45 | raja wakanda

Jaka terbangun ketika dia merasakan sentuhan hangat di lengannya, yang amat kontras dengan suhu sejuk ruangan.

Lelaki itu mengernyit, tanpa sadar meringis sewaktu merasakan nyeri tumpul merambat di salah satu pipinya, diikuti gumam dengan mata yang masih separuh terpejam. "Roshan?"

"Sori, nggak maksud bangunin lo—"

Jaka mengerutkan dahi, pelan-pelan membuka mata. Apa yang pertama dilihatnya adalah langit-langit ruang tengah apartemen Rossa yang redup sebab hanya diterangi cahaya matahari pagi dari balik jendela besar berselubung tirai tipis. Kemudian, wajah perempuan itu memenuhi pandangannya. Rambut Rossa tergerai, agak berantakan. Kentara banget, Rossa juga baru bangun tidur. Dia membungkuk di atas Jaka, wajahnya tampak khawatir.

"Am I in Heaven?"

Rossa membuang napas. "Nggak, lo di tempat gue."

"Oh. Kirain bidadari adanya cuma di surga."

"Memarnya tambah parah—" Rossa meringis, terlihat ragu-ragu menempatkan jari-jarinya di pipi Jaka. "Sakit?"

"Nggak. Hehe—oh." Cengiran Jaka terinterupsi oleh rintih lirih kesakitan miliknya sendiri.

"Sakit." Rossa menghela napas panjang, kemudian beranjak. "Harus dikompres. Mungkin nanti rada siangan, kita perlu ke dokter."

"Nggak usah."

Jaka menukar posisi berbaringnya jadi duduk, menonton Rossa melangkah menuju dapurnya hanya dengan bercelana pendek dan berkaos kebesaran yang menenggelamkan seluruh lekuk bagian atas tubuhnya. Seraya berjalan, Rossa menggelung asal rambut panjangnya, mengikatnya dalam buntalan asal-asalan. Dia bertelanjang kaki.

Ah ya, tentang apa yang terjadi semalam, Wirya memang meninju Jaka tak lama setelah lelaki itu turun dari mobil.

Rossa spontan memekik terkejut sebelum pasang badan di depan Jaka sambil berusaha mendorong Wirya menjauh.

"Wirya—ini salahku—Wirya! Jangan pukul Jaka! Wirya!! Listen to me, Wirya!!"

Wirya memindahkan tatapannya ke Rossa. Sorot matanya benar-benar dingin, membuat Rossa seketika terdiam, kehilangan seluruh keberanian untuk bicara.

"Aku nggak bilang kalau kamu nggak salah, Rosie."

"Wirya, sori—" Jaka buru-buru menggeser tubuh Rossa, memaksa perempuan itu untuk berlindung di belakangnya, yang justru memantik emosi Wirya lebih jauh.

Lelaki itu memandang bergantian antara Rossa dan Jaka, kemudian melepaskan tawa breathy yang terkesan seperti tengah mengejek dirinya sendiri. Wirya menggelengkan kepalanya beberapa kali, melirik muak pada kaos serupa yang sama-sama melekat di badan dua orang di depannya. Dia betul-betul merasa dipermainkan.

Sementara itu, beberapa anggota security gedung apartemen berseragam hitam tengah bergerak mendekati mereka.

"It's funny, how you tried to protect him and at the same time, he tried to protect you."

"Wirya, aku sama Jaka cuma—"

"Jalan-jalan ke luar kota bareng?" Wirya memotong tajam, sempat membalikkan badan untuk menghadapi beberapa personel keamanan yang terlihat sekali, bermaksud melerai mereka. "Dia pacar saya dan dia tinggal di sini. Let us have some talks, yah? Saya janji saya nggak akan bikin keributan."

Lantas, tanpa menunggu respon dari para petugas keamanan, Wirya kembali memusatkan perhatiannya pada dua orang yang berdiri di depannya.

Walau demikian, para petugas keamanan tersebut jelas tahu siapa Wirya. Lelaki itu sudah sering berkunjung ke sana. Dia dikenal sebagai tamu baik yang ramah pada siapapun. Makanya, melihat Wirya menunjukkan sisi lainnya seperti itu kelihatannya cukup mampu membuat para petugas keamanan merasa segan. Mereka memilih berdiam diri, menonton saja, namun siap untuk bertindak jika terjadi sesuatu yang sekiranya bakal membahayakan orang lain.

"Kamu nggak bilang sama aku kalau kamu mau pergi sama dia."

"I said, I am going with a friend."

"Teman kamu punya nama kan?"

"Iya. Jaka. Aku kan udah bilang sama kamu."

"Bilangnya setelah kamu ada di luar kota?" Wirya bertanya sinis.

"Wirya, look—"

Wirya nggak repot-repot menatap pada Jaka ketika dia memotong ucapan lelaki itu dengan ucapan bernada ketus. "Gue nggak ngomong sama lo. Gue ngomong sama pacar gue."

"Jaka, udah—" Rossa memperingatkan. "Iya, makanya aku bilang salah. Aku kira nggak apa-apa, toh selama ini aku pergi-pergi sama teman-temanku yang lain, kamu nggak pernah masalahin. Besides, kukira hari ini juga kamu bakal sibuk seharian. Akhir-akhir ini kan kamu suka kerja sampai malam banget, we just texted each other good morning and good night, terus udah. Jadi—"

"Are you trying to gaslight me?" Wirya mengangkat alis, menatap lurus pada Rossa.

"Aku nggak nyalahin kamu, Wirya. It's just—"

"Emang. Kamu nggak berhak nyalahin aku ketika yang salah di sini itu kamu." Wirya berujar.

"Iya. Aku yang salah." Rossa sama sekali nggak membantah ucapan Wirya. "Makanya, jangan marah sama Jaka. Jangan pukul Jaka. Dia nggak salah. Aku yang salah."

"Dia juga salah." Wirya menyergah, terdengar sangat menohok. "Dia tahu kamu punya pacar. Ngapain dia ngajak pacar orang ke luar kota tanpa minta izin dulu?"

"Wirya—"

"Lo diem aja!" Wirya lagi-lagi membungkam Jaka dengan seruan menusuk.

"We'll talk about this later." Rossa menghela napas panjang. "Tapi nggak bisa malam ini. Besok aku ada flight. Setelah aku pulang, kita omongin soal ini. Sekarang kamu pulang aja. Ini udah malam."

Wirya mengernyit, memandang sinis pada Rossa selama sejenak sebelum dia melangkah mendekati Jaka dan sekali lagi, melayangkan kepalan tinjunya untuk mendarat di hidung Jaka. Tinjuannya begitu keras, hingga buku-buku jari Wirya turut memerah. Rossa memekik tak percaya, refleks meraih pundak Jaka yang kini terhuyung, sempat kehilangan keseimbangan meski cuma sebentar.

"Jaka—"

"Gue nggak apa-apa—" Napas Jaka tersengal sebab menahan sakit, namun dia berusaha menenangkan Rossa—yang mana percuma, karena Rossa telah terlanjur dibuat kalut oleh darah yang mengallir dari hidung Jaka.

"Lo berdarah—" Rossa berpaling pada Wirya, lalu menampar lelaki itu keras-keras. Wirya berdecak, mengabaikan rasa panas di pipinya yang memerah untuk menatap Rossa lagi.

"You did that and for what, Rosie?" Wirya bertanya dalam suara yang sangat terkontrol, yang justru bikin Rossa paham kalau lelaki itu sedang benar-benar marah sekarang.

"Karena kamu udah pukul teman aku sampai berdarah!"

"Rosie—"

"Mending kamu pulang, sebelum aku suruh security seret kamu ke parkiran!"

Usai membentak Wirya seperti itu, Rossa meraih salah satu lengan Jaka, membimbingnya untuk melangkah masuk menuju lobi. Perempuan itu juga memberikan kunci mobil Jaka pada salah satu petugas keamanan biar untuk sementara, mobilnya diparkirkan di tempat yang aman dan tidak mengganggu lalu-lintas kendaraan yang lewat di depan lobi.

Memar di wajah Jaka pasti kelihatan sangat buruk semalam, makanya Rossa nggak mengizinkan Jaka pulang dan itulah alasan kenapa pagi ini, Jaka terbangun di atas sofa ruang tengah apartemennya Rossa.

Lamunan Jaka terpecah sewaktu Rossa kembali dengan baskom berisi air hangat dan waslap di dalamnya buat mengompres wajah Jaka.

"Muka lo tambah parah." Rossa masih terlihat cemas. "Ke dokter aja ya?"

Jaka menggeleng. "Nggak usah. Bakal baikan kok. Dulu juga pernah ditinju Wirya lebih parah dari ini kan."

"Kapan?"

"Waktu gue sama dia ribut karena dia tahu soal—" Jaka melanjutkan kata-katanya hanya dengan helaan napas dalam. "Kayaknya gue emang nggak belajar dari masa lalu."

"Posisinya beda, untuk yang sekarang."

Jaka berpikir sejenak, terus nyengir walau ujung-ujungnya, dia meringis kesakitan lagi. "Setuju. Dulu, lo belain Wirya. Sekarang, lo belain gue."

Rossa mengulurkan tangan kirinya yang nggak memegang waslap untuk menyingkirkan rambut di dahi Jaka.

"Shan,"

"Hm?"

"Lo cantik."

Rossa tergelak. "Kalau gue perhatiin, lo ini orangnya jago gombal ya."

"Iya." Jaka mengakui.

"Coba cari cewek, instead of gombalin gue over and over again."

"Pengennya gombalin lo aja."

"Kayak yang lo bilang kemarin..." Rossa menekan lembut waslapnya di salah satu area pipi Jaka. "Sepuluh tahun udah lewat. Itu bukan waktu yang singkat. Kenapa lo nggak coba buka chapter baru? Tahun depan lo tiga puluh. Iya nggak sih? Kita kan seumuran."

Jaka mengangguk. "Iya."

"Nah itu. Cari cewek nggak ada salahnya loh. Biar ada yang digombalin juga."

"Shan,"

"Hm?"

"Pernah nonton The Crown nggak?"

"Netflix?" Rossa justru balik bertanya.

"Iya."

"Belum sempat sih. Tapi kenapa tiba-tiba jadi bahas The Crown?"

"Di salah satu bagian cerita The Crown, ada cerita tentang Pangeran Charles, Putri Diana sama Camilla."

"Em-hm."

"Katanya, dari awal Pangeran Charles emang naksirnya sama Camilla. Tapi ditentang sama keluarga kerajaan, karena Camilla ini orang biasa. Terus Pangeran Charles diketemuin sama Putri Diana."

"Em-hm." Rossa berpindah mengompres bagian hidung Jaka yang juga merah.

"Bisa dibilang, mereka tuh semacam kayak dijodohin gitu. Putri Diana dianggap sebagai calon yang pas buat jadi ratu Inggris di masa depan. Waktu mereka nikah, orang-orang sedunia nonton, bersorak. People said, it's a fairy-tale comes true."

"And then?"

"Turned out, apa yang kelihatannya sempurna, ternyata nggak sesempurna itu. Pangeran Charles selingkuh sama Camilla. Dia nggak pernah cocok sama istrinya dari awal."

"Terus?"

"Perasaan itu nggak bisa dipaksain, kalau nekat dipaksain, nantinya malah bakal nyakitin pihak-pihak lain yang nggak salah apa-apa." Jaka menatap Rossa lekat diikuti senyum lebar yang muncul, bikin mau tak mau, Rossa turut menatapnya.

Wajah Jaka bisa saja babak-belur, tapi senyumnya punya hangat yang sama seperti garis sinar matahari pertama yang menembus awan di langit pada pagi buta.

Jujur, Rossa kehabisan kata-kata, untuk beberapa lama.

"Lagian, gue udah cukup bahagia hidup kayak gini kok. Kalau pada akhirnya gue nemuin orang yang bisa membuat gue berhenti membandingkan dia sama lo, gue akan terima. Kalau nggak, gue nggak akan memaksa. Even menurut orang lain, hidup kayak gini tuh terkesan menyedihkan, tapi yang paling penting adalah apa yang gue rasakan, soalnya ini hidup gue, bukan hidup orang lain."

"You changed a lot." Rossa bergumam, lantas menarik senyum tipis.

"Kita semua berubah, diakui atau nggak diakui, disadari atau nggak disadari." Jaka menanggapi, terus tanyanya. "Anyway, flight lo jam berapa?"

"Gue re-schedule."

"Hah?"

"Gue re-schedule. Nggak mungkin gue ninggalin lo gitu aja tanpa mastiin lo baik-baik dulu."

"Seriusan?!"

"Em-hm. Jadi pagi ini, kita bisa sarapan bareng. Delivery aja kali ya? Lo nggak akan mau makan masakan gue." Rossa berkata setengah bergurau.

"Gue aja yang masak."

"Lo bisa masak?"

"Iya dong, Shan! Masak itu survival skill yang dibutuhin siapapun untuk bertahan hidup. Tapi sebelum itu, gue punya pertanyaan maha penting buat lo."

"Apa?"

"Lo punya terasi nggak?"

*

"Kamu cerita apa sama Wuje?"

Jenar lagi sibuk baca-baca artikel berita hari ini lewat iPad-nya ketika suara Rei memecah keheningan. Laki-laki itu refleks mengalihkan perhatian dari layar iPad-nya, ganti memandang Rei yang tengah melangkah mendekati ranjang tempatnya duduk selonjoran.

"Anaknya udah tidur?"

"Udah."

"Hm."

"Kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Kamu cerita apa sama Wuje?"

"Cerita apa sih maksudnya?"

"Tempo hari, waktu aku minta tolong kamu yang tidurin Wuje. Tadi anaknya bilang, malam ini kenapa nggak ditemenin sama kamu aja, soalnya dia mau nanya kelanjutan cerita. Waktu kutanya cerita apa, katanya cerita Papa sama Mama dulu, terus katanya, kamu bilang kita nikah karena dia."

"Oh." Jenar senyam-senyum. "Cerita itu?"

Rei memiringkan wajah. "Jenar, anak kamu masih kecil."

"Iya, tau kok."

"Jangan aneh-aneh kalau cerita."

"Nggak aneh. Kita nikah kan emang karena si bocil."

"Tapi Wuje belum ngerti yang begituan. Mana tadi dia nanya ke aku, kok aku jahat, pas kita nikah dia nggak diundang dateng."

"Namanya juga anak-anak, Regina." Jenar tertawa, kemudian mengulurkan tangannya setelah Rei naik ke sisi ranjang yang biasa perempuan itu tempati. "Sini, deketan sama aku tidurnya."

Rei manyun, tetapi dia menurut. Lagipula, suhu pada termostat pendingin ruangan di kamar mereka terlalu rendah untuk bisa Rei tolerir tanpa berdekatan dengan penghangat portablenya. Siapa lagi penghangat portable itu kalau bukan Jenar?

Rei mengembuskan napas lega ketika dia merasakan lengan Jenar merangkulnya dan jarak yang begitu dekat membuat indra penciumannya dipenuhi oleh aroma khas lelaki itu—paduan Jo Malone dan wangi tumpul shower gel yang tersisa sedikit.

"Kamu anget banget."

"And you're freezing cold." Jenar mengusap lengan Rei di bawah selimut. "Thermodynamic equilibrium, remember? Berarti kita berdua emang harus deketan biar bisa saling menyeimbangkan."

Rei tertawa. "Gombalan itu umurnya udah mau sepuluh tahun."

"Tapi respon kamu masih sama."

"Sama apanya?"

"Kamu seneng kan dengar aku bilang gitu?"

"Nggak."

"Regina, bohong itu dosa."

Rei tergelak, menyembunyikan wajahnya pada lekuk pertemuan leher dan dada Jenar. "Nggak."

"Aku kelitikin nih ya kalau masih bohong—"

Rei tertawa makin keras ketika merasakan jemari Jenar berpindah ke pinggangnya. "Jenar! Oke—stop, jangan kelitikin aku—"

Tawa Jenar ikut pecah. Terdengar keras dan puas. Tawanya baru berhenti ketika dia tersadar, Rei menengadah untuk menatapnya. Maka, Jenar pun menunduk, balik memandang perempuan yang sekarang tengah berada dalam dekapannya.

"Muka kamu kurang tidur banget." Rei berkomentar.

"Aku mau bantah, tapi kayaknya nggak bisa." Jenar membenarkan. "Semalam nggak sempat tidur banyak. Habis selesai workshop, aku balik ke hotel dan terima telepon dari Jella. Beneran udah nggak bisa mikir yang lain lagi. Makanya aku langsung beres-beres terus ke bandara. Kalau nggak kebagian pesawat, aku udah kepikiran mau lewat jalan darat ke Surabaya, terus terbang dari sana."

"Silly." Rei berujar sambil cemberut.

"Salah kamu, nggak mau ngomong sama aku di telepon."

"Maaf."

"Nggak. Jangan minta maaf. Sebenarnya, kalau pun kamu mau ngomong, aku tetap bakal buru-buru pulang kok. Even Jella bilang kamu kelihatannya baik-baik aja, aku tetap khawatir banget."

"Aku takut kamu marah."

"Emang kapan aku pernah marah sama kamu?"

"Sering."

"Marah yang serius." Jenar mengoreksi. "Kalau yang lainnya sih bukan marah, tapi ngambek. Nggak pernah, kan?"

"Nggak, sih."

"Emang kapan aku pernah bentak kamu?"

"Dulu, waktu Wuje baru lahir."

Jenar meringis. "Itu kan beda urusan, Regina."

"Tapi kan pernah."

"Iya, tapi habis itu nggak lagi kan?"

Rei tak menyahut, tapi kepalanya terangguk.

"Masih sakit?"

Rei menggeleng. "Cuma dikit aja, tapi udah baikan."

"How was it?"

"Apanya?"

"Prosesnya. Aku cuma tau sekilas dari Jella, tapi waktu aku cari di Google, kayaknya prosesnya cukup... nyeremin."

"I was afraid too, at first."

"Em-hm." Jenar mendengarkan dengan penuh perhatian sembari salah satu tangannya mengusap lembut rambut Rei.

"Tapi terus aku sadar, kalau Wuje ada di rumah sakit. Dia udah cukup shock dan gemeteran waktu aku tiba-tiba drop di parkiran. Kalau aku takut, nanti Wuje juga takut. Sedangkan kamu lagi jauh. Makanya—" Rei berujar sementara jarinya membentuk pola lingkaran di dada Jenar yang tertutup pakaian. "—aku coba untuk nggak takut dan nggak mikir macam-macam. Dibius sih, jadi nggak sesakit yang dibayangin juga. Ada Jella yang nemenin aku. Terus Papa sama Mama kamu juga ikut datang. Aku lega banget, karena seenggaknya, ada yang jagain Wuje."

"And how are you feeling? Sekarang, maksud aku."

"A bit... empty."

"Sedih ya?"

Rei mengangguk.

"Nggak apa-apa. Tapi yang penting, aku mau kamu paham kalau ini bukan salah kamu." Jenar berucap. "Jangan overthinking ya? Aku maunya kamu sehat-sehat terus, happy. Kalaupun sedih, sama kayak yang suka kita bilang ke Wuje, sedihnya seperlunya aja. Jangan berlebihan. Mungkin sekarang cuma belum waktunya aja."

Rei mengangguk lagi.

"Aku nggak tau deh, aku bakal gimana kalau nggak ada kamu."

Jenar mengangkat alis. "Maksudnya?"

"Gitu deh... nggak tau, hidupku bakal gimana, aku bakal ngapain, kalau nggak ada kamu."

"Kan ada Wuje."

"Bukan gitu maksudnya. Kamu ya kamu. Wuje ya Wuje. Nggak bisa kamu digantiin sama Wuje, atau Wuje digantiin sama kamu. Kalian berdua sama-sama penting buat aku." Rei terdengar seperti merajuk. "Cuma... waktu itu terus jalan kan. Kita nggak pernah tau, apa yang mungkin terjadi ke depannya. Semua yang ada awal, pasti ada akhirnya. Cuma... kalau nurutin egoisnya aku, maunya aku gini terus."

"Gini terus gimana?"

"Sama-sama kamu. Dekat kamu." Rei menempatkan telapak tangannya di dada kiri Jenar, tepat di mana dia menemukan detak jantung laki-laki itu. "Maunya begini terus."

"Don't worry, Love." Jenar ikut menempatkan tangannya di atas punggung tangan istrinya. "We have a lot of time."

"Je,"

"... ya?"

"Aku sayang kamu."

*

Johnny terjaga dengan leher sakit.

Boleh jadi, karena posisi tidurnya yang salah, atau dia menggunakan bantal yang nggak cukup empuk. Atau mungkin, karena rumah sakit bukan tempat yang akan memberi tidur nyaman buatnya yang tengah menunggui anaknya. Johnny membuang napas, mengucek matanya yang terasa berat sebelum menatap ke ranjang tempat anaknya terbaring.

Chester masih berada di sana, dikelilingi alat-alat medis untuk membantunya tetap bernapas, sementara kepalanya dibebat perban.

Hari ini, masih juga belum ada kemajuan.

Johnny menarik napas dalam seraya beranjak, bertepatan dengan Gia melangkah memasuki ruangan. Lelaki itu diam saja. Hening sejenak diantara mereka, hingga Gia jadi yang pertama bicara.

"Udah beberapa hari dan kamu belum sempat shaving."

"Like I care."

"I care."

"Gia, ini nggak penting—"

"Wait there." Gia berkata, terkesan seperti nggak bisa dibantah.

Selama sejenak, perempuan itu menghilang ke dalam kamar mandi yang berada di ruang perawatan. Dia keluar lagi bersama mangkuk besar berisi air bersih. Gia membawanya mendekati Johnny, meletakkannya di atas meja. Setelahnya, dia membuka tas yang dia bawa, mengeluarkan sejumlah peralatan yang suka Johnny gunakan untuk bercukur.

"Aku bisa sendiri."

"Let me, can you?"

"Gia,"

"Please?"

Johnny menelan saliva, akhirnya membiarkan Gia melakukan apa yang ingin dia lakukan. Matanya menatap lurus ke arah Chester sementara Gia membersihkan wajahnya, membubuhkan shaving cream sebelum mulai melarikan razor pencukur di seputar garis rahangnya dengan penuh kehati-hatian.

"Aku minta maaf untuk yang kemarin-kemarin."

Johnny tetap membisu.

"Aku tau, aku yang salah. Aku juga nggak pernah berusaha meluangkan waktu buat sama-sama Chester. Aku minta maaf."

"Aku nggak tersinggung karena kamu nyalahin aku." Johnny akhirnya bicara. "It's just... unbelievable. Sulit buatku untuk percaya kalau setelah apa yang terjadi ke Chester, kamu masih lebih mentingin karir kamu."

"Karir aku emang penting."

"Lebih penting dari Chester?"

"..."

"Aku nggak bisa atur isi pikiran dan keputusan orang lain, Gia. Tapi kalau udah gini, coba kamu pikir lagi. Dulu kita pengen punya Chester sampai segitunya. Kamu benar-benar pengen punya Chester sampai segitunya. Setelah dia ada di sini, kenapa kamu justru nyuekkin dia?"

"..."

"Chester itu anak kita, Gia. Bukan pembuktian kalau rumah tangga kamu perfect. Kalau kita juga bisa punya anak kayak pasangan yang lain. Nggak gitu. Dia itu manusia, punya perasaan. Kita yang mau dia ada. Kita yang mesti tanggung jawab, mastiin dia hidup dengan sebaik-baiknya. Bukan cuma secara fisik atau materi, tapi juga secara mental."

Gia membersihkan sisa shaving cream di wajah Johnny dengan lap basah, dilanjut mengoleskan aftershave.

"Kalau nanti Chester udah bangun, aku mau kamu pilih."

Gia memiringkan wajah. "... pilih?"

"Iya. Aku mau kamu pilih, Chester atau karir kamu."

"..."

"Kalau kamu bersedia nyoba ada buat Chester, aku bakal maafin kamu. Untuk semuanya."

"..."

"Tapi kalau kamu masih lebih mementingkan karir kamu... well... aku nggak tau, apa kita berdua masih punya alasan untuk tetap sama-sama?"

"Kamu mengancam aku?"

"Terserah kamu, mau mengartikan itu kayak gimana."

"Johnny—"

Ucapan Gia tak terteruskan karena perhatian Johnny telah lebih dulu tersita pada Chester. Laki-laki betulan bangkit dari duduknya untuk melangkah secepat yang dia bisa menuju ranjang tempat Chester berada. Gia tersentak, ikut bangkit. Napasnya serasa tertahan di tenggorokan ketika dilihatnya, perlahan Chester membuka matanya.

Refleks, Johnny menekan tombol darurat yang berada di tembok tiang infus Chester, memanggil siapapun petugas medis yang berjaga untuk datang ke ruangan.

"Chester, kamu dengar Papi? Ini Papi, Sayang..."

Chester mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. Selama sejenak yang terasa sangat panjang, Chester hanya menatap pada Johnny. Lalu perlahan, tangan mungilnya yang disemati infus terangkat sedikit. Otomatis, Johnny memegang tangan anaknya, mengusap kulit Chester yang pucat dengan jarinya.

"Ini Papi, Sayang."

Chester masih nggak bicara, tetapi jari-jarinya balik menggenggam tangan Johnny, dan itu sudah cukup untuk membuat tangis Johnny pecah tanpa bisa ditahan.

*

Esoknya, Wuje berangkat sekolah dengan sepenuh rasa bangga karena sekotak macaroon yang tersimpan dalam tasnya.

Dia sudah berencana mau membalas dendam ke Queensha, yang membuatnya hanya bisa ngiler menonton ketika bocah itu menikmati macaroon bersama Lila dan Cherry. Pokoknya nanti, nggak hanya sebatas memanggil Wuje ganteng, kalau bisa, Queensha juga harus mengisi ulang botol air minum Wuje menggunakan air dari keran air minum yang ada di depan kelas.

Biarin saja, Queensha jadi babunya Wuje, meski cuma sehari.

Makanya, di jam istirahat, ketika mereka sengaja duduk di atas hamparan padang rumput di bagian tengah sekolah—sengaja dibiarkan kosong, dengan naungan beberapa pohon peneduh yang aman buat anak-anak, biar mudah digunakan buat kegiatan outdoor—dengan heboh, Wuje mengeluarkan kotak berisi macaroon dari dalam tasnya.

"Jreng-jreng! Aku bawa macaroon dong!" Wuje berseru seraya melirik songong pada Queensha yang sontak melipat tangan di dada.

"Wow! Banyak banget macaroonnya!!" Lila sampai melotot tak percaya.

"Ini pasti belinya di toko kue langganan Mommy aku ya?" Cherry kepo.

"Tokonya langganan Mama aku juga!" Wuje menyahut pertanyaan Cherry. "Ini tuh banyak, terus rasanya macem-macem lagi! Aku yang minta ke Papa, terus kata Papa, nggak apa-apa belinya banyak, soalnya aku udah jadi anak baik aku udah jagain Mama aku!" Wuje nyerocos kayak bajaj yang rem-nya blong.

"Wah, enak banget..."

"Enak dong! Untung aja ya... aku orangnya nggak pelit..." Wuje berujar, separuh menyindir, sementara Queensha makin cemberut.

"Wuje, aku boleh minta nggak?" Lila bertanya pada Wuje.

"Boleh!"

"Aku boleh enggaaaa?" Cherry ikut meminta.

"Boleh, dong! Pilih rasa apa aja yang kalian mau!"

"Wuje baik banget!!"

"Iya dong!" Wuje melirik lagi pada Queensha yang masih nggak bereaksi selain mendengus atau cemberut dengan tangan terlipat di dada. Wuje yang paham banget kalau Queensha suka macaroon rasa stroberi pun tergerak untuk manas-manasin. "Hm... ternyata macaroonnya ada yang rasa stroberi..."

Queensha kontan menoleh, menatap nanar pada macaroon warna merah jambu yang sedang Wuje pegang diantara jari-jari kecilnya.

"Itu—"

"Hm... ada banyak sih yang rasa stroberi nih..." Wuje memasukkan macaroon di tangannya ke mulut, terus sengaja membuat ekspresi yang dilebih-lebihkan, sampai merem-melek segala macam food vlogger lebay lagi review rasa makanannya. "Hm... enak banget... oh my God! Rasanya... kalau kata Tante Hyena sih... enak nggak ada obat!!"

Queensha meneguk saliva. "Itu..."

"Enak nggak, Lila? Enak nggak Cherry?"

Dua bocil lainnya kompak mengacungkan jempol.

"Enak banget!" Lila berseru girang. "Jadi pengen lagi. Hehe. Boleh nggak, Wuje?"

"Boleh dong! Kan ini ada banyak!"

"Ini mahal sih kata Daddy aku. Tapi emang enak gitu ya rasanya... jadi pengen nambah terus..."

"Kwinsa nggak mau?" Wuje akhirnya menyergap Queensha dengan satu pertanyaan telak seraya menaik-turunkan alisnya, bikin ekspresi mukanya jadi kelihatan tengil.

"... mau."

"Apa? Aku nggak denger." Wuje mulai berulah.

"Aku juga mau!" Queensha berseru lebih keras, dengan wajah yang memerah.

"Hm... tapi ada syaratnya nih..." Wuje mulai melancarkan aksi balas dendamnya.

"Apa? Kamu mau aku bilang, 'Yang Mulia Arganata yang ganteng,' gitu?"

"Boleh. Tapi itu aja nggak cukup dong."

Perasaan Queensha mulai nggak enak. "Terus mau kamu apa?"

"Bilang dulu deh, Yang Mulia Arganata yang ganteng, aku mau dong macaroonnya. Plis yaaaa, ganteng yaaa, baik yaaaa, kasih aku si Kwinsa yang nakal ini macaroon. Gitu."

"Kok panjang banget sih?! Kemarin aku nyuruh kamu nggak sepanjang itu loh!" Queensha protes.

"Itu kan kemarin-kemarin, Kwinsa. Lagian, ini macaroon siapa hayo? Punya aku, kan? Suka-suka aku dong, mau gimana ngomongnya!"

Queensha mengembuskan napas, lagi-lagi mereguk ludah tatkala dilihatnya, Lila sama Cherry sama-sama tampak menikmati suapan macaroon mereka.

Sepertinya, memang macaroonnya enak banget.

Akhirnya, Queensha pun membuang harga dirinya.

"Yang Mulia—uhuk." Bocil itu sempat batuk. "Yang Mulia Arganata yang ganteng, aku mau dong... macaroonnya..."

Wuje menyemangati dengan gestur tangan. "Bagus, bagus! Lanjutin, Kwin!"

"... plis yaaa? Ganteng yaaaa, baik yaaaa, kasih aku... si Kwinsa yang—si Kwinsa yang nakal ini macaroon."

"Oke. Tapi sebelum itu, Kwinsa yang nakal ini, boleh nggak Yang Mulia Arganata yang ganteng minta tolong kamu isiin botol air minumnya Yang Mulia Arganata yang ganteng?"

"KOK GITU SIH?!" Queensha protes lagi.

"Kwinsa nggak mau? Nggak apa-apa kalau nggak mau. Tapi..." Wuje memamerkan macaroon rasa stroberi berikutnya. "... ini kan rasa stroberi."

Seperti sebelumnya, Queensha menurut dan menerima botol minum yang Wuje ulurkan. Bocah itu melangkah menuju kelas yang nggak jauh untuk mengisikan air ke dalam botol tersebut. Wuje santai saja menunggu. Setelah beberapa lama, Queensha nggak muncul-muncul. Wuje jadi curiga, makanya dia inisiatif buat ikut ke kelas dan mengecek keberadaan Queensha.

Ternyata, Queensha lagi berantem sama Kemal—teman sekelas mereka yang lain.

Kemal ini memang tergolong nakal sih, nggak bisa diam dan rada sombong gitu, katanya karena papanya salah satu anggota termuda di DPR RI.

"Kemal, kan udah aku bilang, nggak boleh gitu!! Itu namanya buang-buang air!! Nanti dimarahin Bu Guru!!"

"Bu Guru kan nggak tau. Bu Guru juga nggak lihat."

"Tapi tetap aja buang-buang air!! Nggak boleh gitu, Kemal!! Sekarang kamu minggir, gantian aku!! Aku mau isi botol minum!!" Queensha berseru galak.

"Apaan sih, bawel banget kamu tuh!!"

Kemal tau-tau melakukan tindakan radikal dengan mencipratkan air dari keran air minum ke arah Queensha. Berhubung aliran airnya cukup deras dan Kemal melakukannya secara tidak terduga, wajah Queensha langsung terkena cipratan air. Cipratannya banyak, makanya bagian depan baju seragamnya Queensha juga ikutan basah.

Melihat itu, tentu saja Wuje nggak bisa tinggal diam.

"KEMAL!! JANGAN NAKAL GITU YA SAMA SI KWIN!! YANG BOLEH NAKALIN KWIN CUMA AKU!!"

Kemal dan Queensha sontak menoleh pada Wuje yang refleks berpose kayak Ultraman kalau baru mendarat.

"QUEENSHA!! BUKAN KWIN!!" Queensha mengoreksi.

"... Arga, kamu ngapain?" Kemal jadi heran sendiri.

Dengan kedua tangan masih menyilang di depan dada, Wuje berseru. "Ini tandanya, aku siap ngehukum anak nakal kayak kamu!!"

"Je, kenapa tangannya harus gitu sih?" Queensha jadi bete sendiri.

"Biar kayak Musashi!"

"Musashi siapa sih? Emangnya anak kelas kita ada yang namanya Musashi?" Kemal malah penasaran.

"Musashi itu Ultraman!"

"Hah, tapi kamu lebih mirip Raja Wakanda daripada Ultraman kalau tangannya kayak gitu..." Kemal menggaruk kepalanya yang nggak gatal.

"Masa sih?"

"Iya."

"Emang Raja Wakanda gimana tangannya?" Wuje justru memulai wawancara.

"Gini." Kemal menyilangkan tangan di depan dada, terus serunya dengan sesangar mungkin. "WAKANDA FOREVER!!"

Wuje meniru, menyilangkan tangannya dengan lebih teguh, terus menghela napas. "WAKANDA FOREVER!!"

"Iya. Gitu." Kemal manggut-manggut.

"Kemal!! Sekarang nyingkir!! Aku mau isi botol!!" Queensha berseru, memutus obrolan nggak penting antara Wuje dan Kemal.

Kemal malah lanjut mencipratkan air ke wajah Queensha.

"KEMAL!! KAMU NAKAL!! JADI AKU AKAN MENGHUKUMMU!!"

Wuje berseru dengan dramatis sebelum merangsek maju, merebut botol air dari tangan Queensha dan mengisinya menggunakan air yang masih mengalir, sebelum kemudian air itu dia guyurkan ke muka Kemal.

Kemal tak terima, ikut melakukan tindakan tak jauh berbeda.

Mereka terlibat dalam pergulatan seru yang berakhir dengan; baju seragam basah kuyup serta kelas yang becek oleh genangan air.

*

Pasca mendengar kabar kalau anaknya menciptakan kekacauan di kelas hingga kelas jadi becek dan seragamnya basah-kuyup sampai ke dalam, Rei memutuskan untuk datang langsung ke sekolah.

Waktu kegiatan belajar yang tersisa tinggal satu jam lagi sebelum pulang, sebetulnya. Cuma, wali kelas sekolah TK-nya Wuje berkata kalau pada akhirnya, beliau mengubah kegiatan belajar jadi kegiatan bersih-bersih kelas bersama, sekalian memberitahu anak-anak kalau buang-buang air sampai becek-becek begitu adalah tindakan yang kurang terpuji. Rei meminta maaf berkali-kali, namun wali kelasnya Wuje hanya tersenyum saja.

Di jam pulang sekolah, Rei sengaja menyambangi Wuje ke ruang kelasnya. Anak itu sudah berganti pakaian, mengenakan seragam olahraga yang memang disimpan di loker sekolah. Queensha dan Kemal juga sama. Mereka bertiga terlihat bete banget, meski Wuje langsung tersenyum lebar ketika dia melihat ibunya.

"Mama!!"

"Mama dapat laporan, katanya anak Mama nakal ya hari ini?"

"Nggak gitu, Mama! Kemal nakal, jadi aku menghukum Kemal! Tapi Kemal nggak mau dengar, jadi Kemal balas juga ke aku, makanya aku ikutan basah! Tapi aku udah bantuin Bu Guru bersihin kelasnya kok, Mama! Tadi aku ngepel! Beneran deh! Lihat tangan aku, ada bekas megang gagang pelnya..." Wuje menunjukkan kedua telapak tangannya pada Rei.

Rei tersenyum. "Mama percaya kok. Eh tapi itu kayaknya celana kamu kebalik nggak sih?"

"Masa?!" Wuje kaget sendiri, refleks melihat ke celana olahraga yang dia pakai.

"Iya."

"Oh..." Wuje nyengir malu-malu. "Tadi aku pake celananya sendiri, Mama. Aku nggak mau dibantu Bu Guru. Soalnya Mama pernah bilang kan, yang boleh lihat kolor aku cuma Mama, Papa, Tante Hyena, Opa sama Oma aja. Yang lain nggak boleh. Makanya aku pake celananya sendiri. Ternyata kebalik..."

Rei tertawa kecil. "Yuk ke toilet! Mama benerin ya?"

"Iya!"

Mereka pergi ke toilet untuk memperbaiki celana olahraga Wuje yang terbalik, terus keluar lagi dan bersiap untuk pulang—tentu setelah memastikan semua barang Wuje termasuk sisa macaroonnya tersimpan apik di dalam tas ayamnya.

"Kamu pulangnya sama Mama ya."

"Iya, Mama."

Mereka bergandengan melintasi koridor sekolahan, hingga Wuje melihat Queensha yang sedang berjalan bersama Cherry dan Lila menuju bagian depan sekolah untuk menunggu jemputan yang akan mengantar mereka pulang ke rumah masing-masing.

"Mama, tunggu di sini ya..."

Rei mengangkat alis, namun menonton saja sewaktu Wuje berlari dengan tas ayam di punggung. Bocah itu baru berhenti tepat di depan para teman-teman ceweknya. Lalu, dia membuka tasnya dan mengeluarkan kotak macaroon.

"Kalian semua, tangannya tunjukkin gini—" Wuje mencontohkan agar Queensha, Cherry dan Lila membuka telapak tangan mereka. Ketiga bocil mengikuti, heran sendiri hingga Wuje meletakkan masing-masing dua macaroon di atas telapak tangan ketiga temannya. Khusus untuk Queensha, dua-duanya rasa stroberi. "—buat kalian. Udah ya, aku mau pulang sama Mama aku!"

Usai bilang begitu, Wuje pun ngacir menghampiri Rei lagi dan menarik ibunya menuju parkiran.

"Mama udah nggak sakit lagi? Udah bisa nyetir?" Wuje sempat bertanya khawatir sebelum mereka naik ke mobil.

"Udah nggak, kok. Kan udah diobatin dokter."

"Oh..." Wuje manggut-manggut, lantas membuka pintu belakang dan duduk manis di sana.

"Udah siap jalan, Je? Kita makan siangnya di kantor Papa aja ya? Biar bareng Papa."

"Mau, Mama. Tapi tunggu bentar. Tunggu aku itung sampai sepuluh, tapi itungnya sampai sepuluhnya tiga kali. Hehe."

"Emang kenapa?"

"Aku mau lihat Lila sebentar lagi."

"..."

"Aku kan baru ketemu lagi sama Lila besok, Ma."

"..."

"Boleh ya? Hehe." 



to be continued. 

***

bapak saat didatengin bini dan anaknya di kantor

"gpp kena tonjok, kan jadi sarapan bareng xixixi." 

macaron stroberi penuh makna~

***

a/n: 

hm akhirnya berlanjut lagi. 

ya gitu ya ceu 

hidup memang suka tidak terduga wkwkwk 

di kantor nanti ada kejadian dikit-dikit lah. 

sama hm 

kayaknya cerita kelelepnya kwinsa juga belum diceritain yah. 

yaudah ntar, bertahap. 

dah sekian. 

terimakasie. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top