46 | panik dong masa nggak
"Mama..."
Rei baru saja membelokkan mobil yang mereka kendarai ke jalan besar ketika dari kursi belakang, Wuje tiba-tiba memanggil.
Perempuan itu melirik anak laki-lakinya melalui rear-view mirror, membagi fokus antara Wuje dengan kondisi jalan di depannya. "Iya, Sayang?"
"Kemarin Mama sakit karena adik bayi, kan?"
Rei memiringkan wajah, tetapi akhirnya mengangguk. "Iya. Tapi sekarang udah nggak sakit. Jadi kamu nggak perlu khawatir."
"Teman aku di kelas tadi pagi ada yang nanya."
"Mm-hm, nanya apa?"
"Namanya Yogi."
"Kenapa sama Yogi?"
"Yogi tanya, aku kok suka nggak masuk sekolah sih. Terus aku bilang, iya, kemarin-kemarin Mama aku sakit, jadi aku harus nemenin Mama aku. Terus Yogi tanya lagi, Mama sakit apa. Aku bilang, Mama sakit karena adik bayi, tapi adik bayinya udah nggak ada, udah ke Surga."
"Terus?"
"Kata Yogi, wah, berarti aku seneng dong kalau adik bayinya nggak jadi ada."
Rei agak kaget sedikit, sebelum meneruskan obrolan mereka dengan pertanyaan bernada hati-hati. "Abis itu kamu jawabnya apa?"
"Aku jawab aja, aku nggak seneng, soalnya Mama aku jadi sedih karena adik bayi nggak jadi ada. Tapi abis itu, Yogi cerita-cerita, Ma. Katanya, dia baru punya adik bayi. Kata Yogi, punya adik bayi itu nggak seru. Adik bayi kerjaannya nangis melulu. Dikit-dikit nangis. Berisik deh. Kata Yogi juga, sejak ada adik bayi, Papa sama Mama-nya Yogi lebih sayang sama adik bayi daripada sama Yogi."
Wuje berceloteh panjang seperti vespa yang rem-nya blong, namun Rei mendengarkan setiap kata yang diucapkan anaknya baik-baik.
"Emang iya, Ma? Kalau udah adik bayi baru, yang disayang adik bayi baru? Kalau gitu, kenapa Papa sama Mama mau punya adik bayi baru? Kan udah ada aku. Emangnya aku nggak cukup ya, Ma, sampai Mama sama Papa mau adik bayi baru?"
"Nggak gitu, Arganata."
"Terus gimana, Mama?"
"Papa sama Mama kepikiran mau punya adik bayi baru, biar kamu ada temannya. Teman yang sama-sama anak kecil, maksud Mama."
"Tapi kan aku udah gede, Ma."
Rei tersenyum sedikit, agak geli. "Maksudnya, biar nantinya kamu nggak kesepian, Je. Kayak Papa tuh. Papa kan punya kakak, Tante Hyena. Jadi Papa ada temannya. Kalau Mama, nggak punya kakak sama nggak punya adik. Jadi sendirian aja."
"Gitu ya, Ma?"
"Iya. Lagian, ada atau nggak ada adik bayi, Papa sama Mama akan sayang terus sama kamu kok."
"... maaf ya, Mama."
"Loh, kok minta maaf?"
"Aku nanyanya kayak tadi. Maaf ya, kalau omongan aku yang tadi bikin Mama sedih."
"Nggak apa-apa. Mama seneng kalau kamu jujur sama Mama, sama Papa. Jadi nggak dipikirin sendiri. Next time, kalau kamu kepikiran apa-apa, nggak apa-apa cerita ke Papa atau ke Mama."
"Hehe."
Camry yang Rei kemudikan terus melaju menuju kantornya Jenar. Sudah dekat-dekat waktu makan siang, jadi Rei memperkirakan, mereka bisa tiba di lobi bertepatan dengan jam istirahat para pekerja kantoran. Usai memarkirkan mobil di parkiran, Rei menunggu anaknya turun, sebelum mengulurkan tangan untuk Wuje gandeng.
Sudah cukup lama sejak terakhir kali Rei mengunjungi kantornya Jenar. Resepsionis yang sekarang berjaga di balik meja lobi bukan lagi seseorang yang dia kenal. Perempuan itu sempat memandangnya dengan alis terangkat, menatapnya ketika dia mengajak Wuje buat duduk di sofa lobi sementara dia menghubungi Jenar.
Teleponnya nggak diangkat.
"Kenapa, Ma?"
"Teleponnya nggak diangkat." Rei mengembuskan napas pelan seraya melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya. "Kayaknya Mama minta tolong resepsionis aja kali ya buat ngabarin Papa kalau kita di sini. Kamu tunggu bentar ya?"
Wuje duduk manis dengan tali tas masih tersandang di kedua pundak. "Iya, Mama."
Rei beranjak dari duduk, melangkah mendekati meja resepsionis. "Permisi, saya kesini mau ketemu—"
Perempuan di balik meja memotong kata-kata Rei sembari menatap curiga. "Mau ketemu siapa ya?"
"Je—maksud saya, Pak Jenar. Saya udah coba—"
"Pak Jenar lagi ada meeting."
"Oh? Tapi ini udah masuk jam makan siang—"
"Selesai atau nggak-nya meeting nggak mesti ngelihat udah jam makan siang atau belum, Dek." Rei terperangah sebentar sewaktu dia mendengar perempuan itu memanggilnya 'Dek'. "Tergantung ke anggota direksi yang ikut meeting, kira-kira sudah harus selesai atau belum meetingnya."
"Oh... gitu..."
"Sudah ada janji sama Pak Jenar?"
Rei menggeleng. "Belum, sih."
"Kalau gitu, mohon maaf, tapi saya nggak bisa mengizinkan kamu ketemu sama beliau." Perempuan itu bicara lagi, lalu matanya menatap Rei sejenak, meneliti dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Oh, tentu Rei tahu apa arti tatapan itu. Outfit yang dia pakai bukan outfit formal yang bakal digunakan seseorang di lingkungan perkantoran—cuma kaos dan celana panjang biasa, dengan luaran jaket denim punya Jenar yang disambarnya waktu buru-buru mau pergi ke sekolah Wuje tadi. Rei nggak terlalu memikirkan busananya, soalnya sekolah Wuje nggak pernah mengharuskan orang tua dan wali murid berpenampilan formal, terus mendatangi Jenar di kantor juga adalah ide dadakan yang nggak dia rencanakan.
Seenggaknya, dia sudah mencoba tampil cukup rapi dengan rambut dikuncir ekor kuda.
"Tapi saya—"
"Ini kantor, Dek. Tempat formal. Semua yang datang kesini setidaknya harus pakai baju berkerah dan sepatu yang menutup jari kaki."
Ah ya, kesalahan lainnya; Rei cuma pakai sepatu sandal.
Dulu-dulu, ketika berkunjung ke kantor Jenar, Rei nggak pernah berpenampilan formal sih. Cuma ya, Jenar selalu stand-by menjemputnya di lobi, atau memang dia datangnya bareng Jenar. Selain itu, resepsionis yang dulu memang sudah kenal dia. Jadi mungkin wajar, kalau sebelumnya, penampilannya nggak pernah dipermasalahkan.
"Ah, oke kalau gitu. Makasih ya." Rei membalas, lantas berbalik.
Saat dia lagi melangkah mendekati Wuje yang duduk menunggu, ponselnya berdering. Ada telepon masuk. Dari Jenar.
"Halo?"
"Hei, sori banget tadi aku nggak ngangkat telepon kamu. Ada meeting, dan hp-ku ketinggalan di ruangan. Tapi ini udah selesai. Kamu kenapa telepon? Something wrong? Ada yang sakit?" Jenar memberondongnya dengan pertanyaan bertubi-tubi.
"Aku sama Wuje mau makan siang bareng kamu."
"Hah?"
"Aku jemput Wuje dari sekolahnya."
"Nyetir sendiri?"
"Iya."
"Regina, kan aku udah bilang—"
"Nggak apa-apa kok!" Rei buru-buru menukas. "Kata dokter kan, asal nggak ada demam atau nyeri berlebihan, aku baik-baik aja. Nggak harus bedrest juga."
Jenar menghela napas panjang di seberang sana. "Terus sekarang kamu di mana?"
"Di lobi kantor kamu."
"Wait, aku kesana—"
"Kata resepsionis kamu, aku nggak bisa ketemu kamu."
"What kind of nonsense is that?!" Jenar berseru dan dari suara-suara yang terdengar di latar belakang, Rei menebak suaminya itu lagi berjalan menuju lift.
"Katanya, kamu lagi meeting. Aku belum bikin janji. Dan bajuku hari ini nggak sopan buat datang ke kantor kamu."
"Nggak usah ngaco. Tunggu di situ."
"Tapi emang benar sih, Je. Kepikiran makan siang sama kamu tuh dadakan banget—"
"Tunggu di situ."
"Tunggu di luar?" Rei bertanya, separuh bercanda.
"Di lobi! Pokoknya kalau kamu nggak ada di lobi begitu aku sampe sana, aku pecat resepsionisnya."
Rei tersentak kaget. "Jenar, nggak boleh gitu!"
"Bodo, suka-suka aku, aku anaknya yang punya kantor."
"Resepsionisnya baru kayaknya. Dia belum tau aku."
"Even better, aku makin punya alasan buat sebal sama dia." Jenar mendengus. "Tunggu di lobi."
Habis itu, obrolan telepon mereka selesai. Rei menuruti Jenar, tetap duduk di sana meski resepsionis di belakang meja masih menatap ke arahnya, terlihat agak sinis. Tak lama, Jenar muncul dari lift, langsung melangkah terburu-buru mendekatinya.
"Is that my denim jacket?" tanyanya dengan suara keras, yang bikin resepsionis lobi terperangah kaget bercampur heran.
"Iya. Hehe."
"Looks good on you. Nggak sopan dari mananya sih?"
Jenar menggerutu, terus meraih tangan Rei, menggandengnya ke depan meja resepsionis. Perempuan yang berjaga di baliknya refleks tersentak dan menunjukkan gestur sigap.
"What's your name again?"
"Oh—hng—Uti, Pak."
"Kamu yang bilang ke dia kalau dia nggak boleh ketemu saya?"
"I—iya, Pak."
Jenar memiringkan wajah. "Kamu baru di sini ya?"
"I—iya, Pak."
"Good then. Sekarang biar kamu tau, dia ini istri saya. Namanya Regina. Kalau dia yang datang kesini dan bilang mau ketemu saya, mau dia pakai baju tidur pun, kamu harus izinin dia ketemu saya. Sampai di sini, paham?"
"Paham, Pak..."
"Good."
"Je, udah!" Rei menarik lengan Jenar menjauh. "Let her be. Lagian tadi dia sempat manggil aku 'Dek'. Hehe. Berarti aku masih pantes disangka adek-adek."
"Halah." Jenar bergumam sambil memutar bola mata.
"Jangan manyun gitu, dong..."
"Iya, Papa jelek tau, Pa, kalau manyun kayak gitu." Wuje ikut nyeletuk sembari melompat turun dari sofa lobi yang dia duduki.
"Mau makan apa?" Jenar bertanya pada Rei.
Rei beralih pada Wuje. "Wuje mau makan apa?"
"Pasta!"
"Di restoran seberang jalan berarti ya? Di sana pudding cokelat-nya juga enak." Jenar berkata sembari melihat pada arloji yang melingkari pergelangan tangannya. "Okelah. Yuk, kita langsung jalan kesana."
"Let's goooo!!" Wuje memimpin jalan, berlari kecil menuju pintu, sementara kedua orang tuanya mengikuti di belakang.
"Anyway, Regina,"
"... ya?"
"Please wear my jacket more often. You look good in it."
*
Rossa batal terbang hari ini.
Wirya tahu itu tanpa diniatkan. Rossa pernah menggunakan laptopnya untuk berkirim email, dan akunnya belum di-log out. Perempuan itu menjadwal ulang penerbangannya ke besok malam.
Bukan hanya itu, Wirya juga tahu kalau semalam, Jaka stay di apartemennya Rossa. Mobilnya Jaka meninggalkan parkiran basement gedung apartemen Rossa hari ini, menjelang jam sebelas siang. Wirya mengetahuinya dari salah satu petugas keamanan gedung yang cukup akrab dengannya, berhubung mereka suka mengobrol ketika Wirya beberapa kali menunggu Rossa turun ke lobi.
Apa Wirya marah?
Jelas saja, murka adalah respon pertamanya begitu melihat Rossa turun dari mobil Jaka, dengan baju yang serupa. Wirya tau, itu hanya kaos murahan yang mungkin saja mereka beli di pinggir jalan. Tapi tetap saja, kaos itu sama, hanya berbeda ukuran saja. Mereka mengenakan sesuatu yang biasanya dikenakan oleh pasangan.
Ah ya, dalam usahanya membela Jaka, Rossa juga menamparnya.
Sekarang, Wirya nggak mau membayangkan apa saja yang mungkin terjadi, dan yang jadi alasan Jaka menginap di tempatnya Rossa. Mana pulangnya menjelang siang pula. Wirya tahu, dia bukan cenayang yang dapat membaca isi pikiran orang, tetapi kuat dugaannya kalau Rossa menjadwal ulang penerbangannya karena Jaka.
Tangannya terkepal tanpa sadar.
Mendadak, ponselnya bergetar.
rosie:
masih emosi?
wirya:
you re-scheduled your flight.
rosie:
aku baru mau ngomong kalau kamu udah gak emosi.
wirya:
gimana bisa aku gak emosi?
dia nginep di tempat kamu semalam.
rosie:
what the heck?
are you spying on me?!
wirya:
apa itu penting sekarang?
rosie:
penting.
aku gak mau pacaran sama orang yang suka spying diam-diam.
wirya:
biar kamu bisa jalan sama cowok lain tanpa ketauan ya?
rosie:
aku telepon kamu sekarang.
Kontak Rossa muncul memenuhi layar ponsel Wirya sesaat kemudian. Wirya menatap layar ponselnya nanar, menghela napas panjang untuk menyabarkan diri sebelum akhirnya dia memilih mengangkatnya. Ini kali pertama mereka benar-benar bertengkar setelah dua tahun sepakat "menjalani semuanya bareng-bareng", tapi segalanya begitu meledak-ledak, seperti letupan akumulasi perasaan yang telah terlalu dibiarkan mengendap.
"Halo."
"Apa?"
"Mau omongin baik-baik atau nggak? Kalau nggak, berarti aku cuma wasting time."
Wirya terbatuk. "Kok malah jadi kamu yang marah sih?!"
"Gimana aku nggak marah, kamu nonjok Jaka sampai mukanya bengkak kayak gitu!"
"Gimana aku nggak nonjok dia, kamu jalan sama dia nggak bilang-bilang aku?!"
"Aku udah bilang."
"Bilangnya pas udah jalan."
"Aku bahkan nggak tau dia mau ajak aku kemana—"
"Dan kamu fine-fine aja dengan itu?" Wirya menyela dengan sarkasme yang kental dalam suaranya.
"Jaka teman aku. Dia nggak akan melakukan sesuatu yang nggak pantas ke aku. He's a whole different person now."
"Really? The last time I checked, kamu benci banget sama dia karena dia udah hancurin hidup kamu."
"The last time you checked itu kapan?"
"..."
"Kamu nggak tau apa-apa soal aku sama Jaka, Wirya. Begitu aku balik buat kuliah lagi, aku ngerasa sendirian dan—"
"Kamu ngerasa sendirian? Ngerasa nggak adil? Do I have to remind you, kalau kamu yang push aku menjauh? Aku udah datang ke Spore! Buat kamu! Aku berusaha ada untuk kamu, tapi kamu dorong aku ngejauh, nolak ketemu aku tanpa alasan—"
"I HAVE MY REASONS!"
"Apa? Insecurity?"
"Did you—" Rossa terdengar nggak percaya dengan apa yang baru saja Wirya lontarkan. "Did you just mock me like that?"
"Aku nggak mengejek kamu. I simply asked."
"Nada suara kamu nggak enak."
"I am upset—no, I am furious, for the Love of Christ! Gimana bisa aku bicara dengan nada yang menyenangkan sama kamu ketika kamu bikin perasaanku berantakan kayak gini?!"
"Jadi kesimpulannya, kamu lebih pengen berantem daripada omongin semuanya baik-baik?"
"Aku capek, Roseanne! Aku capek selalu berusaha bersabar, selalu berusaha beranggapan kalau aku nggak kenapa-kenapa, ketika nyatanya sebaliknya! Kamu juga nggak bilang kalau kamu nongkrong di Bourbonate sama dia, kan?!"
"What—how—"
Wirya melepaskan tawa muram ke udara, seperti lagi menertawakan kebodohannya sendiri. "Dari mana dan gimana aku tau, gitu maksud kamu?"
"Kamu bisa tanya kalau kamu mau tau jelasnya gimana dan nggak menduga-duga sendirian!"
"Dan kamu bisa cerita tanpa perlu ditanya!"
"Mana aku tau penting buat kamu untuk tau kalau kamu nggak nanya!?"
"Rossa—"
"Kamu selalu mengharapkan aku terbuka soal apa pun ke kamu, semuanya, terutama terkait perasaan aku! Tapi kamu sendiri nggak pernah terbuka soal perasaan kamu! Kalau ada yang mengganjal, kamu nggak pernah ngomong, nggak pernah berusaha buat—"
"AND THAT'S BECAUSE I DON'T WANNA BURDEN YOU!!" Wirya memotong dengan sepenuh emosi, hingga dia nyaris berteriak.
Napasnya terengah, sedangkan di seberang sana, Rossa berhasil dibuat bungkam seketika. Hening sejenak. Selama beberapa saat, diantara mereka tak ada satupun yang bicara hingga Wirya jadi yang pertama memecah kesenyapan dengan kata-kata bernada rendah.
"Aku nggak mau membebani kamu. Aku coba ngertiin perasaan kamu. Aku coba menempatkan diri aku dalam sudut pandang kamu. Tapi aku nggak bisa benar-benar pahamin sudut pandang kamu seratus persen. Aku tau kamu insecure. Kamu ngerasa terbebani dengan banyak ekspektasi. Aku nggak mau—" Wirya nggak meneruskan ucapannya. "I just wanna be with you. That's all. Sesusah itu buat dimengerti?"
"Tapi kamu keberatan dengan banyak hal."
"Menurut kamu, siapa yang nggak akan marah melihat pacarnya turun dari mobil setelah seharian berduaan sampai ke luar kota sama cowok lain? Mana pakai baju yang sama pula!"
Rossa tercekat. "Was that the reason?!"
Wirya membisu.
"Aku ganti baju karena kemejaku kotor! Dan Jaka ikutan pake baju yang sama, buat nemenin doang! Kita sama sekali nggak ada rencana pakai barang couple—but well, emangnya kamu mau dengar? Kamu udah terlanjur emosi."
"Nggak mengubah kenyataan kalau semalam dia nginap di apartemen kamu."
"Dia tidur di sofa."
"Dia tetap nginap di apartemen kamu."
"Kalau kamu nggak ninju dia sampai mukanya kayak gitu, aku nggak akan berpikir dua kali buat nyuruh dia pulang."
"Tambahan lainnya," Wirya mendesis. "Kamu re-schedule flight kamu buat dia."
"Iya."
Wirya berujar, terkesan mencemooh. "As I've expected."
"Mau tau fakta lainnya?"
"Apa?"
"Kalau aja kamu nggak nonjok, aku nggak akan re-schedule flight aku."
"..."
"Pacarku ninju orang sampai hidungnya berdarah. Tadi pagi, mukanya kelihatan bengkak waktu bangun tidur. Kalau dia marah, dia bisa aja ngelaporin kamu ke polisi dengan memar-memarnya yang separah itu."
"..."
"I have to make sure he's alright. Bukan cuma karena dia temanku, tapi juga karena alasan kenapa dia begitu adalah kamu!"
"..."
"Tapi kamu nggak mau coba dengar. Kamu nggak mau coba paham. Kamu marah, ngamuk, emosi. It's true, aku tampar kamu kemarin, karena menurutku, kamu nggak akan berhenti ninju Jaka kalau dicegah pakai omongan doang!"
"Still, kamu nggak—"
"Aku nggak pernah bantah kalau aku pergi sama Jaka. Aku nggak pernah bilang kamu nggak berhak marah. Aku udah bilang sejak semalam, aku tau aku salah. Kalau aja kamu nggak emosi dan mukul Jaka, aku bisa jelasin semuanya. I didn't try to invalidate your feelings, didn't you see? I think you didn't, karena kamu udah gelap mata duluan."
"Roseanne—"
"Aku capek berantem. Aku baru mau ngomong lagi sama kamu kalau emosi kamu udah nggak meledak-ledak kayak sekarang. Nggak ada gunanya ngejelasin sesuatu ke orang yang lagi emosi dan lagi nggak bisa berpikir jernih."
Setelah berkata begitu, Rossa mematikan teleponnya.
*
"Mama, batre lampu bulan aku abis tau..."
"Lampu tidur bentuk bulan yang di kamar?"
Wuje yang baru saja menghabiskan pudding cokelatnya mengangguk dengan bibir belepotan noda cokelat. "Semalam kan nggak nyala. Mama nggak sadar ya?"
"Oh ya... mungkin Mama lupa. Nanti baliknya, kita mampir aja di Indomaret."
"Di jalan sebelah, kayaknya ada Indomaret. Jauh kalau naik mobil, tapi kalau lewat jalan setapak samping restoran ini, dekat kok." Jenar berujar. "Mau beli batre sama Papa? Mending sama Papa aja ya? Papa rada risih kalau kalian mampir-mampir habis dari sini."
"Risih kenapa?" Rei mengangkat alis.
"Kamu kan belum sehat banget."
"Je, aku nggak apa-apa—"
Wuje manggut-manggut setuju sekaligus menginterupsi ucapan ibunya. "Iya, beli batrenya sama Papa aja."
Padahal Wuje sengaja sih, soalnya kalau sama Jenar, dia bisa coba minta dibeliin es krim sama Kinderjoy—kalau sama Rei, dia pasti bilang nggak dan Wuje nggak akan berani buat merengek.
"Mau sekarang?" Jenar melirik pada arlojinya lagi. "Kamu tunggu di sini aja. Pasta kamu juga belum abis."
Rei mengangguk. "Iya, ih. Galak banget deh."
"Abis kalau nggak digalakkin, suka bikin khawatir." Jenar menyahut sambil menarik beberapa lembar tisu dari kotak tisu di atas meja. "Wuje, sini ngadep Papa—"
Wuje menurut, memutar arah duduknya hingga menghadapi Jenar. Dia diam dengan patuh ketika Jenar melap noda cokelat di bibir dan sudut mulutnya pakai tisu.
"Anak siapa sih, makannya belepotan banget?"
"Anaknya Jenar." Wuje nyengir, bikin Jenar memutar bola mata.
"Oh, kirain anaknya Regina?"
"Oh ya, anaknya Mama, deng."
"Ck." Jenar berdecak, lalu beranjak dari duduk.
Wuje melakukan tindakan yang sama, tapi sebelum pergi mengikuti Jenar, dia sempat bilang ke Rei. "Mama, jagain tas ayam aku ya..."
"Iya, Sayang."
Setelahnya, mereka jalan kaki ke Indomaret yang dimaksud Jenar. Nggak jauh-jauh amat sih, meski kalau jalan kaki ya lumayan juga. Jalannya santai saja, sembari Jenar mendengarkan celotehan Wuje soal apa yang terjadi di sekolah hari ini, mulai dari Queensha yang memanggilnya 'Yang Mulia' hingga Kemal si Nakal yang dia bikin basah kuyup.
Di Indomaret, berhubung yang perlu dibeli hanya batre, Jenar langsung mengambil apa yang diperlukan dan membawanya ke kasir.
"Papa, aku mau—"
"Es krim? Udah Papa beliin, tapi yang di wadah kotak ya. Nanti meleleh kalau yang di stik atau cone."
Wuje menggeleng. "Mau yang lain lagi."
"Mau apa?"
"Kinderjoy."
"Kemarin-kemarin kan udah Papa jajanin macaron."
"Kan kemarin, yang sekarang belom..."
Mbak-mbak yang menjaga kasir refleks tertawa kecil. "Adiknya lucu banget, Mas. Kerja bawa adik ya?"
"Eh, ini bukan adik saya, Mbak."
"Bener, Mbak." Wuje mengangguk-angguk. "Saya bukan adiknya."
"Oh... abisnya mirip..."
"Ya mirip, soalnya anak saya..."
"LHO, MASNYA UDAH PUNYA ANAK?!" Mbak-mbak kasir langsung tersenyum malu. "Abisnya ganteng banget sih, nggak kelihatan kalau udah punya anak."
Wuje menggaruk kepalanya yang nggak gatal. "Emangnya kalau udah punya anak, jadi jelek ya, Mbak?"
Mbak-mbak kasirnya mati kutu.
Terus, apakah ujung-ujungnya Wuje dibeliin Kinderjoy?
Nggak. Jenar ngotot, bilang kalau nggak usah beli Kinderjoy, soalnya mahal doang tapi nggak berguna. Apalagi sehari sebelumnya, Wuje baru dibeliin macaron di kotak berukuran super besar. Makanya, si bocil ngambek, jadi cemberut melulu sepanjang jalan.
"Je,"
Wuje diam saja.
"Je,"
"Papa, aku lagi ngambek."
"Terus?"
"Kalau ngambek ya berarti nggak mau ngomong sama Papa!"
"Ngambek kenapa sih?"
"Kan aku pengen Kinderjoy!!"
"Banyak maunya deh, mending kalau berguna."
"Daripada Papa. Banyak gayanya deh, mending kalau berguna."
"Terserah."
Wuje pouting sampai bibirnya benar-benar maju. "Pokoknya ngambek."
Begitu mereka tiba di depan restoran pasta tempat Rei menunggu, Wuje ngibrit lebih dulu, meninggalkan Jenar yang melangkah sambil menenteng kantung plastik.
"Mama, Mama, Mama!!"
"Iya?"
"Tadi di Indomaret, Papa digodain mbak-mbak!" Wuje berseru seraya memanjat kursi yang tadi dia duduki.
"Digodain gimana?"
"Aku disangka adiknya Papa! Terus kata Papa, bukan ini, anak saya. Terus kata mbak-mbaknya, butuh Mama baru buat aku nggak. Terus Mama tau nggak Papa bilang apa?"
"Apa?"
Wuje melirik pada Jenar yang semakin dekat, terus membisikkan sesuatu pada Rei. "Katanya... belum buka lowongan, Mbak. Tapi Mama, lowongan itu apa sih?"
"Kamu barusan bilang apa sama Mama kamu?" Jenar jadi curiga, dia bertanya sembari duduk.
"Kinderjoy dulu!"
"Jangan percaya sama dia, Regina! Dia ngambek karena nggak aku beliin Kinderjoy!!"
"Aku nggak ngarang kok!" Wuje membela diri.
"Kamu bilang apa sama Mama?"
"Aku bilang, Papa digodain mbak-mbak di Indomaret. Terus Papa bilang belum buka lowongan Mama baru untuk aku!!"
"Terus kenapa?"
"Ma," Wuje menoleh ke Rei. "Kalau belum, berarti nanti Papa bakal buka lowongan? Eh tapi belum dijawab tadi aku nanya, Mama! Lowongan tuh apa sih?"
Jenar speechless betulan sama kelakuan anaknya.
"Je," Rei akhirnya bersuara.
"Iya?" Jenar dan Wuje merespon kompak.
"Jenar, maksudnya." Rei meralat.
"Cuma bercanda, Regina. Demi Tuhan."
"Nggak, aku mau nanya yang lain." Rei berujar, seraya tatapan matanya jatuh ke jari manis tangan Jenar.
"Nanya apa?"
"Cincin kamu... kok nggak ada?"
*
Hingga esok malamnya, Wirya nggak sekalipun coba menghubungi Rossa.
Rossa jadi agak-agak overthinking, tapi ya dia tetap enggan bicara sama orang yang lagi dikuasai emosi. Seperti yang sudah dia bilang ke Wirya sebelumnya, orang yang lagi emosi itu cenderung nggak bisa berpikir jernih. Jadi sia-sia saja kalau Rossa memaksa menjelaskan situasinya sekarang, ketika amarah Wirya masih panas-panasnya.
Namun di saat yang sama, dia agak sedih.
Dia bakal menghabiskan waktu cukup lama di luar negeri untuk perjalanan kerjanya kali ini. Firasatnya mengatakan, dia nggak akan bisa membicarakan soal masalah-masalah ini secara tuntas dengan Wirya tanpa obrolan face-to-face. Berjauhan dalam keadaan marah, untuk waktu yang tak singkat... Rossa hanya bisa berharap kalau hubungan mereka nggak jadi memburuk.
Atau justru... apakah diam-diam... hatinya mengharapkan hubungan mereka memburuk sekalian?
Rossa menggelengkan kepalanya, bertepatan dengan mobil yang mengantarnya ke bandara berhenti di depan gedung terminal keberangkatan. Perempuan itu turun, diikuti supirnya yang dengan cekatan membuka bagasi mobil untuk menurunkan koper-kopernya. Bukan hanya itu, lelaki setengah baya tersebut juga membantu menaikkan kopernya ke troli koper yang disediakan bandara. Rossa mengucapkan terimakasih sebelum mendorong trolinya bergerak menuju pintu masuk.
Sejenak sebelum dia mencapai pintu masuk yang terbuat dari kaca, ponselnya bergetar. Perempuan itu berhenti sejenak untuk mengecek notifikasi yang masuk. Ada chat dari Jaka.
jk:
udah di bandara?
rossa:
yap, lagi mau check-in.
jk:
safe flight!
rossa:
thanks.
btw, memar lo udah mendingan?
jk:
masih bengkak.
tapi makasih kiriman obatnya ya.
rossa:
I am so sorry.
maaf banget ya.
kalau ada apa-apa, kasih tau gue ya.
jk:
it's okay.
ini bukan pertama kalinya gue babak-belur karena ditonjok.
rossa:
kurang-kurangin :(
jk:
still, safe flight! :D
rossa:
take care ya, jaka.
jk:
lo juga.
Rossa memandang pesan terakhir yang dia terima dari Jaka, terus membuang napas dengan perlahan. Jemarinya menari di layar, menekan opsi back. Di bawah chat Jaka, ada bubble chatnya dengan Wirya. Chat terakhir masih yang kemarin.
Rossa berpikir sebentar, terus nekat saja mengetik.
rosie:
aku udah di bandara, mau check-in.
Bersamaan dengan munculnya tanda yang menunjukkan kalau pesan tersebut telah terkirim, Rossa mendengar bunyi pendek yang berasal dari seseorang yang berada di dekatnya.
Otomatis, perempuan itu menoleh, hanya untuk dibikin ternganga.
"... Wirya?"
Wirya diam saja, masih memasang ekspresi dingin, tetapi dia menunjukkan paspor di tangan kanannya, sementara tangan kirinya menarik gagang koper.
"What are you doing here—"
"Kita di flight yang sama."
"..."
"Mending check-innya barengan, biar duduknya bisa sebelahan."
to be continued.
***
"cincin gua mana cincin gua."
walau lagi marah, harus tetap ganteng.
***
a/n:
banyak yang nanya, apakah soal ortunya rei bakal dibahas di ABoD
jawabannya adalah tentu saja iya
tapi nanti
santuy aja dulu kita
wkwkwkwk
kenapa pada overthinking jenar kenapa-napa sih
padahal mah bisa aja iya.
johnny-chester nongolnya chapter selanjutnya aja deh yah.
dah, terimakasie.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top