diantara kita. Itu yang kita mau waktu kita mulai semuanya dari awal lagi, kan?"

Rossa hanya mampu membisu.

"Kamu mau bilang dia teman kamu, it's okay. Kamu mau anggap dia udah berubah? Masih oke juga. Aku nggak tau pertemanan atau hubungan macam apa yang kalian punya, tapi gimana kalian bersikap saling berahasia, aku jadi serasa kayak orang luar. Seperti aku yang jadi orang ketiga, ketika nyatanya, yang lagi berkomitmen sama kamu itu aku."

"..."

"Emosi dan selalu memendam semuanya sendiri. Itu kesalahanku."

"Berarti kita berdua emang sama-sama nggak terbuka, kan?"

"Kelihatannya begitu." Wirya melangkah menjauhi Rossa sejenak untuk meletakkan kantung plastik dan salep ke atas meja. "Yang kemudian bikin aku terpikir sesuatu yang lain lagi."

"... apa?"

"Apa yang bikin kamu ngerasa lebih nyaman terbuka sama Jaka daripada sama aku?"

Rossa meneguk saliva. "Nggak gitu."

Wirya memiringkan wajah. "Nggak ada gunanya menyangkal, Rosie."

"Aku nggak seterbuka itu sama Jaka."

"Tapi kamu terbuka sama dia tentang hal-hal yang bikin kamu insecure, hal-hal yang penting buat kamu."

"Soalnya dia ngerti."

"Menurut kamu, aku nggak ngerti?"

"Kamu nggak pernah berduka untuk anak aku."

"..."

"And I don't know, it's just uncomfortable to talk a lot with you about... it." Rossa menghela napas berat. "Sebab cerita tentang dia bakal ngingetin kamu kalau diantara kita, ada orang lain. Diantara kita, ada Jaka."

"Sebatas itu?"

"Aku sama Jaka ketemu di Bourbonate nggak terencana. That night, I wanted to ask you to come with me. Tapi kamu sendiri bilang kalau kamu lagi capek, jadi—" Rossa menghentikan ucapannya. "Itu semua nggak penting lagi sekarang, kan?"

Wirya mengangguk. "Nggak penting lagi sekarang."

"..."

"Ini tahun kedua kita sama-sama."

"..."

"Ternyata semuanya nggak segampang yang aku duga."

"..."

"Aku mau nanya sesuatu sama kamu, yang masih aku harap, bakal kamu jawab jujur."

"... apa?" Rossa terdengar gentar.

"Mana yang buat kamu lebih penting? Aku atau Jaka?"

"Aku nggak tau. Jaka temanku. Teman yang baik banget, yang ada buat aku ketika aku ngerasa sendirian. Tapi kamu—"

"Aku apa?" Wirya memotong.

"Kamu orang yang aku sayang."

"Sejujurnya, itu lucu." Wirya tertawa muram. "Sebab saat ini, aku nggak lagi merasa disayangi sama kamu."

"..."

"Shall we take a break?"

Rossa mengerjap. "Kamu mau putus?"

"A break."

"Sama aja."

"Nggak. Jelas nggak sama." Wirya menyergah. "Putus berarti menyudahi semuanya. Aku nggak menginginkan itu. Cuma, kelihatannya kita perlu jaga jarak sebentar."

"Jaga jarak untuk putus?"

"Jaga jarak biar kamu bisa bikin keputusan. That's a different thing."

"Go to sleep. Kayak yang kamu bilang, siang nanti kamu ada meeting."

Rossa hanya bisa terdiam ketika Wirya merunduk untuk menjatuhkan satu kecupan di dahinya sebelum melangkah menuju pintu.

*

teh tumpah reguler (7)

yumna: eh, kalau anniv, lo pada suka kasih-kasih sesuatu gak sih buat laki lo pada

jinny: engga sih aku mah, teh

jinny: kata a seno, islam gak mengenal anniv soalnya

jinny: apalagi anniv nikahan gitu-gitu

harsya: engga tau, belom nikah soalnya

jella: tinder dong @harsya

harsya: ah, yang ketemu di real life aja belom tentu bener

harsya: apalagi macem tinder

rei: waduh, rada trauma kalau soal anniv hehe

jella: IYA NEH

yumna: kenapa gitu?

jella: DIA PERNAH LUPA ANNIV NIKAHAN

rei: ... namanya juga manusia

sakura: ini yang kak jenar pernah ngamuk itu gak sih? @rei

yumna: APAAN KOK GUE GAK TAU

jella: waktu itu lo lagi happy banget barusan menang alpard @yumna

jella: jadi kita gak cerita

yumna: APA GIMANA CERITANYA

jella: waktu itu si jenar lagi ada tugas keluar kota

jella: cuma, selesainya tuh mepet tanggal anniv

jella: tau kan jenar bulog

harsya: bulog beras?

jella: bucin goblog

jella: dia maksain pulang pake flight paling malem

jella: maunya nyampe rumah pas-pas-an hari anniv

jella: nah, bininya si kampret malah lupa

rei: sumpah, gak ngeh

jinny: terus teh jenar gimana teh

jinny: aih naha jadi teteh sih

jinny: maksudnya kang wkwkwk kang jenar gmn teh

yumna: gue tebak nie kesurupan nie

rei: ENGGAK SEPARAH ITU JUGA WKWK

rei: dia nangis

rei: terus marah

jella: cengeg

jinny: cengeg mah cabe atuh

jella: cengeng

jella: typo dikit

rei: tapi ya gara-gara itu, gue gak pernah lupa

rei: biasanya kalau anniv, kita sama-sama tuker kado

rei: sesuatu yang meaningful aja sih

rei: pernah juga beli gelang samaan

yumna: gelang apaan tuh gak mungkin dong gelang dapet beli sepuluh ribu dua di naughty

jella: cartier @yumna

rei: sama karena jenar suka nge-wine

rei: biasanya nge-wine sih

harsya: terus mabok

harsya: abis itu ewew

rei: hehe

yumna: ah anjink

yumna: tekor bandar kalo gitu caranya

yumna: kudu sedia cartier sama wine

sakura: ganti amer aja kak @yumna

delta: kalo aku sama lanang sih biasanya quality time aja, kak

delta: atau staycation berdua, biar idan sama nadi dititipin ke neneknya

delta: emang kenapa gitu?

yumna: bentar lagi gue sama bapaknya orang ketiga bakal anniv

yumna: bosen, masa tiap tahun tumpengan mulu

yumna: mana yang ngabisin tumpengnya si kwinsa terus

yumna: bosen nasi kuning mulu

harsya: itu rei udah kasih referensi

yumna: mahal, anjor

yumna: abis anniv, bisa-bisa gue sama atuy lelang ginjal ama liver

yumna: referensi dong @jella

jella: apa ya hm

jella: gue sama tigra biasanya sih jalan aja

jella: atau main

yumna: di kasur?

jella: kasur mulu otak lo

jella: kagak

jella: kayak anniv tahun kemaren, gue sama titi main laser tag

yumna: laser tag itu apa gue taunya instagram tag

harsya: tembak-tembakkan @yumna

jella: iya, tembak-tembakkan pake pistol laser

yumna: apa serunya anjir

jella: seru lah

jella: gue ama titi kan sama-sama kompetitif

jella: jadi ngotot menang, makanya saling ngincar

yumna: terus siapa yang menang?

jella: laki gue

yumna: KOK BISA

jella: dia tau kelemahan gue soalnya

yumna: ck tetap aja gak ngasih inspirasi

harsya: ajakin laki lo perang bantal aja

jinny: atau hadiahin tespek teh

jinny: yang ada dua garis

jinny: seno aja sampe sujud syukur pas gue kasih eta tespek dua garis tapi engga biru garisnya wkwkwk

yumna: ngegedein anak tuh mahal, jir

yumna: teka-nya kwinsa aja udah mahal

yumna: tapi yaudala, nanti gue pikirin

sakura: btw, rencana long weekend jadi nih?

jella: yep

jella: gue lagi ngumpulin info, nanti gue up di sini biar pada milih

yumna: sip

jinny: btw teh, mau nanya ieu teh

yumna: iya teh teteh teh mau nanya apa teh

jinny: ojek online tuh kalau disingkat jadi apa tuh

jella: ojol?

jinny: aihhh he'eh. nah, mun pinjeman onlen, kalau disingkat jadi apa

sakura: pinjol?

jinny: nah, nih urang rada lieur yak, mun kontrakan onlen, disingkat enaknya apa ya?

harsya: eh

harsya: AJG UDAH GUE KETIK

jella: CANDAAN LO KENAPA GINI @jinny

rei: hampir aja gue ketik...

jinny: WKWKWWKKWKWKWKWWK

jinny: seru pisan euy ngerjain orang

*

Hari ini, Wuje terlibat obrolan cukup serius sama para ciwi-ciwi di sekolahnya.

Lila yang memulai, sebab bocil itu bercerita soal kakeknya yang menurutnya pada unik. Kakeknya Lila ada yang lagi main ke rumah dan menginap. Kata Lila, kakeknya yang satu ini pendiam, tapi peduli banget dan bisa masak nasi goreng yang enak. Queensha menyambar, ikut-ikutan cerita soal kakeknya dari keluarga ayah yang hobi banget menyanyi keras-keras kalau lagi mandi. Terus Lila menambahkan lagi, kalau kakeknya yang satu lagi juga suka menyanyi, walau nggak di kamar mandi. Wuje yang mendengarkan dengan seksama sempat dibikin melongo.

"Hah, emang kakek kalian ada berapa? Kok banyak amat..."

"Dua." Cherry jawab. "Tapi kakek aku yang satu lagi udah nggak ada, udah di kuburan. Kata Mommy sih, udah pulang ke rumah Tuhan. Tapi kan dibawanya ke kuburan. Apa rumah Tuhan itu ada di kuburan?"

"Nggak tau, Cherry. Aku belum pernah ke rumah Tuhan." Wuje menjawab polos, terus beralih pada Queensha. "Kamu punya kakek nggak?"

"Punya dong! Dua, malah!"

"Lila?"

"Itu kan barusan aku cerita, Je, ada dua."

"Kok kakek aku satu doang ya?"

"Kakek kamu udah ke rumah Tuhan juga kali." Cherry menukas.

"Iya kali ya?"

Terus gara-gara itu, Wuje jadi overthinking.

Sejujurnya, Wuje cukup dekat sama kakek-neneknya dari pihak keluarga Jenar. Apalagi kalau lagi ngumpul keluarga nih, pasti Wuje jadi Tuan Raja. Kenapa? So far, karena sama seperti papanya, dia masih cucu cowok satu-satunya di keluarga besar Suralaya. Kalau dari keluarga mamanya, Wuje pernahnya ketemu sama neneknya doang.

Tapi yah, mereka juga nggak dekat.

Pernah sekali, Rei mencoba meninggalkan Wuje di tempat ibunya. Maksudnya biar mereka bonding, biar dekat gitu. Mau gimana pun juga, Wuje adalah cucu satu-satunya yang dimiliki beliau kan. Tadinya, semuanya kelihatan oke-oke saja, hingga Jenar menjemput Wuje dan di mobil, Wuje tau-tau bertanya.

"Papa, kenapa Oma nggak suka sama aku?"

"Oma yang mana?"

"Mamanya Mama."

"Hah, kenapa kamu bilangnya gitu?" Jenar menyetir sambil sesekali menatap rear-view mirror untuk melihat pada anaknya yang duduk di jok belakang.

"Soalnya tadi waktu main, Oma diem aja, Papa. Aku ajak ngobrol, Oma masih diam. Apa Oma nggak suka sama aku? Tapi kan aku nggak nakal..."

Jenar cuma bisa diam, terus menghela napas dalam sebelum ngomong lagi.

"Je,"

"Iya, Papa?"

"Jangan bilang-bilang Mama ya."

Dari sana, Wuje nggak pernah main ke rumah neneknya dari pihak keluarga mamanya lagi.

Cuma, kalau soal kakeknya yang satu lagi... Wuje belum pernah dengar cerita apa pun dari Rei maupun dari Jenar. Makanya, dia jadi penasaran. Alhasil, sehabis makan malam, Wuje nekat bertanya ke Jenar.

"Papa, Papa..."

"Apa, Cil?"

"Opa botak tuh Papanya Papa kan?"

"Iya."

"Kalau Papanya Mama? Ada nggak?"

Jenar terperangah sebentar, memandang pada anaknya sejenak. "Nggak ada, Je."

"Udah di kuburan ya? Kayak Opa-nya Cherry?"

"Nggak, Je."

"Hah, terus?"

"Nggak ada aja."

"Jadi Mama nggak punya Papa?"

"Punya. Tapi nggak pernah ketemu lagi."

Wuje garuk-garuk kepalanya, terlihat bingung. "Kenapa nggak pernah ketemu lagi, Papa?"

"Nggak Papa bolehin."

"... kenapa?"

"Soalnya... nanti bikin Mama sedih."

Wuje memiringkan wajah, makin nggak paham.

"Papa nggak mau Mama ketemu sama orang-orang yang bisa bikin Mama sedih."

"..."

"Termasuk kamu. Kalau kamu bikin Mama sedih, kamu juga nggak akan Papa bolehin ketemu Mama."

Wuje tersentak kaget, terus mukanya diselimuti kekhawatiran.

Dia nggak bilang apa-apa pada Jenar, langsung saja turun dari sofa yang dia duduki dan berlari ke dapur, di mana Rei sedang mencuci beberapa piring yang habis digunakan buat makan malam. Jenar mengikuti, berdiri di ambang pintu, menyaksikan bagaimana Wuje berhenti di belakang ibunya, terus memegang baju Rei dari belakang.

"Mama..."

Rei menoleh sedikit ke belakang. "Kenapa, Sayang?"

"Aku nggak pernah bikin Mama sedih, kan?"

Rei jadi heran, akhirnya mencuci tangannya, mengeringkannya terus berbalik badan.

Wuje ganti memegang bagian depan bajunya Rei seraya menengadah dengan mata berkaca-kaca dan muka memelas.

"Kenapa tiba-tiba nanyanya gitu, Je?"

"Soalnya aku pernah bikin Mama nangis, waktu kepalanya aku berdarah waktu itu... sama waktu aku sakit terus aku nggak mau makan... Mama nangis..."

"Emang kenapa kalau kamu pernah bikin Mama sedih?"

"Kata Papa, kalau bikin Mama sedih, nanti aku nggak boleh ketemu Mama lagi."

Refleks, Rei melempar pandang pada suaminya yang berdiri di ambang pintu dapur. Jenar hanya mengangkat bahu, membuat Rei memutuskan meraup badan Wuje ke dalam gendongannya. Digendong begitu, Wuje kontan memeluk dan menyembunyikan wajahnya di lekuk leher Rei. Mendadak mellow.

"Aku pernah bikin Mama sedih nggak?"

"Pernah dong."

"... berarti—"

"Tapi kalau nggak ketemu Wuje, Mama bakal lebih sedih lagi."

"..."

"Mama, maafin aku ya kalau suka bikin Mama sedih."

"Maafin Mama juga ya, kalau suka bikin Wuje sedih."

Wuje menggelengkan kepalanya, terus menarik wajah dari leher Rei. Dua telapak tangannya yang kecil menyentuh pipi Rei, sebelum dia membungkuk sedikit, mencium pipi ibunya.

"Aku sayang Mama."

"Mama juga sayang Arga."

Jenar berdeham. "Ini kenapa tiba-tiba aku jadi orang ketiga ya?"

Rei berdecak sembari mengusap punggung Wuje yang sekarang kembali bersandar sepenuhnya dalam gendongannya. "Kamu ngomong apa sama Wuje?"

"Nggak apa-apa. Anyway, besok bisa nengok Chester kan? Katanya Chester udah bangun."

Rei menganggukkan kepala, diam-diam tersenyum ketika merasakan Wuje kian mengeratkan rangkulan di bahunya.

*

"Lagi lihat apa sih?"

Suara Tigra menyentak lamunan Jella.

"Hm?"

"Kamu senyam-senyum sendiri waktu lihat handphone. Apa yang lucu di handphone?"

"Nggak apa-apa, cuma keinget sesuatu aja."

"Sesuatu?"

"Soal anniv kita yang tahun kemarin."

Seperti apa yang Jella ceritakan di grup, tahun kemarin, dia sama Tigra memang merayakan anniversary pernikahan mereka dengan bermain laser tag. Tigra bisa sangat random, terutama dalam mengajak orang-orang tersayangnya menghabiskan quality time bersama. Begitu juga tahun kemarin. Jella benar-benar nggak menyangka, Tigra bakal membawanya ke arena laser tag. Mereka saling memakaikan rompi pada satu sama lain, terus memilih senjata laser mereka masing-masing.

Laser tag ini nggak berbahaya, karena 'peluru' yang digunakan dalam tembak-menembak berbentuk sinar infra-red.

Makanya wajar, kalau arenanya juga berupa tempat yang cenderung gelap.

"Kenapa?"

"Keinget cara kamu menang dengan siasat kotor."

Tigra tergelak. "Hei, itu nggak kotor!"

"Kotor!" Jella ngotot.

"Tapi kamu suka, kan?"

"Not gonna lie..." Jella mengedikkan bahu, terus ikut-ikutan tertawa.

Sepertinya, sudah jadi rahasia umum kalau Jella dan Tigra itu sama-sama cukup kompetitif. Mereka nggak akan mengalah cuma karena mereka saling mencintai. Cailah, kedengarannya drama banget, namun kenyataannya memang begitu.

Pada suatu kesempatan, Jella sudah nyaris menang. Dia berhasil menodongkan ujung senjatanya pada Tigra yang berlutut beberapa meter di depannya akibat jatuh karena terselandung beberapa detik sebelumnya.

Namun, Tigra justru menatapnya lekat.

"Kamu mau tembak aku waktu aku lagi nggak berdaya kayak gini?"

DRAMA BANGET.

Jella hampir ngakak. "Aku bakal melakukan apa pun untuk menang."

"Tapi menang pun harus adil, Jelly."

Tigra beranjak dari posisi berlututnya. "Hadiahnya gugur kalau kamu menang tapi dengan cara nggak adil."

"Bukan salahku kamu keselandung."

"Salah kamu."

"Kok jadi salah aku?!"

"Aku keselandung karena salah fokus gara-gara kamu."

"APANYA?!"

"Ternyata kamu secantik itu kalau rambutnya diikat."

Tawa Jella pecah. "Ti! Nggak mempan!"

"Really?" Tigra menarik seringai sembari berjalan makin dekat, lantas mengulurkan tangan dan menurunkan ujung senapan laser Jella agar menyentuh lantai.

Kemudian tahu-tahu, lelaki itu mendorong Jella agar mundur hingga punggungnya membentur tembok.

"Ti—"

"Mm-hm?"

"We're in public."

"Arenanya luas, dan di sini gelap."

Itu yang dikatakan Tigra sebelum merunduk dan menciumnya.

Sejenak, Jella lupa kalau mereka adalah lawan dalam sesi laser tagging yang mereka mainkan, hingga ciuman itu tersudahi dan tanpa kebimbangan sedikit pun, Tigra mundur cepat beberapa langkah sebelum menembak bagian tengah rompinya.

"TIGRA!"

"Aku bakal melakukan apa pun untuk menang."

"Tapi menang kan harus adil!"

"Nggak buatku."

Tigra menjulurkan lidahnya, terus tergelak seraya berjalan menjauh.

Pada akhirnya, hadiahnya tetap jadi punya Jella, walau Tigra yang menang.

"Tahun ini mau laser tagging lagi?"

"Nggak. Kamu curang."

"Kecurangan yang kamu suka." Tigra mencibir, masih terus mengemudi hingga terdengar bunyi ponsel miliknya.

Lelaki itu memasang perangkat handsfree sebelum menjawab.

"Halo?"

"Tigra, sudah di mana?"

Itu suara ibunya.

"Di jalan, Ma."

"Kamu tuh kalau ada janji sama Mama suka telat melulu."

"Tapi kan emang nggak buru-buru, Ma? Kita cuma mau lunch bareng, kan?"

"Tetap aja, Mama jadi lama nih nunggu sendiri."

"Sebentar lagi sampai, Ma."

"Pasti telat karena istri kamu kelamaan dandan lagi ya?"

Tigra melirik pada Jella yang mendengus tanpa suara, hanya bisa buang muka ke luar jendela.

"Nggak kok, Ma. Bukan salah Jella. Salahku."

"Kamu selalu belain istri kamu."

"Soalnya emang salahku, Ma. Bukan salah Jella."

"Anyway," mamanya Tigra sudah beralih ngomongin sesuatu yang lain. "Long weekend ini, Jella bisa ke rumah nggak? Mama mau ada kumpul-kumpul teman lama. Jella kan menantu Mama satu-satunya, jadi kayaknya elok kalau Jella datang."

"Wah, kayaknya nggak bisa, Ma. Jella udah ada rencana sendiri."

"Sama kamu?"

"Sama teman-temannya."

"Duh, Tigra, masa istri kamu lebih mentingin teman-temannya dari Mama?"

"Masalahnya, Jella udah bikin janji, Ma. Janji kan nggak segampang itu dibatalin." Tigra berusaha menjelaskan dengan sabar, tapi mamanya cuma mendengus di seberang sana.

"Ya sudahlah! Istri kamu kan memang seringnya berhalangan kalau ada urusan apa-apa yang berkaitan sama Mama!"

Terus telepon diputus begitu saja.

Tigra menoleh pada Jella. "Kata-kata mamaku nggak usah diambil hati—"

"Langsung diambil ke jantung aja ya?"

"Jella—"

"Jangan ajak ngomong aku. Aku lagi bete."

Tigra pun memilih diam, memaklumi reaksi Jella.

Kadang, Jella suka sebal kalau ada orang-orang yang menganggap hidupnya mulus-mulus saja karena dia menikah sama orang seperti Tigra.

Mulus apanya coba kalau punya ibu mertua yang suka jump into conclusion dan sensian kayak gitu? 

to be continued.

***

kalau jodoh, bertemu. kalau nggak jodoh, jadi tamu. kiw kiw kiw 

calon kontestan uji nyali di rumah sendiri

***

a/n:

waduh, kalo kata yuta sih, menjelang hari pernikahan ocha, ada yang ngopi di olivier 

apakah benar terjadi 

moga gak ada insiden kopi sianida part dua yha 

wkwkwk soal uji nyali, diliat ntar deh wkwkwk 

wkwkwkwkwkw dah sekian 

terimakasie 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top